بسم الله الرحمن الرحيم
.
.
.
.
.
Happy reading
=_=_=
"Bukan Salwa yang melaporkan kamu pada Kyai Ghaffar."
Agni mendongak, memastikan pendengarannya tak salah tangkap. "Gus tahu dari mana?"
"Saya memergoki kamu malam itu."
Sepasang manik kembar Agni melebar. Gugup merambatinya.
"Beberapa hari ini saya membiarkannya. Saya ingin tahu seberapa kuat tekad kamu untuk kabur dari sini, tapi saya tidak bisa tinggal diam lagi saat kegiatan kamu itu menganggu ketenangan santriwati lain."
Garis-garis halus muncul di dahi Agni. Menebak maksud Gus Ghaazi. Pandangannya bergeser pada seseorang yang berdiri di samping Gus Ghaazi.
"Salwa selalu memergoki dan mengikuti kamu keluar kamar."
Sial, lagi-lagi bocah oon itu! batin Agni kesal.
"Dia-nya aja yang kepo!" sanggah Agni sambil melipat tangannya di dada.
"Agni, orang tua kamu mengirim kamu ke sini untuk memperdalam ilmu agama. Dengan kamu kabur dari pesantren, memangnya kamu punya tempat tujuan?"
"Bukan urusan Gus!"
"Jika kamu berhasil kabur, kamu yakin bisa sampai tempat tujuan dengan selamat? Banyak kejahatan di luar sana, terlebih kamu perempuan. Rawan kejahatan."
Agni mendengkus. "Udah deh, nggak usah banyak omong. Jadi apa hukumannya?"
"Membersihkan halaman belakang asrama santriwati dan minta maaf sama Salwa."
=_=_=
Langit gelap melingkupi bumi, hembusan angin menusuk kulit. Namun, tak menyurutkan semangat para santri melaksanakan ibadah sunah mereka.
Tok ... tok ... tok ...
"Nduk, sudah bangun belum?" Ummi Shafiyah mengetuk pintu berwarna coklat di depannya.
Tadi malam, keluarga besar calon besannya memutuskan menginap di rumah mereka. Sebenarnya keluarga Kyai Alwi Attabiza ingin menginap di hotel, tetapi cuaca mendung mengurungkan niatnya itu.
Rumah ndalem yang bergaya joglo pangrawit. Rumah turun temurun yang di wariskan dari leluhur. Hanya ada beberapa renovasi yang di lakukan guna memperkuat rumah.
Sekarang pintu yang di ketuk Ummi Shafiyah berada di sayap kiri. Seperti rumah adat jawa kebanyakan, ndalem memiliki tiga pintu. Di mana terdapat filosofi seekor kupu-kupu yang sedang berjuang.
Kamar berpintu putih itu di huni dua orang gadis. Salah satunya Salwa, santriwatinya yang baru saja mengalami insiden mengerikan.
Ning Zawna bergegas turun ranjang, membuka pintu. "Afwan Ummi, Zawna kesiangan."
Ummi Shafiyah tersenyum lembut. "Mboten nopo-nopo, Ummi maklum. Di tempat baru memang biasanya susah tidur."
Ning Zawna meringis. Tidak mungkin ia mengungkapkan alasan sebenarnya.
"Ning Zawna siap-siap, habis itu kita ke mashola. Oh, iya, Ummi hampir lupa. Ning Zawna tolong bangunkan santriwati yang ada di dalam. Kasihan kalau ketinggalan sholat jamaah."
Ning Zawna mengangguk. Berbalik menatap ke arah ranjang, seorang gadis yang usianya lebih muda darinya itu masih meringkuk.
Gadis bernama Salwa yang di tolong calon suaminya kemarin, sekaligus penyebab ia sulit memejamkan netranya. Bukan karena Salwa tidur seperti putaran jam, hanya saja ada hal mengganjal perihal kedekatannya dengan Gus Ghaazi.
"Ukhty, Ukhty Salwa bangun, sebentar lagi waktu sholat tahajud." Ning Zawna menguncang bahu Salwa berulang kali.
Sepasang netra kembar Salwa terbuka, mengedarkan pandangan. Kening Salwa mengerut, tempatnya berbaring seperti bukan kamar asramanya.
"Ukhty Salwa,"
"Kamu ... s-siapa?" bingung Salwa.
"Ana Zawna. Ukhty sebaiknya kita bergegas ke mushola," ajak Ning Zawna sembari mengambil mukenanya dari dalam tas.
Nyawa Salwa belum terkumpul sepenuhnya, tapi tak urung anggukan di berikannya.
"Ukhty silakan ambil wudhu dulu, ana tunggu di depan."
Ning Zawna meninggalkan Salwa sendiri. Seiring langkahnya, rangakaian kalimat tanya di susunnya dalam otak.
Ia paling tidak bisa memendam sesuatu untuk waktu yang lama. Kecuali masalah perasaan. Karena perempuan kodratnya menunggu bukan mengejar.
Salwa menjulurkan kaki ke bawah, berpegangan pada sisi ranjang. Sejurus kemudian, sengatan perih merambati tangannya.
"Ashhh ... kok ada perban?" Salwa mengamati lekat-lekat balutan kain kasa di telapak tangannya.
Menggaruk kepala, Salwa mengingat-ingat kejadian terakhir sebelum lelap.
Salwa berlari keluar kamar. Ternyata lama sekali ia pingsan, bagaimana nasib Agni sekarang?
Salwa tidak mau semuanya bertambah rumit.
"Assalamualaikum," sapa seseorang dari arah samping, menghentikan laju Salwa.
Jantung Salwa berdegup kencang mendapati kehadiran Gus Ghaazi.
"Astagfirullahal'adzim, Gus ngagetin Salwa!"
"Assalamualaikum," ulang Gus Ghaazi.
"Wa-wa'alaikumussalam, Gusssss ...."
"Ekhm, saya mau tanya, gelang ini milik kamu?"
Salwa mengamati gelang rantai itu. Netranya membulat, "Gus nemu di mana? Salwa cari-cari di kamar nggak ada." Salwa hendak meraihnya, tapi segera di jauhkan Gus Ghaazi.
"Apa kamu tidak membaca peraturan pesantren?"
"Hah?"
"Peraturan yang mana Gus?"
"Peraturan yang menyatakan bahwa setiap santri pondok pesantren Darul Akhyar di larang membawa barang elektronik dan emas."
"Salwa belum baca," cicit Salwa.
"Gelang ini akan saya berikan pada pengurus asrama putri. Kamu bisa mengambilnya lagi nanti setelah lulus."
Salwa diam mematung.
Lega mengetahui gelang pemberian ayahnya tidak hilang. Sulit menghilangkan sifat cerobohnya. Lain kali harus lebih hati-hati.
"Kamu tidak ke masjid?"
"Mau, mau Gus, cuma Salwa nggak bisa wudhu." Salwa menunjukkan kedua tangannya yang terbalut perban.
"Allah memudahkan umat manusia untuk menghadap-Nya. Salah satunya, berwudhu tanpa menggunakan air karena terhalang sesuatu hal. Kamu sudah memperlajarinya, 'kan?"
"Salwa tahu, taaruf!"
_______
Tbc.
Tinggalin jejak yuk, berupa bintang dan komen!
Jazakumullah khairan khatsiran
Tetap jadikan Al-Qur'an sebagai bacaan utama 😊😊