Mengantar El bersalaman dengan pengantin ternyata bukan ide yang bagus. Seharusnya aku menolak saja seandainya tahu pada akhirnya kini kami malah harus duduk dan terlihat dengan obrolan bersama mempelai dan Fikar.
Seperti temu kangen!
"Dunia memang sesempit ini. Nggak nyangka." ucap Fibri dengan senyuman mengembang.
Sedari tadi tak terhitung berapa kali mempelai wanita ini mengumamkan kata wow dari bibirnya.
Aku tak kalah terkejut saat tahu, El dan Fibri sudah lama kenal. Mereka masih ada hubungan keluarga jauh.
Pantas saja El mendapatkan undangan. Tadinya kukira dia datang karena di undang Bima, tetapi ternyata yang mengundang adalah Fibri.
Kenapa semua seolah berhubungan? Padahal aku ingin lepas dari circle mereka.
El yang hari ini memakai setelan batik dan celana hitam juga sepertinya tak menyangka, berkali-kali ia menggeleng sambil menatapku.
"Mas Rafa gimana kabar Ayunda?" tanya Fibri memecahkan keheningan.
Fakta baru yang kuketahui tentang El, di lingkungan keluarganya dia di sapa Rafa.
"Dia sudah hamil." jawab El pelan.
"Wah ... selamat ya, Mas."
El tersenyum mengucapkan terimakasih. Dia tak lagi berucap apapun, tapi raut wajahnya berubah, tak sebahagia tadi.
Menyisakan diriku yang penasaran. Siapa Ayunda?
Nayya yang biasanya berisik mengajakku ngobrol sedari tadi tumben hanya diam? Bahkan sekilas aku melihat matanya berkaca-kaca. Padahal biasanya wajah perempuan cantik itu selalu ceria.
Sementara itu Fikar yang ada di sampingnya seakan tak mau tahu, pria tampan itu beberapa kali terlihat sedang menjawab telepon. Wajahnya nampak gusar, ekspresinya sama saat beberapa tahun lalu menemuiku terakhir kali.
Di saat seperti ini Bima yang duduk persis di depan kami malah terpantau menatapku.
"El,"
Aku berbisik mendekati kuping El. Pria itu seketika menunduk.
"Aku pulang dulu."
El langsung paham. Dia mengangguk pelan. "Pulang bareng, ya. Sebentar, aku mau ketemu seseorang dulu."
El pamit untuk menemui seseorang. Tinggallah kami bertiga karena Fikar beberapa menit yang lalu pamit ke toilet.
"Nay, kamu sehat 'kan?" tanyaku.
Aku bukan orang yang gampang perduli pada orang lain, tetapi demi mengusir jenuh dan rasa risih gara-gara ulah Bima, akhirnya kuputuskan membuka obrolan.
"Sehat, Sar."
Singkat. Padahal biasanya Nayya akan banyak bercerita tanpa di minta.
Kekakuan kembali menyeruak, kami saling diam, ini sama sekali tak nyaman.
"Aku nyusul Mas Zulfi dulu. Permisi."
Tinggallah aku sendiri dan mempelai pria yang sedari tadi berprilaku aneh, laksana patung.
"Jadi El, pria yang kamu suka?" tanyanya pelan masih menatapku.
"Sudah. Jangan rusak acaramu sendiri, aku nggak mau bertanggungjawab kalau acaramu kacau."
"Perlu kamu tahu, Sar. Aku tidak menginginkan pernikahan ini."
Aku memundurkan kepala karena Bima mengangkat tubuhnya dan berusaha mendekatkan wajahnya padaku.
"Bukan urusanku!!"
"Aku akan menceraikan Fibri!" bisiknya.
"Bukan urusanku!"
Aku berniat bangkit dari kursi tapi cekalan tangan Bima membuatku tak bisa berkutik.
"Aku melakukan ini karena terpaksa! Dulu mungkin aku menyerah karena kamu lebih milih Fikar ...,"
Bima sedang bercanda! Nyatanya dia sekarang sudah beristri. Apa maksud dia bicara seperti itu?
Ternyata ada sisi lain dari seorang Bima yang belum pernah kutemui selama kami dekat. Rasa-rasanya aku harus berterimakasih dengan perasaanku sendiri karena tidak pernah sedetikpun menyukai pria ini.
"Terserah, apapun yang kamu ucapkan, aku nggak perduli!" ucapku tak kalah geram tapi berusaha tetap terlihat tenang.
"Tega kamu!" serunya hampir tak terdengar.
"Aku sudah menjelaskan semuanya dari awal 'kan kenapa aku nggak bisa menerima kamu? Dulu aku juga selalu bertanya kenapa hatiku selalu menolak buat nerima kamu, tapi sepertinya hari ini aku sudah menemukan jawabannya,"
Rahang pria itu menegang. Dia menatapku penuh kebencian.
"Sikap kamu yang seperti ini! Aku tidak pernah suka di paksa, Bima. Kalau di lihat sekarang sebenarnya kamu tidak pernah mencintaiku. Entahlah, mungkin kamu hanya terobsesi padaku, kamu ingin membuktikan kalau kamu mampu mendapatkanku."
Tangan pria itu mengepal, matanya memerah. Aku masih waras, aku tidak boleh terus di sini. Aku harus secepatnya pergi kalau tidak ingin pesta ini semakin kacau.
Sedikit gemetar akhirnya aku bisa menjauhi pria itu. Tanpa perlu menunggu El yang sedari tadi tidak juga muncul, aku keluar.
Aku tadi datang sendiri, pulang pun sendiri tak masalah.
~~~
Sial!
Kenapa hari ini hidupku di penuhi banyak kebetulan-kebetulan yang tak terduga.
Setelah kebetulan El dan Fibri adalah keluarga jauh, kini diriku di hadapkan kebetulan lain yang tak kalah mencengangkan.
Mbok, budhenya Fikar!
"Makin cantik saja, Mbak. "
Aku baru saja keluar dari tempat pesta, ketika sampai parkiran. Saat berusaha menghubungi ojek tiba-tiba ada yang memanggilku, Mbok.
Tidak ada yang janggal dari wanita bertubuh gemuk itu, yang membuatku kaget adalah wanita paruh baya itu sedang mengobrol dengan Fikar.
"Dari dulu aku juga cantik, Mbok." ucapku sambil tersenyum, berusaha tenang. Padahal masih gemetaran.
Bahkan aku masih bisa narsis.
Mbok terpingkal, sedangkan Fikar memalingkan wajah, aku sempat menangkap senyumnya.
"Mbak sari mampir, itu rumah Mbok, dekat dari sini. Istrinya Fikar sedang istirahat di sana."
"Lain kali saja, Mbok. Ini aku harus cepat pulang.
"Nggak bawa motor? Mau naik apa?"tanya Mbok mencegah kakiku melangkah.
"Pakai ojol, Mbok."
"Fikar, tolong anterin Mbak Sari. Daripada naik ojol."
Tentu saja usul Mbok kutolak mentah-mentah. Mana mungkin aku membiarkan pria ini mengantarku pulang.
Fikar sendiri menggelengkan kepala, pria itu sepertinya juga mempunyai prinsip yang sama sepertiku. Tak mau berurusan dengan masa lalu.
"Kenapa nggak nungguin aku?"
Suara itu berhasil menyelamatkanku, menyela obrolan kami. Alhamdulillah. Dia terengah-engah dari dalam gedung.
"Kelamaan." jawabku jutek.
"Maaf. Tadi aku banyak ketemu saudara. Nggak sengaja."
Seolah hanya ada kami berdua, El membujukku agar aku tersenyum dengan tingkah konyolnya.
Hingga suara deheman Fikar menginterupsi.
"Pacarnya Mbak Sari?" sapa bulek dengan wajah sumringah.
Aku memilih diam, penasaran tanggapan El.
"Teman."
Bahuku luruh mendengarnya. Jelas sudah kalau perasaan ini sia-sia.
"Teman tapi mesra kayaknya." Celetuk Fikar.
"Bisa di bilang begitu. Ya 'kan Rifah?"
Aku melebarkan bibir, pura-pura setuju.
"Aku Fikar, mantannya Sari,"
Eh!
"Jauhi dia kalau kamu cuma niat main-main." ucap Fikar pelan tapi dengan senyum mematikan.
Bukan hanya aku yang kaget, Mbok sampai mundur ke belakang.
El sendiri sempat kaget, tapi harus kuakui pria satu ini memang piwai memainkan ekspresi wajah.
"Oh, anda pria yang sudah meninggalkan Rifah, lalu diam-diam menikah?"
Buset, buset. Tiba-tiba saja aku butuh oksigen banyak-banyak.
Fikar terlihat waspada.
"Tenang, kita berbeda, aku buka tipe cowok yang suka memberi harapan palsu. Kalau masih ragu aku nggak bakalan maju. Tapi kalau aku sudah yakin, detik ini juga aku bisa bawa dia ke penghulu."
Buset, buset. Cepat, napasku semakin sesak. Mana oksigennya?
"Bagus! Aku pegang omongan kamu." Fikar mengangkat dagu.
"Sebentar, Budhe kok malah bingung. Maksudnya Mbak Sari mantan kamu itu apa?"
Fikar yang sepertinya baru sadar kalau keceplosan, terlihat salah tingkah. Dia tak menjawab dan memilih beranjak pergi.
~~~~~
Angin sepoi-sepoi menerpa wajahku. Kini tubuhku berada di belakang motor El, di bonceng pria itu untuk pulang. Aroma mint menguar saat pipiku menempel di punggung pria itu. El yang saat ini menyelimuti kemeja batiknya dengan hoodie warna hitam memacu motornya dengan kecepatan sedang.
El sedari tadi diam. Dia tak menanyakan apapun.
Setelah perjalanan hampir satu jam akhirnya motor ini berhenti tepat di belakang rumah. Pria itu langsung masuk rumahnya setelah turun, tanpa mengucapkan sepatah katapun padaku.
Kulihat Bapak berdiri di depan pintu sambil menatap kami, entah sejak kapan lelaki itu ada di sana? Apa lelaki tua itu juga melihatnya? El tidak seperti biasanya. Dia lebih dingin dan seperti menahan emosi.
~~~~
"Mas El kan ganteng ya, kenapa masih sendiri? Nggak ada niat gitu cari pacar, terus kenalin ke Ibu."
Pagiku yang cerah di sambut dengan obrolan El dan Ibu di toko.
"Memang Ibu sudah siap?"
"Siap gimana?"
Aku sudah memasang kuping, berharap El memberi jawaban berbeda. Sekeras apapun usahaku mencoba mengakhiri perasaan ini, tetap saja mendengar suaranya saja, dadaku berdebar kencang.
"Siap punya mantu."
Ibu memukul lengan El pelan, keduanya tergelak. Meraka hanya bercanda. Tak ada nada serius dari ucapan pria itu.
"Memang tipe Mas El, yang kayak apa? Biar nanti Mbak Indah cariin." timpal Mbak Indah, wanita itu sedang sibuk membungkus gula yang baru saja Ibu timbang.
"Yang baik, yang sayang orang tua, yang berbakti, yang tidak neko-neko."
"Berarti nggak cantik juga enggak apa, ya, Mas?"
El memasang wajah seperti memikirkan sesuatu.
"Cantik itu relatif, Mbak indah."
Lalu obrolan mereka terjeda karena ada pembeli.
Aku yang sedari tadi mengintip dari balik jendela memilih masuk kamar, tak ada lagi obrolan yang menarik perhatianku.
"Mbak Sari! Keluar, Mbak."
Baru saja aku amengenakan mukena, suara Mbak indah di sertai gedoran di pintu kamarku terdengar riuh.
Tanpa melepas mukenah karena terlalu panik aku keluar.
Mbak Indah sudah tidak ada di depan pintu kamar, tetapi suara dari luar terdengar seperti ada keributan.
Aku langsung berlari dengan pikiran kemana-mana. Apakah baru saja ada perampokan yang mengakibatkan ...
Aku ngeri sendiri membayangkannya.
Sesampainya di toko, kulihat El tengah menepuk dan menggoyangkan tubuh Ibu.
"Ibu kenapa?" tanyaku langsung berjongkok tepat di samping pria itu.
"Ibu kenapa?! Kenapa kalian diam saja?" tanyaku lagi.
Kecemasanku berganti emosi karena tak kunjung mendapatkan penjelasan.
"Kita sadarkan Ibu dulu, nanti baru cerita." balas El yang terlihat aneh menatapku.
Benar juga. Yang terpenting sekarang Ibu. Nanti aku bisa tanya pada beliau langsung kalau sudah sadar.
Tadi ibu baik-baik saja. Sekarang kenapa bisa pingsan?