Through the Lens [END]

By dindaarula

83.9K 9.2K 831

I found you through the lens, then I'm falling right away. --- Ketika bertugas sebagai seksi dokumentasi dala... More

๐Ÿ“ท chapter o n e
๐Ÿ“ท chapter t w o
๐Ÿ“ท chapter t h r e e
๐Ÿ“ท chapter f o u r
๐Ÿ“ท chapter f i v e
๐Ÿ“ท chapter s i x
๐Ÿ“ท chapter s e v e n
๐Ÿ“ท chapter e i g h t
๐Ÿ“ท chapter n i n e
๐Ÿ“ท chapter t e n
๐Ÿ“ท chapter t w e l v e
๐Ÿ“ท chapter t h i r t e e n
๐Ÿ“ท chapter f o u r t e e n
๐Ÿ“ท chapter f i f t e e n
๐Ÿ“ท chapter s i x t e e n
๐Ÿ“ท chapter s e v e n t e e n
๐Ÿ“ท chapter e i g h t e e n
๐Ÿ“ท chapter n i n e t e e n
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y o n e
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y t w o
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y t h r e e
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y f o u r
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y f i v e
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y s i x
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y s e v e n
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y e i g h t
๐Ÿ“ท chapter t w e n t y n i n e
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y o n e
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y t w o
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y t h r e e
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y f o u r
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y f i v e
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y s i x
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y s e v e n
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y e i g h t
๐Ÿ“ท chapter t h i r t y n i n e
๐Ÿ“ท chapter f o r t y
๐Ÿ“ท chapter f o r t y o n e
๐Ÿ“ท chapter f o r t y t w o
๐Ÿ“ท chapter f o r t y t h r e e
๐Ÿ“ท chapter f o r t y f o u r
๐Ÿ“ท f i n a l chapter

๐Ÿ“ท chapter e l e v e n

1.7K 210 19
By dindaarula

"Gila lo, Sa, lo beneran langsung nuduh tuh cowok penguntit?"

Kania benar-benar tak habis pikir saat ia mendengarkan cerita Alsa perihal pertemuannya kemarin dengan seorang laki-laki di kafe yang ternyata memiliki foto Alsa dalam ponselnya. Masalahnya, karena sudah terlanjur merasa parno akibat kejadian-kejadian yang sudah ada, alih-alih bertanya secara baik-baik, Alsa langsung saja sembarangan menuduhnya seperti itu.

Dan, tampaknya, setelah Alsa menggunakan waktu yang ia punya untuk berpikir dengan jernih, barulah ia menyesal karena sudah bertindak kelewat batas. Namun, ia tetap saja memberikan pembelaan terhadap dirinya sendiri.

"Ya gimana gue nggak langsung mikir kayak gitu, Kan? Baru dua hari lalu banget loh, gue denger kejadian nggak enak yang dialami sama si Mia," tukas Alsa, kemudian ia menghirup napasnya sejenak. "Udah gitu, giliran gue nyampe depan komplek pas pulang malem itu, gue malah ngeliat sekumpulan cowok semacam geng motor gitu di deket gerbang komplek. Mereka sempet ngeliatin gue gitu, Kan, gimana gue nggak tambah panik? Untung aja si Ravin cepet nyampenya buat jemput gue."

"Terus, menurut lo, cowok yang lo temuin kemaren itu adalah salah satu anggota geng motor yang lo maksud itu, gitu?"

"Ya mana gue tau, Kan. Gue nggak tau dia siapa, tapi apa menurut lo gue bakalan bisa tenang setelah liat dengan mata kepala gue sendiri kalau dia punya foto gue di HP-nya?"

Yah, sesungguhnya memang wajar saja bila Alsa langsung bepikiran yang macam-macam usai mengetahui fakta tersebut. Namun, menuduh tanpa tahu kebenarannya secara jelas pun termasuk dalam perbuatan yang salah. Alsa sudah terlanjur dikuasai oleh berbagai pikiran negatif sehingga ia tak bisa mengontrol dirinya sendiri dalam mengambil tindakan.

Jadi, mau tak mau di sini Kania harus bersikap senetral mungkin. Sebab jika dirinya berada di posisi laki-laki itu, ia pasti takkan bisa menerimanya begitu saja.

"Di sini gue nggak mau belain siapa-siapa ya, Sa," mulai Kania dengan berusaha terdengar santai agar Alsa tak merasa tersudutkan. "Cuma gini deh, logikanya, kalau emang dia stalker lo, kayaknya dia nggak akan terang-terangan ngeluarin HP sambil ngeliatin foto lo kayak gitu. Justru dia cenderung bakal sembunyi-sembunyi dan pura-pura nggak tau soal lo sama sekali."

Alsa tergeming sejenak. Namun, ia masih berusaha untuk menyanggahnya. "Tapi, tapi, kenapa dia bisa punya foto gue, Kaaan?"

"Emang fotonya yang kayak gimana sih, Sa? Keliatan banget kalau diambil secara diem-diem? Atau gimana?"

"Gue nggak yakin, sih ...." Kemudian, Alsa berusaha mengingat kembali foto yang sempat dilihatnya dalam ponsel milik laki-laki yang entah siapa namanya. "Yang jelas di sana ada Baswara, Kan, dan gue ada di barisan penonton paling depan. Berhubung gue baru pertama kali nonton Baswara secara langsung, jadi udah pasti itu pas acara Festival Musik FEB waktu itu, Kan."

"Festival Musik FEB?" ulang Kania dengan dahi yang berkerut samar. Mendengar nama acara itu membuat Kania mulai menyadari satu hal yang kerap kali ia lupakan. Sampai akhirnya ia berhasil mengingat itu dan terburu-buru mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja. Kania lekas membuka Instagram lantas mencari satu foto di antara posting-an yang sempat ia simpan.

"Gue kayaknya udah lumayan lama nyimpen post-an yang ini, tapi gue lupa terus buat nunjukin ke lo. Gue juga sempat pernah mau liatin ke lo, tapi malah keburu ketauan Pak Yosef." Setelahnya Kania menunjukkan apa yang terpampang dalam layar ponselnya ke hadapan Alsa. "Apa foto ini yang lo maksud, Sa?"

Sesaat setelah Alsa memerhatikan potret yang diperlihatkan Kania, kedua matanya sontak saja melebar kaget. Tanpa izin terlebih dahulu ia bahkan langsung merebut ponsel Kania agar dapat mengamati foto tersebut dengan lebih jelas. Dan rupanya dugaan Kania memang terbukti benar adanya. Foto itu betul-betul sama persis dengan foto yang Alsa temukan dalam ponsel milik laki-laki di kafe.

Alsa kemudian melihat nama akun yang telah mengunggah foto tersebut ke Instagram. BEM FEB Santosha? ujarnya dalam hati. Gadis itu pun terdiam sejenak, berpikir, hingga akhirnya berhasil menarik kesimpulan bahwa sejatinya potret tersebut hanyalah salah satu bagian dari dokumentasi dari acara Festival Musik FEB beberapa waktu silam.

Ya Tuhan, jadi Alsa benar-benar telah melakukan kesalahan, ya?

Namun, Alsa masih tidak mengerti, apa sebenarnya alasan laki-laki itu menyimpan fotonya?

"Udah jelas 'kan, Sa, lo udah nuduh orang sembarangan?" ujar Kania kemudian usai mendapati Alsa akhirnya telah menyadari kesalahannya sendiri. Ia lalu meraih ponselnya kembali dari tangan Alsa. "Ya walaupun kita belum tau kenapa cowok itu bisa punya foto lo, lo beneran tetap harus minta maaf sih, Sa. Kalau nggak, entar lo pasti bakal kebayang-bayang terus sambil ngerasa bersalah."

Alsa berdeham pelan. Ia merasa malu sendiri karena sebelumnya sempat tak mau disalahkan. "Tapi, gimana caranya? Gue aja nggak tau dia siapa, Kan. Belum tentu juga gue bakal ketemu lagi sama dia."

"Hadeh, padahal kemarin lo punya kesempatan untuk ngelakuin itu, Sa, kalau aja lo bisa lebih sabar dan berusaha tetap tenang.  Lo juga bisa sekalian tanya langsung apa yang lo pengen ketahui. Sekarang malah jadi bingung sendiri 'kan lo?"

-

"Sa, lo udah catat semua kebutuhan Septem Luminous buat hari pelaksanaan nanti, 'kan?" tanya Jeremy pada Alsa yang memang tengah berjalan di sampingnya bersama dengan Kania. Saat ini mereka tengah berjalan meninggalkan gedung FIKOM karena perkuliahan hari ini telah usai dan kebetulan pula tidak ada jadwal rapat, sehingga ketiganya bisa langsung pulang ke kediaman masing-masing.

Omong-omong, Septem Luminous merupakan sebuah band lokal yang akan menjadi salah satu guest star dalam acara inaugurasi jurusan mereka, dan band tersebut akan ditangani secara langsung oleh Alsa selaku anggota divisi LO.

"Udah kok," jawab Alsa sekenanya. "Cuma belum pasti aja apa mereka bakal bawa kru sendiri atau gimana, makanya untuk jumlah orangnya belum gue data."

"Hm, oke." Jeremy manggut-manggut. "Jangan lupa follow up terus ya Sa, karena datanya udah harus dikumpulin lusa."

"Siap, Jer."

Jeremy kemudian beralih pada Kania. "Konsumsi gimana nih, konsumsi? Gue denger-denger kalian belum survey tempat makan beserta harga-harganya?"

Mendengar nada bicara yang sangat kontras ketika tengah berbincang dengan Alsa membuat Kania kontan berdecak sebal. "Bisa nggak sih, bahasnya pas rapat nanti aja? Lo juga nggak usah kayak ngajak ribut gitu dong, ngomongnya. Hobi banget emang, bikin gue naik darah."

"Perasaan si Jeremy ngomongnya biasa aja deh, Kan." Tanpa disangka, Alsa malah memberi pembelaan untuk Jeremy.

"Tuh kan, Alsa aja nangkepnya biasa aja, emang dasarnya elonya sensian sih, Kan." Jeremy kemudian memicingkan matanya. "Oh, atau jangan-jangan itu karena omongan gue tadi bener ya, kalau anak-anak konsumsi emang belum ngelaksanain tugasnya?"

"Kalau masalah itu, mending lo langsung ngobrol sama ketua divisinya sana, Jer."

"Lah, masa gue nggak boleh nanyain ke salah satu anggotanya? Peraturan dari mana itu?"

"Dari gue, barusan banget gue bikin."

Setelahnya Jeremy dan Kania masih saja terus berdebat hingga membuat Alsa yang berada di tengah-tengah mereka hanya bisa memutar mata dan meloloskan napas lelah. Gadis itu tetap diam mendengarkan percakapan kedua manusia itu sampai akhirnya mereka bertiga tiba di lobi dan lekas meninggalkan gedung FIKOM. Dan, di saat itu, Kania tiba-tiba melontarkan sebuah tanya pada Jeremy yang sama sekali tak ada hubungannya dengan obrolan mereka barusan.

"Eh, omong-omong, kating kenalan lo yang anak FEB itu semester berapa deh, Jer?"

Sepasang mata Alsa kontan membulat, ia segera melayangkan tatapan heran pada Kania, tetapi Kania hanya mengabaikannya saja. Kenapa pula Kania tiba-tiba menanyakan laki-laki itu? Alsa bahkan tidak berani melakukannya meski dalam dirinya memiliki keinginan untuk mengorek informasi yang ingin ia ketahui melalui Jeremy.

"Semester lima." Jeremy lalu tergeming sejenak, sebelum melanjutkan, "Wait. Ngapain lo tiba-tiba nanyain dia?"

"Orangnya emang suka fotografi gitu ya, Jer?" Alih-alih menjawab, Kania justru melemparkan pertanyaan lain. "Kalau nggak salah kan, waktu itu dia sampe bawa-bawa kamera."

"Mm-hmm. Langganan jadi divisi pubdok dah pokoknya tiap ikut kepanitiaan."

Usai mendengar jawaban tersebut, Kania langsung beralih pada Alsa dan memukul bahunya pelan. "Tuh, Sa, mending lo coba tanyain aja sama dia. Asumsi gue sih, cowok di kafe itu pasti anak FEB dan pas acara festival musik itu dia kebetulan jadi pubdoknya."

Alsa sontak saja menggeleng dengan ragu-ragu. Bagaimana mungkin ia bisa melakukan hal itu pada seorang laki-laki yang beberapa kali suka ia perhatikan dari jauh tersebut? Bahkan sekalipun tak pernah terlintas dalam pikiran Alsa untuk bisa berbicara dengannya atau hanya sekadar mengenalnya. Dan kini, Kania malah menyuruhnya untuk mencari tahu soal orang lain melalui laki-laki itu?

"Bentar, bentar, ini ada apaan sih, sebenernya?" tanya Jeremy yang memang benar-benar tak tahu menahu soal permasalahan yang tengah dihadapi Alsa. "Lo ada perlu sama kenalan gue itu, Sa? Kalau iya, gue bisa aja sih, telepon dia sekarang--"

"Jangan!" sela Alsa dengan cepat. Terlalu cepat malah, sampai membuat Jeremy dan Kania semakin kebingungan. "Udah, nggak perlu. Itu bisa gue urus nanti, kok."

"Kalau bisa sekarang kenapa harus nanti, Sa? Kan biar cepet kelar juga urusan lo sama cowok di kafe itu."

Alsa hanya mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Kania sungguh tak mengerti bahwa Alsa butuh mempersiapkan diri terlebih dahulu untuk melakukannya. Lebih tepatnya, mempersiapkan diri untuk berbincang langsung dengan seorang laki-laki yang ia kagumi, juga untuk kembali menghadapi laki-laki di kafe di mana ia harus meminta maaf atas kesalahan yang telah dilakukannya.

"Oh, panjang umur banget," ujar Jeremy tiba-tiba. "Tuh orangnya ada di sana, Sa."

Saat itu juga Alsa cepat-cepat mengikuti arah pandang Jeremy dan napasnya kontan tertahan. Jeremy benar, laki-laki yang biasanya selalu berkutat dengan kamera di taman itu tengah berdiri di depan sebuah tembok pendek yang bertuliskan Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Ia tertunduk dan tampak fokus pada ponsel di tangannya. Melihat postur tubuhnya dengan jarak yang lebih dekat, Alsa baru menyadari bahwa laki-laki itu rupanya jauh lebih tinggi dari yang ia kira.

Sesaat Alsa pun dilanda kepanikan. Apa yang harus ia lakukan saat ini? Jeremy yang kebetulan mengenalnya pasti takkan melewatinya begitu saja, 'kan?

"Oy, Rad!"

Dugaan Alsa pun terbukti benar karena Jeremy segera berseru memanggil laki-laki itu.

Tepat setelah laki-laki itu menoleh dan memperlihatkan wajahnya dengan lebih jelas, Alsa justru menjadi jauh lebih terkejut lagi. Jantungnya langsung berdebar kencang menyadari bahwa wajah itu merupakan wajah yang sudah tak asing lagi baginya--sebab nyatanya laki-laki itu adalah laki-laki yang ia temui di kafe kemarin. Alsa tentu tak bisa percaya dengan mudahnya kalau mereka betul-betul orang yang sama.

Lupakan terlebih dulu soal Alsa yang mengaguminya.

Tadi, Jeremy bilang, laki-laki itu sudah semester lima, 'kan?

Dan Alsa masih ingat betul bahwa kemarin ia sudah menuduhnya dengan sembarangan.

Melemparkan ponsel ke arahnya.

Mendorongnya dengan kuat karena menghalangi akses jalan.

Yang mana intinya adalah Alsa telah bersikap kurang ajar kepada seorang kakak tingkat yang berada dua tahun di atasnya.

Alsa pun sekonyong-konyong tertawa pahit dalam hati. Ya Tuhan, bisakah Alsa menghilang saja dari bumi sekarang?

📷

author's note:

hehehe aku bisa update lagi karena kebetulan masih ada draft-nya. kalau untuk bab selanjutnya mau di-up secepatnya atau gimana, nih? 😁

bandung, 25 september 2022

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 106K 22
[Completed] No. 1 at Metropop on 23rd Feb 2020! Meet Nila, a 27 yo, single since born yang dijodohin sama Eyang-nya dengan, Reiga, a 32 yo, cucu dari...
2.6M 39K 51
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
7.4K 1.1K 24
Katanya kalau kita membuat seribu bangau, harapan kita akan terkabul. Campus Life | Romance Written on : 01 January-01 May 2023 ยฉDkatriana
Pretend By fee

General Fiction

1.6M 166K 37
Andina Prameswari bersandiwara menjadi kekasih Gilang Galia Gamadi, jodoh yang disiapkan oleh calon adik iparnya. Setidaknya Andin harus berpura-pura...