⋅•⋅⊰∙∘☽༓☾∘∙⊱⋅•⋅
Perlahan Farenza membuka matanya. Ia mendapati Neissya yang terlelap di atas tubuhnya. Kepalanya tersandar di dalam ceruk leher Farenza. Semalaman mereka tidur dalam posisi seperti itu tanpa merasa pegal.
Farenza mengusap rambut Neissya. Ia mengecup lembut pipi istrinya itu. Farenza menidurkan Neissya dengan hati-hati di sampingnya. Tidur tengkurap tidak akan membuat sebagian orang nyaman, itu akan membuat dada terasa sesak meskipun Neissya tidur tengkurap di atas Farenza.
Neissya mendesis pelan tanpa terbangun. Farenza menyelimuti tubuh polos Neissya lalu memeluknya dan melelapkan wajah istrinya itu ke ceruk lehernya.
"Aku tidak bisa bernapas," ringis Neissya sambil membuka matanya.
Farenza melonggarkan pelukannya sedikit. "Kau sudah bangun, Sayang?"
Neissya tidak merespon. Tampaknya ia kembali tertidur. Biasanya Neissya selalu bangun lebih dulu dibandingkan dengan Farenza. Tapi, sepertinya semalam Farenza membuat Neissya harus 'lembur' lebih lama.
Farenza menatap wajah Neissya yang begitu tenang ketika tertidur. Ia tersenyum sendu. Farenza merasa beruntung dan sangat bersyukur dipertemukan dengan wanita yang sangat baik dan pengertian seperti Neissya.
Tidak tega membangunkan istrinya, Farenza memilih pergi ke dapur dan memasak untuk sarapan. Meski tidak selihai istrinya saat memasak, tapi masakan Farenza cukup lezat dan layak dimakan.
Ketika menggoreng telur ceplok, sepasang tangan memeluk perutnya, ternyata Neissya sudah bangun.
"Maaf, aku bangun terlambat hari ini." Neissya menempelkan pipinya di punggung Farenza.
"Tidak apa-apa, Sayang, duduklah," kata Farenza lembut.
Bukannya menuruti perkataan suaminya, Neissya tidak kunjung melepaskan pelukannya. Ia tetap memeluk suaminya dan mengikuti ke mana pun Farenza melangkah.
"Apa kau anak kecil?" tanya Farenza.
"Aku 5 tahun lebih muda darimu. Seharusnya kau memperlakukanku seperti bayi," rengek Neissya dengan manja.
Farenza menggelengkan kepalanya sambil tersenyum kecil kala Neissya menunjukkan sikap manjanya yang menggemaskan. Setelah meletakkan telur ke piring, Farenza mematikan kompor.
"Bagaimana bisa aku memperlakukanmu seperti bayi? Kau wanita dewasa yang seksi." Farenza menyajikan masakannya ke meja.
"Aku bayi," rengek Neissya.
"Baiklah, kau bayi besar." Farenza berbalik dan menciumi wajah istrinya.
Neissya yang gelian pun melepaskan pelukannya dan menghindar dari suaminya yang 'brutal' itu.
"Bayi tidak pernah menolak saat dicium," gerutu Farenza yang kembali mendekatkan wajahnya dan mengeratkan pelukannya.
Neissya mengalihkan wajahnya sambil menahan dada suaminya. "Bayi mana pun akan menangis kalau kau menciumnya seperti ini."
Farenza tertawa sambil mengangkat tubuh Neissya seperti memikul karung beras. Ia menepuk bokong istrinya.
"Farenza!"
☽༓☾
Farenza bercermin sembari memakai jas abu-abu muda. Ia membenarkan dasinya lalu mengancingkan jasnya.
Neissya keluar dari kamar mandi sambil mengikatkan tali jubah mandinya. Ia melihat ke arah Farenza. "Apakah tidak ada jas lain? Kenapa kau memakai yang itu? Aku sudah menyiapkan 11 jas yang lebih bagus."
"Aku suka yang ini. Ini adalah jas favoritku," kata Farenza.
"Aku benci jas itu," sahut Neissya.
"Kenapa? Apa aku terlihat jelek dengan jas ini?" Farenza berpose di depan cermin.
Neissya merespon, "Ya... tidak, sih, tapi aku membenci jas itu. Kau lebih cocok dengan hitam, biru gelap, dan warna lainnya, kecuali abu-abu terang seperti itu. Sangat kuno."
"Ya, sudah, artinya ini tidak akan mengurangi ketampananku, kan?" Farenza berlalu keluar dari kamar.
Neissya hanya memutar bola matanya.
Langkah Farenza terhenti di ambang pintu. "Aku akan mengantarmu ke kantor, jadi kau tidak perlu membawa mobil sendiri. Malam ini kita akan makan malam di restoran."
Neissya mengangguk. "Baiklah."
Farenza mengantarkan Neissya sampai ke perusahaannya.
"Hubungi aku saat kau sudah selesai dengan pekerjaanmu," ucap Farenza.
Neissya mengangguk. "Okay."
Farenza tersenyum. Ia melajukan mobilnya meninggalkan kantor Neissya. Setelah mobil suaminya pergi, Neissya memasuki kantornya.
Farenza memasuki wilayah perkantoran di pusat kota di mana ada banyak gedung yang menjulang tinggi seolah berlomba-lomba menyentuh langit. Farenza memarkirkan mobilnya di salah pelataran bangunan yang tingginya menyaingi bangunan-bangunan lain di sekitarnya.
Gedung tersebut adalah kantor atau perusahaan yang dibangun oleh Farenza dari nol dan diberi nama Hadrian Corporation. Hadrian adalah nama belakang Farenza yang juga disematkan pada nama akhir Neissya, istrinya.
Farenza melewati sekat ruangan para karyawannya. Salah satu karyawan wanita berambut pirang melihat ke arahnya. Ia menatap Farenza dengan tatapan tak terbaca.
Sesampainya di ruangannya. Di meja terdapat plakat bening seperti kaca bertuliskan Direktur Utama Arfarenza Hadrian. Ya, itu adalah nama lengkapnya.
Farenza hanya duduk bersantai. Tidak ada yang ia lakukan sama sekali. Sebenarnya ia lebih senang berada di rumahnya dan membiarkan para karyawan bekerja di bawah pengawasan orang kepercayaannya.
Farenza terkesan asal-asalan dalam mengolah perusahaan, berbeda dengan Neissya yang sangat serius mengelola perusahaannya meski tidak sebesar perusahaan Hadrian Corporation.
Iseng-iseng Farenza menelepon istrinya.
"Ada apa, Sayang?" suara Neissya dari seberang sana.
"Aku hanya merindukanmu," ujar Farenza.
Terdengar suara helaan napas Neissya. "Kita baru saja bertemu 1 jam yang lalu saat kau mengantarku ke kantor."
"Memangnya apa salahnya merindukan istriku sendiri?" gerutu Farenza.
"Sayang, aku sedang bekerja. Ada banyak laporan bulanan yang harus aku periksa ulang," ucap Neissya.
Farenza menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. "Apa yang dilakukan oleh karyawanmu kalau kau melakukan pekerjaan sendiri?"
"Mereka melakukan pekerjaan sesuai tugas mereka. Aku hanya memastikan tidak ada yang keliru," sahut Neissya.
"Kau punya rekomendasi restoran untuk makan malam kita nanti?"
"Ada, aku akan mengirimkan lokasinya."
"Okay!"
"Aku akan menghubungimu lagi nanti, ya," bujuk Neissya lembut.
"Iyaaa."
Panggilan pun berakhir.
Jam menunjukkan pukul 7 malam. Farenza tidak kunjung mendapatkan telepon dari istrinya. Ia sendiri masih berada di kantor, sementara karyawannya sudah pulang sejak jam 6 sore karena tidak ada jadwal lembur.
"Kenapa dia tidak menelepon? Tadi dia bilang, dia akan meneleponku lagi. Apakah dia masih sibuk di kantornya? Ini sudah malam." Farenza memilih untuk menelepon istrinya lagi. Namun, Neissya tidak mengangkat telepon darinya.
Masuk akal jika Neissya masih sibuk, karena perusahaan bengkelnya buka selama 24 jam dengan sistem piket atau pergantian pegawai di jam-jam tertentu, tapi Neissya bisa saja pulang lebih awal karena ia seorang bos dan pemilik perusahaan tersebut.
Terdengar suara pintu dibuka tanpa diketuk terlebih dahulu. Farenza menoleh. Seseorang memasuki ruangannya tanpa permisi. Ternyata itu adalah wanita berambut pirang yang tadi pagi memperhatikannya ketika datang.
"Tuan Hadrian belum pulang?" Wanita itu duduk di atas meja Farenza dan menggoda pria di depannya yang notabene adalah atasannya sendiri.
"Apa yang kau lakukan? Bukankah seharusnya kau sudah pulang bersama karyawan lain?" tanya Farenza dingin.
Wanita cantik itu tersenyum. Dari name tag di jasnya tertera nama Megan. Wanita itu menyembunyikan pisau yang diselipkan di bagian belakang roknya.
"Aku bersedia menemanimu malam ini, Tuan Hadrian. Tidak akan ada yang tahu, kok." Megan memainkan jemarinya di wajah Farenza.
⋅•⋅⊰∙∘☽༓☾∘∙⊱⋅•⋅
16.58 | 1 Desember 2021
By Ucu Irna Marhamah