BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tama...

De wienena

9.2K 585 40

Awalnya aku membencinya. Lelaki itu bagaikan Benalu di kehidupan kami. Tanpa kusangka sebuah rahasia terkuak... Mais

chapter 1
chapter 2
bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Bab 40
Bab 41
Bab 42
Bab 43
Bab 44
Bab 45
Bab 46
Bab 47
Bab 48
Bab 49
Bab 50
Bab 51
Bab 52
Bab 53
Bab 54
Bab 55
Bab 56
Bab 57
bab 58
ekstra part

Bab 35

116 8 3
De wienena

Bimantara Eka Pandji










     Kalau ada yang bertanya tentang perasaanku saat ini, aku akan menjawab tanpa ragu bahwasanya aku sedang super galau plus kesal.

Galau karena El
Kesal pada diriku sendiri.

Sejak peristiwa malam itu, kesempatanku bertemu El rasa-rasanya adalah kemustahilan. Dia seperti sengaja menghindar. Setiap El datang membawa kulakan, aku pasti masih tidur. Dia bahkan merubah jam belanjanya ke pasar. Pernah suatu hari aku bertanya pada Ibu, kapan dia pria ke pasar? Ibu bilang jam dua malam.

Jamnya orang enak-enaknya tidur. Dan dia malah milih buat kerja.

   Bima sendiri juga sudah terang-terangan mempublikasikan hubungan ini. Sehari setelah peristiwa malam itu fotoku sudah mejeng di feed instagramnya, membuat pro dan kontra, mengakibatkan followersnya menjerit tak terima.

Bima memang sefamous itu.

Dan secara tak terduga followersku juga bertambah, tentu saja semua itu imbas dari postingan Bima. Notif yang biasanya jarang sekali mampir ke IG ku sekarang bisa tiap menit muncul.

Pada akhirnya aku memutuskan untuk memprivasi saja akun media sosialku, karena seyogyanya aku yakin mereka mengikutiku bukan karena untuk tahu kegiatanku atau karena mereka menyukaiku, tetapi  disebabkan karena mereka ingin mencari cela dari kekuranganku sehingga bisa punya kesempatan untuk menyerang dan membullyku.

Selama ini aku bukanlah orang yang aktif di media sosial. Bahkan hanya ada dua foto yang kupasang, itupun foto lama saat masih sekolah. Dan  parahnya foto-foto tersebut kini menjadi sasaran bullyan mereka. Mereka bilang aku nggak setara dengan Bima.

"Jangan di ambil hati ya. " kata Bima suatu hari.

Aku tak pernah mengeluh apapun, tapi Bima sepertinya tahu.

"Pahamlah, mereka nggak terima. Lagian aku sudah bilang, hapus saja."

"Enggak mau. Aku bahagia semua orang tahu kalau kamu itu punyaku."

Aku memutar mata malas, percuma berdebat dengannya.

"Bulan depan, di rumah ada arisan, kamu harus ikut ya. Biar kenal keluarga besarku."

"Ogah, ah."

Mata lasernya secepat kilat menatap.

"Kamu nggak ingin kenal dengan keluargaku?"

Bima adalah salah satu orang yang paling sulit di tolak keinginannya. Terkadang aku ingin menegaskan padanya kalau aku masih mengangapnya teman biasa. Aku belum setuju dengan apa yang ia putuskan sebulan lalu.

"Bukan begitu, Bim ...."

"Aku sudah bilang ke mereka kalau kamu setuju datang, Sar."

Rasanya capek sekali sebulan ini menjadi orang lain.

"Jadwal Bapak kamu konsul, lusa kan? Aku libur hari itu."

Moodku tiba-tiba buruk, sejak menganggap aku pacarnya sifat Bima sekarang berubah. Semakin posesif. Dan ketika aku berusaha menolak, pria ini akan mengemukakan alasan yang terkadang tak masuk akal.

Sebenarnya watak kami sama, keras kepala dan dominan tetapi karena capek berdebat terus dan ujung-ujungnya pendapatku tak di pakai, buat apa?

***
"Suaminya kok beda."

Aku memejamkan mata kala Dokter Asyifa menyapa kami.

Ini tidak akan mudah. Bima pasti akan mencecarku sepulang dari sini.

Daripada jadwal konsul hari ini jadi kacau, aku tak menjawab pertanyaan dokter itu. Aku lebih memilih bertanya ini itu tentang perkembangan kesehatan Bapak.

Untungnya Dokter Asyifa tak bertanya lebih, ia kemudian melanjutkan proses konsultasinya.

Bapak sudah banyak perkembangan, sudah bisa fokus dalam menjawab pertanyaan, dia juga bisa merespon saat di ajak bicara. Bisa juga di beri pengertian.

Contohnya hari ini, tatkala ia tahu kalau bukan El yang akan mengantarkannya konsultasi, Bapak langsung paham. Ia hanya memandang El yang saat itu mengantarkan masuk mobil.

***
  "Jadi El dulu mengaku menjadi suami kamu?"

Setelah mengantarkan Bapak pulang, Bima mengajakku keluar. Ini sudah sore, tadinya kukira Bima sudah melupakan hal itu.

"Iya."

"Enggak tahu diri banget dia? Makanya sekarang kamu nggak usah terlalu baik sama dia, biar dia enggak salah paham."

"Dia enggak salah paham." lirihku sambil meraih segelas jus.

Suasana cafe yang tadinya ceria  berubah seketika karena aura pria di hadapanku kini menggelap.

"Jangan bilang kamu nggak keberatan dia ngomong, gitu."

Maunya sih aku mengiyakan, tapi aku berpikir ini tempat umum, apapun bisa terjadi kalau aku nekat melakukannya.

"Kok diam?"

Ish, menyebalkan!

Haruskah aku jawab terang-terangan kalau aku keberatan dengan sikap dia yang sekarang? Aku suka Bima yang dulu. Tapi sebelum mulutku mengeluarkan suara, mataku melihat seseorang tak asing di sebrang sana.

"Mau kemana?" tanya Bima kala aku bangkit meninggalkannya.

"Itu Fibri bukan?" tanyaku balik sembari mengangkat dagu ke arah wanita yang sedang asyik ngobrol di sebrang sana.

Bima menoleh ke arah yang ku maksud. Pria itu memicingkan mata sembari memiringkan kepala.

"Fibri teman kamu?"

Aku mengangguk semangat, "Yang naksir kamu dulu."

Raut wajah Bima menyuram.

"Oh, dia," ujar Bima datar. Pria itu meneguk minumannya kemudian mengemasi barangnya.

"Pulang sekarang."

Aku yang masih penasaran apakah wanita di sebrang sana benar-benar Fibri atau bukan di buat gelagapan.

"Kok pulang?"

"Ayo."

Bima menyeret tanganku dengan langkah tergesa, membuatku kalang kabut karena barangku masih tercecer di meja.

***
   Arisan keluarganya Bima bisa di bilang berkumpulnya kaum sosialita. Jangan lupa, keluarganya adalah orang yang punya kedudukan di sini. Bapaknya Bima adalah lurah.

Bima memperkenalkanku kepada keluarganya. Bima adalah anak pertama dengan dua adik perempuan yang masih kuliah dan SMP.

Walaupun kami masih satu kelurahan, rumah Bima jaraknya cukup jauh dariku. Apalagi sedari dulu bisa di bilang aku bukan cewek yang suka kumpul-kumpul. Jadi silsilah keluarga besar pria ini, sama sekali aku tidak tahu.

"Kuliah di mana, Mbak?" sapa wanita berusia paruh baya yang tadi memperkenalkan dirinya sebagai Budhenya Bima.

"Nggak kuliah." jawabku dengan mencoba tetap tersenyum di pandang belasan mata.

"Ini anaknya Yuk Ridah itu lho, Mbakyu. Yang dulu jualan kopi." sahut wanita yang busananya sangat mencolok diantara yang lain.

"Oh, yang Bapaknya pernah masuk acaranya Sinau Hidup." tegas wanita penanya pertama, menyebutkan salah satu chanel youtube yang pernah menemukan Bapak waktu terlantar di pulau seberang.

Selanjutnya tatapan iba dan kasihan menghujaniku. Mereka saling berbisik. Aku tahu sekarang nama baik keluargaku tengah di sorot. Tapi aku lebih memilih diam saja. Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah mencoba tersenyum dengan membalas tatapan mereka satu persatu, aku ingin mereka tahu aku tak butuh di kasihani.

Bima menepuk pundakku dari belakang. Pria ini nampak begitu ceria, senyumnya sumringah, dia kemudian duduk bersila di sebelahku.

"Sudah kenalannya?" bisiknya. Aku mengangguk dengan memasang senyum palsu. Menggigit bibirku demu menahan kesal.

"Pacarku cantik kan, tante?"

Pria ini tak mengerti, walaupun di hadapan kami sekarang semua tantenya mengangguk setuju, di belakang kami mereka menertawaiku.

"Cantik tapi harusnya kuliah ya, Mas."
jawab wanita yang sedari tadi diam tetapi selalu menyimak dan memperhatikanku dari jauh.

"Tenang tante, nanti kalau sudah sah jadi istriku, dia akan kuliah. Iya, kan Beb?" Bima menggenggam tanganku seakan meyakinkan kalau semua baik-baik saja.

"Mbak Sari, bisa bantu sebentar?"

Aku mendesah lega ketika dari arah belakang Ibundanya Bima memanggilku. Setidaknya aku bisa terbebas dari tatapan-tatapan itu.

   Ini bukan pertama kalinya Bima mempertemukan aku dan ibunya. Beberapa hari yang lalu Bima secara mendadak mengajakku kerumahnya dengan alasan mengambil tas. Aku tidak tahu kalau itu hanya rencananya saja.

"Iya, Bu." jawabku setelah dihadapan wanita cantik itu.

"Sudah makan? Ayo temani Ibu makan."

Ibu memberiku sepiring nasi lengkap dengan lauk satenya. Wanita ini sepertinya tahu kalau saudara-saudaranya membuatku tak nyaman.

Kami makan berdua di ruang belakang dengan saling diam. Aku yang tak bisa bersikap basa basi dan manis ini kebingungan untuk membuka topik pembicaraan.

"Sebelumnya Ibu minta maaf. Ibu boleh tanya-tanya sebentar sama Mbak Sari?"

Wanita cantik yang kini memakai kaftan warna navy itu bertanya setelah kami selesai makan.

Aku mengangguk.

"Sudah berapa lama kenal dengan Bima? Maksud Ibu, dekat."

Aku mulai paham arah pembicaraan ini. Ini adalah sesi wawancara calon mertua dengan perempuan yang di bawa anak lelakinya pulang.

"Setahunan, Bu."

"Oh, lumayan lama ya?" Ibunda Bima manggut-manggut.

Bibirku terangkat, tak yakin untuk menjawab lebih.

"Sekarang sibuk apa? kerja?"

Aku menggigit bibir, haruskah aku berbohong?

"Saat ini cuma bantu Ibu di toko."

Pada akhirnya aku memutuskan untuk jujur saja.

Ibunda Bima terlihat sedikit tersentak, tapi beberapa detik kemudian perempuan itu tersenyum tipis.

"Mas Bima itu memang selalu baik sama semua orang. Dulu pernah juga bawa pacarnya ke rumah, Ibu sudah cocok. Tapi ya, yang namanya anak muda, ada masalah sedikit saja terus renggang,"

Entahlah, maksud dari ucapan wanita cantik di depanku ini apa. Aku hanya tersenyum simpul sambil berharap Bima segera datang menyelamatkanku.

Kukira lolos dari para tante dan Budhe Bima di depan, aku akan menemukan kenyamanan di belakang rumah. Tapi nyatanya, ucapan wanita yang melahirkan pria yang mengklaim diriku miliknya ini lebih lebih memuakkan.

"Maaf, Ibu bikin kamu nggak nyaman." sambungnya dengan wajah penuh penyesalan.

Tapi aku tahu itu cuma pura-pura.

"Saya ke cari Bima dulu."

Sebaiknya masalah ini harus ku bicarakan dengan pria itu. Semakin cepat semakin baik.

"Sebentar...., "

Wanita paruh baya ini mencegahku keluar, dengan terus memasang wajah penuh senyum.

"Saya tidak keberatan kalian berteman. Saya tidak pernah melarang anak-anak saya bergaul dengan siapapun. Mungkin selama ini, kamu salah mengartikan kebaikan Bima. Ya, begitulah dia...."

"Maksudnya?"

Persetan dengan adab. Persetan dengan kesopanan, aku bersuara cukup keras di hadapan wanita ini.

"Saya sebenarnya menyukai kamu, beneran. Tapi, kamu tahu sendiri, Bima adalah anak lelaki satu-satunya keluarga ini, dia adalah panutan adik-adiknya, "

Kenapa ibunda Bima ini senang sekali berputar-putar kalau bicara?

"Apalagi Bapaknya sekarang adalah kepala desa, seandainya dia menikah dengan kamu, dengan asal usul kamu seperti itu, menurut kamu, yang terjadi selanjutnya bagaimana?"

Oke. Aku mulai paham sekarang. Kesimpulannya adalah aku tidak level dengan Bima, karena asal-usulku juga karena keadaan bapakku.

"Saya ngerti." jawabku sambil menatap netranya penuh percaya diri.

Membuat bibir wanita ini tersenyum sumringah. Terlihat jelas dia lega karena aku menanggapi ucapannya tanpa drama.

"Maafkan saya, ya, Mbak."

Bertepatan itu kulihat Bima berjalan ke arahku. Aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.

"Anda tenang saja, saya tidak akan lupa dengan asal usul saya yang tak mungkin bisa sejajar dengan keluarga ini. Kita hanya teman kok, Bu. Ya, kan, Bim?

Mata Bima tampak kebingungan, dia mengejarku ketika dengan langkah cepat berusaha keluar dari rumah ini.

Tanpa menghiraukan lagi tatapan puluhan manusia berderajat tinggi itu!

Tbc.

Biar aku semangat, bisa dong klik bintangnya.

Makasih.

Continue lendo

Você também vai gostar

2.9M 304K 50
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
1.1M 49K 37
Mereka teman baik, tapi suatu kejadian menimpa keduanya membuat Raka harus menikahi Anya mau tidak mau, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas apa ya...
1.1M 112K 27
Karmina Adhikari, pegawai korporat yang tengah asyik membaca komik kesukaannya, harus mengalami kejadian tragis karena handphonenya dijambret dan ia...
17M 765K 44
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...