Satu Cerita Untuk Kamu (Terbi...

By baeforlyfee

753K 85.7K 13.6K

Bercerita tentang Renjana Manohara, anak perempuan lugu namun ambisius, yang baru saja masuk ke bangku sekola... More

Masa Orientasi Siswa - 19 Juli 2019
Laksita kenal Radipta? - 21 Juli 2019
Anak kelas lain gak boleh masuk kelas ini! - 26 Juli 2019
Hari ulang tahun - 15 Agustus 2019
Radipta dan basket - 18 September 2019
Olimpiade Biologi - 20 November 2019
Olimpiade Biologi (2) - 20 November 2019
Self reward - 27 Desember 2019
Kanvas untuk Radipta - 5 Januari 2020
Tiga kabar bahagia - 10 Januari 2020
Gak ada manusia yang sempurna, kecuali Alin - 29 Januari 2020
Radipta lebih unggul dari seribu orang - 21, 22 Maret 2020
Pameran, kekesalan Radipta, dan pacar Alin - 2 April 2020
Tahun ajaran baru - 22 Juli 2020
Jadi, Alin memihak ku? - 1 Agustus 2020
Good luck buat 'kita' - 3 Agustus 2020
Rahasia Adhia - 9 Agustus 2020
Radipta si gamon? - 10 Agustus 2020
Harapan Radipta untuk Renjana - 15 Agustus 2020
Satu suara di dua telinga - 5 Oktober 2020
Radipta Abra Supala - 6 November 2020
Siapa yang lebih menyedihkan? - 3 Desember 2020
Studi kampus - 4, 5 Januari 2021
Sweet mistake - 5 Januari 2021
Angkringan dan jepitan kupu-kupu - 5 Januari 2021
Obrolan acak - 21 Januari 2021
Radipta suka siapa...? - 23 Januari 2021
Bisa lebih dari Alin - 3 Februari 2021
Tersenyum, untuk siapa? - 5 Maret 2021
Melukis hari pertama - 12 Maret 2021
Mengagumi tak henti - 16 Maret 2021
Satu kanvas beda makna - 26, 27 Maret 2021
Jangan jatuh cinta - 10 April 2021
Tragedi anak paskib - 18 April 2021
Jangan menghindar! - 28 Mei 2021
Dekat Radipta itu bahaya - 1 Juni 2021
Hilang begitu saja - 11 Juni 2021
Baik-baik aja, kan? - 19 Juni 2021
[Radipta POV] Gagal - 24 Juni 2021
Asal bahagia - 26 Juli 2021
Ketahuan - 6 Agustus 2021
Alasan yang sama? - 9 Agustus 2021
Double date? - 21 Agustus 2021
Perasaan Radipta - 25 Agustus 2021
Bahagia atau terluka - 28 Agustus 2021
Khawatir - 25 September 2021
Cuma pelampiasan? - 30 Oktober 2021
Kapan lupa? - 6 November 2021
Karena ia Radipta - 15 November 2021
Pasar malam sabtu - 17 Desember 2021
Tak salah langkah - 18 Desember 2021
Harapan besar tentang Radipta - 31 Desember 2021
Vera-Vero dan karcis keberuntungan - 15 Januari 2022
POV Radipta?
Alin dengan seribu kejutannya - 19 Februari 2022
Kabar dan buket kesedihan - 26 Februari 2022
Tetap baik-baik saja - 7 Maret 2022
Rindu Renjana waktu itu - 11 Maret 2022
Akhir cerita - 24 Maret 2022 (ending)
After ending
Sequel
TERBIT??? (Vote Cover)
Terbit

Siapa bilang Radipta jahat? - 4 Mei 2020

12.5K 1.3K 39
By baeforlyfee

"ALE JANGAN DIINJEK GORDENNYA!"

"Sepuluh gelombang kanan, sepuluh gelombang kiri~"

"ALE!!!"

"Iya, adek Kak Jill? Jangan marah-marah terus, dong, sayang."

Pemandangan Ale memasang gorden ditambah omelan dari Lena menjadi hal yang pertama kali aku lihat ketika masuk kelas. Badut IPA 6, itulah sebutan yang kami berikan pada Ale karena ia gemar bergurau. Dan Ibu kos, adalah sebutan untuk Lena karena ia gemar marah-marah. 

Keputusan Bu Dewi dengan menggabung mereka menjadi satu tim sepertinya salah besar. Pagi-pagi saja sudah bikin siswa di sepanjang koridor menutup kuping.

"Jana santai banget baru dateng." tegur Ale setelah beberapa detik aku diam di depan kelas menunggunya selesai memasang gorden.

"Makanya masuk tim bazaar, dong." sombongku.

Ale melipat kedua tangan di depan dada dengan ekspresi heran yang didramatisir. "Emang harusnya gue masuk ke bazaar, gak, sih? Bu Dewi apa gak liat gue udah berjiwa seni banget anaknya???"

"Pret. Bu Dewi pun kayaknya berat hati mau masukin kamu ke pameran."

Aku tertawa mendengar celetukkan Lena.

"Itu lukisan, Jan? Mau liat, dong!"

"Ih, iya. Liat-liat!"

Dengan sigap ku peluk kanvas-kanvas kecil tersebut seraya menggeleng.

"Nanti liat pas bazaar aja biar surprise." ku menoleh pada Ale dengan cengiran. "Sekalian jadi maskot, ya, Le. Siapa tau banyak yang beli."

"Nah, setuju."

"Siap. Bayaran kayak biasa, ya."

Lalu setelah bincang-bincang singkat, kami kembali sibuk dengan tugas masing-masing. Pameran mulai lebih dulu dibanding bazaar walaupun tempatnya berbeda, jadi mau tak mau tim bazaar harus keluar dari kelas dan langsung berkumpul di lapangan.

Aku keluar seraya menenteng beberapa ganci buatan Nisha. Lukisan sudah dibawa oleh anak laki-laki karena totalnya banyak dan lumayan berat.

Ku intip pameran kelas IPA 7 karena sedari tadi dari dalam kelas sangat tercium bau bunga melati. Dan benar saja dugaanku, kelasnya menggarap tema rumah hantu.

"JANAAA."

"ACHAL, JANGAN KELUAR-KELUAR DULU. MAKE UP-NYA BELUM SELESAI."

Mataku yang memang memiliki minus pun menyipit untuk melihat lebih jelas siapa sosok berambut panjang yang berlari ke arahku tersebut.

"HAHAHAHAHAHA."

Ku rasa ini pertama kalinya aku tertawa sekencang ini ditengah kerumunan orang berlalu-lalang. Dan Achal si kuntilanak lah pelakunya.

"Achal balik, gak?!"

Lalu di depan kelasnya berdiri teman sekelas Achal yang kalau tidak salah bernama Karin tengah berkacak pinggang dan menyuruh si kuntilanak kembali.

"Iya-iya ini balik." gerutunya lalu berbalik arah setelah berdadah-dadah padaku.

"Jana jangan lupa dateng ke pameran kelasku nanti!" ujarnya tanpa menatapku sebelum masuk ke dalam kelas.

Setelah ku perhatikan, tema pameran kelas lain ternyata banyak yang menarik. Selain kelas IPA 7 yang mengusung tema rumah hantu, kelas IPA 5 juga mengusung tema G30SPKI yang mana dua-duanya punya unsur menyeramkan.

Namun, kelas kami yang letaknya ditengah justru malah mengusung tema Disney. Jadi bila diperhatikan dari jauh, koridor tiga kelas ini seperti glow in the dark karena hanya terang ditengah.

"Kemarin di script gue jadi aladdin, ya!"

"Mana ada. Lo tuh jadi monyetnya, Le!"

Mulai lagi perdebatan antara Ale dan Lena. Karena tak mau makin pusing mendengarnya, jadi ku putuskan untuk segera pergi dari kelas.

"Radipta harusnya pameran, nih. Mukanya kan lempeng-lempeng aja, cocok jadi ajudan-ajudan yang mukanya datar."

Baru beberapa langkah berjalan, suara Heru sudah mengudara. Ia menyebut nama Radipta tapi sejauh mata memandang ku tak melihat wujudnya di depan kelas.

"Radipta kan banyak fansnya. Biarin aja dia di bazaar biar banyak yang beli."

Beberapa hari lalu memang ada acara formal dari sekolah yang membuat anggota OSIS sibuk mondar-mandir sana-sini, termasuk Radipta.

Wajah datar dan gaya jalan yang terkesan acuh tak elak membuat beberapa siswi yang baru melihatnya menjadi tertarik. Ku dengar beberapa kali ia dipanggil-panggil untuk sekedar ditanya siapa namanya. Tak tanggung-tanggung, bahkan ada yang spontan berteriak, 'Radipta gemes!'

Walaupun Radipta tak merespon dan hanya melaksanakan tugasnya sebagai anggota OSIS, tetap saja aku sedikit kesal.

"Ganjen amat. Pikirin utbk, tuh, Kak." celetuk Nayya pada saat itu yang sukses membuatku tertawa dan reflek menutup mulutnya. Bahaya kan, kalau ada yang dengar.

Kesimpulannya, saat ini sudah banyak yang tahu dan suka pada Radipta. Mau itu seangkatan, ataupun kakak kelas.

Selangkah lebih dekat dengan Radipta, selangkah pula ancaman mendekat pada ku.

"Padahal gue lebih ganteng dari Radipta, tapi kenapa gak ada yang naksir gue, sih." ucap Heru yang membuatku jadi prihatin pada Nayya. Benar-benar friendzone ternyata.

"Eh iya, Radipta udah di bawah? Ini buku-bukunya belum gue kasih."

"Aduh males ke bawah..."

Ku lihat Heru mengedarkan pandangan sampai matanya bertubrukan dengan mataku.

"Lo,"

"Apa?" tanyaku kaget.

"Mau ke bawah, kan? Minta tolong kasih ke Radipta, dong."

"Her, emang dia kenal..."

"Kenal, kok." Heru tersenyum lebar dengan alis terangkat ke arahku. "Kenal, kan, pasti?"

Mau tak mau aku mengangguk. "Iya..."

"Gak papa, nih, kita nitip ke lo? Kalo keberatan biar Heru aja yang turun ke bawah."

"Gak papa, kok." ucapku terlampau cepat yang membuat Helen terjengit kecil.

Sedangkan Heru disebelahnya masih memandangku dengan senyum meledek seperti awal tadi.

"Oke..." Helen menyerahkan totebag berisi setumpuk buku-buku yang ku kira isinya tak sampai sepuluh biji. "Berat, gak?"

"Enteng, kok. Bukunya tipis-tipis juga."

"Iya, ini sisaan yang belum dibawa tadi. Makasih banyak, ya...?"

"Jana. Renjana."

"Oh iya, makasih banyak, Jana." Helen melirik Heru. "Bilang makasih cepet,"

"Thanks, yaa. Gue doain sat-set-sat-set sama Radipta."

Wah, Heru benar-benar.

•••

Setelah sekitar sepuluh detik mataku berpencar mencari stand bazaar milik kelasku dan kelas Radipta, akhirnya ketemu juga.

Stand kami bersebelahan karena posisinya berurutan sesuai kelas. Jadi tak perlu bolak-balik, aku langsung menghampiri kedua stand tersebut.

"Kok lama banget, Jan. Ngapain aja?"

Nisha meraih totebag berisi ganci di tangan kiri ku. Kemudian menepuk-nepuk bangku di sampingnya. "Sini duduk."

"Bentar," aku mengangkat totebag di tangan kanan. "Mau kasih ke Radipta." bisikku dengan senyum tertahan.

Nisha membuka mulut seperti ingin bicara sesuatu, tapi ia urungkan karena menangkap sosok di stand sebelah tengah menatap kami. Akhirnya ia hanya mengangguk-angguk dan mengacungkan jempol di balik totebag.

Aku merapalkan doa dalam hati. Karakter Renjana di pameran kemarin, tolong kembali!

"Radipta,"

Sosok yang kini tengah duduk di bangku warna biru dengan kaki mengangkat untuk bertumpu di kaki lainnya itu mengangkat kepala. Tak bicara apa-apa, tapi aku paham tatapannya yang seakan bicara, 'ada keperluan apa?'

Ku kira setelah bincang-bincang kecil kemarin, kami akan semakin dekat. Tapi melihat responnya sekarang membuat harapanku pupus seketika.

Radipta, harus pakai cara apa lagi untuk mendekatimu?

"Titipan dari anak kelas lo."

Raut wajahku yang mulanya tampak bersemangat jadi luntur. Radipta hanya mengangguk setelah mengambil totebag yang ku serahkan. Bahkan ucapan terimakasih pun tak ada?

"Thanks."

Panjang umur.

"Sama-sama."

Dengan gerakan patah-patah, aku membalikkan badan dan menghampiri Nisha lagi untuk mempersiapkan bazaar.

•••

"Iri banget. Pengen liat-liat pameran juga jadinya."

Sekarang sudah pukul sebelas siang yang artinya sudah tiga jam kami duduk di stand bazaar. Entah salah strategi atau bagaimana, siswa yang mengunjungi stand kami tak begitu banyak, rata-rata mereka pergi ke stand makanan dan minuman setelah selesai mengunjungi pameran.

Bahkan lukisanku baru laku satu, itupun guru yang membeli.

"Lukisanku gak laku, ya, Sha. Apa kemahalan?"

"Kemahalan? Buat karya sebagus itu?" Nisha menggelengkan kepala. "Mereka aja jarang lewat depan sini karena panas. Gimana mau liat lukisan kamu dan beli, Jan."

Aku tak menanggapi dan sibuk dengan pemikiran sendiri.

Aku adalah orang yang selalu merasa kecewa dengan diri sendiri bila mendapat hasil yang tidak sesuai dengan usaha. Padahal kata orang-orang itu normal. Semua tidak ada yang instan. Tapi tetap saja pemikiran itu tidak bisa mengalir di dalam diriku.

Dalam pembuatan lukisan untuk bazaar kali ini memang belum menyentuh kata sempurna dengan standar yang ku buat sendiri, karena tentu diburu-buru oleh waktu. Tapi dengan waktu sesingkat itu, sangat ku maksimalkan setiap goresannya dengan penuh semangat dan kehati-hatian. Bahkan ku relakan mata tetap terbuka di beberapa malam.

"Jan, aku kayaknya harus ke kelas, deh."

"Kenapa?"

Nisha menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan foto Ale dengan Lena tengah berhadapan dengan ekspresi marah, bahkan sampai tunjuk-tunjukkan. Baru kali ini aku lihat ekspresi Ale seperti itu, mengingat ia adalah penghibur di kelas kami.

"Mereka berantem?"

"Kayaknya iya. Nayya udah ngespam aku, nyuruh kesana." Nisha memasukkan ponselnya ke dalam saku. "Kamu gak papa jaga sendirian?"

"Gak papa. Bentar lagi juga gantian yang jaga."

Nisha memang bukan ketua kelas. Tapi ia adalah satu-satunya orang yang bisa menjadi penengah ketika ada yang ribut di kelas, seperti sekarang contohnya.

"Semangat, Sha, misahinnya."

"Kamu juga semangat!" balasnya dengan lambaian sebelum menghilang dari pinggir lapangan.

Beberapa menit setelahnya aku hanya diam. Karena bosan jadi ku lirik stand milik kelas Radipta di sebelah kiri.

The power of Radipta. Bazaarnya sudah hampir kosong, bahkan ia terlihat ingin mencopot tenda sekarang.

Dari tadi memang standnya ramai terus. Entah mereka minat dengan isi bazaarnya, entah minat dengan Radiptanya. Sepertinya kebanyakan memilih opsi kedua.

Tak sadar melihatnya sambil termenung, sadar-sadar ternyata ia juga menatapku. Kami tatap-tatapan selama beberapa detik sebelum aku akhirnya nekat membuka suara,

"Udah beres?"

"Udah habis." jawabnya singkat.

"Ayo ke kelas, Ta," tegur teman kelasnya yang juga satu geng dengannya dan Heru, tapi aku lupa namanya.

"Duluan aja, gue mau pilihin buku buat adek gue dulu."

Radipta si family man. Makin terlihat sempurna saja di mataku.

Tak lama dari kepergian temannya, ia berjalan seraya menenteng buku gambar dan buku cerita untuk anak-anak. Tapi bukan itu poinnya, yang mengejutkan adalah ia berjalan ke arahku.

Aku sampai melotot saking kagetnya. Tapi ia hanya diam dan berdiri dengan santai di depan lukisanku.

"Gue mau beli."

"Apa?"

"Lukisannya. Semua."

"HAH?"

Kalau boleh hiperbolis, mungkin suaraku barusan terdengar ke seluruh penjuru lapangan. Intinya sangat besar sampai-sampai Radipta mengernyitkan dahi dan memandangku kebingungan.

"Beli semua banget? Ini banyak, loh."

"Ada berapa emang?"

Aku menghitung satu persatu dari kanvas kecil sampai yang besar. "Ada sembilan."

Hening sejenak.

"Ya udah, beli delapan."

Astaga. Aku tak tahu ingin bereaksi seperti apa karena terlalu banyak kalimat dan tindakan yang mengejutkan darinya.

"Ya udah..." satu persatu ku masukkan lukisan-lukisan itu ke dalam kardus besar. "Sebanyak ini, mau dipajang semua?"

"Mau dipajang di pameran."

Aku mendengus geli. Radipta bila bercanda seperti menyindir karena ekspresinya selalu datar. Sama sekali tidak cocok basa-basi.

Ku lirik dari ujung mata. Ia mengambil salah satu lukisanku dan memandangnya lamat-lamat. "Siapa yang bikin sebagus ini? Harusnya beneran dipajang di pameran."

Selain tidak bisa bercanda, ia juga tidak bisa berbohong. Jangankan wajahnya, dari suaranya pun sudah terdengar jelas ia pura-pura tak tahu.

"Ya siapa lagi."

Radipta terkekeh. "Gue suka yang ini."

Betul dugaanku. Radipta memang gemar lukisan yang berisikan makhluk hidup di dalamnya.

"Yang sejenis itu cuma ada sedikit tapi."

"Gak papa. Gue beli semuanya aja."

Terakhir, ku ikat kardus dengan tali rafia agar mudah di bawa, kemudian ku serahkan kardus tersebut pada Radipta.

"Berapa?"

Setelah ku sebutkan jumlah harganya, ia langsung membayar dengan uang pas.

"Makasih banyak." ucapku tulus dengan senyuman seraya menatapnya. Kali ini ku beranikan diri walaupun jantung sudah tidak terkontrol.

Radipta mengangguk.

"Abis ini kalo mau jual lagi, tawarin gue dulu. Temen-temen gue diluar sekolah banyak yang suka lukisan juga. Bukannya gak laku, pasar lukisan emang bukan tempatnya disini."

Setelah mengucap itu, ia berlalu begitu saja meninggalkanku yang lagi-lagi kaget.

Jadi daritadi ia dengar keluhanku?

•••

4 Mei 2020 - 'Laksita lihat sisi jahat kamu di bagian mana?' itu yang aku pikirin saat itu.

Continue Reading

You'll Also Like

895K 6.3K 10
SEBELUM MEMBACA CERITA INI FOLLOW DULU KARENA SEBAGIAN CHAPTER AKAN DI PRIVATE :) Alana tidak menyangka kalau kehidupan di kampusnya akan menjadi sem...
490K 52.5K 51
[SUDAH TERBIT] FOLLOW DULU SEBELUM BACA, PART PRIVATE ACAK Cerita Lama Belum Kelar Jika kita tidak di takdirkan untuk bersama lalu mengapa Tuhan sela...
16.9K 575 99
#3 in Komen 04-09-2021 #9 in Duniaoren 03-12-2021 Heyyo!🌈 Work ini dibuat khusus untuk kalian yang suka baca wattpad hehe Aku akan share cerita-cer...
848K 24K 55
Zanna tidak pernah percaya dengan namanya cinta. Dia hanya menganggap bahwa cinta adalah perasaan yang merepotkan dan tidak nyata. Trust issue nya so...