Forestesia | Pribumi dan Penj...

By Adel_Aidan

3.1K 577 144

๐ŸTeen-Lit - Fantasy - Minor Romance๐Ÿ Aku manusia robot, kata Anna. Ucapannya salah, padahal yang manusia ro... More

๐ŸI : Tugas Prakerin (a)๐Ÿ
๐ŸI : Tugas Prakerin (c)๐Ÿ
๐ŸII : Bumi Kedua dan Manusianya (a)๐Ÿ
๐ŸII : Bumi Kedua dan Manusianya (b)๐Ÿ
๐ŸII : Bumi Kedua dan Manusianya (c)๐Ÿ
๐ŸIII : Apa Itu Ketakutan (a)๐Ÿ
๐ŸIII : Apa Itu Ketakutan (b)๐Ÿ
๐ŸIV : Aduh, Sial (a)๐Ÿ
๐ŸIV : Aduh, Sial (b)๐Ÿ
๐ŸIV : Aduh, Sial (c)๐Ÿ
๐ŸV : Apa Itu Bahaya?๐Ÿ
๐ŸVI : Aku Adalah 'Bahaya' (a)๐Ÿ
๐ŸVI : Aku Adalah 'Bahaya' (b)๐Ÿ
๐ŸVII : Wah, Tugas Bonus Bernilai Tinggi!๐Ÿ
๐ŸVIII : Ke Bumi Lagi (a)๐Ÿ
๐Ÿ VIII : Ke Bumi Lagi (b)๐Ÿ
๐ŸVIII : Ke Bumi Lagi (c)๐Ÿ
๐ŸVIII : Ke Bumi Lagi (d)๐Ÿ

๐ŸI : Tugas Prakerin (b)๐Ÿ

193 44 12
By Adel_Aidan

•Uta•

"Terus, kenapa Kak Amma bawa dia ke sini?" tanya perempuan yang tubuhnya sudah tidak menyala lagi.

Putri ras Api membalas, "ayahanda bilang lebih baik dia berada di Nascombe, dalam pengawasan kalian. Daerah ini sangat sesuai dengan riset yang dia jalani untuk planetnya. Toh, kita sedang tidak ada misi."

Perempuan itu dan laki-laki yang tingginya rata-rata mendesahkan napas sembari menunjukkan ekspresi lelah. "Yang bener aja! Aku udah muak sama misi-misian!"

"Aku juga! Meski aku gak nolak, sih ...."

"Radit, dengerin kata Kakak," tekan perempuan itu.

Laki-laki paling jangkung urutan kedua terlihat hendak tertawa, tapi dia menahannya. "Cie, diomelin Kakak."

"Dia dan robotnya udah diperiksa, sih, jadi harusnya gak ada yang mesti dikhawatirkan ...," tutur putri ras Api, melirikku sejenak. "Yaaa, pokoknya kita mesti menjaga mereka selama di sini."

Aku tidak keberatan dijaga oleh mereka. Justru lebih bagus kalau aku berada di sekitar penduduk asli planet ini. Dengan begitu, aku tidak mengalami kesulitan dalam meriset.

"Terus, dia tinggal di mana?" tanya perempuan tadi. "Aku gak mau, loh, serumah sama dia."

"Aku juga," lontar si laki-laki jangkung kedua. "Ibu bakal seneng, sih, tapi aku gak nyaman."

"Aku khawatir kalau meninggalkan dia berdua aja sama Ibu," ucap laki-laki paling tinggi berseragam serba putih.

Perempuan bersurai putih menoleh ke laki-laki paling pendek. "Jadi ...."

Sontak yang lain ikut menengok kepadanya.

Dia pun menunjukkan ekspresi marah sembari menaruh kembali bangku yang sejak tadi dia pegang dengan kasar ke tempat semula. "Iyaaa, iya! Aku tau maksud kalian apa!"

Mereka pun menunjukkan berbagai macam reaksi, kecuali aku dan Sigma.

"Apa yang terjadi?" tanyaku ke partnerku.

"Kita akan tinggal di rumahnya." Sigma berpaling ke si laki-laki pendek. "Kami tidak keberatan dengan biaya sewa. Silakan ucap saja nominalnya. Uang kami sudah berbentuk uang planet ini jika dirimu khawatir."

Si laki-laki pendek melipat tangan, masih terlihat marah. "Oh, bagus. Aku baru mau bilang. Berhubung kalian orang dari planet lain, aku bakal menaikkan harga."

Si perempuan yang kini sudah tidak menyala lagi menggerakkan matanya dengan memutar kemudian berkata, "Mata duitan."

Sigma membalas, "baiklah. Urusan uang mari kita lanjutkan setelah melihat tempatnya. Dengan begitu, kita bisa bernegosiasi."

Senyum yang pernah ditunjukkan Siren kini muncul dari laki-laki pendek itu. "Pintar juga robot ini. Tidak masalah. Ngomong-ngomong, nama kalian merepotkan orang. Selagi di sini, aku sarankan kalian punya nama yang lebih mudah diucap."

"Nama, kah ...," kataku sembari memikirkannya. Hmm, apa, ya?

"Gimana kalau," laki-laki yang tingginya rata-rata menunjuk padaku, "dia 'Uta', dan Robotnya 'Maza'? itu huruf yang sesuai sama nama angka mereka."

Putri ras Api menoleh pada kami berdua. "Uta dan Maza, ya? Kalian keberatan dengan nama itu?"

"Uta." Mulutku terasa ringan mengucapkannya dan aku langsung menyukai sebutan itu. "Baiklah. Teman-teman, mulai sekarang namaku adalah Uta," senyumku.

"Maza juga bukan panggilan yang buruk," lanjut Sigma, ikut mengulas senyum.

"Aku tidak mau dipanggil Tuan Putri terus, jadi panggil aku Amara, ya?" ujar putri ras Api.

Aku mengangguk mantap. " Amara."

"Aku Radit," ucap laki-laki yang tadi memberikan kami nama.

Aku mengangguk lagi. "Radit."'

Perempuan yang tubuhnya menyala berkata dengan nada yang tidak terkesan senang, "Athyana."

"Aku Saga," ujar laki-laki tinggi kedua.

"Aku Rav dan ini Han," kata laki-laki paling tinggi yang diangguki perempuan bersurai putih di sebelahnya.

Laki-laki pendek bersuara, "aku Lofi. Aku, Rav dan Amara lebih tua dari kalian, sementara Radit, Athyana, Saga dan Han masih enam belas tahun. Sekedar untuk informasi."

"Lofi, jangan paksa dia buat panggil kamu 'abang'," ujar Athyana.

"Apa, sih?" lontar Lofi, anehnya ditanggapi dengan tawa dari perempuan itu.

"Amara, Radit, Athyana, Saga, Rav, Han dan Lofi. Salam kenal," kataku selagi kembali menyatukan telapak tangan di bawah dagu.

 Kini mereka tampak ramah dengan raut yang tidak tegang seperti tadi. Baguslah, aku pikir mereka tidak terima tentang kedatanganku dan Maza untuk prakerin di planet di sini. Kalau iya, aku mesti pindah wilayah dan itu membuatku keberatan. Aku sudah tertarik dengan tempat ini sejak sampai tadi.

"Uta sudah makan?" tanya Amara.

Aku menggeleng dan mulai was-was. Ini dia momen yang sulit untuk kubayangkan. Menyantap makanan planet lain.

"Kalau begitu, kita makan bareng-bareng di sini. Aku yang traktir. Fi, anterin aku ke toko-tokonya, yuk."

Lofi tersenyum lebar sambil menaruh tangan di dada kanan. "Dengan senang hati, Yang Mulia."

"Hentikan, ih."

Saga, Rav dan Han sedang mengusulkan makanan apa yang akan dibeli oleh Amara dan Lofi, sementara Athyana menatap kami dengan mata menyelidik.

Aku pun bertanya, "kenapa, Athyana?"

Dia tercenung sejenak, lalu maniknya bergeser ke arah lain sambil bilang, "enggak."

Sigma menimpali, "kami tidak akan berbuat jahat di sini, jadi tidak perlu merasa waspada."

Perempuan itu langsung bangun dari duduk, lalu berkata dengan penuh penekanan. "Mana mungkin."

Athyana pun pergi ke ruangan terpisah.

Radit yang melihat sikap Athyana tertawa pada kami. "Maaf, ya. Sebenarnya ... kami sedang mengalami masa-masa sulit, jadi kedatangan kalian cukup ... menyulitkan."

"Masa-masa sulit? Apa sesuatu yang buruk sedang terjadi di planet ini?" tanyaku.

"Lebih tepatnya, sesuatu yang buruk sudah terjadi pada banyak orang, tapi berdampak cukup besar pada Kakakku." Radit menatap pintu ruangan tempat Athyana sekarang. "Sebelum datang, kalian sudah tau sesuatu, kan, tentang tempat ini?" tanyanya.

Aku mengangguk. "'Planet ini dihuni oleh manusia berkemampuan', itu yang jadi poin utamanya." Siren yang bilang aku mesti mengingat poin ini. "Lalu, penguasa planet ini adalah ras Api, Iredale."

Dia tersenyum. "Kalau begitu, kamu sudah memantapkan diri untuk melihat hal-hal gila."

Hal-hal gila?

Sigma menatapku. "Maksudnya, akan ada banyak 'hal di luar nalar' dan 'sulit dicerna akal sehat' di sini. Intinya, sesuatu yang luar biasa."

Aku mengangguk paham. "Oooh."

Saga mendadak berkata, "kayak begini, nih, contohnya!"

Kemudian, sesuatu berwarna hijau menjalar ke seluruh tubuh Saga, menggulungnya dari kepala sampai kaki, lalu sesuatu berwarna merah pekat mencuat, membesar dan terbuka.

Aku jatuh dari kursi, menyeret tubuh tuk menjauh dari apa yang terjadi pada Saga. Aku tidak tau kenapa, tapi tubuhku bergerak sendiri sebelum aku sempat memikirkan apa yang terjadi.

"Hiiihihihi—"

Radit menepuk belakang kepala Saga, membuat laki-laki itu mengaduh. "Ngaco."

"Saga! Kamu bikin dia takut!" tegas Rav.

Takut ....

Takut itu ... rasanya begini?

Sigma langsung menghampiri, meraih lengan kiriku. "Tidak apa-apa. Tidak perlu takut. Itu tidak membahayakanmu."

Aku menatap Saga yang kini sudah terlihat setengah wajahnya. "Eeeh, dia takut? Padahal ini bunga mawar, loh ...." ucapnya.

"K-kamu gak apa-apa?" pekikku, lalu terdiam bingung.

Astaga, aku bisa mengeluarkan suara seperti ini?

Benda hijau panjang yang melilitnya kini membebaskan kepalanya. "Iyalah, kan, aku yang mengendalikan tanaman ini."

"Tanaman ...." Benar juga. Itu berwarna hijau dan bentuknya mirip sama gambar yang pernah Sigma tunjukkan.

"Jangan bilang kalau di tempatmu enggak ada tanaman," timpal Radit yang langsung kuangguki.

Mereka berempat terkejut karena itu. "sama sekali gak ada?" lantang Saga. "Satu pun?"

Sigma membantuku bangun dari duduk. "Tanah di tempat kami sudah lama mati dan tidak memungkinkan untuk dijadikan media tanam," tuturnya.

"Kasihan ...," ujar Han.

Kasihan? Apa itu sejenis tanaman?

"Itulah mengapa Uta dan anak-anak lain dikirim untuk Prakerin ke planet lain. Jika ada sesuatu di planet ini yang bisa kami aplikasikan dan membuat planet kami menjadi habitat yang lebih baik, kami akan sangat terbantu dan berterima kasih karenanya," lanjut Sigma.

Mereka berempat terdiam sampai Rav berucap, "kalian juga sedang kesulitan, ya."

Mendengar nada bicara dan kalimat seperti itu membuatku merasa lebih baik. Aneh, ya? Padahal, itu hanya ucapan dengan nada yang pelan dan raut wajah yang serupa dengan ekspresi 'Diam'.

Tanaman yang menyelimuti Saga sudah lenyap. Laki-laki yang lebih tinggi dari Sigma itu memberiku tanaman berwarna merah. "Kalau begitu, mungkin ini bisa membantu planet kalian."

Aku meraihnya dengan kedua tangan secara perlahan dan takjub. Tanaman ini terlihat cantik dan rapuh. "Kenalkan, namanya Mawar," lanjut Saga.

"Mawar," ulangku. Saat meremas tanaman itu, aku merasakan benda tajam di telapak dan langsung melepasnya sampai jatuh ke lantai.

Kutatap telapak tanganku yang terasa perih di beberapa bagian meski tidak berdarah. "Kenapa?" bingungku.

Saga meraih bunga itu dan kembali menyodorkannya padaku sembari tertawa kecil. "Meski kelihatan rapuh, dia hebat, loh. Lihat, dia melindungi diri dengan duri."

Aku memperhatikan bagian yang panjang dan tipis di bawah bunganya. Ah, benar. Ada duri-duri yang tidak begitu panjang dan tajam di sana.

Kutatap laki-laki itu. Dia manusia sama sepertiku, tapi dia bisa membuat bunga ini muncul dari tubuhnya dan mengenal bunga itu dengan akrab.

"Hebat ...." lirihku.

Jadi, ini maksud dari poin 'manusia berkemampuan'.

"Uta, detak jantungmu cepat sekali," kata Sigma tiba-tiba.

"Eh?" kataku kaget, langsung memegang sisi wajah yang terasa agak panas. "Kenapa?"

"Sepertinya kamu antusias—"Sigma menatap Saga, "—pada laki-laki ini."

"Eh?" ujar laki-laki itu.

"Kamu benar, Sigma," balasku.

"Eeeh?"

Aku mendekati laki-laki itu, lebih dekat dari sebelumnya, lalu bilang, "apa lagi tumbuhan yang bisa kamu tunjukkan padaku?"

Laki-laki itu melonjak terkejut, bergerak kikuk dan berkata dengan nada yang kikuk pula, "s-semuanya bisa."

Aku terkesiap. "Boleh aku lihat semuanya?"

Radit berdeham, menengahi kami. "Tenang, tenang. Soal kemampuan, bukan cuma ras Daun aja yang kelihatan hebat, loh. Di tempat ini, kamu bakal lihat yang lebih unik lagi."

Sigma pernah bilang itu. Unik, artinya lain dari pada yang lain, khusus, istimewa. "Tapi, karena kamu baru datang, lebih baik kamu istirahat dulu dan kita akan berkeliling besok. Bagaimana?" tawarnya.

Aku mengangguk. "Baiklah."

Saga mengusap tubuh depan bagian dadanya, kemudian Radit menusukkan jarinya ke pinggang laki-laki itu, membuat temannya yang tinggi mengaduh. "Payah. Masa' sama perempuan lain langsung goyah."

"Bukan goyah—"

Pintu rumah terbuka. Amara dan Lofi kembali dengan dua wadah besar yang bentuknya cembung dan yang bentuknya pipih.

"Ayo makan-makan!" ujar Lofi girang.

🍁🍁🍁

Kami keluar dari rumah Athyana dan melangkah ke tempat kami menginap, yaitu rumah Lofi.

Aku berhenti sejenak tuk menatap sekeliling yang tidak sempat kulihat ketika datang tadi. Kalau tidak salah, ini yang Sigma bilang sebagai 'pohon'. Masih berada dalam kelompok 'tumbuhan', tapi ukurannya lebih dominan. Warna hijau dan cokelat yang jarang kutemui langsung membuat seluruh kulitku tergelitik untuk menyentuhnya dan merasakan pohon secara langsung.

"Hoi, cepat," ujar Lofi yang sedang jalan di atas potongan kayu tipis yang berjejer lurus membentuk jalan tanpa ada penopang di bawahnya.

Kelihatannya mirip dengan jalan gantung di planetku, meski yang ini terlihat berayun-ayun. Baru mengambil dua langkah ke jalan yang tidak stabil itu, aku langsung merasakan lagi rasa 'Takut' dan segera mundur.

"Jalanan ini aman tidak?" tanyaku.

Sigma yang ikut meneliti jalanan gantung berkata. "Secara keseluruhan, masing-masing kayu merekat satu sama lain dengan paku atau ikatan tali dan tanaman rambat—"

"Aman!" Lofi melompat-lompat di tempat, membuktikan ucapannya. Membuat jalanan gantung bergolek liar. "Selama berat tubuh kalian tidak lebih dari seratus tiga puluh kilo, kalian bisa menyeberangi jembatan ini."

Oooh, namanya 'Jembatan'.

Aku mengambil langkah lagi dengan perlahan. Untungnya tidak terjadi apa-apa. Aku mengambil langkah selanjutnya, kemudian melangkah biasa begitu sampai di pertengahan.

"Baik makanannya sampai tempatnya sangat berbeda dan menarik untuk dipahami," gumamku, mengingat sayuran yang digoreng dengan tepung bernama 'bakwan' dan kacang kedelai yang diolah serupa bernama 'tempe kriuk'.

Sudah begitu, kita mesti mengunyah, loh. Me-ngu-nyah!

Ini kali pertama aku memakai gigi untuk makan dan rasanya mengejutkan. Malah, saat mengunyah ada suara aneh yang keluar dari mulut. Kres-kres-kres, grauk-grauk-grauk!

Mungkin beginilah cara Siren makan di planet yang bahan makanannya hanya daging.

"Meski kamu senang, aku tidak menyarankan dirimu memakan makanan barusan dalam jumlah banyak dan sering. Besok, mari kita lihat olahan lain yang lebih sehat sembari berkeliling," kata Sigma.

"Kenapa? Rasanya enak, loh. Walaupun sekarang aku merasa tidak nyaman dengan tenggorokanku," kataku.

"Itulah kenapa. Pokoknya, sebelum terbiasa makan makanan yang punya kandungan minyak berlebih seperti tadi, lebih baik makan makanan lain yang dikukus atau memiliki kuah."

Aku mengerjap. "Kuah?"

Aku menabrak punggung laki-laki bertubuh pendek itu. Entah kenapa dia berhenti.

"Ini rumahku," katanya, tidak menengok pada kami.

Aku mendapati rumah kayu yang sama dengan yang kami masuki sebelumnya. Hanya saja, rumah ini memanjang dan melebar di belakang. Lofi mengetuk pintu rumahnya sendiri, lalu bilang, 'baut karatan'. Sedetik kemudian, suara 'klik' terdengar dan pintu kayu terbuka ke dalam.

"Kenapa hanya rumah ini yang punya sistem sandi suara?" tanya Maza.

Laki-laki di depan kami melangkah masuk. "Soalnya rumah ini dibangun oleh Iredale, sebagai ganti karena mereka menghancurkan rumahku."

"Kenapa mereka menghancurkan rumahmu?"

"Tak usah tau. Masuklah."

Aku masuk ke dalam dan anehnya aku merasa seperti berada di planetku, padahal tidak. Tembok putih kesan besi, mesin-mesin rumah—rak penyimpanan, meja, bangku—yang meskipun terlihat jadul terkesan familier, membuatku lebih rileks. Walaupun begitu, tetap ada batang pohon besar di tengah ruangan yang dibiarkan polos tanpa dipasang atau ditutupi apa-apa, menjadi bagian yang paling ganjil di rumah ini. Di samping kanan-kirinya ada dua pintu ganda dari besi putih.

"Hei, jangan pindai rumahku!" tegur Lofi begitu Maza kembali mendeteksi ruangan depan sebelum ikut masuk ke pintu sebelah kanan.

Aku melangkah mendekati batang pohon dan menyentuhnya. "Aku boleh menyentuh ini?" tanyaku, meminta izin ke Lofi.

"Sudah kamu pegang, tuh."

Aku meraba permukaan pohon yang keras, kering dan bertekstur tidak rata. Beberapa serpihan kecil kulitnya ada yang jatuh ketika tanganku mengusapnya. Sontak aku menahan napas dan menahan gerakan.

Aku berpikir kalau aku meneruskan kegiatanku, sesuatu yang buruk akan terjadi.

"Tenang, Uta. Kamu tidak menyakitinya," ujar Maza.

Kutarik tangan dan bergegas kembali ke sisi robot partnerku. "Tapi, kulitnya menjadi pecahan kecil ...."

Lofi menyela ucapan Maza. "Itu wajar terjadi pada tumbuhan dan pohon. Besok, jangan trauma kalau melihat dedaunan yang gugur, ya? Itu juga wajar."

Wajar, kah? Kuusap bagian tengah tubuhku yang berdetum-detum lebih kencang dari biasanya dan kebingungan sendiri pada gerakan barusan.

Kenapa tanganku mendadak bergerak seperti ini?

Maza menatap lurus ke Lofi. "Kalau aku tidak diperbolehkan memindai, maka kamu harus memberitahu kami benda-benda berbahaya apa saja yang ada di rumah ini."

Lofi menggaruk kepala, terlihat marah, tapi dia tidak juga tampak demikian. Hmm, 'Jengkel'? 'Terusik'?

"Ada banyak. Aku agen cadangan pasukan putih Iredale, maka tidak heran kalau aku punya beberapa senjata di sini. Jadi, jangan macam-macam atau kugunakan salah satunya ke kalian."

"Bagaimana dengan bahan berbahaya?" tanya Maza lagi.

"Sesekali aku juga mengumpulkan sampel racun—tersimpan di tempat yang hanya boleh aku yang tau. Sisanya, produk mandi dan mencuci pakaian dari bahan alami. Bahan alami itu aman selama kamu tidak gila dan mencoba memakannya."

"Aku akan mengingatnya. Terima kasih."

Lofi menuntun kami masuk ke pintu ganda sebelah kanan. Pintu itu bergeser terbuka, menunjukkan lorong putih melengkung yang terang oleh lampu. Setelahnya, kami menemui pintu dan ruangan serba kayu lagi. Luas ruangannya lebih dari kamar asrama. Ada berbagai perabotan yang tidak kukenal.

Mataku melirik ke jendela bentuk lingkaran yang dipasang cukup tinggi di tembok sebelah kiri. Sinar matahari yang ditutupi dedaunan masuk ke ruangan dari sana, memberikan penerangan alami. Ada jendela lain yang mudah di jangkau, di tembok depan, menghadap meja kayu yang merapat ke sana. Sepertinya aku bisa menjangkau dedaunan pohon kalau aku membuka jendela dan mengulurkan tangan ke luar.

 "Itu yang merapat di tembok sebelah kanan untuk apa?" tanyaku, menunjuk benda dua tingkat itu.

"Itu kasur. Tempat untuk tidur—tunggu, memang kamu tidak tidur?"

Aku membalas. "Tentu tidur. Tempatku tidur tidak seterbuka dan seluas itu."

Laki-laki itu mengerjap. Maza memberikan penjelasan lebih lanjut. "Di planet kami, tempat tidur manusia berbentuk seperti akuarium kaca dan tertanam di tembok."

"Aku jadi ingin pergi ke planetmu," gumam Lofi, kemudian dia mengalihkan topik. "Kamu tidak mengerti, tapi Maza tau, kan? Perabotan-perabotan ini."

"Kalau kamu mengizinkanku untuk memindai mereka semua, aku tentu akan mencari tau," balas Maza.

Helaan napas terdengar dari Lofi. "Ya sudah, sana. Lihat dan pindai semua. Setelah itu, kita bicarakan soal biaya per malam."

Maza menoleh padaku. "Kalau ekspresi yang saat ini Lofi tunjukkan disebut 'kesal' atau 'jengkel', Uta. Umumnya, mereka akan menghempas napas atau alis mereka menekuk ke bawah sebelum mengeluarkan ucapan. Namun, masing-masing orang memiliki versi 'kesal' yang berbeda. Ingat itu."

"Baiklah," anggukku.

"Jadi kamu sengaja membuat aku kesal agar ditunjukkan ke Uta?" tekan Lofi.


Continue Reading

You'll Also Like

825 134 6
[cerpen ringan] Aku jarang buat cover sesuai dengan isi cerita, cover cerita ini juga termasuk. Isinya cerpen doang. Jumat, 21 Februari 2020
88.5K 5.2K 83
โ€ข [Completed] Lanjut Season 2 โ€ข Anime : ๐Ÿ’•โ€ขKimetsu No Yaiba ๐Ÿ’•โ€ขKuroko No Basket ๐Ÿ’•โ€ขAttack On Titan ๐Ÿ’•โ€ขHaikyuu!! ๐Ÿ’•โ€ขBoku no hero academia ๐Ÿ’•โ€ขAnsatsu...
357K 926 8
konten dewasa ๐Ÿ”ž๐Ÿ”ž๐Ÿ”ž
94.4K 18.2K 52
๐ŸTeen Lit - Fantasy - Minor Romance๐Ÿ [ Pemenang Wattys 2021 - Fantasy ] Sebagai anak terlantar, aku cukup optimis. Aku tidak tau kenapa, tapi aku s...