Jevian

By Nonatypo

52.8K 5.9K 7.5K

[Sicklit, Angst] [SEBELUM BACA, JANGAN LUPA FOLLOW!] ••• "Kira-kira, bagian mana ya, yang Tuhan tunjukkan ke... More

00. Awal Dari Segalanya
1: Jevian dan Lukanya
2• Shaqueen Agatha Pricilla
3• Rumah Yang Tak Ramah
4• Sudahkah Bersyukur?
5• Dunia Terasa Sempit
6• Rindu Tak Berujung Temu
7• Meet Again
8. New Friendship
9. Khawatir
10. Insecure
11. Dia Yang Cantik Dari Segala Hal.
12. Seamin Tak Seiman
13. Luka Yang Mendekap Raga
14. Karena, Bunga Yang Gugur Pun Akan Tumbuh Kelopak Baru
15. Maaf, Jika Belum Seturut Yang DiPinta
17. Dia yang Kembali
18. Hati Yang Kembali Rapuh
19. Hanya Butuh Sudut Pandang Baru
20. Pasalnya, Kita Juga Sama-sama Hancur
21• Hujan dan Hal Yang di Simpan
22• Pada Luka, Yang Berujung Duka
23. Harusnya, aku aja yang mati 'kan, Pa?
24. Aku Anak Papa, Kan?
25. Sisi Rapuh Yang Tidak Pernah Ditampakkan
26 Dia yang Menghilang Tanpa Meninggalkan Jejak
27. Masing-masing Dari Kita, Memiliki Luka Yang Berbeda
28. Pulang

16. Terima kasih, Jevian.

1.3K 152 126
By Nonatypo

Ada 3 hal untuk mengapresiasi penulis: pertama vote, dua komen, tiga share. Btw, jangan sinder, ya!❤️

Typo bersebaran harap di maklumi, namanya juga manusia. Tapi, jika berkenan tolong di tandai agar nnti bisa di revisi.

"Berterima kasihlah pada hal-hal yang menurutmu sederhana. Karena, bagi orang yang mendapatkan ucapan seperti itu, adalah suatu hal yang mungkin jauh lebih bermakna bagi dirinya."

˙❥Happy reading❥˙
_________________________________


Mati-matian Shaqueen menahan emosi pada saat Jevian mengajaknya berangkat sekolah sepagi ini. Lagian manusia waras mana yang sudi berangkat pukul 05.43 dini hari? rasanya Jevian terlalu rajin dan hal itu sangat berbanding terbalik dengan dirinya. Sialnya, mengapa dia harus terlibat hal konyol untuk pergi bersama laki-laki gila ini? Dan ya, tidak ada jawaban yang tepat. Sebab dia juga tidak tau harus berbicara apalagi. Pagi ini, sudah banyak sumpah serapah yang gadis ini lontarkan untuk Jevian.

"Lo emang selalu berangkat sepagi ini?" tanya Shaqueen, dengan suara yang hampir teriak.

Bisingnya suara kendaraan membuat Jevian tidak begitu jelas mendengar perkataan gadis di belakangnya. "Hah, apa, Sha? Nggak kedengaran," sahutnya sembari sedikit membuka visor motornya.

Shaqueen hanya bisa menghela napas kasar, lalu mendekatkan mulutnya ke arah helm yang Jevian kenakan. "LO EMANG SELALU BERANGKAT SEPAGI INI?" ulangnya lagi.

Jevian hanya menggelengkan kepalanya. "Enggak," sahutnya dengan seadanya.

Shaqueen membulatkan matanya, lalu menatap tajam Jevian lewat kaca spion. "Terus, kenapa lo ngajak gue berangkat sekolah sepagi ini, Sapi?!" gerutunya tak terima.

Jevian hanya bisa menghela napasnya panjang. "Kita harus anter Aji sama Raka ke sekolah barunya kalo lo lupa."

Shaqueen menepuk jidatnya. Ia benar-benar lupa jika hari ini adalah hari pertama Aji dan Raka masuk ke sekolah barunya. Padahal semalaman, ke-dua anak itu berulangkali memberitahunya jika esok adalah hari yang paling mereka nanti setelah sekian lama.

Sudah hampir satu tahun mereka menyimpan asa untuk mengenyam pendidikan di sekolah. Namun, kehidupan membawanya tersadar dan terdampar di jalanan untuk mencari sesuap makan. Meski seringkali nenek melarang, tetapi mereka masih bersikeras untuk banting tulang, alih-alih untuk meringankan beban nenek yang sudah ringkih. Meski terasa perih, ketika mendapati orang-orang yang bisa leluasa menikmati masa kecil. Justru mereka hanya bisa bersyukur menikmati kehidupannya dengan cara sederhana. Di jalanan, bersama hiruk-pikuk nya kota Jakarta, mereka berkelana. Hingga takdir membawanya kembali bertemu dengan manusia-manusia baik di sudut-sudut kota.

Kini jalan Sudirman masih sebagian kosong, kendaraan hanya ada beberapa yang berlalu lalang. Shaqueen menatap ke arah belakang, di mana terdengar gelak tawa Aji dan Haikal. Senyuman tipis mendarat di sudut bibirnya, meski sebagian perih ketika sadar bahwa selama ini ia kurang bersyukur terhadap kehidupan.

"Pi, gue kira Raka sama Aji itu, adik kakak kandung." Shaqueen terdiam beberapa saat, lalu menghela napasnya pelan. "Kok ada sih orang tua yang tega buang anak selucu mereka?" tanya Shaqueen lirih.

Jevian hanya menilik Shaqueen di balik kaca spion motornya, seolah sedang memastikan keadan gadis di belakangnya. Jelas sekali wajah gadis itu kini berubah menjadi sendu. Jevian tahu, pasti Shaqueen merasa iba. Hal yang sama seperti apa yang dirinya rasa ketika pertama kali bertemu dengan mereka.

"Di dunia ini, pasti banyak anak yang nggak di inginkan oleh orangtuanya. Anak-anak yang akhirnya di sia-siakan. Bahkan nggak jarang, mereka di bunuh tanpa sempat terlahir. Tapi untungnya sebagian masih ada yang mempunyai hati nurani untuk tetap membiarkan mereka hidup, meski akhirnya mereka buang juga," sahut Jevian.

"Tapi, nggak harus di buang juga, kan?" sahut Shaqueen dengan emosi yang kian menyulut. "Gue nggak abis pikir sama jalan pikir orang-orang kayak gitu. Sembilan bulan dia ngandung, terus begitu lahir dia buang? Kayak - pliss mereka nggak tau di untung banget! Di luar sana masih banyak orang yang menginginkan anak, tapi ini mereka udah di kasih anak malah nggak tahu diri!"

Jevian hanya mengangguk-anggukan kepalanya. "Nggak semua manusia punya pemikiran yang sama kayak kita, Sha. Banyak manusia yang hidup cuma mau enaknya aja. Orang-orang kayak gitu cenderung punya pemikiran yang lebih sempit. Hingga akhirnya mereka ambil jalan pintas untuk membuang hasil dari apa yang sudah mereka tanam."

Shaqueen memutar bola matanya. "Ya, minimal - Kalo nggak mau punya anak, Ya, nggak usah bikin anak lah. Nafsu doang di gedein, tapi tanggung jawab nggak ada sama sekali, miris!"

Jevian tak banyak bicara, ia hanya mendengarkan celotehan serta umpat yang gadis itu lontarkan untuk orang tua Raka dan Aji. Jevian paham dengan emosi Shaqueen yang membludak pagi ini. Lagian manusia mana yang tidak ikut marah ketika mendengar tentang kasus orang tua yang tega membuang anaknya? Mungkin, hanya para pelaku bejat itu saja yang tidak peduli.

•••••

SMP PELITA JAYAKARTA, tertulis di plang masuk menuju area sekolah. Sekolah ini memang bukan sekolah negeri. Hanya sekolah swasta yang berada di pinggir jalan. Bukannya Jevian tidak ingin memasukan Aji dan Raka ke sekolah negeri, tapi hal itu tampaknya akan sedikit sulit. Karena persyaratan yang dibuat oleh pemerintah sangat begitu ketat. Apalagi, Aji dan Raka sempat berhenti sekolah selama satu tahun ini. Jadi, swastalah jalan pintas yang Jevian cari.

Tetapi tenang saja, sekolah ini memiliki akreditasi cukup baik. Selain karena sekolah ini dekat dengan sekolahnya, Jevian justru memilih sekolah ini karena katanya sekolah ini sangat bagus. Setelah ia cari tahu, ternyata benar juga. Katanya, pemilik sekolah membangun sekolah ini karena siap menampung bagi siswa yang tidak di terima di negeri hanya karena belum cukup usia. Atau, karena banyak hal yang pasti sudah di ketahui banyak orang. Padahal, untuk menempuh pendidikan, bukan usia yang menjadi sebuah penghalang besar, asalkan seseorang itu sudah memiliki kesiapan dalam belajar.

Raka dan Aji, hampir di buat membisu ketika memandang tiap sudutnya. Hampir tak ada celah, sekolah yang dulu hanya bisa ia lihat di brosur kini berada tepat dihadapannya. Setelah mereka berdua turun dari motor, mereka tidak berkata apa-apa selain saling melempar tatap.

Aji mulai mendekat ke arah Raka sembari berbisik. "Bang, ini kan sekolah yang waktu itu kita lihat di brosur, kan?" tanya Aji. Raka segera menoleh lalu mengangguk. "Wah, apa kita akan sekolah di sini?" tanyanya dengan mata berbinar.

Raka hanya menggelengkan kepalanya, dengan sorot mata yang tak lepas memandang bangunan yang ada di hadapannya sekarang. "Abang nggak tahu."

Jevian hanya tersenyum, lalu merangkul pundak mereka. "Iya, kalian akan sekolah di sini." Hal itu praktis membuat Raka dan Aji mendongkak menatap ke arahnya.

"A-abang serius?" tanya Raka, yang di balas anggukan oleh Jevian. "Tapi, Bang. Sekolah ini pasti mahal," lanjutnya lagi.

Jevian hanya terkekeh. "Enggak kok, kata siapa mahal?"

"Kami tahu, waktu di jalan kami nemuin brosur tentang sekolah ini. Awalnya kami berkhayal jika suatu saat kami bisa sekolah di sini. Tapi, waktu aku lihat harganya, aku dan Aji sadar diri," sahut Raka sembari menunduk lesu.

Jevian hanya tersenyum, lalu mengangkat dagu Raka. "Emang kenapa sama harganya, hmm?"

"Mahal. Meski mungkin bagi sebagian orang bilang nggak mahal, tapi bagi kami-yang hanya seorang pengamen jalanan ini tentunya mahal. Kami nggak bisa buat bayarnya," sahut Raka dengan mata yang sedikit berair.

"Abang ngajak kalian kesini bukan untuk memberatkan kalian dengan bayaran. Kalian nggak perlu mikirin soal itu. Abang ajak kalian ke sini, biar kalian bisa belajar. Bukannya waktu itu kalian bilang, kalian mau sekolah, kan?" tanya Jevian, yang berhasil di angguki oleh keduanya. Jevian praktis tersenyum sembari memegang pundak Raka. "Jadi, abang cuma mau kalian fokus belajar. Soal bayaran itu semuanya udah jadi urusan abang, kalian nggak usah mikirin hal itu lagi, oke?"

"Tapi, Bang-" belum sempat Raka berucap, justru Rayhan menyela ucapannya.

"Raka, kamu bisa loh sekolah di sini secara gratis tanpa biaya," timpal Rayhan sembari tersenyum ke arah anak itu

Raka langsung menoleh. "Masa sih, Bang?" sahut Raka, "Emangnya nggak rugi?" tanyanya.

Rayhan menggelengkan kepalanya. "Enggak."

Raka hanya menautkan kedua alisnya. "Kenapa?"

"Karena, orang yang punya sekolah ini udah bosan kaya," timpal Aji, tanpa beban.

Ucapan Aji jelas membuat mereka yang ada di sana tergelak. "Mana ada orang yang bosan kaya sih, Cil timpal Haikal sembari tertawa terbahak-bahak.

Namun, anak itu justru berdecak sembari menatap nyalang ke arah Haikal. "Ya, yang punya sekolah ini. Kalo dia nggak bosen kaya, ngapain coba ngegratisin sekolah? Mubajir banget!"

"Ya, tapi nggak gitu konsepnya, Cil!" ucap Haikal.

Aji mendelik. "Bang Ikal diem aja deh, Abang tuh nggak di ajak!"

"Dih, nih bocil bener-bener. Gue tanya lo kesini tadi sama siapa?" tanya Haikal sedikit sewot.

"Sama si preketek-ketek."

Alis Haikal berkerut. "Preketek-ketek naon deui, Cil?" tanya Haikal.

"Tuh motor suaranya kan Preketek-ketek, kaya alien," sahut Aji sembari menunjuk dengan dagu ke arah motor Haikal. Hal itu justru dapat mengundang gelak tawa siapa saja, terutama Mahen yang dengan lepasnya menyemburkan tawa sehingga membuat siapa saja tertawa dengan terbahak.

Haikal hanya memutar bola matanya. "Wah, ini mah motor shaming!" ucapnya, sembari mengelus body motornya. Enak saja, untuk mengurus si biru-motornya ini, Haikal rela menghabiskan uang yang cukup banyak. Tetapi, anak bau kencur itu justru malam seenak jidat menyamakannya dengan alien. Benar-benar tidak abis fikri!

"Motor shaming apaan? Itu udah jelas, motor Bang Ikal tuh motor alien!" ucap Aji kekeh. Anak itu sudah seratus persen yakin, bahwa motor yang Haikal gunakan itu milik alien. "Coba deh, bang Ikal deketin kupingnya ke kenalpot, terus bandingin suara motor bang Jevian sama si preketek-preketek. Pasti beda!"

Haikal memijit pelipisnya, anak ini benar-benar membuatnya stres juga. Apa ini karma untuknya? Karena, dia selalu membuat teman-temannya frustasi karena tingkahnya.

"Ck, Alien tuh nggak ada ye, Cil! Suara kenalpot motor gue beda tuh karena udah gue modifikasi."

Percuma saja, mau sampai mulut Haikal berbusa pun, Aji akan terus mengelaknya. Karena, jika sudah berurusan dengan Haikal, anak itu sama sekali enggan mengalah.

"Kata siapa alien nggak ada? Ada kok, bang Ikal kan salah satu anggota dari aliennya. Pokoknya, tadi aku kesini sama si preketek-ketek, bukan sama bang Ikal yang jelek, titik!"

Haikal jelas berdecak. Anak ini sudah benar-benar menguji kesabarannya yang hanya setipis tissue passeo yang di belah dua. "Heh, bocil jangkung, lo kira tuh motor bisa jalan sendiri?"

"Bisa!" sahut Aji, dengan suara yang ia naikan satu oktaf.

Alis Haikal berkerut. Lalu, ia berjalan satu langkah lebih dekat dengan anak itu. "Masa iya, gimana coba caranya?"

"Kepo banget kayak dora!" jawab anak itu dengan kesabaran yang kian menipis.

Haikal hanya memutar bola matanya. "Lo, boots nya!"

"Dih, boots kan monyet. Aku bukan monyet, ya!"

"Gue nggak bilang lo kayak monyet ya, Cil. Kalo ngerasa mah syukur-syukur aja."

"Kata aku bang Ikal mending diem!"

"Kalo nggak mau?"

"Ngomong aja sana sama alien!"

Orang-orang yang ada di sana hanya menggelengkan kepala melihat perdebatan antara Haikal dan Aji. Padahal, sewaktu di jalan mereka berdua terlihat akur bahkan sesekali mereka tertawa-tawa. Namun sekarang, entahlah, manusia itu memang sulit untuk di tebak.

"Kal, lo udah gede ngalah aja kenapa sih?" timpal Janu yang sedaritadi geming, sedangkan yang di bahas malah cengengesan tak jelas.

"Tahu, huh!" serobot Aji, namun Raka segera menatap ke arah anak itu dengan tatapan nyalang. Aji terkesiap, lalu terdiam beberapa saat.

"Udah-udah, tadi kan kita lagi bahas kenapa sekolah ini ngegratisin sekolah, kan?" tanya Shaqueen mengalihkan. Aji dan Raka kompak mengangguk.

Shaqueen merasa gemas dengan anak-anak ini, perlahan tangannya mengusap surai rambut ke-dua anak itu secara bergantian. "Yang punya sekolah ini nggak ngegratisin secara cuma-cuma, kok. Tapi, ada syarat-syarat yang berlaku untuk mendapatkan kesempatan ini, yang di namakan dengan beasiswa terhadap siswa yang berprestasi. Jadi, kalau kalian memiliki prestasi di bidang akademik atau non-akademik, biasanya pihak sekolah akan kasih kalian beasiswa itu."

Aji jelas merenggut, wajahnya perlahan kembali menunduk. "Tapi Aji nggak punya prestasi apa pun, Kak. Berarti Aji nggak bisa dapat beasiswa dan sekolah di sini dong?" sahutnya dengan lesu.

"Loh kata siapa nggak bisa? Kalian kan emang udah sekolah di sini. Jadi, sekarang ayo kita masuk!" seru Jevian mengalihkan. Lalu, perlahan mereka berjalan, memasuki gedung sekohan.

Berbeda dengan Shaqueen yang kini masih terdiam di tempat sembari menatap punggung mereka yang kian menjauh. Ia menghela napasnya dalam-dalam, sembari menghirup oksigen sebanyak mungkin dengan senyuman yang kian mengembang.

"Gue kagum sama lo, Jev."

Sedangkan di sana, Jevian sadar bahwa ada yang kurang, ia segera membalikan badan menatap ke arah sekeliling. Namun nihil tak ada Shaqueen di sana.

"Loh, Shaqueen mana?" tanya Jevian.

"Lah iya, tadikan bareng kita," sahut Mahen.

"Kalian duluan aja. Gue mau cari Shaqueen dulu."

Raut wajah Jevian kini berubah panik. Setelah kejadian kemarin, Jevian selalu menaruh kekhawatiran yang sangat besar kepada Shaqueen. Jevian takut jika gadis itu akan kenapa-kenapa lagi. Jevian tidak ingin gagal dan lengah untuk yang ke dua kalinya.

Maka tanpa berlama-lama, Jevian kembali berjalan ke belakang, dengan pandangan yang sibuk berlarian kesana-kemari. Hingga akhirnya, netranya mampu menemukan Shaqueen yang ternyata masih diam di area parkiran sendirian. Jevian segera menghampiri gadis itu dengan raut wajah yang kentara sekali khawatir.

"Sha, Kok diem? Lo gapapa, kan?" tanya Jevian sembari memegang pundak gadis itu.

Shaqueen jelas terhenyak sembari menatap ke arah depan. Netranya kini saling beradu tatap dengan Jevian. Untuk yang kesekian kalinya, obsidian mereka kembali bertemu. Dan tatapan Jevian selalu sama, tulus.

Shaqueen tersenyum, lalu mengangguk. "Gue gapapa."

Mendengar itu, Jevian langsung menghela napasnya pelan. Jevian lega jika gadis ini tidak kenapa-kenapa. Semoga, tidak akan pernah terjadi sesuatu hal yang ia takutkan itu lagi. Dan Jevian pastikan, selama gadis itu ada di dekatnya, Jevian tidak akan membiarkan gadis itu terluka lagi.

"Syukur kalo gapapa. Kalo gitu, ayo masuk," ajaknya, sembari meraih tangan Shaqueen. Jevian juga tidak tahu, sudah berapa kali ia bisa selancang ini. Sungguh, ini benar-benar diluar kendalinya. Jevian tidak pernah seperti ini sebelumnya. Tetapi kali ini, di sini, tepat di tangan yang sedang Jevian genggam, Jevian baru pertama kali merasakan adanya sebuah kehangatan dan kenyamanan.

Jevian memang tidak bisa menjadikan ini sebagai sebuah alasan. Tapi, ia juga tidak memiliki alasan lain untuk bisa disuarakan selain kata nyaman.

Tindakan Jevian berhasil membuat Shaqueen terhenyak dua kali. Ia mulai melirik ke arah bawah, di mana tanganya kini di genggam oleh Jevian untuk yang kesekian kalinya. Entah mengapa, lagi dan lagi genggaman tangan lelaki itu selalu membuatnya merasa hangat. Perlahan ujung bibirnya melebar, pada saat Jevian menatap ke arahnya dengan senyuman paling tulus yang selalu lelaki itu berikan.

"Jev, makasih," ucap Shaqueen tiba-tiba.

Jevian hanya mengerutkan keningnya sembari menatap ke arah Shaqueen. "Makasih untuk?"

Shaqueen tersenyum. "Makasih udah mau jadi orang baik, makasih karena lo udah kasih kesempatan mereka buat belajar, makasih udah jadi malaikat tanpa sayap buat ke-dua anak itu. Semalaman, mereka nggak ada habisnya banggain lo, dan sekarang gue akui itu. Gue juga bangga sama lo, Jev," ucap Shaqueen dengan tulus. Hal itu berhasil membuat detak jantung Jevian berdegup tak beraturan.

Jevian tidak tahu, padahal apa yang di ucapkan oleh gadis itu cukup sederhana, tetapi kenapa berhasil membuatnya menjadi salah tingkah seperti ini?

"Jantung gue, kenapa detaknya kenceng banget. Gue nggak bakal mati sekarang, kan?" batinya. Sebelum akhirnya ia dan Shaqueen memasuki gedung sekolah dengan posisi tangan yang masih saling bertaut.







Bersambung...

Hai, gais sesuai dengan janji aku kemarin kalo udah 5k pembaca aku up. And finally, aku udah up ya. Makasihh, makasih banyak karena udah mau baca tulisan aku yang nggak jelas ini. Aku harap kalian suka dengan chapter kali ini, dan chapter-chapter berikutnya.

Untuk informasi lebih lanjut, jangan lupa follow ig:

@wp.Nonatypo

@jevian.arkana

SPAM FOR NEXT🔥

Continue Reading

You'll Also Like

701K 1.7K 35
menceritakan tentang perjalanan aira si gadis polos , yg menjadi lonte karna dititipkan dirumah om nya, yuk baca 20#sadis 28#bxg 9#binal 120#kejam 1...
4.2M 95.1K 47
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
825K 6.2K 12
SEBELUM MEMBACA CERITA INI FOLLOW DULU KARENA SEBAGIAN CHAPTER AKAN DI PRIVATE :) Alana tidak menyangka kalau kehidupan di kampusnya akan menjadi sem...
6.4M 367K 65
[USAHAKAN FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Nanzia Anatasya harus menerima kenyataan bahwa dirinya sudah dinikahi diam-diam oleh seorang Gus di pesantren tem...