Our Stories

Από yennymarissa

52.7K 5.5K 924

"If you love someone, let it go, because if he returns, he will be yours. But if he does not come back, he ne... Περισσότερα

Regret - 01
Regret - 02
Regret - 03
Ambiguity
End of The Road
Maleficent
Time Lapse
Losing Us
Broken
Broken
Little Mermaid
White Lies
Lost Stars
It Takes Two To Tango

Too Late

3.9K 377 59
Από yennymarissa

Setahun yang lalu adalah titik terberat dalam kehidupanku. Pernikahan yang kuharapkan akan terjadi sekali seumur hidup, justru harus kandas setelah aku berusaha berjuang keras mempertahankan selama satu tahun lebih. Bahkan kandas dengan cara yang cukup tragis.

Suamiku—oh, maksudnya, mantan suamiku lebih memilih menemani mantan kekasihnya yang sedang sakit dibanding menuruti permintaanku untuk pulang dan menemaniku di rumah saat aku juga sedang tidak enak badan. Itu memang bukan pertama kalinya dia lebih memilih bersama dengan mantan kekasihnya. Tapi hal terakhir itulah yang membuatku memilih menyerah. Sudah cukup dengan semua rasa sakit yang kusimpan dan harapan yang kupupuk padahal aku tahu seperih apa luka yang diberikannya.

Aku patah hati.

Dan sekarang, setelah setahun berlalu, setelah aku berhasil perlahan menata hatiku dengan baik, aku tiba-tiba harus kembali melihatnya. Bukan hanya sekadar melihat, tapi dia juga menyapaku dengan tidak tahu malunya.

"Apa kabar, Gemi?"

Aku membuang napas pelan sambil mencari-cari apakah debaran yang dulu itu masih ada atau tidak. Tapi nihil. Aku tak menemukan debaran apa pun. Juga jenis perasaan benci atau kesal. Semuanya terasa biasa. Seperti layaknya bertemu dengan orang baru—atau mungkin lebih tepatnya orang asing.

"Seperti yang kamu lihat. Kabarku sangat baik."

Mantan suamiku itu—Abizar Winesa terlihat mengulas senyum tipis. Mungkin sedikit sangsi dengan jawaban tandas yang kuberikan tadi.

"Aku—"

"Kamu ada urusan denganku sekarang? Karena kalau enggak, aku harus pergi duluan. Klienku menunggu."

"Ah, maaf. Aku pikir kamu lagi sedikit senggang."

Sebelah alisku terangkat, bertanya. Tahu dari mana dia kalau aku sedang senggang atau tidak. Ini jelas pertemuan pertama kami setelah resmi bercerai setahun yang lalu. Aku menghindari semua hal yang berhubungan dengannya—bahkan awalnya sampai harus memutuskan komunikasi dengan mantan mertua dan mantan adik iparku. Tapi sepertinya Abizar cukup tahu diri saat memilih menghilang agar aku bisa lebih leluasa tetap berhubungan baik dengan keluarganya.

"Gemi, kalau aku minta waktumu buat ngobrol, kamu mau?"

Hah?

"Nggak perlu sekarang, maksudku. Mungkin setelah kamu pulang kerja? Atau kapan pun kamu bisa."

"Kita masih ada bahan buat diobrolin?"

Aku bisa melihat wajah Abizar berubah pias—walau detik selanjutnya berusaha menyunggingkan senyum maklum. "Kalau kamu nggak keberatan..."

"Nggak keberatan, sih. Tapi bingung aja buat apa," sahutku sambil mengedikkan bahu. "Ya, lihat nanti deh, ya. Aku masih harus kerja sekarang. Duluan ya, Zar."

Aku sama sekali nggak peduli dengan wajahnya yang terkejut saat mendengarku memanggil potongan namanya. Karena selama kami menikah, tentu saja aku memanggilnya dengan sangat sopan. Papa dan mama mengajarkanku untuk menjadi seorang istri yang patuh pada suaminya. Sayangnya, kejadian malam itu membuatku berada di ujung rasa lelah. Dan akhirnya memilih menyerah.

Ah, sudahlah. Aku tak ingin membahas kejadian menyakitkan itu lagi. Aku sudah mengubur semua kenangan pahit itu dalam-dalam. Lukanya sudah sembuh, walau harus kuakui memang meninggalkan bekas. Tapi aku tak ingin lagi menoleh ke belakang. Hidupku terlalu berharga untuk terus membahas masa lalu. Lebih baik aku segera menemui klienku agar pekerjaanku hari ini cepat selesai.

"Gemintang Putri?"

Aku mengernyit kecil saat mendengar laki-laki di depanku memanggil namaku.

"Saya Sangga. Tunangannya Leoni Permata."

"Oh!" Aku reflek saling menepuk telapak tanganku. "Mbak Leoni-nya ke mana, Mas?" tanyaku sambil duduk di depannya. Karena yang kutahu, klienku kali ini bernama Leoni Permata.

"Lagi ke WC sebentar. Tapi minta saya yang temuin kamu dulu. Kira-kira udah bawa beberapa pilihan konsepnya, kan?"

Kepalaku mengangguk, lalu mengeluarkan beberapa gambar konsep pernikahan yang disediakan oleh tempat usahaku; LovzBride—sebagai wedding organizer yang sudah cukup memiliki nama. Aku sedikit kagum saat laki-laki bernama Sangga ini begitu antusias memilih beberapa tema sambil menanyakan banyak hal. Bukannya apa, biasanya para klien lelaki yang kutangani sendiri lebih sering iya-iya saja pada pasangannya. Kadang aku sampai kasihan dengan calon pengantin wanitanya.

Sekitar sepuluh menit kemudian, seorang perempuan yang kukenal sebagai Leoni Permata itu akhirnya muncul. Dia perempuan cantik yang memang cocok sekali dengan calon suaminya. Aku selalu senang sekali melihat para pasangan yang memakai jasa usahaku mulai berdiskusi membicarakan tentang berbagai konsep pernikahan yang mereka inginkan. Sesuatu yang dulu tak pernah bisa kurasakan.

"Kalau menurut Mbak Gemi konsep yang kami ambil, oke nggak?"

Eh?

Aku mengerjap bingung, tapi langsung segera menormalkan raut wajah dan memasang senyum ramah. Tentu saja ramah, aku tak ingin membuat klienku kecewa. Apalagi semua klien yang kutangani sendiri itu adalah klien yang membayar harga lebih mahal dari yang biasanya. "Oke kok, Mbak. Selera kita kayaknya sama. Lebih suka konsep intimate wedding," jawabku terkekeh, lalu mulai menunjukkan beberapa pilihan dekorasi sampai busana pengantin yang sekiranya cocok untuk konsep yang mereka pilih.

Aku sedikit takjub juga saat pasangan itu justru lebih mendengarkan saran-saran dariku dibanding mengambil pilihan mereka sendiri. Seolah benar-benar mempercayakan pesta pernikahan mereka padaku sepenuhnya. Aku senang, tentu saja. Itu membuatku merasa semakin diberikan kepercayaan lebih.

Cukup lama kami membicarakan konsep intimate wedding pilihan mereka—yang tetap saja tidak menekan pengeluaran karena mereka memilih semuanya dengan harga yang mahal.

"Aku mau semua yang menyangkut pesta pernikahannya diurus sama LovzBride ya, Mbak. Sampai ke detail-detail kecilnya."

Oh, oke.

"Mungkin nanti kita akan sering diskusi ya, Mbak Leoni."

Setelah cukup berbasa-basi, kami mengakhiri pertemuan pertama kami siang ini. Pertemuan dengan Mbak Leoni dan Mas Sangga sangat menyenangkan. Aku seperti sedang diberi kepercayaan penuh dan itu semakin membuatku semangat untuk memberikan yang terbaik. Sempat terbersit tanya dalam benakku, kalau mungkin perasaan senang seperti ini ketika mempersiapkan pesta pernikahan. Dulu aku tak bisa melakukannya sendiri, karena pernikahanku dan Abizar adalah hasil perjodohan.

Sayangnya, rasa senang dan senyuman di bibirnya perlahan mengendur saat menemukan sosok yang berdiri di dekat mobilnya.

Serius ini mantan suamiku menungguku daritadi?

Ada apa sih, sebenarnya?

Abizar pasti jelas tahu kalau aku sudah tak mau lagi berurusan dengannnya. Tapi kenapa tiba-tiba dia jadi tidak tahu malu seperti ini? Bukankah selama setahun terakhir dia sudah menghilang dan kami tak pernah lagi bersinggungan?

"Gemi..."

Aku sengaja membuang napas kasar di depannya. "Maumu itu apa sekarang, Abizar? Kupikir urusan kita udah selesai di pengadilan agama setahun yang lalu, kan?"

Lho, kenapa Abizar harus menampilkan sorot terluka karena kata-kataku barusan? Dia ini lagi mencoba berperan sebagai korban, ya? Menyebalkan sekali.

"Aku... cuma mau ngobrol sebentar."

Lagi, aku membuang napas keras. "Ya udah, ayo." Jika saja Abizar meminta waktuku di awal-awal perceraian kami, aku yakin sudah mencakar habis wajahnya tanpa ampun. Beruntung dia memilih waktu yang cukup tepat karena aku sudah berhasil mengatasi rasa sakit di hatiku akibat kelakuannya dulu.

"Jadi, apa yang mau kamu bicarakan sekarang?" tanyaku setelah cukup lama membiarkannya diam, hanya menatap wajahku tanpa melakukan apa pun.

Abizar membasahi bibirnya—terlihat sekali berusaha menutupi kegugupan, yang entah dilakukan untuk apa. Seingatku, sepanjang kami menikah, dia bukan tipe laki-laki yang mudah diintimidasi—walau juga bukan laki-laki yang otoriter. Selain kesalahannya yang masih mencintai dan selalu menemui sang mantan kekasih, Abizar itu adalah suami yang bertanggung jawab. Ya, tentu. Termasuk meniduriku sekalipun tak pernah mencintaiku sebagai istrinya.

"Kamu... kelihatan bahagia sekali."

Sebelah alisku terangkat penuh tanya. "Kamu mau aku nggak kelihatan bahagia?"

"Bukan, bukan itu." Abizar seketika menggeleng kuat menyangkal tuduhanku padanya.

"Ya, lalu apa? Jangan bertele-tele bisa, Zar? Kita sama-sama bukan orang yang punya banyak waktu buat basa-basi, kan?"

Aku tidak peduli kalau terkesan tidak sopan pada orang yang lebih tua. Seharusnya Abizar tahu diri kalau kami bukan lagi sepasang suami-istri dan aku tak memiliki kewajiban untuk bersikap lembut padanya. Aku sudah memaafkannya, tentu. Tapi tidak untuk bertingkah selayaknya kami adalah teman lama. Aku tidak memiliki hati seluas itu.

"Selama ini, aku nggak pernah punya kesempatan buat minta maaf sama kamu."

Aku terdiam.

"Seharusnya aku berlutut dan mencium kaki kamu sambil minta maaf buat semua yang udah aku lakukan ke kamu."

Aku masih belum mengerti apa tujuan Abizar sebenarnya. Dia menghilang entah ke mana sejak perceraian kami, tapi sekarang tiba-tiba mengucapkan permintaan maaf dengan wajah yang terlihat begitu menderita. Kenapa? Kenapa tiba-tiba begini?

"Aku tahu, aku nggak layak buat dimaafin, setelah semua luka yang aku kasih. Bahkan karena aku, kita harus kehilangan—"

"Cukup." Aku memotong cepat, sebelum Abizar sempat menyelesaikan kalimatnya. Aku tidak ingin lagi mengingat kejadian pahit malam itu.

Abizar menatapku nanar.

Untuk apa sih, dia mengingat cerita yang sudah lalu? Cerita pahit pula.

"Aku nggak mau bahas apa pun tentang masa lalu, Zar. Bisa kamu ngerti itu?"

"Tapi aku sadar ada banyak hal tentang masa lalu itu yang belum benar-benar selesai."

"Bagiku, semuanya udah selesai waktu palu hakim diketuk. Kamu mungkin nggak hadir waktu itu, tapi kurasa kamu cukup pintar buat sadar kalau semuanya udah berakhir."

"Gem..."

"Aku udah maafin kamu, Abizar. Itu yang mau kamu dengar, kan?" Aku bertanya, sama sekali tak memberinya kesempatan bicara lagi. "Jadi, kupikir pembicaraan kita cukup sampai di sini. Kamu tenang aja. Aku benar-benar udah maafin kamu. Hiduplah dengan baik bersama perempuan yang kamu cintai setengah mati itu. Aku tulus mengharapkan kebahagiaan kalian."

Setelahnya, aku pergi. Sama sekali tidak peduli dengan Abizar yang mungkin masih mematung mendengar semua perkataanku tadi. Tapi aku sungguh-sungguh dengan kalimatku. Jika saja aku belum berdamai dengan semua kesakitanku, tentu aku tidak akan mengharapkan hal itu. Biar saja. Pembalasan bukan hakku.

Sialnya, aku justru termenung sesampainya di dalam mobil. Batinku bergejolak hebat saat kenangan demi kenangan tentang pernikahanku yang termasuk singkat itu kembali terputar di benakku. Aku masih ingat sesering apa aku menghabiskan waktu untuk menunggunya pulang. Kupikir waktu itu Abizar memang sedang sibuk dengan urusan kantor, tapi di bulan ke lima pernikahan kami, aku baru sadar kalau dia sering menemui mantan kekasihnya.

Yolara Diani, namanya.

Banyak yang udah kukorbankan buat pernikahan ini, Gemi. Tapi aku nggak mau mengobarkan rasa cintaku buat Yola. Nggak sekarang, nggak juga nanti. Cukup aku meninggalkan dia buat menikah sama kamu. Tapi aku nggak akan melupakan dia sampai kapan pun.

Itu jawaban panjang yang diucapkannya saat aku mengamuk memakinya setelah tahu dia pulang dari rumah perempuan itu. Konyolnya, setelah pertengkaran malam itu pun, aku masih memilih bertahan. Aku mengatakan akan berusaha membuat pernikahan kami selayaknya pernikahan normal. Demi orangtua kami, dan juga demi hatiku sendiri—yang sudah menaruh hati pada laki-laki yang saat itu sudah menjadi suamiku.

Aku pernah menemui Yola setelah malam pertengkaranku dengan Abizar. Saat itu aku berusaha keras untuk menegakkan kepala kala Yola jelas sekali menatapku remeh karena tahu statusku sebagai seorang istri tidak lebih tinggi dibanding sebagai perempuan yang dicintai suamiku sendiri. Aku marah, malu dan rasanya ingin menghancurkan Abizar dan Yola dengan tanganku sendiri. Tapi demi harga diriku, aku membabat habis kepercayaan diri Yola dengan kalimat tajamku waktu itu.

Abizar mungkin mencintai kamu. Entah untuk berapa lama nantinya. Tapi aku bisa memastikan selama apa pun rasa cinta itu, kamu akan tetap menjadi seorang simpanan. Dicintai sebesar apa pun, tidak akan pernah ada harganya kalau cuma jadi perempuan yang disimpan dari dunia, kan?

Aku sama sekali tidak merasa jahat setelah menjatuhkan harga diri Yola siang itu. Tapi sialnya, Abizar justru memarahiku karena Yola yang mungkin sudah mengadu banyak hal pada laki-laki itu.

Aku nggak selingkuh, Gemi! Apa belum cukup aku meninggalkan dia demi pernikahan sialan kita ini?! Jangan pernah temui Yola lagi. Kamu cuma lagi menunjukkan seberapa menyedihkannya hidup kamu.

Aku ingat kalau aku menangis lagi malam itu. Selama tiga hari aku mendiamkannya, tapi tetap saja tak mampu mengabaikan tanggung jawabku sebagai seorang istri. Aku tetap saja melayaninya dalam segala urusan. Aku bertahan lebih dari tiga bulan menjadi perempuan bodoh. Kusimpan rapat-rapat rasa sakitku seorang diri. Kusemai harap demi harap kalau suatu hari nanti suamiku pasti akan berubah mencintaiku. Aku bersaing dengan perempuan yang begitu dicintainya.

Sayangnya, malam itu aku tak sanggup lagi. Ketika aku sedang merasakan sakit di seluruh tubuhku—di hari yang sama saat paginya aku baru mendapatkan hasil positif dari tespek yang kugunakan. Aku menelepon Abizar berkali-kali agar segera pulang karena aku sangat membutuhkannya—sebab asisten rumah yang kami pekerjakan memang hanya sampai sore hari. Malam itu tubuhku tiba-tiba terasa lemah dan mulai menggigil hebat. Tapi tahu apa yang kudapatkan setelah panggilanku yang kelima baru mendapatkan jawaban?

Aku lagi temenin Yola di Bandung. Papanya tadi pagi meninggal dan dia sendirian sekarang.

Aku menangis sambil mengamuk, berteriak, memakinya malam itu. Memintanya segera pulang tak peduli apa pun yang terjadi pada mantan kekasih yang sangat dicintainya itu.

Jangan kekanakan, Gemi! Aku nggak pulang malam ini karena harus temenin Yola. Udah, aku matiin dulu.

Dengan sisa-sisa tenagaku, aku berusaha bangkit berdiri. Bertekad untuk menyusul Abizar ke Bandung dan menyeret laki-laki itu untuk pulang. Sayangnya, baru juga kakiku menapaki lantai kamar, tubuhku meluruh saking lemahnya. Aku masih ingat betapa histerisnya aku saat melihat darah yang mengalir di sela-sela kakiku.

Di tengah kepanikan dan kesakitan di tubuhku, aku masih berusaha menelepon Abizar dan sama sekali tak mendapatkan jawaban apa pun. Dengan air mata yang terus mengalir malam itu, akhirnya aku memilih menghubungi Clara—sahabatku. Beruntung Clara datang sebelum kesadaranku benar-benar hilang.

Sekalipun pada akhirnya, aku tetap harus kehilangan calon bayiku yang ternyata sudah berusia sembilan minggu. Pertama kali sadar, aku menemukan Abizar yang menatapku dengan lekat dan jelas penuh rasa bersalah.

Aku mau kita cerai.

Itu satu-satunya kalimat yang kuucapkan untuk Abizar di saat dia berusaha menghiburku dengan mengajak pergi ke taman rumah sakit ketika aku masih dirawat. Aku sama sekali tak peduli dengan penolakan tiap anggota keluarga kami. Kehilangan itu membuatku merasa cukup. Cukup dengan pengorbanan yang kulakukan hanya demi mempertahankan pernikahan yang sejak awal memang sudah rusak. Aku menutup buku tentang apa pun yang berkaitan dengan Abizar.

Sial, aku tak sadar kalau air mataku sudah mengalir. Aku jelas masih mengingat semua hal tentang luka demi luka yang kurasakan sejak mengenal Abizar Winesa. Tapi aku yakin, kalau aku sudah memaafkannya. Sudah selesai dengan semua kepahitan dan sakit hatiku padanya. Hanya saja, seperti kataku, aku bukanlah si murah hati yang bisa melupakan segalanya begitu saja.

Aku memaafkan, tapi belum bisa melupakan semuanya begitu saja.

Huh. Kenapa pula Abizar harus datang tiba-tiba dan merusak hariku seperti ini? Dasar menyebalkan sekali!

=•=

Alice
Mbak, bisa ke rumah sakit sebentar?
Mas Izar masuk rumah sakit

Aku membuang napas berat. Sebenarnya ada apa dengan kakak beradik ini? Kenapa tiba-tiba melibatkanku lagi dengan hal yang sudah bukan lagi urusanku?

Alice jelas tahu kalau sudah setahun ini aku tidak pernah berhubungan dengan Abizar. Kenapa sekarang tiba-tiba memintaku menemui laki-laki itu?

Huh.

Kemarin kakaknya, sekarang adiknya.

Padahal hubunganku dengan Alice selalu membaik sekalipun aku tidak lagi menjadi istri kakaknya. Tapi aku cukup sebal jika harus kembali dilibatkan dalam kehidupan kakaknya itu.

Me
Sori, Alice
Hari ini aku ada janji
sama klien

Alice
Sebentar aja, Mbak
Plis
Sekalian ada yang mau aku omongin

Selama ini aku memang tidak pernah terganggu dengan sikap Alice yang seringkali memaksa, tapi kali ini aku sungguh keberatan. Sekali lagi, aku mengatakan tidak bisa mengiyakan permintaannya. Tapi lagi-lagi aku gagal. Alice tetap kekeuh dan aku malas berdebat panjang lebar dengannya.

Jadilah akhirnya aku menemuinya di rumah sakit yang alamatnya sudah dikirimkan melalui chat. Aku cukup terkejut saat menemukan Abizar masih memejamkan mata dengan wajah pucat dan begitu menyedihkan. Padahal dua hari yang lalu, dia masih terlihat segar dan baik-baik saja.

"Mas Izar sakit sejak cerai dari Mbak Gemi."

Kepalaku seketika menoleh menatap Alice dengan bingung. Tapi aku sengaja untuk tidak bertanya lebih lanjut. Aku tak ingin terlihat masih peduli dengan mantan suamiku.

"Selama setahun ini, Mas Izar jadi pasien tetapnya Tante Ambar, Mbak."

Kali ini aku terkejut. Tante Ambar itu adalah adik mantan ibu mertuaku yang berprofesi sebagai psikolog.

"Waktu tahu Mbak Gemi keguguran dan akhirnya kalian cerai, Mas Izar sering ngeluh susah napas dan kelihatan kayak orang sakit."

Lalu mengalirlah cerita sepanjang satu tahun terakhir ini tentang Abizar. Semua bermula dari permintaan ceraiku hari itu. Katanya, Abizar jadi sering melamun dan mulai kesulitan tidur. Singkatnya, setelah kami resmi bercerai, Abizar dirujuk untuk menemui Tante Ambar dan ternyata dia mengalami guilt complex. Sebuah kondisi yang membuat seseorang terus menerus merasa bersalah setelah sadar melakukan kesalahan. Hal itulah yang membuat Abizar selalu kesulitan tidur, banyak pekerjaan yang tidak dikerjakan dengan baik karena sulit berkonsentrasi, bahkan pernah pingsan karena tubuhnya seringkali kelelahan.

Alice bilang, kondisi Abizar terus memburuk dan baru membaik sekitar tiga bulan lalu setelah melihat hidupku yang semakin baik-baik saja tanpa dirinya.

"Tapi dua hari yang lalu, Mas Izar tiba-tiba pingsan, Mbak. Aku tahu dia habis maksain diri buat ketemu sama Mbak. Udah dua malam dia demam dan sesak napas." Alice membuang napas pelan.

Aku jadi merasa bersalah.

Apa kondisi Abizar kembali memburuk setelah bertemu denganku hari itu? Tapi kan, dia yang menemuiku. Bukan aku yang datang dan sengaja muncul di hadapannya.

"Mbak, aku tahu ini terkesan nggak tahu diri. Tapi, bisa nggak kalau Mbak kembali terima Mas-ku?"

Sudah gila!

Hampir saja aku mengumpat di depan Alice. Aku bahkan sama sekali tak peduli dengan air mata yang mulai terjatuh di pipinya.

"Mas Izar menyesali semuanya Mbak. Dia—"

"Dia menyesali semuanya setelah calon anakku mati. Apa itu harga yang pantas buat bikin dia sadar kalau waktu itu istrinya jauh lebih penting dari mantan pacarnya?" sambarku, berusaha menahan kesal. "Setelah semua cerita kamu tadi, apa kamu mau bilang kalau dia nggak lagi ketemu sama mantan pacarnya sehabis kami cerai?"

"Mas Izar emang nggak pernah lagi ketemu sama perempuan itu, Mbak," sahut Alice lirih. Dia sepertinya sadar kalau sudah melakukan kesalahan dengan memintaku kembali pada kakaknya. "Pernah beberapa kali perempuan datang ke rumah dan Mas Izar sama sekali nggak mau ketemu."

Aku mendengkus. "Jadi, menurut kamu, semua itu pantas jadi alasan aku buat kembali sama laki-laki yang bahkan pernah membunuh kepercayaan diriku sampai titik terendah?"

"Mbak..." Alice memanggilku dengan suara bergetar. Penuh permohonan.

"Alice... aku datang ke sini karena menghargai kamu sebagai adikku sekalipun kakakmu bukan lagi suamiku," ujarku. "Aku turut prihatin dengan keadaan Abizar, tapi apa kamu juga nggak bisa lihat dari sisiku? Bukannya seharusnya mentalku yang hancur setelah semua tingkah kakakmu dalam pernikahan kami dulu?"

Alice semakin menangis dan menundukkan kepala. Pasti merasa tak enak hati denganku.

"Kalau aku aja yang terluka segitu parahnya bisa sembuh, kakakmu pasti juga bisa sembuh. Dia cuma perlu menerima keadaan kalau rasa bersalahnya nggak akan bisa mengembalikan semua yang udah hilang."

Aku berusaha menulikan telingaku dari isakan Alice yang semakin keras. Aku tahu pasti bagaimana perasaannya melihat keadaan Abizar—yang pasti cukup memprihatinkan melihat tubuh lemah laki-laki itu sekarang. Tapi memangnya apa yang bisa kulakukan? Aku hanya bisa mendoakannya agar segera bangkit dan kembali menata hidup dengan baik seperti apa yang sudah lebih dulu kulakukan.

Tentu aku tahu itu berat. Tapi memangnya kapan luka dan rasa bersalah bisa membuat manusia bertahan hidup lebih lama? Tidak pernah, kan.

"Aku udah nggak membenci kakakmu, Alice. Bagiku, masa lalu kami adalah pelajaran berharga dalam kehidupanku. Tapi sekalipun itu pelajaran berharga, aku nggak mau mengulanginya lagi. Sampai kapan pun," lanjutku. "Udah terlalu terlambat kalau harus mengulang pernikahan kami yang bahkan sangat jauh dari kata bahagia itu."

Aku sengaja mengatakan kalimat itu sambil mengarahkan tatapanku pada tubuh Abizar yang berada di atas ranjang. Aku tahu dia sudah terbangun—entah dari kapan. Karena terbukti saat ini aku melihat air mata mengalir dalam pejaman matanya.

"Maafin aku, Mbak. Maaf karena udah minta hal yang mustahil kayak tadi." Alice menangis keras sambil memelukku dengan erat.

Aku langsung membalas pelukannya, tanpa mengalihkan tatapanku dari Abizar yang masih terpejam. Jujur, ada setitik hatiku yang terenyuh melihat keadaan ini. Tak pernah sedikit pun menyangka kalau Abizar akan mengalami hal seperti ini karena rasa bersalah kehilangan anak kami. Tapi sekalipun begitu, aku berusaha menepis perasaan apa pun yang timbul untuk mantan suamiku itu. Bahkan rasa kasihan sekalipun.

"Tiap kali sesi konsultasi sama Tante Ambar, Mas Izar selalu bilang cinta sama Mbak Gemi."

Aku masih bergeming sambil membiarkan Alice dalam pelukanku.

"Mas Izar nggak akan pernah kasih tahu hal ini, karena udah merasa nggak layak sama sekali." Alice perlahan melepaskan pelukan kami. "Mbak Gemi harus tahu kalau Mbak udah berhasil bikin Mas-ku jatuh cinta sama Mbak," ujar Alice sambil mengusap air matanya.

Memangnya itu ada gunanya lagi sekarang?

Tapi aku hanya mengulas senyum tipis di depan Alice.

"Udah sangat terlambat ya, Mbak?" tanyanya dengan nada sangat lirih.

Aku membuang napas berat. Lalu perlahan meminta Alice untuk meninggalkanku sendirian setelah menyadari bibir Abizar yang mulai bergetar menahan tangis.

Setelah kepergian Alice, aku perlahan melangkah menghampiri ranjang Abizar lalu memanggil pelan namanya. Aku cukup terkejut saat tiba-tiba dia memeluk perutku dan membenamkan wajahnya di sana. Sambil menangis, terisak hebat.

"Maaf, maaf, maafin aku, Gem... maaf..."

Abizar meraung. Dan aku bisa merasakan kalau baju bagian depanku mulai basah karena air matanya. Sialnya, air mataku justru ikut mengalir tanpa diminta. Aku seperti ikut merasakan sakit yang dirasakannya. Kami seperti sedang mengulang rasa sakit yang sama—yang seharusnya kami bagi tepat setelah kehilangan itu.

"Maaf, maaf karena aku... kita kehilangan dia. Karena keegoisanku, karena kebodohanku... maafin aku, Gemi. Maaf..."

Aku hanya mampu mengusap kepalanya sambil terus menangis dengan isakan lirih. Kembali merasakan kehilangan yang pekat.

Abizar, seandainya penyesalan kamu nggak terlambat, mungkin kita masih bisa mengulang semuanya dari awal. Iya, mungkin. Tapi semuanya udah jauh terlambat. Terlalu terlambat untuk memperbaiki segalanya yang udah hancur berantakan.

End

salam,
yenny marissa

13 September 2022

Συνέχεια Ανάγνωσης

Θα σας αρέσει επίσης

6K 1K 13
Tentang Hassi, Natha, dan juga Harita
CINTA SEORANG GUS (New Version)✅ Από Wafa

Γενικό Φαντασίας

590K 56.2K 45
Demi menghindari sebuah aib, Gus Afkar terpaksa dinikahkan dengan ustadzah Fiza, perempuan yang lebih dewasa darinya. Gus Afkar tidak menyukai Fiza...
12.6K 1.5K 29
HunRene Versi Lokal! Kisah dua sisi kehidupan gadis cantik belia bernama Irene Clarissa. Ia memiliki keistimewaan diantara milyaran manusia. Melihat...
Bayi Milik Suami Duda Από Di_evil

Γενικό Φαντασίας

451K 22K 36
[Follow dulu untuk bisa membaca part yang lengkap] Tarima Sarasvati kira akan mudah baginya menjadi istri bayaran Sadha Putra Panca. Hanya perlu mela...