[Episode 40—Temaram Penuh Kehangatan]
"Semiskin apapun harta, seburuk apapun rupa, jika kita dapat berlaku memanusiakan segala jenis manusia, maka tidak akan ada siapapun yang bisa menyakiti diri kita. Tidak ada."—7 WISHES.
***
Seorang wanita setengah baya baru saja memasuki salah satu kamar pasien nomor 112 dengan membawa nampan berisi bubur. Aza meletakkan nampan tersebut di atas nakas lantas menepuk pelan punggung lunglai Riki.
“Makan dulu yuk, Nak,” ajaknya.
Riki yang tengah sibuk memainkan ponsel baru merek apel setengah gigitan pemberian Daniel dua hari yang lalu pun langsung menghentikan aktivitasnya.
“Lagi ngapain sih? Kok kayaknya seru banget,” omong Aza menimbrung.
Riki hanya menyengir onta. “Lagi ngedongdot yutup Tan hehehe. Buat nonton animek.”
***
Sepanjang malam, Hasbi menunggu kembalinya Chandra yang entah menghilang ke mana. Mungkin saja pria berjas dokter itu pergi ke ruangan pribadinya untuk beristirahat, pikir Hasbi. Pekerjaan Chandra tak sedikit, jadi wajar saja kalau dia merasa kelelahan.
Hasbi menutup mulut cepat kala ia tiba-tiba menguap pelan, pertanda bahwa rasa kantuk sudah menyerang. Meski begitu, lelaki yang kini sedang berbaring di atas brangkar itu tak mau sedikitpun menutup kedua mata. Pikirannya berkelana entah kemana.
“Kangen Mama,” risiknya penuh tatapan kosong ke depan.
Senyap, sunyi, dan sepi. Suasana tengah malam di rumah sakit kian menambah perasaan mencekam bak baru saja memasuki dunia horor yang sering orang lihat di film-film. Tak ada siapapun di dalam ruangan ini selain Hasbi bersama alat-alat medis yang entah apa namanya. Hasbi tidak tahu, semua ini tampak asing baginya.
Terhanyut dalam lamunan keheningan, Hasbi begitu menghayati setiap detik per detik suara detak jarum jam berbunyi. Hingga sosok perempuan berambut panjang tiba-tiba muncul entah dari mana awal keberadaannya. Rambutnya hitam nan indah, panjang sekali sampai menyentuh lantai.
“MAMA!” seru Hasbi kaget kegirangan, berteriak tampak terkesima luar biasa. Nyaris saja tubuh pemuda itu terjatuh ke lantai karena saking shock-nya.
Nenek moyang zaman dulu pernah berkata, jika seseorang sedang jatuh sakit atau dalam kondisi tidak sadar, terkadang penglihatannya bisa saja melihat apa yang orang sehat tak bisa lihat. Termasuk dapat melihat mereka yang telah tiada.
Perempuan anggun mengenakan gaun putih berukuran besar hingga menutupi seluruh kakinya tersenyum seraya berjalan maju perlahan, mendekati sang anak yang telah ia tinggalkan beberapa tahun lalu.
“Ma, mau peluk.” Bibir Hasbi bergetar mengucap ragu satu permintaan. Pipi tirusnya sembab diselimuti air mata, tak kuasa menahan rindu cukup lama yang sudah menggebu dalam ingatan abu-abu.
“Hebat ya, anak mama,” tuturnya lemah lembut. Perempuan cantik itu hanya tersenyum begitu teduh tanpa menuruti permintaan sang anak.
Tangis Hasbi pecah. Dada cowok itu sesak bak dihimpit dua bebatuan besar. Hasbi jelas kesulitan bernapas, kerinduan ini sungguh menyiksa batinnya.
“Badan Hasbi bau, ya, makanya Mama nggak mau peluk,” monolognya terkekeh getir. Kedua tangan Hasbi menurun dari posisi semula membentang luas bersiap menyambut pelukan. Sayangnya, sang mama sama sekali enggan untuk memeluknya. Seolah ada dinding pembatas yang membuat keduanya tak bisa saling menyentuh.
Tak lama kemudian, sosok bayangan hitam muncul di samping perempuan tersebut. Menggenggam tangan kanannya erat, menuntun sang mama berjalan pergi ke tempat yang Hasbi tidak tahu di mana. Sebelum benar-benar menghilang, sosok bayangan hitam itu sempat menoleh menatap lekat pada mata cokelat Hasbi. Lama kelamaan, Hasbi membalas tatapannya semakin dalam sampai pada akhirnya ia sadar akan sesuatu yang begitu berharga di dalam sana. Hasbi menemukan sorot tegas wajah sang pahlawan dalam hidupnya---ayah.
Sedetik kemudian, remaja laki-laki itu mendadak berseru lantang. “HASBI MAU TETAP HIDUP! HARUS BERTAHAN, POKOKNYA HARUS!” kukuhnya.
“Hasbi mau ketemu dan jagain adek-adek Hasbi. Mama sama Papa tungguin di sana, ya?”
“Maaf ... Hasbi tidak akan menyusul kalian untuk sekarang, sebelum Allah yang menjemput. Lagipula, di sini masih banyak orang yang membutuhkan Hasbi. Rasanya menyerah bukanlah suatu pilihan terbaik.”
Tak ada kata pamit dari keduanya, sosok itu menghilang bersama dengan kesadaran Hasbi yang memudar. Kegelapan seakan turut merenggut segalanya.
***
“ABANG HUWAA.”
“BANG HASBI!” Histeris Sandy menjerit, menangis keras.
“BANG HASBI BANGUN IH!” Kali ini suara parau Riki turut andil memenuhi seisi ruangan. Mengesampingkan kesehatannya sendiri, pagi ini Riki nekat berjalan tertatih-tatih dari ruang rawat inapnya menuju ruangan tempat di mana Hasbi terbaring lemah.
“Hasbi dinyatakan meninggal dunia pukul tiga dini hari dalam kondisi memeluk kitab Al-Qur'an di dadanya,” terang Chandra bernada sedih sekaligus menyesal setelah memeriksa keadaan Hasbi beberapa jam yang lalu.
Chandra sendiri terkejut bukan main saat baru saja memasuki ruangan Hasbi dan disambut oleh suara berisik dari mesin EKG yang berbunyi nyaring menampilkan sebuah garis lurus di layar monitor sebagai simbol dari akhir kehidupan.
Pada saat Chandra pergi ke luar, beberapa kali Hasbi mengalami penurunan kesadaran. Dan dua kali mengalami henti jantung tanpa sepengetahuan siapapun. Hasbi ingin sekali berteriak meminta pertolongan, namun tenggorokannya seolah tercekat bagai terikat.
“Bangun gak, Bang?! Kalo Abang gak bangun hiks, nanti Dedek gigit nih!” ancam Sandy tersedu-sedu. Dia tak main-main, remaja itu sungguh-sungguh menggigit pergelangan tangan kanan Hasbi yang terbebas dari jarum infus.
Janu hanya menyandarkan kepalanya pada daerah punggung kekar Hasbi, menangis tanpa suara. “Abang, katanya nanti mau lihat senja bersama? Kenapa pergi? Abang bilang kalau janji itu harus ditepati, berarti Abang dosa karena nggak nepatin janji Abang ke Janu,” bisiknya.
“Telinga Jidan memang tuli, tapi Jidan tetap kukuh mau dengar lagi suara detak jantung Abang di sini.” Pemuda itu sengaja melepaskan alat bantu dengarnya sebelum menempelkan telinganya ke dada sebelah kiri Hasbi.
Tubuh Satria meluruh sempurna ke bawah lantai, tak sanggup menopang bobotnya sendiri. Lutut laki-laki yang dikenal kokoh, gagah dan perkasa itu kini bagaikan kayu keropos. Kehilangan segala kekuatan.
“Bang Hasbi, Jay sudah bisa tersenyum sekarang. Lihat ini.” Jay mencoba menunjukkan ekspresi senyum yang baru saja ia dapatkan beberapa hari ke belakang. Sayangnya, Hasbi tak sempat melihatnya sebelum pergi.
Kalau saja boleh memilih, Hasbi ingin sekali bertahan lebih lama di sini, diberikan umur panjang untuk menemani perjalanan adik-adiknya. Namun, rupanya Yang Maha Kuasa menginginkan hal lain yang di mana rencana-Nya lebih berkali-kali lipat amat sangat baik daripada rencana manusia.
“Bang, sekarang Riki harus setor hafalan ke siapa?" Riki mengusap beberapa helai rambut yang menutupi kening mulus Hasbi.
Sementara Sandy dalam tangisnya kini meletakkan kedua tangan kecilnya di atas perut Hasbi, dengan wajah polosnya ia berkata, “Bang Sat hiks, perut Bang Hasbi nggak endut-endutan huwaaa,” aduhnya merengek pada Satria.
Sewaktu di panti, Sandy sering sekali terbangun tengah malam guna melihat perut saudara-saudaranya. Memastikan apakah masih bergerak naik turun atau tidak, apakah masih bernapas atau tidak? Jika sudah yakin mereka masih hidup, Sandy baru akan melanjutkan ritual tidurnya. Pemuda berotak bocah itu diam-diam sangat takut kehilangan saudara-saudara angkatnya.
Sekitar seminggu yang lalu, Hasbi masih kerap menemani adik-adiknya belajar meski tenaganya terkadang terbatas. Masih kental dalam ingatan, nasihat-nasihat yang ia sampaikan melekat sempurna bersama kenangan.
“Bang Hasbi, Bang Hasbi! Abang yang simpan kotak harapan kita ya!” usul Sandy berlari tergopoh-gopoh memberikan benda berbahan dasar kayu berbentuk kubus tersebut kepada Hasbi.
Hasbi terkekeh kecil sambil memangku si kotak kecil. Dia tersenyum membiarkan adik-adiknya memasukkan helai demi helai kertas bertinta hitam bertuliskan harapan-harapan mereka yang ingin dicapai di masa depan.
Seperti yang sering Hasbi bilang, “setiap ucapan adalah doa, setiap tulisan adalah doa, setiap tindakan adalah doa, dan Tuhan tidak pernah membiarkan hamba-Nya meminta tanpa berlaku mengabulkan. Maka berhati-hatilah dalam melakukan apapun.”
“7 WISHES PASSWORD-NYA APA ...?!” seru Hasbi bersemangat.
“CACAT BERKELAZ!” sahut kompak seluruh adik-adiknya sambil melompat-lompat antusias.
“Segitu doang ngebully-nya? Haha, lagi dong! Gak mempan nih!” celoteh Sandy berteriak meluapkan segala emosinya kepada orang-orang yang telah merendahkannya di luar sana. Anak itu lantas menyedot hingga tandas susu cokelat favoritnya.
“Foya-foya pake duit ortu aja bangga haha, Jidan nih, pake duit olimpiade hasil belajar sendiri!” timpal Jidan menggebu-gebu yang mengundang acungan jempol dari saudara-saudaranya.
Sekarang giliran Hasbi yang mulai bersuara lantang mengeluarkan segala unek-unek yang selama ini selalu ia pendam. “Maaf untuk Ayah Devan dan Bunda Zalfa. Hasbi cacat bukan karena nasib, tapi karena Hasbi lahir bukan untuk jadi pengecut kayak kalian. Buat apa kalian punya kaki jika digunakan untuk lari dari kenyataan!”
“MISI KAK, RIKI ACKERMAN MAU LEWAT,” sanggah Riki menyambar. Bergaya menyisir rambut lebatnya menggunakan jari-jari tangan.
Sandy menyedot botol susunya kencang sebelum berkata, “Permisi Kak, Presiden Dedek Sandy mau lewat,” timpal Sandy menyombongkan diri akan cita-cita mulianya untuk menggantikan Bapak Presiden Jokowi.
“Kalau Bang Dedek Sandy jadi presiden, pasti nanti rakyatnya bakal disuruh ngedot berjamaah setiap hari,” ujar Riki yakin.
“Benderanya logo sapi,” tambah Satria.
Mata Hasbi menyipit menatap kertas harapan milik Riki. “2023 watashi Riki Abdul Aziz resmi menjadi animek, trmksh.”
BERSAMBUNG.
SPAM NEXT DI SINI SEBANYAK BANYAKNYA!
KALO UDAH TEMBUS 500 otewe next part
See you next time!