KOSAN CERIA

By PaiBian

170K 16.9K 3K

Asti tidak menyangka Kosan Ceria yang kadang membosankan di setiap harinya karena hanya diisi oleh si Hana, s... More

1 - Kos Ceria
2 - Penghuni Baru
3 - Peluk Cium Peluk Cium
4 - Malam Pertama
5 - Keseruan Malam Pertama
6 - Telanjang Dada
7 - Link Haram
8 - Bewok Banyak Bulunya
9 - Gigit Bibir
10 - Tegang
12 - Adam Sialan
13 - Keluar di Toilet
14 - Mesum
15 - Sesama Perempuan
16 - Burung Keras dan Nasib Menyedihkan
17 - Kado Misterius untuk Bang Adam
18 - Bu Kos Balik!
19 - Menusuk Sampai Jantung
20 - Bubur Penghibur
21 - Hot Sexy
22 - Tetangga Baru
23 - Es Dung-Dung yang Bikin Bingung
24 - Perhatian Prihatin
25 - Kaos Kutang Bikin Melayang
26 - Kepulangan Si Hana
27 - GUE CAPEK!
28 - BEKAS MASA LALU
29 - MASALAH SI HANA, MASALAH WARGA KOSAN JUGA
30 - Dibuat Lemas Akbar
31 - Rian Asti Emosi
32 - PASAR SIAL
33 - AKBAR BAIK TAPI KENAPA?
34 - AKBAR RIAN BIKIN PENASARAN
35 - OM DIYAT DAN PERDEBATAN YANG TIADA USAINYA
36 - AKU CEMBURU
37 - TIAP MASALAH PUNYA JALAN KELUAR
38 - Aku Pacarnya Akbar
39 - DIBANGGAKAN
40 - DIA KABUR!
41 - Bu Kos & Ustaz Jamili
42 - Salah Semua
43 - Rian dan Perhatian
44 - Ide Liar dan Membahayakan
45 - Perjanjian Permainan
46 - Gibah
47 - Permainan Itu Ada Lagi
48 - Pengakuan Si Hana
49 - Bukan Kabar Burung

11 - Simulasi Punya Anak

3.5K 514 65
By PaiBian

• selamat membaca •
__________KS__________


11 – Simulasi Punya Anak

°°°

"Dingin-dingin gini emang enaknya diselimuti kekayaan, tapi apa daya malah diselimuti beban pikiran," keluhku seusai menata gelas yang telah dicuci ke rak warung kopi.

Si Rian sedang ke dalam sebentar mengambil bungkus bubuk kopi yang baru karena habis di pelanggan barusan. Om Diyat sedang mencoba headset yang baru dibelinya dari bepergian kemarin, katanya sih harganya mahal karena tidak memiliki kabel. Entahlah aku tidak tahu hal seperti itu karena headsetku yang mati sebelah saja masih kupakai sampai sekarang.

"Mikir sendiri, ngeluh sendiri. Ada dua laki malah enggak peduli," lanjutku duduk dengan meremas lap.

"Kenapa lagi, Sti. Belum juga siang udah ngeluh-ngeluh aja," sahut Om Diyat. Sekarang headset yang tidak ada kabelnya itu dimasukkan kembali ke dalam tempatnya yang berwarna putih.

"Asti lagi pusing, Om. Tapi kalau dikasih 10juta hari ini sih kayaknya bakal rada mendingan."

"Yeu, gaji lu empat bulan itu mah," sahut di Rian yang datang dari dapur dengan bungkus bubuk kopi baru. Aromanya menguar nikmat begitu dibuka dan dimasukkan ke tempatnya. "Lagian lu setiap hari juga pusing, Sti. Segalanya lu pikirin, gak pusing begimana."

"Kali ini tuh lebih pusing tahu, Yan." Mumpung sedang tidak ada pelanggan, menggosip kayaknya asyik. "Tahu kan si bewok anaknya Bu Kos sekarang udah balik lagi ke sini?"

"Si Adam?" Pertanyaan Om Diyat mendapatkan anggukan. "Saya lihat pas kemarin subuh anterin Bu Kos. Kata saya mah enggak cocok dia brewokan gitu, terlalu lebat, kayak orang India. Masih bagusan brewok saya yang tipis menggoda gini, ya, kan?"

"Ah si Om malah jadi gosip. Ini Asti lhoo yang pusing karena ada dia."

"Eh saya enggak gosip, cuma berpendapat aja," dalihnya. "Ya udah kenapa makanya cerita jangan setengah-setengah!"

Si Rian kini duduk ikut menyimak.

"Asti pusing banget semenjak kedatangan dia semua kegiatan kosan dia kontrol. Mending ngontrol juga kalau dianya baik, dianya aja punya sifat prajurit firaun."

Tidak ada yang menyanggah karena aku memang sempat bercerita kekejaman dia tahun lalu, jadi Om Diyat dan si Rian pasti ada di pihakku dan setuju kalau si bewok itu memang berkepribadian buruk. Ya meski mereka juga tidak percaya pada awalnya karena sangat ramah kalau mampir ke sini dan sering ngobrol seru dengan Om Diyat.

Si Bewok memang begitu, pada laki-laki malah jauh lebih dermawan.

"Terus dia tahu belum kalau burungnya ilang?"

"Mana Asti tahu kan burungnya selalu dia bawa, belum pernah ngecek juga ilang atau enggak!"

"Burung peliharaan, bukan burung dalam kolornya dia, Asti!! Kamu kadang-kadang membangunkan ... kekesalan dalam diri saya."

Mana kutahu kalau burung yang dimaksud adalah burung peliharaan yang beberapa waktu lalu keluar dari sarangnya. Habisnya pembahasan burung dan laki-laki memang selalu berdekatan dan cenderung ke arah sana, kan? Bukan salahku dong.

"Ya maaf. Burung Bu Kos yang dibeliinn Bang Adam itu lepas nggak tahu ke mana, pengin bebas kali."

"Bukannya lu bilang dilepasin sama lu dan anak-anak kos lu itu?" tanya si Rian yang tidak berisik tapi sekalinya bertanya malah menjengkelkan.

"Lo percaya omongan gue waktu itu? Parah. Burungnya ilang sendiri, sama si Kurma kali dibukain pintunya. Sesama hewan juga bisa kerja sama kan di film-film kartun? Bisa jadi mereka juga kayak gitu."

"Cuma anak-anak kosan aneh itu doang yang ngasih nama kucing putih pake nama Kurma, bener-bener tanda-tanda akhir bulan," ungkap Om Diyat geleng-geleng kepala.

"Itu namanya filosofis," jawabku ketus.

Niat curhat supaya beban pikiran di kepala sedikit berkurang beratnya, malah membuat bebannya bertambah karena dua orang laki-laki ini. Bisa tidak sih kalau setiap rekannya curhat itu cukup degerin dan sahut seperlunya saja enggak usah adu nasib dan menambah-nambahi cerita yang membuat fokusnya jadi ke mana-mana.

Mood berceritaku sudah hilang, si Rian kembali sibuk dengan alat-alat yang memang ranah kerjanya, dan Om Diyat berniat mengeluarkan headset tanpa kabel miliknya yang katanya mahal itu ketika sudah tidak ada lagi obrolan yang menarik. Namun, hal itu buyar ketika seseorang datang dengan anak kecil perempuan ada di pangkuannya.

"Eh Bu Tita, sama cucunya lagi. Ibunya ke mana?" sapa Om Diyat.

Beberapa hari yang lalu Bu Tita memang kedatangan cucunya dari Bandung, tentu saja tidak sendirian karena anak perempuan itu pasti akan berteriak mama sambil menangis kalau ibunya tidak ada di sini, tapi kali ini si Ibu penjual buah itu datang sendiri tanpa ditemani anaknya.

Sedikit info, cucu Bu Tita bukan pertama kali main ke warung kopi ini, sedari dia masih digendong dengan kain dia sudah dibawa mampir ke sini sehingga kami bisa dibilang cukup akrab, buktinya dia tidak menangis saat dititipkan tahun lalu.

"Itu dia, Yat. Gue mau nitip cucu gue, gue mau ke bank."

"Kenapa enggak dibawa aja? Pasti enggak mau diganggu ya jalan-jalannya?"

"Sembarangan! Ada bantuan pemerintah. Gue ke bank mau anterin data-data yang ketinggalan, anak gue udah di sana dari tadi. Tadi niatnya siapa tahu bisa diwakilin, eh ujung-ujungnya gue juga yang kudu ke sana."

"Mau dapet duit nih ye? Jangan lupa belanja di sini ya nanti." Om Diyat tak henti-hentinya menggoda sampai Bu Tita baru menurunkan cucunya. "Sini Lisa, sama Om."

Anak kecil itu menggeleng, lalu menatapku.

Tidak usah terkejut, sedari dulu anak perempuan itu memang sukanya kepadaku. Sudah kubilang kami cukup akrab, apalagi sebagai sesama perempuan yang cantik di negeriku Indonesia kami tidak boleh mau-mau saja dengan perkataan om-om seperti Om Diyat.

"Takut tuh, Om. Panggil nama aja salah. Bukan Lisa, tapi Lia," sergahku seraya berjalan keluar dari meja pelayanan untuk menemui anak kecil itu. "Halo cantik!!"

Bu Tita mengerutkan keningnya. "Maen ganti-ganti aja, gue sebagai neneknya tersinggung nih. Nama dia kan Iis Dahlia, bukan Lisa, atau Lia."

"Mirip, Bu. Lagian kalau manggil Iis Dahlia takutnya dia nyanyi marhaban tiba marhaban tiba. Mending ada panggilannya, Lisa bagus," kekeuh Om Diyat dengan menggerakkan kedua alis pada anak perempuan yang kini memelukku.

"Lia aja kalau gitu, Lisa kayak nama telor kutu," sahut Bu Tita. Lalu tidak lama kemudian dia jongkok supaya tingginya sama dengan sang cucu. "Kamu main di sini dulu sama teteh Asti ya. Nenek ada urusan dulu, bakal berisik sama banyak anjing. Jadi tunggu ya?"

Si anak perempuan itu mengangguk mengerti sembari tetap berada dalam pangkuanku, rambut ikalnya yang diikat dua membuatnya semakin menggemaskan. Pantas saja Om Diyat terus menerus menggodanya dengan memasang banyak ekspresi wajah.

"Jangan digalakin dong, Yat!" sentak Bu Tita yang masih ada di sana.

"Becanda doang, Bu."

"Gue titip ya, Sti. Jagain dari si Diyat. Takutnya cucu gue mimpi buruk. Nanti gue telepon lu ya." Setelah diberi delikan Om Diyat langsung berkata-kata yang tidak memiliki suara, lalu Bu Tita pergi meninggalkan warung kopi menuju rumahnya yang tepat berada di seberang.

"Ayo, Lia," ajakku pada si anak perempuan yang bernama Iis Dahlia. Tetapi dia memasang ekspresi takut dengan mata yang sesekali melihat ke arah Om Diyat. "Kenapa? Takut sama Om itu?"

Dia mengangguk.

"Saya baik lho, Lia. Kamu mau apa? Es krim? Sok ambil ada tuh di kulkas kalau mau. Tapi kalau kamu mau saya, jangan, kamu masih terlalu kecil," jelas Om Diyat dengan percaya dirinya mengatakan hal itu pada anak perempuan yang masuk SD saja baru mau. "Kok diam aja, Lia?"

"Lia mau es krim?" tanyaku, tetapi dia menggeleng. Aneh, biasanya anak kecil selalu mau es krim meski rasanya seperti minuman jeruk yang dibekukan juga biasanya tetap dimakan. "Teteh Asti yang bawain, Om Diyat cuma bercanda. Mau?"

Dia diam.

Kalau terus seperti ini pasti si Iis Dahlia akan bosan terus menangis dan merengek ingin pulang ke nenek atau ibunya. Itulah kenapa aku menyarankan untuk menonton video Youtube di ponselku saja dan dia mengangguk, tapi begitu aku meraba semua saku ada yang aneh rasanya.

"Lihat hp Asti enggak?" tanyaku panik.

"Enggak tuh, dari pagi juga lo enggak pegang hp. Gue kira dijual," sahut si Rian cengengesan.

"Sembarangan!" Aku diam sejenak berusaha berpikir di mana terakhir kali melihatnya. "Perasaan tadi pagi dicabut habis dicas."

"Berarti enggak kamu bawa, Sti!" sahut Om Diyat.

"Duh kalau Bu Tita sama Akbar ngechat gimana?" Ya siapa tahu Akbar rindu ingin bertemu atau dia disiksa oleh si Bewok kan tidak ada yang tahu. Makanya aku khawatir. "Gini deh. Lia, kamu sama Om Diyat sebentar ya? Teteh mau ambil hp."

Dia cemberut. Lalu menangis. Sial.

***

"Teteh, bukain," ucap si Iis Dahlia dengan cadel menyodorkan es krim rasa stroberi.

Pada dasarnya anak kecil memang suka menjilat ludah sendiri. Tadi dia bilang tidak ingin es krim, tapi begitu dia menangis malah es krim yang menjadi penawar berhentinya air mata. Kecil-kecil sudah punya banyak gengsi, padahal hanya cukup memberitahu apa keinginannya dan kalau mau bilang saja mau selagi diperbolehkan.

Selain itu si Iis Dahlia ikut denganku ke Kosan Ceria untuk mengambil ponsel karena kalau di Yang Kusayang dijamin anak ini tidak akan merasa tenang diasuh oleh dua om-om usil. Untungnya lagi Om Diyat memperbolehkan sebab ini urusan penting, yang lebih untung lagi Kosan Ceria tidak begitu jauh dari warung kopi tempatku bekerja.

"Kamu tunggu di sini sebentar, teteh ambil hp dulu," ucapku setelah es krim dibuka dan dia duduk di sofa lantai utama.

Kalau tidak salah ingat ponselku berada di dalam kamar, seingatku malah dibawa ke tempat kerja tapi tidak mungkin jadi tidak ada. Jangan sampai hilang karena kalau harus beli lagi akan sangat merepotkan, tidak mudah merasa nyaman dengan sesuatu yang baru, kecuali Akbar.

Aneh, ponselku ternyata masih tergeletak di nakas kamar. Wah, aku sepertinya benar-benar tumbuh tua karena sudah mudah lupa. Ini semua gara-gara si bewok, kalau saja dia tidak membebani pikiranku pasti tidak akan seperti ini.

Begitu keluar, kulihat si Iis Dahlia tengah mengobrol hingga tertawa bersama seorang laki-laki yang hadirnya membawa banyak makna di Kosan Ceria. Akbar, dia tampak akrab sekali dengan anak kecil sampai si Iis Dahlia yang habis menangis bisa langsung ceria sebegitunya. Sedikit yang aku tahu apa yang mereka bicarakan karena selebihnya menggunakan Bahasa Sunda, mereka nyambung mungkin karena sama-sama dari Bandung kali ya, jadi aku hanya tersenyum-senyum saja kagum melihat Akbar menyukai anak kecil.

"Udah cocok jadi bapak dari anak-anakku," gumamku tak sengaja.

"Asti?" ucap Akbar tersenyum seperti biasanya. "Gue baru tahu ada anak kecil di warung kopi kamu. Namanya lucu, Iis Dahlia."

"Oh dia udah kenalin namanya." Pinter juga ini perempuan kecil milih akrabnya sama siapa, giliran ganteng aja mau. "Dia cucunya Bu Tita penjual buah. Titip katanya buar kita bisa punya bayi juga."

"Hah?"

"Astaga, tidak bermoral banget mulut kamu Asti," ucapku menepuk bibir sendiri. Aku tidak peduli kalau Akbar barusan mendengar kalimatnya, aku senang menggodanya. "Bercanda, dia dititipin karena orangtuanya lagi ke bank buat ambil bantuan pemerintah."

"Oh, hmm." Akbar tersenyum pada si anak perempuan yang kupanggil Lia. "Kamu masih mau di sini nggak?"

Mengangguk. "Iya, A. Di sana ada bapak-bapak jahat."

Akbar menoleh ke arahku dengan sebelah alis terangkat meminta penjelasan, kujawab saja kalau bapak-bapak jahat yang dimaksud si Iis Dahlia adalah Om Diyat.

"Asti, ke warung kopinya sebentar lagi aja, ya. Gemes lihat anaknya, bosen di sini enggak ada yang gemes-gemes dari tadi."

Iya pantes, kan yang gemesnya juga pergi kerja. Kugerakkan kedua bahu, lalu duduk di sofa yang berseberangan dengan mereka. "Ya udah, sekalian simulasi masa depan. Gambaran nanti kalau kita udah berumah tangga, lihat anak main sama bapaknya."

Akbar tidak protes, dia malah kegirangan sampai menggelitik si Iis Dahlia. Anak perempuan kecil itu meminta ampun karena tidak kuasa menahan geli di perutnya, mereka berdua tertawa sampai mengeluarkan air mata.

"Mah tolongin!!" pekik Akbar padaku saat si Iis Dahlia berhasil menumbangkan Akbar di sofa.

Jelek banget mulut Akbar bikin anak orang baper sembarangan. Aku hanya menganga tak percaya dia benar-benar menganggap becandaanku, tapi rasanya masuk sekali ke dalam hati sampai tidak mau momen ini berhenti.

"Hah?" ucap mulut bodohku.

"Katanya simulasi," jawab Akbar tersenyum manis sekali.

°°°KS°°°

Author:

Hihi Pai Bian yang rajin ini update kembali. Semangat terus ikutin ceritanya ya!!

Gimana chapter ini? Semoga Akbar dan Lia berjodoh, eh. Semoga Asti berjodoh sama Akbar. Tapi affah iyyah? Mari kita lihat perjalanannya di next chapter!!

Salam, Paduka Pai.

Continue Reading

You'll Also Like

959K 54.9K 53
BELUM DIREVISI. "Suutttt Caa," bisik Caca. "Hem?" jawab Eca. "Sttt Caa," "Apwaa?" Eca yang masih mengunyah, menengok ke samping. "Ini namanya ikan ke...
8.6K 1.1K 20
Tentang Lita dengan masalah kulit jerawatnya yang bikin insecure. Ternyata, dari dikucilkan, dia menjadi sosok penutup. Jerawat yang membandel membua...
417K 25.8K 24
Ola, balita umur 3 th yang hiperaktif, polos, dan menggemaskan. Resmi menjadi beban di kediaman Duke Oxiver dan dinyatakan menjadi 'tawanan' gemoy ya...
KKN Penuh Drama By

Teen Fiction

1.2K 113 21
KKN Penuh Cerita ❌ KKN Penuh Drama ✔️ "Posko KKN kalian yang diributin masalah proker? Idih, nggak seru. Posko gue dong, yang diributin masalah kons...