Unconditionally

By jaemon1406

25.3K 3.5K 775

"Where words fail, music speaks." Jiwa (Rose) bisa mendengar bahasa jiwa/batin dari orang-orang di sekitarnya... More

The Intro
Friend
Obat Penawar Untuk Jiwa
Diri
Tutur Batin
Si Lemah
I like me better
Lagu Untukmu
Jatuh Hati
Peter Pan Was Right
Jealous
Pemeran Utama
Laksana Surgaku
I finally found someone
Yang terbaik bagimu
Satu-satu
Lagu Untuk Riri
Andaikan kau datang
maybe we need a break
When I was your man
Aku, dirimu, dirinya
the man who can't be moved
(Tanpa judul)
Retrospect
I choose to love you
Can't take my eyes off you
Incomplete
Unconditionally
Senyumlah

Try Again

620 89 22
By jaemon1406

No matter how many times we fall apart, due to our frequent arguments
Like I said, we're the ones that matter the most, we're not meaningless
I'm taking a step forward and I'm telling you what the past has shown us

-Try Again, Jaehyun & dear m-

Ruangan dengan dominan warna putih itu tampak sunyi saat Jiwa masih memejamkan matanya. Perlahan kelopak mata Jiwa terbuka dan gadis itu hanya bisa melihat cahaya lampu yang tepat berada di hadapannya. Setelah beberapa kali Jiwa berkedip pandangannya mulai fokus.

Jiwa mencoba mengingat kejadian terakhir yang di alaminya sampai ia terbangun di kamar rumah sakit saat ini. Terakhir dirinya mencoba keluar dari theme park dan seorang pria yang ia kenal menghampiri untuk menahan tubuh Jiwa agar tidak jatuh. Setelah itu Jiwa ambruk dan tidak bisa mengingat apa-apa lagi.

Saat Jiwa masih mencoba mengingat semuanya seorang pria membuka pintu dari luar dan bergegas masuk menghampiri Jiwa.

"Jiwa, you ok?" tanya pria itu.

"I'm okay ka," Jiwa mengangguk dengan suara pelan.

"Kamu mau apa? Makan? Kamu pingsan hampir 3 jam, ayo makan ya mau makan apa? Kata dokter gak ada pantangan kok jadi bisa makan apa aja?" Pertanyaan tanpa henti dari pria itu membuat Jiwa kewalahan menjawab.

"Ka, aku gak lapar, nanti kalau udah lapar pasti aku minta makan. Kakak duduk sini pasti capek ngurusin aku masuk rumah sakit gini," jawab Jiwa yang meminta Dante untuk tidak melakukan apapun. Jiwa bisa mendengar jelas rasa bersalah Dante walaupun pria itu tidak menceritakannya. Dante sangat merasa bersalah karena datang terlambat bertemu Jiwa dan tidak mengangkat panggilan gadis itu.

"Jiwa, maaf ya. Maafin aku, gak seharusnya aku ngebiarin kamu nunggu," ucap Dante penuh rasa bersalah.

Jiwa mengambil tangan Dante yang diletakan di atas kasur tempatnya berbaring.

"Ka, gak usah minta maaf. Ini salah aku bukan salah kamu, udah cukup minta maafnya. Aku yang salah, udah tau sakit masih mau tetep ketemuan sama kakak. Aku kan udah janji mau kasih jawaban ke kakak," jelas Jiwa yang membuat Dante justru merasa bersalah.

"Jiwa, kejadian hari ini merubah jawaban kamu gak?" tanya Dante ragu. Jiwa menggeleng. "Jadi jawaban kamu apa?"

Jiwa dan Dante berbincang dengan jarak duduk yang cukup dekat karena suara Jiwa terdengar sangat pelan di telinga Dante. Pembicaraan mereka sangat serius sampai tidak menyadari sejak semenit yang lalu Raga berdiri di depan pintu yang setengah terbuka menunggu waktu yang tepat untuk bersiap masuk. Saat sudah siap untuk masuk Raga mengurungkan niatnya karena Dante tiba-tiba saja memeluk Jiwa.

"Kok gak masuk?" Liam yang datang menyusul karena harus memarkirkan mobil tampak dengan santai membuka lebar pintu kamar Jiwa dan berdiri di muka pintu. "Oh pantesan gak mau masuk," ucapan Liam tersebut membuat Dante melepaskan pelukannya dari Jiwa.

"Bro," sapa Dante.

"Ka Liam, sendiri?" tanya Jiwa.

"Enggak, tuh di belakang ada yang nemenin juga," Liam menengok ke belakang tapi ternyata Raga tidak ada. "Lah kemana orangnya?" tanya Liam bingung.

"Siapa?" tanya Jiwa. Tidak lama kemudian Raga muncul dari balik pintu.

"Kebetulan ada Raga, Liam temenin gue ke receptionist yuk mau daftarin Jiwa check lab," ucap Dante sambil berjalan ke arah Liam.

Tanpa banyak berbantah Liam berjalan dari belakang mengikuti Dante menuju ke receptionist untuk mendaftarkan Jiwa untuk pemeriksaan laboratorium. Sebenarnya Jiwa tidak mau tapi Dante memaksa saat melihat bagaimana kondisi Jiwa. Sampai sekarang Dante belum tau mengenai Jiwa yang bisa mendengar suara batin orang lain.

Kini hanya tinggal Jiwa dan Raga di dalam ruangan yang bisa terbilang cukup luas. Ada tempat tidur di tengah, sofa panjang di sisi sebelah kanan ruangan yang di atasnya ada jendela. Bukan duduk di sofa Raga justru menarik kursi lipat dan duduk tepat di samping ranjang Jiwa. Suasana di ruangan terlalu sunyi sampai suara nafas keduanya terdengar di situ.

"Kamu...," Jiwa dan Raga kompak membuka suaranya dengan pemilihan kata yang sama. Kalau ada Liam pasti sudah diejek kalau mereka berjodoh. Hal itu membuat keduanya tertawa karena walau sudah hampir dua tahun berpisah mereka tetap kompak.

"Kita udah kepisah jauh aja masih kompak ya, balikan aja gak sih?" Raga asal bicara membuat Jiwa ingin sekali memukul dengan tangannya tapi kondisi Jiwa tidak memungkinkan.

"Kalau gak ada infusan aku gebuk sih," Jiwa menanggapi celotehan Raga dengan bercanda.

"Ji," Raga dengan panggilan khasnya kepada Jiwa membuat gadis itu menoleh dengan tatapan yang masih sayu. "Kamu sering sakit begini?" lanjut Raga.

"Kenapa? Merasa bersalah ya karena gak bisa jadi obat penawar buat aku setelah putus?" Jiwa mengakhiri kalimatnya dengan sedikit tertawa.

"Maafin aku ya. Dulu aku konyol banget putusin kamu dengan alasan yang gak jelas," terdengar nada penyesalan dari perkataan Raga.

"Aku percaya semuanya terjadi bukan kebetulan, Ga. Ada maksud dan rencana Tuhan untuk mendewasakan kita. Aku malahan mau bilang makasih sama kamu, sejak putus aku jadi lebih kuat. Banyak hal yang aku pikir gak bisa dilakuin ternyata bisa. I can stand alone with my own feet. Aku belajar banyak hal baru, mencoba banyak hal baru dan lagu-lagu yang aku kirim ke company kamu kalau bukan karena kita putus mungkin gak pernah ada. Gak kerasa juga tahun depan aku mau wisuda," jelas Jiwa.

Tangan Raga secara refleks mengusap kepala Jiwa, "Good girl." Karena perlakuan Raga itu suasana yang sudah agak mencair seketika menjadi dingin kembali. "Maaf kebiasaan. Hehehe. Jadi mau balikan gak?" tanya Raga.

"Aku yang lagi sakit kok pikiran kamu yang ngawur ya," jawab Jiwa santai.

"Dante baik banget ya sama kamu, Ji," tiba-tiba saja Raga membawa Dante dalam pembicaraan mereka. "Dia tau masalah kamu bisa denger suara hati orang?"

"Belum, aku gak cerita. Oh iya harusnya kamu balik hari ini kan? Kok masih di sini?" Jiwa mengalihkan pembicaraan.

"Ada kerjaan yang masih perlu diurus," jawab Raga. "Setelah kerjaan aku selesai mau makan malam bareng gak? Aku mau ngobrol banyak sama kamu," Raga dengan ragu bertanya tapi pikirnya kapan lagi ia punya kesempatan bicara dengan Jiwa jika tidak sekarang.

"Berdua?" Jiwa memastikan.

"Iya. Dante marah gak ya kalau aku ajak kamu pergi berdua? Kira-kira dikasih ijin gak ya sama Dante?"

"Cheese cake kemarin dibagi ga sama Ka Dante?"

"Enggak, katanya dia gak suka berbagi."

"Ohhh."

Percakapan keduanya terpaksa harus terhenti saat Dante dan Liam kembali ke ruangan. Besok pagi Jiwa akan menjalani pemeriksaan laboratorium untuk membuat Dante merasa yakin kalau gadis itu baik-baik saja. Sepanjang mengenal Jiwa, itulah kali pertama Dante melihat Jiwa merasakan sakit seperti itu.

**

Perjalanan bisnis Liam dan Raga yang seharusnya hanya satu minggu diperpanjang karena ulah Raga yang menghampiri Jiwa ke theme park. Salah satu investor yang menjadi tujuan utama mereka datang ke Swiss merasa tidak terima dengan perlakuan Raga yang meninggalkan mereka di tengah pertemuan.

"Lo ajalah yang temuin lagi gue gak mau. Lo pikir enak dimarahin gitu sama investor pas lo pergi kemarin?" Liam menggerutu saat Raga memintanya untuk pergi bersama menemui investor tersebut.

"Iam, maafin dong. Ayo kita pergi berdua katanya investor itu punya anak perempuan mana tau bisa dijodohin sama lo. Ayolah, kalau sendirian gue pasti gagal," Raga berusaha sekuat tenang membujuk Liam.

"Sorry, gue udah punya Gigi. Lagian gue gak mau ditonjok Gio kalau bikin Gigi nangis," jawab Liam.

"Please dong Iam, lo gak kasian sama gue?" Raga memelas benar-benar memelas karena sebenarnya Raga tidak bisa seorang diri menghandle investor ini.

"Yaudah suit, kalau gue kalah gue temenin" Liam akhirnya luluh.

"Oke, deal," Raga yang selama ini selalu menang jika melakukan suit merasa percaya diri.

"HAHAHAHAHA," tawa Liam lepas ketika dirinya mengeluarkan kertas dan Raga batu. "Selamat berjuang Raga. Udah gue aturin jadwalnya ya, besok lunch time di tempat yang kemarin beliau cuma punya waktu dua puluh menit tolong jangan sia-siakan kesempatan emas ini ya. Gue akan anterin sampai parkiran aja," Liam kemudian meninggalkan Raga sendirian.

Ke esokan harinya persis seperti yang dikatakan Liam, ia mengantarkan Raga menuju tempat pertemuan yang sudah dijanjikan tiga puluh menit lebih awal dari jam yang ditentukan. Hal itu dilakukan untuk menghindari jalanan macet atau kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Setelah diturunkan dari mobil oleh Liam, Raga segera menuju restaurant dan duduk di meja yang sudah dipesan oleh Liam.

Lima belas menit berlalu, isi kepala Raga penuh dengan susunan kalimat yang akan disampaikan kepada Mr. Kun, investor yang akan ditemuinya siang ini. Raga meneguk gelas keduanya yang berisi air mineral karena merasa sangat tegang. Ia sudah bersiap untuk semua kemungkinan terburuk yang akan terjadi. If we never try, how would we know. Begitulah kalimat yang coba Raga ulang-ulang dalam benaknya untuk sekedar menyemangati dirinya sendiri.

Saat seorang pelayan restaurant mau mengisi gelas Raga seorang anak berlari menabrak pelayan tersebut sehingga menumpahkan air ke kemeja Raga. Ingin marah pun tidak bisa Raga langsung mengambil serbet yang ada di atas meja mencoba mengeringkan kemeja yang dikenakannya. Pelayan tersebut tidak berhenti minta maaf sampai Raga mengatakan tidak apa-apa dan meminta pelayan tersebut untuk pergi.

"Uncle Red Car," Raga menghentikan aktiviasnya saat mendengar suara anak kecil yang memanggilnya.

"Brandon?" panggil Raga kaget karena anak itulah yang menabrak pelayan restaurant tadi. "What are you doin here?" tanya Raga sambil menoleh ke sekitar mencari dengan siapa Brandon datang.

"I have lunch with mommy and aunty Jiwa," saat Brandon menjelaskan Jiwa datang dari arah pintu masuk dan berjalan ke arah Brandon dan Raga.

"Ga, kamu di sini juga? Itu baju kamu kenapa kok basah?" tanya Jiwa.

"Aku ada meeting sama investor, terus baju ini tadi Brandon lari gak sengaja nabrak waiters terus tumpah deh," Raga menjelaskan sambil terus berusaha mengeringkan kemejanya.

"Aunty, I want to sit here with Uncle," Brandon langsung duduk di kursi yang berhadapan dengan Raga.

Raga menghampiri dan berjongkok di depan Brandon. Dengan suara yang gentle pria itu menjelaskan kalau Brandon tidak bisa duduk di sana. Setelah beberapa menit menjelaskan Brandon berhasil luluh karena dijanjikan akan berjalan-jalan dengan Red Car milik Uncle Raga setelah urusan Raga selesai.

Saat ingin mengantar Brandon ke meja di seberang mejanya, Raga tidak menyadari kalau Mr. Kun memperhatikan Raga yang sedang membujuk Brandon. Raga memberi kode pada Jiwa agar membawa Brandon pergi. Jiwa seperti ingin menjelaskan sesuatu tapi akhirnya mengurungkan niatnya dan melakukan seperti yang diminta oleh Raga sambil menutup mulut Brandon agar tidak mengatakan apapun.

Raga kemudian mempersilahkan Mr. Kun untuk duduk dan memesan makanan. Mr. Kun adalah seorang investor yang sudah lama pindah ke Swiss, sebenarnya beliau bukan warga negara Swiss. 

"Itu anak kamu?" tanya Mr. Kun pada Raga.

"Oh, bukan Pak," jawab Raga cepat.

"Terus siapa? Saya pikir itu anak dan istri kamu," lanjut Mr. Kun. Sebenarnya Raga sangat tidak ingin membahas masalah pribadinya tapi karena kesalahan sebelumnya ia bisa apa.

"Itu keponakan dan teman saya, Pak. Tadi gak sengaja ketemu," Raga mencoba menjelaskan.

"Ponakan kamu juga yang bikin baju kamu basah?" tanya Mr. Kun.

"Iya. Maaf ya Pak, saya jadi terkesan tidak sopan bertemu Bapak dengan baju basah seperti ini," saat Raga mencoba menjelaskan situasinya pelayan datang membawa pesanan makanan mereka.

Pertemuan kedua antara Raga dan Mr. Kun ternyata tidak sesulit yang Raga bayangkan. Walau pun tidak bisa dikatakan mudah juga, tapi setidaknya Mr. Kun mengerti situasi Raga yang datang meeting dengan baju basah karena insiden tidak disengaja. Setelah makanan habis Raga mencoba membuka pembicaraan dan meminta maaf atas perlakuan tidak sopannya yang meninggalkan pertemuan beberapa hari lalu. Tidak ada respon yang ditunjukan oleh Mr. Kun setelah Raga meminta maaf. Pria yang terlihat seperti berusia lima puluh tahunan lebih itu masih sibuk menikmati suapan terakhir cheese cake yang dipesan sebagai dessert

"Opaaa," suara anak kecil yang tidak asing terdengar dari belakang Raga ke arah mereka.

Brandon. Batin Raga.

"Hey sweet heart?" Mr. Kun menyambut Brandon dan mendudukan anak itu di pangkuannya.

"Opa, please end your meeting soon," pinta Brandon.

"Why? You want to buy ice cream with Opa?" tanya Mr. Kun.

"No. I want to go with Uncle Red Car," jelas Brandon.

"Uncle Red Car?" Mr. Kun tidak mengerti dengan maksud ucapan Brandon.

Brandon menunjung ke arah Raga kembali memanggilnya Uncle Red Car. Jiwa yang sejak tadi memperhatikan percakapan Brandon dan Mr. Kun hanya berdiri tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Raga memandang ke arah Jiwa dengan tatapan bingung berharap mendapat sedikit clue dari Jiwa mengenai apa yang terjadi. Tapi Jiwa justru hanya memandang Raga sambil mengangkat kedua alisnya.

"Jiwa, kamu udah baikan? Kata Mamanya Brandon kamu kemarin masuk rumah sakit?" tanya Mr. Kun pada Jiwa dan mempersilahkan Jiwa untuk bergabung dengan dia dan Raga.

"Iya, Om. Kemarin sempat diopnam dua hari tapi udah sehat lagi kok," mendengar jawaban Jiwa membuat Raga semakin penasaran apa hubungan antara Brandon, Jiwa dan Mr. Kun.

"Thank God. Kamu makanya jangan kecapean dong, istirahat yang cukup makan yang banyak. Tapi beneran udah gapapa ya?" ucap Mr. Kun mengkuatirkan kondisi Jiwa.

"Iya Om udah gapapa kok. Untungnya waktu kemarin itu Raga cepet-cepet dateng nolongin Jiwa dan  bawa ke rumah sakit jadinya kondisi Jiwa cepet ditanganin dokter," perkataan Jiwa tersebut bukan hanya membuat Mr. Kun kaget tapi juga Raga. Jiwa mengetahui kalau dialah yang pertama kali sampai dan membawanya ke rumah sakit?

"Bagus kalau gitu, berarti udah bisa bikin om cheese cake lagi dong ya. Masih enakan buatan kamu dibanding yang di sini. Mahal doang," ucap Mr. Kun berbisik.

Jiwa hanya mengangguk sambil tertawa mendengar ucapan Mr. Kun.

"Oh iya, jangan bilang yang kamu ninggalin saya dan Liam waktu itu karena mau tolongin Jiwa?" Mr. Kun bertanya kepada Raga sambil menatapnya serius. Raga mengangguk.

Dasar anak muda, budak cinta. Bisa-bisanya meninggalkan bisnis karena cinta. Batin Mr. Kun yang membuat Jiwa berusaha sekuat tenaga menahan tawanya saat mendengar isi hati Mr. Kun.

"Opa, you are done, rite?" Brandon menarik-narik lengan baju Mr. Kun. "Mommy can't come so I wanna go with Aunty Jiwa and Uncle Red Car," rengek Brandon.

Tidak bisa berkata tidak pada Brandon, Mr. Kun segera mengakhiri pertemuannya dengan Raga tapi tanpa kesimpulan apapun. Entah itu ditolak atau diterima Raga tidak bisa menyimpulkannya. Ingin bertanya tapi sepertinya tidak sopan. Mr. Kun berdiri dan pamit pada Raga kemudian meninggalkan Raga, Jiwa dan Brandon di meja.

"Raga," panggil Mr. Kun yang membuat Raga menoleh ke arah sumber suara. "Nanti draft kontraknya minta Liam kirim ke legal saya supaya bisa dipelajari. Tolong ajak cucu dan keponakan saya jalan-jalan setelah itu antarkan ke rumah dengan selamat," setelah mengucapkan kalimat itu Mr. Kun pergi meninggalkan restaurant.

Setelah mendengar kalimat itu Raga duduk dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Nafasnya terhembus sembarangan membuat Jiwa mengartikan bahwa kini Raga sudah lebih relaks karena Mr. Kun setuju untuk menjadi investor di perusahaan Raga. Raga menurunkan tangannya yang tadi menutup wajahnya dan memandang ke arah Jiwa yang kini duduk di hadapannya.

Melihat Jiwa tersenyum membuat Raga juga ikut tersenyum. Kedua orang itu hanya saling menatap selama beberapa detik sampai Brandon membuyarkan tatapan tersebut karena sudah merengek untuk pergi jalan-jalan dengan mobil merah milik Uncle Raga. Karena tadi Liam mengantarkan Raga jadi mereka harus menunggu Liam datang lebih dulu untuk mengantarkan mobil.

"Ji," panggil Raga.

"Kita ajak Brandon jalan-jalan dulu setelah itu anterin dia pulang. Kalau udah aku akan jawab semua pertanyaan yang ada di kepala kamu satu per satu. Deal?" Jiwa tidak bisa membawa pikiran Raga sama sekali, tapi seolah mengerti apa yang akan dilakukan oleh Raga.

Sepakat. Setelah Liam mengantarkan mobil dan tidak lupa memberi selamat karena misi Raga berhasil, Raga tidak bertanya apapun pada Jiwa sampai mereka selesai mengajak Brandon jalan-jalan. Jiwa dan Raga hanya fokus membuat Brandon senang karena tidak bisa dipungkiri, keberhasilannya kali ini juga berkat jasa Brandon. Setelah kurang lebih satu jam berkeliling Raga mengantarkan Brandon pulang.

Kini hanya tinggal Raga dan Jiwa di dalam mobil.

"Mau sambil makan es krim gak?" tawar Raga.

"Boleh," jawab Jiwa.

Tanpa basa-basi Jiwa mengarahkan mobil merah tersebut ke sebuah resto yang muncul di kepalanya. Pikirnya sebelum Jiwa berubah pikiran dia harus segera membawa Jiwa pergi makan es krim bersama. Setibanya di tempat yang dituju mereka duduk di meja yang dekat dengan jendela dan memesan menu.

"Jadi kamu mau tanya apa?" Jiwa membuka pembicaraan. "Soal Om Kun atau soal Brandon?" tanya Jiwa.

Raga menggeleng.

"Terus?" tanya Jiwa bingung.

"Kamu tau kalau aku datang ke theme park? Kamu tau kalau aku yang bawa kamu ke rumah sakit?" bukan bertanya soal Mr. Kun, Raga justru terus bertanya pada Jiwa pertanyaan yang lain.

"Tau," jawab Jiwa singkat.

"Explain," pinta Raga.

Flash back - Theme Park, Hospital

Dengan sisa tenaga yang dimiliknya Jiwa menoleh ke arah sumber suara yang memanggilnya. Samar. Tidak terlihat jelas siapa yang datang, tapi saat tangan pria itu menyentuh tubuh Jiwa bisa dipastikan itu adalah Raga. Raga masih menjadi obat yang sangat ampuh untuk Jiwa. Kebisingan yang dirasakan oleh Jiwa langsung menghilang setelah Raga memeluk Jiwa dengan hangat. Maaf dan penyesalan, itulah yang bisa didengar oleh Jiwa dari isi hati Raga. Sesaat sebelum Jiwa benar-benar tidak sadarkan diri lagi karena tenaganya sudah benar-benar habis.

Sempat mengira itu semua mimpi karena saat membuka mata pertama yang didapati oleh Jiwa adalah Dante bukan Raga. Tetapi Dante menjelaskan bahwa Ragalah yang membawa Jiwa ke rumah sakit bukan dirinya. Dante juga menjelaskan bahwa Raga meninggalkan meeting pentingnya begitu menerima panggilan telepon dari Jiwa.

Dan jawaban Jiwa untuk Dante, tentu saja berupa penolakan.

"Ka, aku udah pikirin baik-baik, aku udah berusaha sekeras itu untuk bisa sayang sama Ka Dante lebih dari sayang seorang adik ke kakaknya, tapi semuanya sia-sia Ka," jawab Jiwa pada Dante.

"Karena Raga?" tanpa basa-basi Dante menegaskan.

"Ka, maafin aku," hanya itu yang keluar dari mulut Jiwa.

"Sejak di restaurant pertama kali kamu ketemu lagi dengan Raga, aku udah tau kalau aku pasti kalah Ji. Bahkan semesta aja mendukung kalian. Bayangin ban mobil Raga kempes tapi bisa-bisanya dia sampai duluan dari pada aku," Dante berusaha membuat suasana tidak terlalu tegang.

"Ka, can I hug you?" pinta Jiwa.

Dante mendekat ke arah Jiwa dan memeluknya. Jiwa sangat berterima kasih karena selama dua tahun terakhir ini Dante begitu baik padanya. Jika tidak ada Dante mungkin Jiwa akan kesulitan untuk hidup seorang diri dalam pelariannya itu.

"Jadi kamu mau langsung balikan sama Raga?" tanya Dante.

"Enggak. Enak aja dia, biarin dia usaha dulu," jawab Jiwa.

Saat mereka sedang berpelukan Liam datang dan mengintrupsi pelukan itu

Flash back end.

"Aku pikir kamu gak tau kalau itu aku," ucap Raga.

"Ga, kamu masih jadi obat penawar yang ampuh buat aku. Sentuhan kamu masih jadi obat buat aku bahkan sampai saat ini. Saat kamu pegang aku walau pun kondisi aku lagi drop banget kebisingan di kepala ku langsung hilang. Cuma Aksaraga Allegra yang bisa buat begitu," Jiwa menatap lekat kedua mata Raga.

"Ji," Raga meraih tangan Jiwa. "Thank you and I am so sorry," ucap Raga.

"Udah ah, es krim aku nanti cair," Jiwa melepaskan genggaman Raga. Tidak semudah itu pikir Jiwa. Maaf, maaf. 

"Ji, my answer is always you. Can we get back together and try again?" pertanyaan Raga membuat Jiwa tidak jadi menyuap es krim yang sudah ada di depan mulutnya.

***

Hi semuaaaaaaa. Apa kabar? Semoga sehat selalu ya.

Aku datang membawa chapter baru untuk kalian. Semoga suka dan masih mau tetap lanjut baca sampai akhir. Mungkin beberapa chapter terakhir sebelum end. Hehehe.
Thank you for coming here and give me support.

Jangan lupa vote dan komen yang banyak ya, aku si love language-nya word of affirmation ini sangat happy dan semangat nulis kalau bacain komen kalian. hehehe.

Maaf kalau banyak kekurangan. Ambil yang baiknya dan buang jauh-jauh yang buruknya ya. See you in the chapter.

---
Stay healthy and God bless you ^^~

Luvv <3


-Jaemon-



Continue Reading

You'll Also Like

46.6K 5.1K 9
❝So, this is really the end.❞ -Roséanne Park. Status: Completed. ©2017, gomurola
16.5K 1K 26
Berawal dari insiden bola bekel yang menggelinding, mereka jatuh hati di waktu yang sama. attention : cerita ini sudah tamat dalam bentuk ebook/pdf...
71.2K 12.9K 25
Matahari telah kembali, masa redup telah lalu.
67.6K 11.2K 46
[M] Pelanggaran lalu lintas membuat Jordan dan Rachel bertemu di persimpangan lampu merah, ketika keduanya sedang terburu-buru sampai ke tempat tujua...