Jevian

By Nonatypo

46.4K 5.6K 7.5K

[Sicklit, Angst] [SEBELUM BACA, JANGAN LUPA FOLLOW!] ••• "Kira-kira, bagian mana ya, yang Tuhan tunjukkan ke... More

00. Awal Dari Segalanya
1: Jevian dan Lukanya
2• Shaqueen Agatha Pricilla
3• Rumah Yang Tak Ramah
4• Sudahkah Bersyukur?
5• Dunia Terasa Sempit
6• Rindu Tak Berujung Temu
7• Meet Again
8. New Friendship
9. Khawatir
10. Insecure
11. Dia Yang Cantik Dari Segala Hal.
12. Seamin Tak Seiman
13. Luka Yang Mendekap Raga
14. Karena, Bunga Yang Gugur Pun Akan Tumbuh Kelopak Baru
15. Maaf, Jika Belum Seturut Yang DiPinta
16. Terima kasih, Jevian.
18. Hati Yang Kembali Rapuh
19. Hanya Butuh Sudut Pandang Baru
20. Pasalnya, Kita Juga Sama-sama Hancur
21• Hujan dan Hal Yang di Simpan
22• Pada Luka, Yang Berujung Duka
23. Harusnya, aku aja yang mati 'kan, Pa?
24. Aku Anak Papa, Kan?
25. Sisi Rapuh Yang Tidak Pernah Ditampakkan
26 Dia yang Menghilang Tanpa Meninggalkan Jejak
27. Masing-masing Dari Kita, Memiliki Luka Yang Berbeda

17. Dia yang Kembali

1K 133 88
By Nonatypo

Sebelum atau setelah kalian membaca cerita ini, aku cuma bilang; Jangan lupa meninggalkan jejak, meski hanya sekedar vote juga gapapa, aku sangat berterimakasih. Tetapi,  jika kalian ingin melakukan hal lebih, aku berkali-kali senang dan sangat-sangat berterimakasih. Karena, hal itu sangat berharga bagi aku selaku penulis.


"Dia bisa seenak jidatnya datang dan pergi. Tanpa peduli pada luka seseorang yang sering kali ia tinggalkan tanpa sebuah alasan yang pasti. Tidakkah cukup luka yang sempat membiru kala itu wahai seseorang yang tidak punya hati?"


˙❥ Happy reading ❥˙
______________________________

Setelah turun dari motor, Shaqueen memilih untuk pamit ke kelas terlebih dahulu, meninggalkan Jevian yang masih sibuk berbincang dengan beberapa orang di parkiran. Meski Jevian sempat menahannya untuk berdiam sebentar, namun ia lebih memilih untuk pergi. Ia tak terlalu suka keramaian.

Dengan langkah yang pelan, sesekali Shaqueen berhenti ketika ada beberapa guru yang menyapa. Lalu, ia kembali berjalan dengan pandangan yang berlarian kemana-mana, hingga ada satu objek yang berhasil menarik atensinya.

Ia berjalan ke arahnya, dengan perasaan yang tiba-tiba perih. Senyumannya perlahan memudar pada saat ia mengambil salah satu pot bunga yang berada di depan ruang kesenian. Meski sesak, ia tetap mengamati setiap kelopaknya, lalu ia hirup aroma wangi bunga tersebut dengan perasaan yang semakin sesak. Jangan tanya mengapa ia melakukan itu. Sebab, hal tersebut selalu ia lakukan sewaktu dulu— ketika Bundanya masih ada di rumah.

Ia ingat betul, bahwa bundanya begitu menyukai bunga ini. Karena setiap pagi, pasti Helena selalu menyiramnya sembari bersenandung kecil dengan raut wajah ceria. Hal itu, berhasil membuatnya bertanya-tanya mengapa bundanya begitu menyukai bunga itu.

"Bunda, kenapa bunda suka bunga krisan putih?" tanya Shaqueen kecil.

Helena yang sedang menyirami bunga langsung menoleh ke arah putri kecilnya. Ia tersenyum, lalu meletakan semprotan air ke bawah tanah. "Karena bunga krisan putih itu memiliki simbol cinta yang murni, kepercayaan, kesetiaan dan juga ketulusan. Bunda ingin bunga ini hidup di setiap sudut rumah, agar cinta dan ketulusan terus-menerus tumbuh di sekitaran kita."

Mengingat sepenggal pembicaraanya dengan sang bunda kala itu, membuat Shaqueen ingin tertawa terbahak-bahak. "Bunda nggak pantes menyukai bunga itu lagi. Karena begitu kontras untuk orang yang udah menghapus kata kesetiaan dalam simbol bunganya. Buktinya Ayah sama bunda bercerai juga, kan? Oh iya, ada yang ajaib tahu, Bun. Setelah kalian mutusin untuk bercerai. Bunganya pun ikut gugur, tepat setelah ketukan palu tanda kalian resmi bercerai. Mungkin bunga itu paham, bahwa di rumah udah nggak ada lagi yang namanya Cinta, kepercayaan, kesetiaan, dan juga ketulusan," ucapnya sembari tertawa getir. Meski beberapa detik setelahnya ada yang jatuh dari pelupuk matanya. Ia menangis. Namun tak lama, ia segera menyekanya.

Shaqueen kembali meletakan bunga Krisan itu ke tempat semula. Lalu ia segara bangkit dan kembali berjalan. Namun, sewaktu ia menatap ke arah lapang, lagi-lagi ia harus melihat pemandangan yang seharusnya tak ia lihat pagi ini. Lagi-lagi tawa itu terdengar begitu lepas, namun terdengar pilu ketika menelusup masuk kedalam telinganya.

Sudah satu minggu setelah dia masuk ke sekolah dan kejadian waktu itu, nampaknya membuat hubungan keduanya sedikit merenggang. Shaqueen kira Aksa akan berusaha lebih jauh untuk membuktikan bahwa semuanya memang tidak ada apa-apa. Namun, setelah kejadian satu minggu yang lalu hanya ada beberapa pesan saja yang di kirimkan oleh laki-laki itu.

Shaqueen kira Aksa merasa kehilangan atas sikap yang dia berikan beberapa hari terakhir ini. Namun, ternyata semuanya tak sesuai dengan yang ia kira. Aksa ternyata baik-baik saja. Bahkan terlihat sangat bahagia meski tanpa dirinya.

Tak ingin untuk terus menerus melihat apa yang membuatnya semakin sakit. Shaqueen memilih untuk terus berjalan tanpa sudi menatap ke arah Aksa yang kini juga sedang menatap kearahnya.

Sedangkan Jevian laki-laki itu hanya berjalan mengekor Shaqueen dari belakang. Laki-laki ini paham pasti lagi-lagi gadis itu terluka ketika melihat Aksa dan Karina berada di tempat yang sama. Jevian tak habis pikir dengan jalan pikir Aksa. Bagaimana laki-laki itu bisa tertawa lepas, sedangkan kekasihnya berusaha mati-matian untuk tetap terlihat baik-baik saja.

Jevian juga sadar di sana Aksa menatapnya dengan tatapan yang sengit. Perlahan-lahan laki-laki itu menghampirinya dengan tatapan nyalang. Hingga tak terasa jarak diantara Keduanya sudah saling berhadapan.  Mereka masih geming dan mematung satu sama lain. Entah sejak kapan tangan keduanya sama-sama mengepal.

"Udah cukup lo ambil apapun dari gue. Tapi, jangan berharap lo bisa ambil cewek gue!" celetuk Aksa.

Jevian hanya memutar bola matanya. "Gue nggak pernah ambil apa pun dari lo."

Aksa menyunggingkan senyumnya. "Ck, setelah apa yang terjadi sama semuanya, lo bilang nggak pernah ambil apa pun?" tanyanya sekali lagi.

Jevian hanya tersenyum tipis, dengan sorot mata yang dingin."Bahkan gue nggak tahu, sama apa yang sebenarnya terjadi diantara kita."

"Nggak usah pura-pura bego deh, Jev.  Orang lain mungkin boleh akui kalo lo itu hebat. Tapi, di mata gue, lo itu nggak lebih dari sekedar sampah!" celetuk Aksa.

Jevian tak memberikan reaksi apa pun. Ia mulai menilik wajah Aksa, dengan pandangan yang sulit di artikan. "Oh, ya?" tanya Jevian sembari tertawa hambar, lalu perlahan ia berjalan satu langkah lebih mendekat ke arah Aksa, sembari berbisik tepat di telinganya. "Di mata gue juga lo kayak gitu, brengsek. Dan apa lo tahu? status orang brengsek menurut gue jauh lebih dari sampah!" ucapnya pelan, namun berhasil menusuk ke dalam rongga-rongga hati rivalnya.

"Kalo lo nggak bisa jaga cewek lo, lebih baik lo lepas. Jangan denial!" lanjut Jevian.

"Mau gue denial atau nggak, itu bukan urusan lo!" sungut Aksa.

"Bajingan emang ya, lo! Perlu lo tahu, kalo udah nyangkut tentang Shaqueen, itu udah jadi urusan gue. Gue nggak mau dia sakit hati, apalagi lo penyebabnya!" sahut Jevian dengan nada yang di naikan satu oktaf.

Aksa hanya berdecih. "Ck, segitunya banget. Suka lo sama cewek gue?"

"Enggak. Tapi gue dapat amanah dari, Bang Rama. Buat ngejagain adeknya dari orang-orang brengsek. Dan lo salah satunya."

Setelah mendengar ucapan Jevian. Aksa sudah tidak bisa lagi menahan emosinya. Kini tangannya sudah berhasil mencengkeram kerah baju milik Jevian.

"Lo yang brengsek!" pekik Aksa, dengan emosi yang sudah meluap-luap. Lalu, detik berikutnya ia melayangkan satu pukulan ke arah Jevian.

Bugh!

Suara Aksa berhasil membuat siapa saja yang ada di sana menatap kearah mereka. Dan hal itu pun, berhasil membuat Shaqueen memberhentikan langkahnya ketika ia tak sengaja mendengar dua orang perempuan berbincang perihal ...

"Eh, lo lihat si Jevian sama Aksa berantem, nggak? Gila sih, sengit banget!"

Setelah mendengar dua nama yang tak asing baginya, perlahan ia membulatkan matanya dengan pikiran yang berlarian ke mana-mana. Tanpa banyak pikir panjang, ia segera membalikkan tubuhnya. Lalu, Shaqueen mulai berlari dengan detak jantung yang kian menggebu-gebu. Benar saja, di depan koridor dekat dengan lapang tampak segerombolan orang sedang bersorak.

"Ayo, Sa, habisin!"

"Nah gitu, Jev. Pukul aja, jangan kasih ampun!"

Lututnya lemas, ketika lagi-lagi ia mendengar nama Aksa dan Jevian kembali di sebut. Sebenarnya Ada apa? Kenapa semuanya terjadi begitu cepat. Setaunya tadi, Aksa sedang berada di lapang dan Jevian berada di parkiran. Namun, mengapa kini keduanya sudah berada di tengah lapang begitu saja? Shaqueen tidak tahu.

Tak ingin terus-menerus di hantui rasa penasaran, tentang apa yang ada di depan itu benar Aksa, dan Jevian atau bukan. Shaqueen segera menyerobot masuk ketengah-tengah kerumunan.

"Permisi," ucap Shaqueen sembari mencoba masuk ke lapangan. Setelah berhasil menyerobot masuk, Shaqueen langsung menutup mulutnya dengan ke dua tangan ketika melihat Jevian dan Aksa yang sedang saling hajar. Ia menatap ke arah sekeliling, di mana para siswa laki-laki hanya asyik menikmati perkelahian yang sedang terjadi di depan tanpa berniat sedikit pun untuk melerai. Rasa panik, takut, dan kesal itu kini menyatu. Dengan emosi yang kian meluap, Shaqueen masuk ke lapang lalu, berteriak sembari menatap nyalang ke arah para siswa di hadapannya.

"Bodoh banget! udah tahu ada yang lagi berantem. Bukannya di lerai malah di tonton!" umpat Shaqueen kepada beberapa siswa di sana. "Pergi nggak lo semua. Kalo nggak, gue laporin kalian semua ke BK!"ancamannya.

Teriakan Shaqueen berhasil membuat seluruh siswa yang tadinya asyik melihat perkelahian antara Aksa dan Jevian, Kini mulai menatap kearahnya. Shaqueen hanya berdecak lalu mengeluarkan handphonenya. "Kalian pikir gue becanda?" ucapnya sembari melihatkan kontak yang tertera di handphonenya. "Gua bisa hubungi Bu Tika, sekarang juga!" ancamannya sekali lagi. Hal itu berhasil membuat mereka menjauh dan kembali pada kegiatannya masing-masing. Meski sebagian ada yang berdecak tak suka. Namun, Shaqueen tak peduli dengan mereka. Setelah para siswa melebur, kini ia kembali menatap ke arah depan. Di mana Aksa dan Jevian masih saling adu tonjok. Shaqueen hanya bisa menarik napasnya kasar, lalu berjalan ke tengah lapangan.

"Aksa, Jevian, kalian budek? gue bilang tadi berhenti, kenapa masih berantem sih?!"

Dengan degup jantung yang tak beraturan sebenarnya ia takut terkena pukulan. Namun, persetan dengan rasa takut itu. Shaqueen tetap bertekad untuk memisahkan mereka dan berdiam diri di tengah-tengah ke duanya. Keberadaan Shaqueen di tengah-tengah Aksa dan Jevian berhasil membuat keduanya memberhentikan aksinya. Sedangkan gadis itu hanya menutup kedua matanya. Di rasa pipi atau badannya tidak terasa sakit. Shaqueen segera membuka mata, ia hanya bisa menghela napas tenang ketika ternyata ia baik-baik saja.

"Ah, syukurlah gue nggak jadi ketonjok," ucapnya, sembari mengelus-elus dada tanda lega. Tanpa mengingat dengan keberadaan kedua laki-laki di kanan dan kirinya.

"Kamu gapapa?" tanya Aksa.

"Lo gapapa?" tanya Jevian.

Pertanyaan dari Jevian dan Aksa yang bersamaan berhasil membuat Shaqueen tersadar. Lalu, ia mendongakkan wajahnya tepat pada saat maniknya menangkap dua sosok lelaki yang sedang menatapnya dengan sorot mata khawatir.

Tanpa mempedulikan pertanyaan dari keduanya, Shaqueen justru segera menarik lengan Jevian dan Aksa secara bersamaan ke pinggir lapang. Sedangkan ke-dua lelaki itu hanya geming dan mengikuti ke arah mana gadis itu membawa mereka pergi.

Kini obsidian nya menatap kearah Aksa dan Jevian secara bergantian dengan tatapan yang nyalang. Kedua laki-laki itu hanya terdiam dan bersi tatap dengan penuh kebencian. Shaqueen malah di buat bingung sebenarnya apa yang terjadi dengan ke-dua orang ini? Tak ingin banyak menerka ia lebih memilih bertanya menumpahkan rasa ingin tahunya.

"Udah ributin apa?" tanya Shaqueen sembari menatap ke arah dua lelaki itu secara bergantian.

Aksa dan Jevian hanya geming, tak ada yang berniat satu pun dari mereka untuk menjawab. Hal itu, semakin membuat Shaqueen berdecak kesal. Belum lagi melihat luka lebam-lebam dari wajah mereka, semakin membuat Shaqueen frustasi pagi-pagi seperti ini.

"Kita ke UKS, gue obatin luka lo berdua."

Aksa tak setuju dan langsung menyahut dengan suara yang berat. "Obatin aku aja, biarin dia obatin lukanya sendiri."

Setelah mengatakan itu Aksa langsung menarik lengan Shaqueen menjauh dari tempat. Yang bisa gadis itu lakukan hanya pasrah dan menuruti apa yang Aksa perintah. Meski tersirat sedikit rasa khawatir kepada Jevian. Namun, Shaqueen hanya bisa menatap laki-laki itu dengan tatapan yang nanar, seolah dari tatapan tersebut tersirat kata maaf yang entah untuk apa.

Jevian hanya membuang padangannya sembari menyeka darah di sudut bibirnya. Lalu, tanpa sadar ada uluran tangan entah milik siapa.

"Ayo, biar aku aja yang obatin." Suara itu berhasil membuat Jevian mendongkak. Lalu tiba-tiba dadanya terasa sesak pada saat tak sengaja menatap manik coklat yang sekian lama tak pernah bersitatap. Jevian hanya geming, menatap uluran tangan yang sedari tadi terulur di hadapannya.

"Makasih, gue bisa obatain luka gue sendiri," sahut Jevian dengan nada dingin.

"Kamu nggak lupa sama aku, 'kan?" tanya perempuan itu. Namun, Jevian tak berniat untuk menjawabnya, ia malah pergi  meninggalkan gadis cantik dengan rambut sepinggang yang baru saja menyapanya itu dengan perasaan yang dapat diartikan.

"Jevian!" panggil gadis itu berulang kali, namun Jevian tak  mempedulikan sahutan dari gadis itu.

Gurat kecewa mungkin terpampang jelas di wajah lugu gadis ini. Namun, di sana hati Jevian juga terasa begitu sakit. Lebih sakit daripada dulu, pada saat gadis itu memilih pergi tanpa sebuah alasan yang pasti. Sehingga sesuatu hal harus terjadi dan berakhir menjadi kesalahpahaman diantara mereka.

Dalam diamnya gadis itu hanya bisa menahan mati-matian rasa sesak yang kini menjalar ke ulu hatinya. Ini juga awal pertama ia kembali setelah beberapa tahun hilang. Dia kira semuanya akan berjalan baik-baik saja. Namun, dugaannya salah.

Mahen yang tak sengaja menatap kearahnya juga langsung membuang muka dan perlahan pergi begitu saja. Sakit. Rasanya teramat sakit ketika melihat mereka seakan-akan tidak mengenalinya sama sekali. "Ternyata, setelah gue pergi dari mereka. Mereka kelihatan baik-baik aja," ucapnya, meski gadis ini tak pernah mengetahui hal apa saja yang sudah terjadi selama ia memutuskan pergi.

* * * *

Jevian masih terdiam di  roftoop sekolah sembari mengingat kejadian beberapa menit yang lalu. Otaknya kini di penuhi dengan pertanyaan-pertanyaan. Salah satunya; apa yang baru saja ia lihat tadi itu benar-benar dia? Dia yang berhasil membuatnya mencari-cari kemana-mana. Dia yang membuat semuanya perlahan berubah. Lalu kenapa dia harus kembali datang, di saat semuanya sudah berangsur acak-acakan? Jevian tidak tahu.

Mahen yang sudah mengetahui pasti Jevian sedang menenangkan diri di roftoop sekolah. Dan ternyata benar, sehabis tangga menuju ke roftoop, ia melihat Jevian sedang duduk dengan wajah menunduk. Mahen hanya bisa menghela napasnya sejenak, lalu kembali berjalan dengan langkah gusar. Mahen paham, kenapa Jevian terlihat begitu semrawut pagi ini.

"Dia balik lagi."

Suara berat Mahen mampu mebuat Jevian tersadar dari sebuah lamunannya. Ia hanya bisa tertawa hambar dengan wajah yang menunduk. Meski batinnya seperti tercabik-cabik, namun apa yang bisa dia lakukan saat ini? Tidak ada. Waktu seolah-olah mempermainkan mereka dalam labirin waktu yang tak kunjung memberi jalan keluar. Hingga membuat mereka tersesat di tempat yang lama-lama membuatnya sesak.

Jevian mendongkak wajahnya menatap ke arah Mahen, lalu di detik kemudian ia tersenyum miring sembari mengangguk. "Percuma dia balik, kita akan tetap sama. Semuanya udah berjalan terlalu jauh, kan?"

Mahen hanya mengangguk. "Tapi, seengaknya bisa kita perbaiki, kan?"

Jevian menggeleng cepat. "Susuatu yang udah hancur sampai kapan pun, nggak bisa untuk di pulihin, Hen."

"Yes i now, Jev. Tapi, seengaknya kita coba?"

Jevian segera menatap ke arah depan, sembari tertawa getir. "Ck, coba buat buka luka lama maksud lo?"

Mahen langsung terdiam, lalu duduk di samping Jevian. Dia tahu semuanya memang sudah terlalu jauh untuk di kejar. Sudah terlalu rusak untuk di perbaiki. Sudah terlalu canggung untuk sekedar sapa. Semuanya seakan-akan berjalan tanpa terduga. Pergi tanpa pamit lalu kini datang tanpa di duga.

"Kata anak-anak lo udah ribut sama, Aksa?"

Jevian tak menjawab apapun. Namun terdengar helaan napas kasar dari arah samping. Mahen tidak tau harus berbicara apalagi sekarang.

"Mau sampai kapan?" tanya Mahen, sembari terus menerus menatap kearah samping, sedangkan Jevian masih tetap geming.

Satu menit, dalam keheningan akhirnya Jevian kembali membuka suaranya. Kini, suara itu terdengar begitu dingin, dan sorot matanya pun berbeda dengan biasanya.

"Maybe, Until one of us dies?" Sahut Jevian sembari tersenyum tipis.

Mahen langsung tersedak ludahnya sendiri. Jawaban sederhana itu, ternyata mampu membuatnya tak habis pikir. "Don't be crazy, Jevian!"

* * * *

Di UKS Shaqueen tak ada habis-habisnya memarahi Aksa. Hal tersebut bukan membuat Aksa berpikir, malah membuat laki-laki itu merasa gemas karena omelan kekasihnya ini.

"Kalo mau berantem nggak usah di sekolah. Mau jadi jagoan, hah?!" gerutunya, sembari menuangkan refanol pada kapas yang telah ia ambil.

Aksa hanya tertawa, "Kan, aku udah jago," sahut Aksa sembari mencubit gemas pipi Shaqueen.

Shaqueen hanya menghela napasnya kasar, sembari menepis tangan lelaki itu. "Sekali aja dengerin aku bisa? Nggak usah keras kepala!"

Aksa hanya tersenyum. "Kamu kemana aja, hmm? Satu minggu tanpa kabar. Tau-taunya lagi deket sama si brengsek itu," ucap Aksa, yang berhasil membuat Shaqueen memberhentikan kegiatannya.

"Kamu nyariin aku, nggak? Enggak, kan? Bahkan selama satu minggu aku ngilang aja, kamu gak ada tuh nyariin aku," sahutnya yang kini mulai kembali mengompres luka lebam di wajah Aksa.

"Kata siapa?"

"Kata aku lah barusan!" sahut Shaqueen sedikit ketus.

Aksa menghela napas. "Setelah kita berantem kamu nggak langsung pulang. Tapi, kamu nginep di sebuah gubuk tua, kan? Kamu juga ngamen sama mereka. Dan, aku juga tau beberapa hari ini kamu selalu habisin waktu kamu sama, Jevian."

"Kok kamu tau?"

Aksa hanya tersenyum. "Khawatir itu bukan ditilai dari seberapa pesan yang aku kirim. Tapi, dari seberapa besar usaha yang aku lakuin. Aku gak suka buang-buang waktu untuk ngetik beberapa pesan yang sekiranya nggak akan buat aku tau apa-apa, Sha." Aksa menjeda ucapan lalu menatap lekat ke arah wanitanya. "Kamu kira aku nggak perhatiin kamu? Bahkan aku juga tau pasti kamu udah salah paham lagi karena tadi liat aku sama, Karin," lanjutnya.

"Boleh nggak sih kalo aku marah? Karena lagi-lagi di belakang kamu malah dia. Aku ngerasa jadi pacar yang nggak berguna tau, Sha. Dari awal sampai satu minggu kamu di sekolah, aku belum pernah ada untuk kamu. Sampai-sampai mereka ngira kalau kamu sama Jevian itu punya hubungan. Padahal di sini aku yang berperan sebagai kekasih kamu. Bukan dia," ucap Aksa, lalu memalingkan wajahnya.

Shaqueen hanya geming, lalu tersenyum sumbang. "Kamu terlalu sibuk sama dunia kamu sendiri. Sampai-sampai kamu lupa ada aku di sini. Aku tau hidup kamu itu, bukan hanya untuk aku. Tapi, untuk hal lain juga. Tapi, Sa. Tolong kalau memang ada sedikit waktu senggang kabari aku. Pesan yang menurut kamu nggak penting itu, nyatanya penting buat aku," sahut Shaqueen.

"Dan, untuk mereka yang ngira aku pacaran sama, Jevian. Apa kamu ngebantah rumor itu, dan membenerkannya ke mereka, kalo sebenernya yang pacar aku itu kamu? Enggak, kan, Sa? Kamu nggak pernah ngenalin aku ke mereka, Sa. Yang mereka tahu kamu masih sama, Karin. Padahal di sini jelas-jelas aku pacar kamu." Tangisnya tak mampu lagi ia bendung. Rasa sesaknya semakin membuncah dan pecah secara bersamaan.

"Kamu tahu usaha aku buat bujuk Papa agar aku bisa pindah ke sini itu kayak gimana? Sampai-sampai Bang Rama yang bantu ngomong sama Papa, dan akhirnya aku di izinin untuk pindah ke sini. Kalau kamu nanya kenapa aku lakuin itu? Karena biar kita satu sekolah. Tapi, di hari pertama aku masuk, kamu malah lupa. Dan di hari-hari selanjutnya kamu selalu bilang sibuk. Tapi, di waktu yang bersamaan juga aku selalu lihat kamu sama, Karina. Perasaan aku di buat campur aduk sama kamu, Sa. Rasanya aku mau marah sama kamu, tapi nggak bisa." Shaqueen menjeda ucapannya, sembari menghampus kasar air matanya. "Kamu tahu hati aku selalu sakit,  ketika senyum yang terukir di bibir kamu lagi-lagi tercipta bukan karena aku. Melainkan karena, karina," lanjutnya sembari memalingkan wajahnya.

"Kalau kamu masih cinta sama Karin, kejar, Sa. Dan, ayo kita segera akhiri hubungan ini, aku gapapa," dengan hati yang lapang ia bersusah payah untuk tersenyum, meski di dalamnya meronta-ronta ingin segera berteriak.

Aksa menggelengkan kepalanya, lalu menggenggam lengan Shaqueen. "Nanti pulang sekolah kita quality time, ya? Kayaknya kita udah lama nggak jalan," ucapnya sembari menghampus jejak air mata Shaqueen. Lalu, di detik berikutnya ia membawa tubuh gadis itu ke dalam dekapannya. "Jangan ngomong ngelantur kayak tadi, aku bukan bermaksud mengalihkan pembicaraan. Aku cuma nggak mau ngebahas ini sekarang, di mana kita masih sama-sama emosi. Aku nggak mau permasalahan ini malah makin melebar kemana-mana," lanjutnya sembari membelai surai hitam rambut Shaqueen. "Aku minta maaf."

Dekapan Aksa selalu mampu membuat Shaqueen merasa nyaman, meski seringkali laki-laki itu membuatnya menangis. Tapi, di sisi lain, lagi-lagi lelaki itu selalu mengobati lukanya dan memberi pundaknya alih-alih untuk Shaqueen menumpahkan tangisnya di sana. Kini, sesaknya perlahan berangsur membaik, ketika ia berusaha menerima dekapan itu, dan memutuskan untuk menenggelamkan wajahnya dalam dekapan yang kian mengerat.




Bersambung...

Hayo, menurut kalian kira-kira yang dimaksud Mahen sama Jevian itu siapa? Ada yang bisa nebak?

Terus permasalahan Aksa sama Jevian juga gara-gara apa, ya?

Selamat menebak\(^o^)/

Untuk info lebih lanjut silahkan follow:

@wp.nonatypo
@alyaartirta_
@jevian.arkana

Spam for next🔥

Continue Reading

You'll Also Like

8.5K 1.5K 19
(COMPLETED) Allen Ma seorang lelaki pengidap narcolepsy yang menjalani kehidupannya sehari-hari hingga tanpa sengaja ia bertemu dengan seorang gadis...
29.8K 2.1K 14
Benua Gastara menganggap hidupnya sudah tak berarti apa-apa. Langkah yang ia bawa tak lagi mempunyai tujuan pasti. Gasta masih hidup dan bernapas di...
1.6K 222 54
Tenang adalah caraku untuk memahami semua apa yang terjadi di kehidupanku. [Ishara Yogaswara] Gila adalah satu kata untukku dan satu caraku menyembun...
1.4M 102K 44
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...