Someone To Love (ver revisi P...

Av FlaraDeviana

48.9K 2.6K 114

Abercio Bagaskara menghabiskan bertahun-tahun mencari perempuan dari masa lalunya, menyesali kesalahannya sam... Mer

Intro
PROLOG
1
3
4
E-book Someone To Love - KaryaKarsa
PemesananE-Book via WA

2

4.2K 346 17
Av FlaraDeviana

Selamat membaca
*

*

Jangan lupa taburan bintang dan komennya, Bestie!!

***

ABE terburu-buru mengakhiri kegiatan di bandara. Hanya berpamitan singkat, tanpa adanya obrolan basa-basi bersama pilot senior, apa lagi bertingkah konyol demi tawa rekan awak kabinnya. Dia setengah berlari menuju mobil jemputan yang disiapkan Alby, mengabaikan keheranan orang-orang atas rutinitas tidak biasanya.

Di sepanjang perjalanan menuju kediaman keluarga Atmadja, Abe tersadar dirinya bagaikan tentara yang nekat pergi perang tanpa latihan khusu. Namun, dia tidak bisa mengulur waktu dan mengambil risiko Kian menghilang lagi. Dia tidak berniat pulang lebih dulu dan mengganti seragam dengan pakaian yang lebih baik, membelikan makanan kesukaan Kian, apalagi menyusun rencana agar situasi di rumah Atmadja tidak terlalu canggung.

Bagi Abe yang terpenting adalah bertemu Kian dulu, sisanya bisa dipikirkan sambil jalan.

Dia tiba di rumah utama keluarga Atmadja sekitar pukul dua sore. Disambut wajah panik satpam saat membuka gerbang, kini ekspresi kebingungan dari kepala pengurus rumah yang menyambutnya.

Apa Om Ryan dan Tante Yohana menyebar selebaran wajahnya dengan tanda silang besar-besar ke semua pekerja di rumah? Seolah-olah, memberi tahu agar penghuni waspada akan kedatangan orang berbahaya.

"Waduh. Waduh ... Mas Abe datang," seru Bik Nem setengah berbisik, seakan takut bila suara beliau lebih tinggi satu oktaf saja akan mengganggu siapa pun yang ada di dalam.

Abe tersenyum masam, sembari mencuri pandangan ke balik punggung Bik Nem, siapa tahu salah satu anggota Atmadja muncul di area foyer. Kiandra, misalnya. Kalau menarik mundur ingatannya tentang hubungan baik antara dua keluarga, baru kali ini anggota keluarga Bagaskara tidak langsung diizinkan masuk kediaman Atmadja. Rasa getir makin menjadi, saat Bik Nem bergabung dengannya di teras, lalu menutup rapat pintu utama khas desain American Classic yang terbuat dari perpaduan ukiran hitam besi tempa dan kaca sebagai badan pintu.

Pergi saja, Mas Abe. Kira-kira begitu yang dia tangkap dari ekspresi wajah Bik Nem.

"Halo, Bik Nem. Lama, ya, kita nggak ketemu." Namun, Abe menolak menyerah. Dia harus masuk dan menemui Kian. Harus.

"Iya. Lah, Mas Abe kan sudah jarang main ke sini. Terakhir datang waktu ulang tahun Ibu, setahun lalu." Meski dibalut senyum keibuan yang sering Abe lihat sedari remaja, rasa sungkan sekaligus tidak sabar gagal disembunyikan Bik Nem.

"Ini mau main, tapi malah pintunya ditutup," kata Abe sembari memberi kode pada pintu di balik punggung beliau, dan tatapan memelas Bik Nem semakin menjadi-jadi. "Kenapa, Bik? Tante Hana ngelarang aku masuk, atau jangan-jangan Om Ryan ngancem potong gaji kalau Bibik izinin aku masuk ...."

Bik Nem menghela napas, disusul Abe beberapa detik setelahnya. Dia benar, menemui Kian bukan perkara mudah seperti dulu. Datang tanpa pemberitahuan pun bakal disambut senyum hangat dan pelukan kecil. Kalau ini medan perang, badannya sudah penuh luka tembak karena salah strategi.

"Anu, Mas. Bibik, tuh—" Bik Nem mengambil jeda, mengedarkan pandangan ke sembarang arah, dengan satu tangan menggaruk-garuk bagian bawah kuping kanan. Panik. "Gini—"

Alih-alih, berupaya mencerna kalimat terbata-bata Bik Nem, mata Abe justru terpaku kepada sosok yang muncul tiba-tiba dan berdiri di balik pintu. Tanpa disadari Bik Nem, Abe dan orang tersebut mengadu tatapan intens. Ketika badannya bergerak maju, yang di dalam buru-buru membuka satu sisi pintu, lalu menepuk bahu Bik Nem tanpa melepaskan adu pandang mereka.

"Bik Nem, aku ambil alih yah dari sini," kata orang itu tenang. Setenang angin yang membelai lembut wajahnya, hingga gelombang rasa rindu menghantam kencang dan menghancurkan dinding-dinding pengendalian diri Abe.

Dia harus membawa orang itu dalam pelukannya. Merasakan langsung apa-apa yang dijadikannya angan semata selama bertahun-tahun.

Dengan rasa yakin bakal disambut hangat, Abe maju selangkah lagi sambil menggaungkan kalimat yang sama di otaknya; Kian-nya benar-benar pulang.

Belum juga tangannya berhasil merengkuh Kian, sosok lain muncul dari dalam sana. Berlari kecil lalu melewati pintu, sembari berteriak, "Mommy. Mommy. You can't leave me alone with Aunty Nia."

Anak perempuan itu memeluk pinggung Kian, berdiri persis di depan Abe, sedangkan satu tangan Kian memeluk bahu kurus si anak kecil yang kira-kira berumur empat.

Selama beberapa menit yang terasa berjam-jam, Abe hanya fokus memperhatikan sosok anak perempuan di depannya, sampai suara lembut Kian menariknya dari pusaran pikiran yang terus meneriakkan berbagai pertanyaan berinti sama: 'Mommy?' 'Kenapa Kian dipanggil Mommy?' 'Anak siapa ini?'

"Ann, please, come in," kata Kian perlahan sekaligus tegas.

Ketika si anak kecil cemberut, sejumlah ingatan berutar amat cepat di benak Abe bagaikan terbawa angin puting beliun, lalu mengeluarkan ekspresi Kian tengah sebal akan sesuatu. Mirip. Keduanya memiliki kesamaan di beberapa bagian wajah; bentuk hidung, bibir, apalagi saat wajah keduanya saling bertatapan dan dilihat dari samping.

Spontan, Abe memandang Kian yang entah dari kapan mengamatinya. Dia mengabaikan Bik Nem yang berpamitan sopan, mengunci rapat mata Kian, tetapi membuka lebar-lebar telinga pada usaha Bik Nem membujuk anak tersebut untuk masuk menggunakan Bahasa Inggris seadaanya, dan lagi-lagi membahasakan diri Kian; Mommy, Mama.

Abe mengusap pipinya yang mendadak terasa sakit, saat menyadari sebuah cincin dengan deretan berlian dalam satu garis lurus melingkar di jari manis Kian. Satu per satu ungkapan bahagia di dada Abe luruh bergantikan kekecewaan. Bukan kepada Kian, tetapi dirinya.

Abe mencoba menyingkirkan rasa kecewa dan getir ke belakang, menahan apa pun pikiran menyakitkan tetap di sana, dengan mengandaikan; siapa tahu dia salah tangkap. Menjadi ibu tidak berarti harus melahirkan sang anak. Menggunakan cincin tidak selamanya mengartikan ikatan serius.

Kian mencintainya.

"Abe," sapa Kian setelah memastikan si anak dan Bik Nem tidak lagi berada di sekitar foyer.

"Hai. Kiandra," balas Abe.

Dengan berpura-pura tidak mengerti apa yang terjadi, Abe melanjutkan niatnya memeluk Kian, tetapi perempuan itu mundur satu langkah. Terang-terangan memintanya menjaga jarak, jangan ada kontak fisik. Seperti yang selalu Abe lakukan saat memiliki pasangan.

"Ki ..." Bahkan, di telinganya sendiri, Abe merasa suaranya amat menyedihkan.

"Aku minta tolong sama Bik Nem, kapan pun kamu datang, tolong ditahan di luar aja sampai aku yang keluar sendiri." Kian terdiam sejenak, tetapi terlihat tidak mengharapkan tanggapan Abe. Jadi, dia diam, sampai Kian melanjutkan, "Aku ngerasa aneh lihat kamu masuk rumah, padahal ada suami dan anak aku."

Abe tahu kata suami dan anak akhirnya akan dilempar Kian, tetapi dia tidak berharap secepat ini. Setidaknya, Kian bisa memberi waktu bagi mereka berbasa-basi demi rindu.

Demi kenangan menyenangkan di antara mereka, sebelum dia mengusir Kian demi satu perempuan pembohong.

"So, hampir enam tahun kamu ilang ditelan bumi, terus balik bawa anak dan suami." Abe memiringkan posisi berdirinya, gagal menahan tawa getir lolos dari bibir. "Seriously?" Sembari mengusap sudut matanya dengan telunjuk, dia bertanya, "Sorry, ini—gini, Kian. Itu beneran anak—ya ampun, dulu kamu bilang nggak mau—"

"Anna. Namanya Anna. Dia benar-benar anak aku, dari rahim aku."

"Ki—"

"Kenapa?" sela Kian. "Kamu mau nanya itu 'kan?" Sambil bersedekap, Kian maju dan menyisakan jarak kosong satu langkah di antara mereka. "Setop, ikut campur kehidupan gue, Ki. Komentar ini-itu. Kita bukan lagi anak kecil yang susah bergaul karena latar belakang keluarga, apa-apa barengan. Satu nggak setuju, yang satu lagi ikut kayak buntut."

Kepala Abe berdengung keras, bagaikan dipukul kayu. Tidak pernah terbayangkan pada pertemuan pertama setelah dikurung penyesalan bertahun-tahun, bukannya mendapatkan pembebasan, dirinya malah dapat hukum tambahan.

"Kita udah cukup berumur buat punya kehidupan masing-masing, jalan masing-masing. Pilih apa pun yang lo mau, gue juga gitu." Senyum yang redup saat mengucapkan kalimat Abe di pertemuan terakhir mereka dulu, muncul lagi di wajah perempuan itu. "Masa kamu lupa sama omongan sendiri?" Kian mundur satu langkah lagi. "So, ini jalan yang aku pilih. Menikah, punya anak, dan ngelupain kamu ...."

Kesedihan melanda Abe hingga membuatnya mengigil, meski panas terik menepuk-nepuk punggungnya.

"Gimana, kalau aku nggak bisa ngelupain kamu?" tanya Abe.

"Perasaan kamu bukan tanggung jawab aku," sahut Kian tegas, menarik Abe pada hari di mana Kian bertanya; 'Gimana kalau alasan aku cari-cari kesalahan cewek-cewek kamu itu, karena aku nggak pernah lihat kamu sebagai sahabat? Aku cinta kamu, Abe.' Dan Abe, memberikan jawab yang sama; 'Urusan perasaan lo, bukan tanggung jawab gue.'


Foyer : sebuah ruang atau area yang menjadi perantara antara pintu masuk dan bagian dalam rumah seperti ruang tamu, atau teras dengan ruang keluarga. Biasanya, area perantara terdapat di rumah-rumah yang berukuran luas.

*
*

Terima kasih sudah menyempatkan waktu membaca, semoga berkenan di hati kalian.

Untuk informasi naskah-naskah aku yang lain, kalian bisa follow :

Instagram : Flaradeviana (Pribadi)

Love, Fla.

Fortsett å les

You'll Also Like

29.3K 320 55
C-drama yang pernah ditonton❤
16.6M 705K 41
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
79.6K 8.1K 25
Hidup Chanyeol berubah saat tak sengaja bertemu dengan seorang gadis bernama Hani. Chanyeol merasa bahwa ia tengah jatuh cinta pada Hani, tetapi apak...
1.9K 62 13
Matanya memandangku tajam, entah apa yang ada dipikirannya saat ini. Aku terdiam, berusaha memperbaiki raut wajah ketakutan ku agar tetap terlihat no...