Jevian

By Nonatypo

46.4K 5.6K 7.5K

[Sicklit, Angst] [SEBELUM BACA, JANGAN LUPA FOLLOW!] ••• "Kira-kira, bagian mana ya, yang Tuhan tunjukkan ke... More

00. Awal Dari Segalanya
1: Jevian dan Lukanya
2• Shaqueen Agatha Pricilla
3• Rumah Yang Tak Ramah
4• Sudahkah Bersyukur?
5• Dunia Terasa Sempit
6• Rindu Tak Berujung Temu
7• Meet Again
8. New Friendship
9. Khawatir
10. Insecure
11. Dia Yang Cantik Dari Segala Hal.
12. Seamin Tak Seiman
13. Luka Yang Mendekap Raga
14. Karena, Bunga Yang Gugur Pun Akan Tumbuh Kelopak Baru
15. Maaf, Jika Belum Seturut Yang DiPinta
16. Terima kasih, Jevian.
17. Dia yang Kembali
19. Hanya Butuh Sudut Pandang Baru
20. Pasalnya, Kita Juga Sama-sama Hancur
21• Hujan dan Hal Yang di Simpan
22• Pada Luka, Yang Berujung Duka
23. Harusnya, aku aja yang mati 'kan, Pa?
24. Aku Anak Papa, Kan?
25. Sisi Rapuh Yang Tidak Pernah Ditampakkan
26 Dia yang Menghilang Tanpa Meninggalkan Jejak
27. Masing-masing Dari Kita, Memiliki Luka Yang Berbeda

18. Hati Yang Kembali Rapuh

1K 127 64
By Nonatypo

Ada 3 hal untuk mengapresiasi penulis: pertama vote, dua komen, tiga share. Btw, jangan silent reader, ya!❤️

Typo bersebaran harap di maklumi, namanya juga manusia. Tapi, jika berkenan tolong di tandai agar nnti bisa di revisi.

“Dia terlalu erat menggenggam bunga mawar, sampai ia tidak sadar, bahwa duri telah melukainya hingga berdarah. Tapi, ini bukan perihal bunga mawar.”

˙❥Happy reading❥˙
_____________________________


Jevian hanya mematung di pintu UKS tanpa kunjung masuk ke dalam. Padahal dia berniat untuk merebahkan badannya sebentar, sebab semalam ia tak bisa tidur. Namun, pada saat ia ingin masuk di sana terdapat Aksa dan Shaqueen yang sedang berseteru. Dan inti masalah dari perdebatan mereka adalah dirinya. Jevian paham Aksa pasti cemburu sebab kekasihnya selalu bersamanya setiap waktu. Namun, kebersamaan itu selalu datang tanpa terduga, di mana mereka selalu terjebak dalam ruang yang sama.

Apalagi akhir-akhir ini, Rama selalu menitip Shaqueen kepadanya. Jevian tidak bisa menolak sebab ia tak punya alasan untuk itu. Terlebih lagi seringkali ia melihat Shaqueen yang kesepian. Ia tak memiliki maksud lain, ia hanya datang untuk menghibur. Lagipula mana bisa ia masuk, pada hati yang sudah terisi penuh oleh seseorang yang sangat berpengaruh di hidup gadis itu. Jevian akan kalah telak.

Apalagi di lihat dari cara Aksa merengkuh gadis itu dengan erat, Jevian tahu pasti lelaki itu menyayangi Shaqueen begitu tulus. Mereka saling mendekap dengan penuh khidmat, merendam masing-masing ego dengan cara kembali menyatukan puing-puing hati mereka yang perlahan hancur lewat dekapan yang hangat. Jevian hanya bisa tersenyum tipis dan berharap hubungan mereka kembali membaik. Meski Jevian tidak tahu mengapa hatinya tiba-tiba terasa sakit.

Tepukan di pundaknya berhasil membuat lamunan Jevian buyar. Ia segera menatap ke belakang di mana ia menemukan Karin mengerutkan keningnya heran.

"Ngapain, Jev. Kok nggak masuk?" tanyanya.

Jevian langsung menoleh, "Gapapa," sahutnya. "Eh, Rin. Lo laper nggak? kebetulan gue laper, jadi ayo kita makan!' ucapnya lagi, lalu mengajak gadis itu pergi dari sana.

"Ih, gue mau ke UKS!" protes Karin, namun Jevian terus menarik tangannya.

"Nanti aja, Rin. Mending kita makan dulu, soalnya urusan perut tuh nggak bisa di tunda-tunda," ucap Jevian sembari mengelus perutnya.

Karina hanya terdiam dan mengikuti kemana pun langkah itu membawanya pergi. Seperti terasa dejavu pada saat dulu ia pun pernah merasakan kehangatan tangan ini, tangan yang sudah sekian lama tidak pernah ia rasa lagi kehangatannya. "Lo aneh banget," ucap Karina.

Jevian hanya tersenyum tipis sembari menoleh sekilas. "Aneh gimana?"

"Ya, aneh aja. Biasanya lo selalu ogah-ogahan buat deket sama gue. Tapi, kenapa sekarang lo tiba-tiba ajak gue?" tanya Karin.

Jevian tertawa hambar. "Ibarat bunglon yang berubah-ubah warna, mereka hanya akan berubah pada kondisi yang menentu. Dan karena gue lagi laper, kebetulan ada lo, ya, gue ajak lo dong. Gue males sendirian."

"Apa urusannya sama bunglon?" tanya Karina.

"Karena gue laper,"sahut Jevian, lalu berjalan memesan makan. "Mie ayam dua, yang satu pedes dan yang satu enggak ya, Bi. Oh iya, yang nggak pake pedes tadi jangan pake sawi juga, soalnya temen saya nggak suka sayuran. Emang aneh anaknya, nggak mau sehat kali ya, Bi?" ucap Jevian sembari terkekeh.  Sedangkan Karina hanya membeku di tempat, ternyata Jevian masih ingat bahwa ia tak suka sayuran dan juga pedas.

Sebenarnya Jevian tidak lapar, ia hanya tidak ingin Karin masuk ke dalam UKS. Ia takut nanti kehadiran gadis itu kembali membuat Aksa dan Shaqueen bertengkar hebat seperti tadi.

"Gue nggak laper, gue cuma nggak mau Shaqueen sedih karena adanya lo, Kar." batin Jevian.

Sedangkan di sebrang mejanya. Karina memandang Jevian yang sedaritadi hanya mengaduk-aduk mie ayamnya.

"Jev, katanya laper. Kok itu mie ayamnya cuma di aduk-aduk doang, sih?" tanya Karin, Jevian jelas menatap ke arahnya.

"Kayaknya ini kebanyakan kecap, gue nggak terlalu suka makanan manis," sahutnya seadanya.

Karian hanya mengangguk sembari mencapit mie ayamnya dengan sumpit. Lalu perlahan ia seruput mienya dengan lahap. Jevian jelas terkekeh lalu perlahan tangannya mengusap sudut bibir Karina yang belepotan oleh kuah.

"Makan tuh pelan-pelan, lihat blepotan kan jadinya," ucap Jevian sembari sibuk mengelap sudut bibir Karina.

Karina jelas memelototkan matanya pada saat Jevian mengusap bekas kuah di sudut bibirnya. Rasanya, ia ingin berteriak sekencang mungkin agar seisi sekolah mengetahui nya.

Karina hanya terkekeh, "Makasih," sahutnya yang hanya di balas anggukkan oleh Jevian.

Keheningan menguasi meja kosong empat itu, Karina tak mampu menerawang apa yang sedang Jevian pikirkan sekarang. Yang jelas sedaritadi lelaki itu banyak diamnya. Atau memang kecanggungan masih menyelimuti keduanya. Karina tidak tahu.

"Kar, gue boleh minta sesuatu sama lo?" ucap Jevian setelah sedaritadi geming.

Karina hanya mengerenyitkan alisnya tak paham, lalu ia mengangguk. "Apa?"

"Kalo ada apa-apa cari gue. Jangan cari, Aksa," ucap Jevian.

Alisnya bertaut, "Emangnya kenapa? Lo cemburu?" sahut Karina, sembari tertawa tipis.

Jevian menggelengkan kepalanya. "Aksa udah punya pacar, Kar. Gue kenal sama ceweknya, gue mohon sama lo jangan buat hubungan mereka semakin renggang hanya karena kehadiran lo di hubungan mereka."

"Gue akan jauhin Aksa, dengan satu syarat."

"Apa?"

"Kita harus pacaran," ucap Karina, yang berhasil membuat Jevian terdiam. Lalu beberapa detik kemudian ia tertawa terbahak-bahak. "Becanda yaelah, Jev. Tenang aja, gue sama Aksa udah nggak ada apa-apa kok. Gue nggak tahu kalo dia punya cewek seriusan. Setelah ini gue pasti akan jauhin dia."

Jevian hanya tersenyum sembari menatap ke arah Karina. "Makasih, ya, Kar," ucap Jevian lalu beranjak dari tempat. "Gue duluan."

Karina hanya mematung dan menatap punggung Jevian yang kini hilang dari pandangannya. Senyum itu kian pudar di ganti dengan perasaan yang kian sesak. Sedaridulu, Karina paham bahwa Jevian tidak akan pernah bisa untuk memahami perasaannya.

"Seenggak mau itu ya liat dia terluka, Jev? Jelas-jelas di sana lo yang akan terluka karena udah suka sama cewek dari mantan sahabat lo dulu. Harusnya lo lihat ke sisi lain, bahwa masih ada seseorang yang sedari dulu suka sama lo, tanpa lo tahu."

*  *  *

Bel sekolah sudah berbunyi, siswa-siswi mulai berhamburan keluar dari kelasnya masing-masing. Begitu pun dengan Jevian dan kawan-kawannya. Namun, pada saat ia ingin keluar tampak Shaqueen sudah berada di depan kelasnya.

"Pi, gue pulang sama, Aksa, ya. Makasih beberapa hari ini udah mau jadi ojek pribadi gue," ucap Shaqueen dengan sedikit tertawa.

Jevian hanya memutar bola matanya malas. "Gue bukan ojek pribadi lo, ya!" sahutnya tak terima. Namun, gadis itu justru semakin tertawa terbahak-bahak.

"Jev, ayo pulang!" ucap Karin, yang berhasil membuat mereka semua menoleh. "Kan, kata lo sendiri, kalo gue nggak boleh pulang bareng Ak—" belum sempat Karin meneruskan ucapannya, justru Jevian secara spontan membekap mulut gadis itu, lalu membawanya pergi.

"Gue duluan." Pamit Jevian, yang berhasil membuat mereka semua menatap heran.

Shaqueen yang semula tertawa kini mengatupkan mulutnya tak percaya. Ia tidak pernah menyangka bahwa Jevian dan Karina itu ternyata dekat, karena sebelumnya ia tidak pernah melihat mereka bertegur sapa ketika berpapasan di jalan atau pun di mana-mana.

Ia menoleh ke arah Mahen, namun lelaki itu menggedikkan bahu sebagai jawabannya. Shaqueen hanya berdecak kesal. Entah mengapa kini pikirannya malah bercabang ke mana-mana, pertanyaan tentang apa hubungannya Jevian dengan Karina seakan menjadi topik hangat di kepalanya. Harusnya ia senang jika Karina dan Jevian dekat. Karena dengan begitu hubunganya dengan Aksa akan jauh lebih aman.

Tapi ini justru berbanding terbalik, hatinya tiba saja merasa kesal. Entah karena ia yang menaruh rasa tak suka kepada Karina sehingga hal itulah yang membuatnya merasa tak suka ketika melihat Jevian bersama gadis itu.

"Wah, wah, roman-romannya ada yang mau memperbaiki hubungan yang tak sempat terjadi nih," ucap Haikal bocor, hal itu berhasil mendapatkan pelototan dari Janu.

"Hubungan siapa yang nggak sempet terjadi?" timpal Aksa yang baru saja datang dari arah belakang.

"Kepo banget lo kadal," sahut Haikal sembari memutar bola matanya.

"Enak aja cowok gue lo bilang kadal!" timpal Shaqueen sembari memelototi Haikal.

"Tapi cowok lo emang kadal, Sha. Hati-hati aja!" timpal Mahen, lalu mereka berempat pergi begitu saja meninggalkan Shaqueen dan Aksa berduaan.

Shaqueen hanya terdiam cukup lama, sehingga tangan Aksa berhasil menepuk pundaknya. "Kenapa diem? Kamu gapapa, kan?" tanya Aksa, namun gadis itu hanya mengangguk.

*  *  *

Sesuai dengan apa yang Aksa bilang sewaktu pagi kepadanya. Lelaki itu benar-benar mengajaknya untuk pergi ke suatu tempat yang belum pernah mereka datangi. Aksa mengajaknya ke sebuah Dermaga Muara Angke yang berada di daerah Jakarta Utara. Bukan tanpa alasan, Aksa sengaja memilih tempat itu untuk mereka bisa saling berpikir lebih luas, merendam segala emosi yang sempat meluap hanya karena kurangnya beradaptasi akibat kesalahpahaman yang akhir-akhir ini terjadi.

Nyaris tanpa celah, tempat ini sungguh-sungguh membuatnya merasa lebih tenang daripada sebelumnya. Di tambah ketika Aksa memeluknya dari belakang dengan jangka waktu yang cukup panjang. Lelaki itu menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Shaqueen, sembari berbisik. "Jangan kemana-mana, Sha."

Shaqueen terdiam, lalu membalikkan tubuhnya tepat ke arah Aksa. Ia melingkarkan kedua tanganya di pundak lelaki itu. Sembari tersenyum manis, matanya tak ada henti menatap ke arah Aksa, tanpa jeda. "Aku nggak pernah kemana-mana, Sa. Aku hanya punya satu akses jalan pulang, di sini, yaitu kamu."

Aksa tersenyum sembari membelai rambut kekasihnya. Lalu di detik kemudian ia memeluk tubuh itu dengan hangat. Menciumi pucuk kepalanya dengan perasaan yang mendadak sesak.

"Maaf, ya, kalo selama ini aku belum pernah kasih yang terbaik buat kamu," ucap Aksa sembari melepaskan pelukannya.

Shaqueen menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Kamu selalu kasih aku yang terbaik, Sa. Makanya waktu itu aku mau menerima kamu untuk — memulai hubungan ini hingga sekarang."

Aksa tersenyum, lalu menangkup wajah Shaqueen. "Sebanyak apa kamu mencintai aku, Sha?"

Shaqueen geming beberapa saat sembari menatap luasnya hamparan dermaga. Lalu, setelah itu ia menoleh. "Luasnya dermaga ini bahkan kalah luas dengan cinta yang aku punya buat kamu," sahutnya, dengan senyum paling tulus yang selalu Aksa lihat.

Aksa hanya mengangguk, sembari tersenyum."Jangan terlalu mencintai aku, Sha. Cintai aku biasa-biasa aja, aku takut semakin kamu mencintai  aku lebih dalam,  justru malah buat kamu lupa untuk pulang ke daratan."

Shaqueen terdiam, ia paham maksud dari arah pembahasan itu ke mana. Namun, bisakah untuk kali ini semesta membiarkannya jatuh cinta pada lelaki ini lebih dalam, sampai ia lupa tentang perbedaan yang membentang tinggi, yang jelas tak mungkin bisa mereka lalui. Entah sampai kapan ia akan terus menjelma menjadi budak cinta yang buta akan segalanya.

Aksa menghela napasnya, lalu memandang lekat netra hitam Shaqueen sembari mengingat betapa dinginnya hubungan mereka hanya karena salah paham.

"Karin nggak lebih dari sekedar masa lalu, Sha. Kamu mungkin tahu hubungan aku sama dia dulu cukup lama. Tapi, selama itu juga kami nggak pernah benar-benar jatuh cinta," lanjut Aksa.

Shaqueen mendongkak, lalu tersenyum kecut. "Jika selama itu kamu nggak pernah cinta sama dia, apalagi sama aku yang baru-baru ini ada di kehidupan kamu," sahutnya lalu memalingkan pandangannya ke arah lain.

Aksa menggelengkan kepalanya lalu mengambil kedua tangan Shaqueen. "Kamu akan marah nggak, kalo aku jujur akan satu hal?"

Shaqueen hanya menautkan satu alisnya. "Apa?"

"Janji dulu buat nggak marah?" ucap Aksa sekali lagi.

Jantung Shaqueen tiba-tiba saja berdegup lebih kencang, ia takut jika kenyataan ini membuat hatinya remuk lebih parah dari kemarin. Dengan susah payah ia menganggukkan kepalanya, tanpa berani bersuara.

Melihat raut wajah Shaqueen yang terlihat gelisah perlahan Aksa tersenyum sembari menyelipkan beberapa anak-anak rambut yang sedikit berantakan. Ia tatap mata teduh itu dengan perasaan yang tenang, seolah kejadian kemarin tak pernah terjadi.

"Kamu jelek kalo nangis. Jadi, jangan pernah nangis ya, cantik," ucap Aksa sembari tertawa.

Shaqueen hanya tersenyum, sembari menatap mata lelaki di hadapannya. Namun tetap sama, ia tak pernah menemukan jawaban apa pun di sana, selama ini Aksa terlalu abu-abu untuk dirinya. Padahal banyak sekali hal yang sudah mereka lalui, tapi kenapa mereka tidak pernah berada di paham yang sama?

"Jadi kamu cuma mau ngomong aku jelek?" tanya Shaqueen.

Aksa jelas menggeleng, "Bukan gitu, kamu selalu cantik, Sha. Maksud aku— jangan nangis.  Air mata kamu terlalu berharga, jadi simpan air mata kamu sebaik mungkin. Karena, tangan aku nggak selalu bisa ngehapus air mata itu setiap waktu. Intinya, aku nggak mau kamu nangis."

Rasanya Shaqueen ingin tertawa terbahak-bahak, mengingat betapa banyak yang kosong di ruas hatinya. Harusnya Aksa paham bahwa seluruh tangis itu luruh karena ulahnya.

"Tangis itu justru yang buat aku kuat, Sa. Di saat ruang-ruang di hati aku kosong karena seringnya kamu menghilang, kadang cuma dengan tangis itu aku bisa peluk diri sendiri." ada jeda di sana Shaqueen menanggahkan kepalanya ke atas, berusaha meredam segala tangis yang selalu ia tampakan di hadapan kekasihnya. "Tapi, aku berharap setelah ini, kamu bisa kembali mengisi ruang-ruang yang sudah lama kamu kosongkan, agar aku nggak ngerasa kalo cuma aku yang berjuang sendirian." Dan Shaqueen berharap setelah ini tidak akan ada lagi tangis yang terbuang hanya karena lelah berjuang sendirian.

Aksa terkesiap, perlahan ia menundukkan kepalanya. Ia sadar, ia sendiri yang memberi jarak antara keduanya.

"Maaf, ya, kalo aku udah buat hati kamu ngerasa kosong selama ini. Aku nggak bisa janji untuk selalu ada, tapi akan aku usahakan untuk ada di setiap kamu butuh, Sha," ucap Aksa, lalu setelah itu handphonenya berbunyi dan ia melepaskan genggaman tanganya. "Sebentar ya, aku angkat telepon dulu," lanjutnya lagi, lalu perlahan menjauh.

Shaqueen hanya bisa berdiam diri, menatap punggung Aksa yang berada cukup jauh di hadapannya. Lalu, ia kembali fokus menatap ke arah pantai dengan isi pikiran yang ia biarkan tenggelam dengan beberapa perasaan sesak yang sempat menderu di bagian angan.

Matahari tampaknya akan segera tenggelam, memancarkan semburat jingga yang tampak begitu indah, di tambah burung-burung kutilang yang berterbangan di langit sore itu  semakin menciptakan nuansa yang luar biasa.

Kini atensinya kembali  menatap ke arah Aksa, di mana laki-laki itu tampak baru selesai berbincang entah dengan siapa. Yang jelas, raut wajahnya tampak menekuk pada saat menatap manik matanya, ia tebak pasti setelah ini Aksa akan mengajaknya pergi untuk kembali pulang.

"Sha, kalo kita pulang sekarang gapapa? Aku ada urusan. Nanti kapan-kapan kita rencanain buat quality time lagi, ya?" ucap Aksa, sesuai dengan dugaannya tadi. "Oh iya, aku udah pesan gocar buat kamu. Maaf, aku nggak bisa anterin kamu pulang," lanjutnya sembari menunduk.

Shaqueen hanya menghembuskan napasnya. Tiba-tiba sesak itu kembali menyeruak setelah mendengar ucapan dari Aksa. Ia hanya bisa menampilkan senyum miring sembari menatap mata kelabu itu. "Urusan apalagi sih, sampe-sampe kamu tega suruh aku pulang pake gocar? Ini juga udah larut, Sa. Emang nggak bisa ya kalo kamu anterin dulu aku pulang? Aku nggak habis pikir sama jalan pikir kamu, baru aja beberapa menit yang lalu kamu bicara manis. Katanya kamu akan selalu berusaha ada untuk aku. Tapi, buktinya apa? Nggak ada. Omongan kamu itu cuma omong kosong!"

Aksa hanya bisa menghela napasnya panjang, sembari menatap manik hitam pekat itu dengan perasaan yang penuh sesak. "Maaf aku buru-buru, Sha. Nanti aku jelasinnya, ya? Pokoknya kamu tunggu di sini sampai gocarnya datang, aku pamit duluan." pamit Aksa, sembari mengecup singkat kening Shaqueen. Lalu, lelaki itu berlari ke arah mobil, meninggalkan Shaqueen sendirian di sana.

Lagi-lagi, ia merasa seperti debu yang terbawa oleh angin. Yang tak jauh pasti akan terjatuh, di tempat yang tak pernah di harapkan siapa-siapa. Ia hanya tersenyum kecut, meski air mata tak mampu bohong tentang rasa sakit yang menyelimutinya sore ini.

"Semakin aku yakin, kalo kamu nggak pernah benar-benar mencintai aku, Sa."












Bersambung...

Gimana sama Chapter kali ini?

Mau di team Jevian-Shaqueen?


Atau Aksa-Shaqueen?

Jangan lupa follow:

-@wp.nonatypo

-@jevian.arkana

-@alyartirta_

Continue Reading

You'll Also Like

3.3K 2.8K 22
[ with - ahn yujin ] "selamat tidur ya, buminya mentari"
19.3K 2.9K 19
[Completed] Ni-ki kehilangan ingatannya sejak diusir dari rumah keluarga angkatnya yang mengadopsinya 4 tahun yang lalu Ni-ki bahkan tidak tahu apa y...
799 154 13
Cerita ini menceritakan tentang anak remaja yang bernama awan. Awan adalah seorang anak remaja yang sangat baik hati dan senang ketika orang yang ad...
29.8K 2.1K 14
Benua Gastara menganggap hidupnya sudah tak berarti apa-apa. Langkah yang ia bawa tak lagi mempunyai tujuan pasti. Gasta masih hidup dan bernapas di...