BENALU YANG TAK TERLIHAT(Tama...

נכתב על ידי wienena

9.2K 561 40

Awalnya aku membencinya. Lelaki itu bagaikan Benalu di kehidupan kami. Tanpa kusangka sebuah rahasia terkuak... עוד

chapter 1
chapter 2
bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Bab 31
Bab 32
Bab 33
Bab 34
Bab 35
Bab 36
Bab 37
Bab 38
Bab 39
Bab 40
Bab 41
Bab 42
Bab 43
Bab 44
Bab 45
Bab 46
Bab 47
Bab 48
Bab 49
Bab 50
Bab 51
Bab 52
Bab 53
Bab 54
Bab 55
Bab 56
Bab 57
bab 58
ekstra part

Bab 25

108 8 0
נכתב על ידי wienena

Kedatangan kami langsung disambut hangat tuan rumah, apalagi setelah Bulek memperkenalkanku sebagai keponakannya. Keluarga Sony semakin baik memperlakukan kami.

"Cantik banget kamu, Sar. Siapa yang ngerias?" sapa Bulek setelah acara usai.

Aku yang tadinya tersenyum karena Bulek memujiku langsung memasang wajah cemberut. Bulek meledekku.

"Kok cemberut? Cantik beneran lho. Bulek nggak pernah lihat kamu dandan gini."

Aku kemudian mengerling genit, membuat wanita itu tergelak mencubitku pelan.

"Mana anaknya, Ridah?" sebuah suara menginterupsi obrolan kami. Nampak wanita paruh baya berpakaian rapi tergopoh gopoh masuk berjalan kearah kami.

"Masih ingat saya?" sapanya saat sudah ada di hadapanku. Aku mengangguk heran.

Dia Bundanya Nayya.

"Bagaimana kabar Ibu Bapakmu?"

"Baik."

Wanita itu menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Ia bahkan menyentuh wajahku dengan mata berkaca-kaca.

"Syukurlah."

Aku terperanjat tatkala mertua Fikar ini memelukku secara tiba-tiba.

Ada apa ini?

"Wi, sudah."

Bulek melerai kami karena menjadi pusat perhatian. Kulihat dari sudut mataku Bima dan Fikar juga tampak kebingungan.

"Maaf. Maaf. Saya terlalu senang. Dulu saya dan ibumu sahabat karib," Wanita itu menjeda ucapannya. Ia meraih kursi kemudian memintaku duduk di sampingnya. "Tapi ada satu peristiwa yang membuat kami renggang, "

Pantas saja saat Bulek menyebut nama wanita ini di depan ibu, reaksi Ibu berubah.

"Tapi ya, sudahlah. Itu sudah masa lalu. Yang pasti saya sudah berdamai dengan itu semua."

Aku melirik Bulek karena sama sekali tidak paham. Barangkali sepupu ibu itu tahu sesuatu, tapi Bulek malah mengangkat bahu tanda dia tidak tahu juga.

"Kamu sudah makan?" tanyanya Bundanya Nayya lagi.

"Sudah ...."

"Kamu bisa panggil saya, Bunda. Sama seperti Nayya. Kamu anak sahabat saya, jadi sudah sewajarnya saya anggap anak sendiri. "

Perlakuannya membuatku penasaran? Sedekat apa wanita ini dengan Ibuku dulu. Kenapa ibu tidak pernah cerita?

Untung Bima sudah kembali setelah dia pamit ke belakang beberapa menit lalu. Dia seakan menyelamatkanku dari suasana yang membuatku canggung ini.

"Kamu sudah kenal dengan mertuanya Fikar?" cecar Bima saat kami sudah menjauh.

Aku menggeleng cepat, "Baru ketemu dua kali ini, Bim. Aneh, ya, ada orang secepat itu ngerasa dekat padahal baru dua kali bertemu."

"Pantesan Nayya dari dulu anaknya supel banget. Niru emaknya rupanya."

Mumpung Bima sedang membahas Nayya, ada baiknya aku menanyakan beberapa hal tentangnya.

"Kalian sudah kenal lama?

"Junior di tempat les, jaman SMA. Nayya waktu itu masih SMP awal. Kenapa? Kamu mau tau juga Fikar kenal tuh anak sejak kapan?"

Sambil mengerucutkan bibir aku melengos, tak suka Bima langsung tepat sasaran menebak pertanyaanku.

"Iya, nggak?"ulangnya seperti sengaja menggodaku.

"Enggak." bantahku pelan.

Bima malah menatapku membuatku jengah. "Apa sih, Bim?"

"Cantik." ucapnya pendek.

"Apa?"

"Kamu cantik. Aku lupa mau bilang itu dari tadi."

"Apaan sih, Bim?"

Bima memang selalu bisa membuat pipiku memerah seperti ini.

"Cie, dia malu. Cie.... "

"Terus goda terus."

Bima tertawa kencang membuat tamu yang lain bersiul menggoda kami.

***
     Sebelum kami pulang, Lagi-lagi ibunya Nayya mencegah. Wanita berpenampilan anggun itu mencegat kami agar duduk sebentar. Ia masih ingin berbicara denganku.

"Kamu boleh main-main kerumah. Nanti Bunda buatkan salad yang enak banget."

Aku hanya bisa mengangguk-angguk biar bisa cepat pulang.

"Nayya ..." Tanpa kusangka wanita itu malah memanggil putrinya. Padahal sejak tadi sebisa mungkin aku menghindari agar tidak terlalu banyak terlibat dengan pasangan itu.

"Iya, Bun."

Tiba-tiba saja kepalaku pusing. Karena setiap perempuan itu muncul pasti suaminya ikut muncul, heran. Kenapa mereka berdua seolah tak mau pisah?

"Kamu masih simpan foto lama Bunda yang waktu itu?"

Aku berusaha tersenyum saat mereka ngobrol, berharap obrolan ini segera berakhir.

"Yang ini?"

Sekarang benda persegi itu menjadi pusat perhatian Bundanya Nayya.

Wanita itu menggeser benda persegi itu ke dekatku, "Ini foto jaman kami SMP. Ini ibumu dan ini Bunda."

Aku langsung tertarik, penasaran wajah ibuku versi muda. Kutaksir foto ini diambil di studio foto kuno, karena backgroundnya adalah lukisan gunung.

Tapi tunggu, ada sesuatu yang mengusik mataku tiba-tiba. Caption yang ada di atas foto itu menyita perhatianku.

Dewi Rumadani dan Faridah Andini, forever.

Aku mendongak menatap wanita itu. Dia masih tersenyum memandang foto itu tanpa sadar perubahan wajahku.

Apakah wanita ini adalah wanita yang namanya selalu di sebut Bapak?

"Anda, Dewi Rumadani?" tanyaku tanpa sadar.

Karena terlalu bersemangat membuatku keceplosan menyebut nama itu tanpa embel-embel, Bu atau sapaan lainnya.

Dadaku makin berdentum tatkala wanita itu mengangguk dengan begitu semangat.

"Iya, sahabat Ibumu."

"Apa bisa kapan-kapan kita bicara berdua?" tambahku setelah berhasil meredam rasa kagetku.

Mata wanita itu semakin terlihat berbinar.

Mataku tak juga beralih menatapnya. Rasa penasaran tentang nama Dewi Rumadani berputar-putar di otakku.

Siapakah dia, sehingga Bapak selalu menyebut namanya dengan emosi?

Apakah dia wanita ini yang melahirkanku?

Apakah dia penyebab Bapak jadi seperti ini?

****

   "Bapak kemana, Bu? " tanyaku sambil mencomot bakwan jagung yang baru saja Ibu angkat dari penggorengan.

"Lagi sama Mas El."

Aku manggut-manggut paham. Pemuda sok cakep bernama El itu seperti sudah berhasil menguasai Bapak. Seperti mereka adalah dua orang yang sudah saling mengenal.

"Bu. Ibu tahu El itu asalnya darimana? "

"Ibu sih sempat nanya, tapi lupa ya, coba saja kamu yang tanya sendiri, Nduk." jawab Ibu masih sibuk menyelesaikan memasaknya.

"Kenapa dia bisa ngekos di sini?"

Setelah kupikir-pikir kehadiran El di hidup kami seperti bukan sebuah kebetulan, ada yang janggal.

"Oh, soal itu ... "

Aku mengangguk tak sabar.

"Kamu ingat waktu dia mengantar Bapak saat hilang beberapa Minggu yang lalu?"

Aku lagi-lagi mengangguk menunggu Ibu meneruskan kalimatnya.

"Waktu itu Ibu sempat cerita kalau di belakang rumah ada tempat kos, eh beberapa hari kemudian dia datang lagi lalu bilang lagi butuh tempat tinggal."

"Dia nggak kerja, Bu?"

"Bukannya dia Ojol? Kan kamu pernah pakai jasanya."

Benar juga. Tapi kenapa aku ngerasa kalau Ojol hanya alasan dia biar tidak terlihat sebagai pengangguran.

"Dia sudah setorin KTP nggak, Bu? "

Kali ini Ibu mengerutkan dahi, Ibu bahkan mematikan kompornya setelah mendengar pertanyaanku.

"Kamu kenapa sih, Nduk? Nggak biasanya tanya sedalam ini kalau ada orang yang ngekos?"

"Habis El ini mencurigakan, Bu." bisikku membuat Ibu mendekatkan telinganya.

"Maksudmu? Jangan su'udzon, Nduk."

Aku mengangguk pelan, setuju dengan Ibu, kita nggak boleh gampang su'udzon. Tapi untuk kasus El ini, pengecualian.

"Kenapa Bapak cepat akrab sama dia? Bapak bahkan bisa tertawa kalau sama dia? Aneh kan, Bu? Sari yang tiap hari mencoba buat ajak bicara Bapak saja selalu di cuekkin."

Ibu memandangiku iba, apalagi saat ia tahu netraku berembun. Wanita segalanya bagiku itu sontak meraih tubuhku membawa kedekapannya.

"Ibu yakin suatu suatu saat Sari bisa tertawa sama Bapak. Sabar ya, Nak. "

Dengan cepat kuusap air mata yang sudah terlanjur menetes. Ibu tidak boleh melihatku sedih.

"Oh, ya, Bu... "

Demi keluar dari pembahasan yang bikin aku nelangsa, aku mengganti topik obrolan.

Ibu melepaskan dekapannya. Ia memandang wajahku lekat. Jarak kami sangat dekat saat ini.

"Kemarin Sari ketemu Dewi Rumadani, dia bilang teman SMP ibu,"

Aku tak menangkap ada yang berbeda dari wajah Ibu, ibu biasa saja. Sehingga aku putuskan untuk melanjutkan kalimatku,

"Bapak kalau lagi kambuh sering menyebut nama Dewi Rumadani. Apa Dewi yang Bapak maksud, Dewi yang Sari temui kemarin? "

Sesaat aku langsung menyesal. Wajah ibu mengeras, air mukanya tegang, Ibu berbalik menjauhiku dengan tergesa-gesa, menyisakan rasa penasaran yang ingin sesegera mungkin kupecahkan.

Ada yang masih di sembunyikan ibu dariku?!

Tbc

המשך קריאה

You'll Also Like

622K 27.2K 42
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...
563K 21.6K 46
⚠️ WARNING!!! : YOUNGADULT, 18+ ‼️ hars word, smut . Tak ingin terlihat gamon setelah mantan kekasihnya berselingkuh hingga akhirnya berpacaran denga...
6.6M 339K 60
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...
1.5M 138K 48
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...