Great Pretender

By angelicatiara

4.6K 470 1.3K

"Tidak semua orang harus tau apa yang terjadi." Setidaknya itulah yang selalu Larissa Ifiana Tanuarja percaya... More

PROLOG - Kill Me, Kill Me Not
1 - Misi 000
2 - Partner in Crime
3 - Modus Operandi
4 - Dunia Tipu-tipu
5 - Merasa Dibutuhkan
6 - Step on Your Shadow
8 - Little White Lie
9 - Lights, Camera, Action
10 - Mimpi Tiada Akhir
11 - Berry Pretty
12 - Cinta Salah
13 - Taut yang Terpaut

7 - Sleep Tight

141 29 75
By angelicatiara

Kelopak pelapis indera setajam elangnya mengepak ke atas. Dalam pejaman mata yang singkat, cukup bagi syaraf-syaraf Rio mempresentasikan wujud kecilnya, wujud terhebat menurutnya yang membuat dirinya hingga sekarang tanpa dipercaya dapat tegak berdikari.

Tak peduli sekelam apa pun, tak menghiraukan seberat apa pun. Sosok-sosok seperti dia dan Ify hidup di bawah bayang-bayang. Dan seperti bayangan, mereka tidak meninggalkan jejak namun selalu ada di mana-mana.

Lantas bekel di wajah Rio menembus beningnya manik Ify.

"Kita pernah hidup di bawah bayang-bayang. Sekarang, kita mencoba untuk keluar dari sana. Tidak ada yang salah dengan itu."

Meski tidak membalas buah kata maupun pancaran cahaya yang menatapnya lekat, mustahil bagi Ify untuk menutupi bahwa tubuhnya ikut bergetar. Sebagai gantinya, gadis itu mengeraskan cengkraman pada siku-siku kursi yang disinggahi. Sontak memandangi badan bawahnya yang tidak tampak berbeda sama sekali dari luar, namun mampu memberi buncah hebat dalam dada.

Cakrawala tanpa bintang menampakkan gelap gulita, mendinginkan suasana. Mengikuti kemana awan tipis yang terlihat samar di atas kepala tertiup, diajaknya tubuh untuk berdiri. Ia menunduk. Memalingkan wajah sekali lewat demi menelusuri raut yang sepenuhnya terhalang oleh malam. Desah tanpa membuka mulut terbang terbawa angin.

"Bukankah sekarang sudah waktunya untuk bermalam?"

Menarik ujung dua tali sepatu yang sebenarnya terikat kencang, Rio menembus pedestrian lenggang malam itu. Disusul pula oleh bayangan redup yang mengekori.

🎭🎭🎭

Pembahasan sebelumnya senantiasa menculik keberanian untuk mengungkit topik-topik lain. Tak segan, kekakuan diisi oleh napas stabil yang belum lagi berhenti. Memangkas separuh lebih perjalanan menuju rumah masing-masing, sepatu kets Rio tertahan pada balok-balok beton di bawah kaki.

"Ada perlu sesuatu saat ini?" Dijamahinya tubuh perempuan dalam lirikan.

Merdu suara yang sedikit parau karena lama tak bicara mengetuk malam sunyi. "Kita di sini saja. Sudah terlalu malam dan larut untuk ke rumah."

Di sini saja?

Pemuda itu memandangi sekitar. Bangunan beberapa lantai tepat di sebelah mereka terapit oleh minimarket dan toko buah. Lengkap pula terpampang papan lampu berbintang tiga berisikan identitas gedung. Hotel Amerta. Kilat, kerjapan mata bergerak kembali memastikan ke arah Ify.

"Hah? Tiba-tiba? Kamu‒"

Cubitan pelan di lengan baju memupuskan kalimat. Juga angin semilir yang membuka rambut di sekitar wajah tertunduk Ify membuatnya tanpa sadar berpaling durja. Menghela napas. Jika demikian, alamat Rio tidak bisa menolak.

"Baiklah, ayo."

Hawa segar menguar dari ruangan lobi yang terkesan bersih. Bangku tunggu di sana terisi satu-dua, menyebabkan Rio tidak dapat dengan leluasa menengadah. Dengan panjang rambut yang ia punya, kepala Rio bersembunyi baik-baik. Berusaha mengikuti gadis di samping tanpa terlihat mencolok oleh orang lain.

"Biar aku yang urus."

Masih sama, gadis itu berbicara seolah membawa pikiran berat untuk dirinya sendiri. Rio membiarkan Ify melewatinya beberapa langkah, menuju meja panjang resepsionis.

"Permisi, saya ingin memesan kamar untuk satu malam saja," buka Ify pelan.

Seorang dengan cepol rendah menyambut. "Dengan Hotel Amerta, atas nama siapa?"

"Ifiana."

Sekilas perempuan di balik areal resepsionis mengangkat pandang. Namun memilih tersenyum tanpa berkomentar lebih ketika mendapati raut tak beriak milik Ify. "Baik, ingin menginap untuk berapa orang?"

"Dua." Katalog dalam selembaran tebal yang diletakkan di dekatnya tertangkap dalam penglihatan. Mempercepat proses transaksi, ia menambahkan. Sudah memahami betul apa yang harus ia katakan.

"Dua kamar tipe single room."

Gelagat sang resepsionis mendadak sungkan. Pergelangan yang menggeser catatan tabel penuh tulisan terlipat maju.

"Maaf sekali, Mbak. Untuk single room sudah terisi penuh. Jika untuk berdua, bagaimana dengan double room?"

Setenang riak air di muara, ekspresi Ify bertahan dengan senyum minimalis. "Kalau begitu yang twin room, apa masih tersedia?"

"Sepertinya juga sudah sold out, namun saya coba periksa dan carikan terlebih dahulu. Mohon tunggu sebentar."

Ketukan pada keyboard putih serta bebunyian berulang dari roda scroll up and down peranti tetikus mengisi jeda Ify. Layar terang komputer yang berkedip cepat seiring pencarian sang penerima tamu terpantul di kacamata half frame-nya.

Kelereng di balik kacamata itu menyipit tatkala menelusuri dokumen dan data-data ketersediaan ruang. Terlihat kesusahan untuk menemukan. Beralih mengintip Rio yang menemaninya dalam hening, hatinya gelisah. Tidak bisa menunggu lebih lama untuk segera menenangkan pikiran dan beristirahat.

Tautan tangan Ify menarik siku kiri ke pinggang. "Kalau begitu, saya ambil double room saja apa bila tidak ada."

Punggung kecil menegak kemudian membungkuk dua kali. "Ah. Maaf sekali dan terima kasih sudah menunggu. Kamar twin untuk malam ini sudah di-booking full. Apa Mbak benar-benar tidak masalah?"

"Tidak, tidak sama sekali." Senyumnya ditampilkan lebih bersahabat.

"Baik, satu kamar double room." Dia memasukkan nama Ifiana pada kolom tamu di sistem hotel. Sebuah kartu berwarna coklat-putih dikeluarkan.

"Ini keycard-nya, Mbak. Ruang nomor 303 di lantai tiga. Terima kasih."

Dibalas oleh Ify tangkupan telapak sang resepsionis dengan lembut sekaligus turut mengucap terima kasih. Ify menunjukkan satu kartu di tangannnya pada Rio.

"Maaf, hanya ini yang mereka punya malam ini. Semoga kamu tidak masalah."

Selebihnya, hanya anggukan yang tercipta. Bergeming, tidak ada protes yang melayang pada Ify maupun layanan hotel. Lagi pula, bagi mereka tidak akan masalah untuk berbagi ruang. Sungguh, Rio semenjak awal menaruh perhatian pada tumpuan lain.

Bibir lurus Ify, gerak lunglainya, serta rona si gadis yang tak cerah semenjak pemeriksaan itu.

Nit.

Gerimis mulai turun. Rintik-rintik samar-samar terselip ke balik kuncian pintu kamar dengan berbagai fasilitas nan nyaman. Berbanding dengan terbalik dengan suasana yang kurang nyaman dan terlalu senyap antara dua manusia yang menghuninya.

Permukaan kasur memeluk tubuh keras Rio, sementara gadis yang mendampingi betah menonton pemandangan di ketinggian dari sekeping kaca besar.

Ujung jari penunjuk Ify meraba aliran embun dingin yang meluruh. Kilauan lampu mobil merah, putih, dan kuning terbiaskan di tiap tetes hujan yang menempel di jendela.

Suaranya memecah sua yang sempat terbeku. "Kalau sedang seperti ini, kita seperti hidup di kota yang waktunya sudah mati."

Mata berkantung pemuda itu memejam, tetap berguling tak berpindah. "Begitukah."

Tatapan kosong Ify tidak terlepas barang sekali pun dari jalan raya. "Mobil-mobil yang diluar sana terus melaju. Orang-orang tetap sibuk di malam hari. Padahal mereka saling tidak tahu, ada sosok-sosok yang terdiam. Putus asa. Tidak sehidup mereka."

"Aneh."

"Apanya?"

Sigap bibir menimpali, walau wajah tidak teralih. Celetukan Rio seakan mengandung kelanjutan yang belum tergali.

Dengan gerak terbatas, kepala Rio kini terganjal oleh lengan yang membentuk segitiga ke belakang. "Kamu 'kan pernah jadi satu dari mereka."

"Karena itu." Tirai dua lapis tersorong menutupi jendela. "Setelah merasakan berada di dua posisi yang seolah berbeda alam, rasanya malah jadi hambar."

"Hambar ... ya."

Rio menjaga mulutnya, menjaga antenanya. Takut-takut menyinggung sisi sensitif serupa garis tipis milik gadis itu. Bisa dibayangkan, seharusnya Ify memang sepandai bunglon dalam masalah menempatkan diri‒takdir memintanya menjelma seseorang seperti itu‒hingga reputasi yang terlihat seberhadapannya ia dengan Ify tidak demikian.

Ya, tidak akan pernah mudah untuk menjadi aku dan dia.

Rentang tangan Rio membelah udara kosong. Menggeliat di kasur guna menyeret tubuh berbaring mendekati kepala kasur, mengangkat kaki yang tadi bergantung di garis tepian.

"Lebih dari itu, apa kamu tidak lelah berdiri di sana lama-lama? Betis langsingmu itu nanti membesar, loh."

Pipi Ify menggembung. Bukan karena tidak suka, melainkan tidak ingin meloloskan tawa. Ia tahu maksud pemuda itu. Dan untuknya, Ify diam-diam bersyukur memiliki sosok semacam Rio yang mampu mengerti tanpa menghakimi, menghentikan hal yang mericuhkan kepala tanpa canggung.

Sebelah telapak Ify menginjak keramik dingin, yang satunya menjijit menyentuh ke dinding. Amat elegan dalam kesederhaan, apalagi dengan warna wajah yang tidak semati sebelumnya.

"Apa yang kamu lakukan? Baru saja kamu menatap betis seorang anak gadis tanpa izin."

Mulutnya membulat sempurna menyadari 'kesalahan' yang Ify ungkit. Matanya berkedip polos menahan rasa tidak enak hati. Pura-pura, tentu saja.

"Ah, aku melakukannya?"

"Dasar laki-laki menyebalkan."

Resonansi kekehan akhirnya menggantikan tempo pembicaraan yang memberat belakangan ini. Basa-basi ringan semacam itu memberi udara segar bagi mereka.

"Kemarilah."

Disisihkannya diri condong ke kanan, membagi rata bagian kasur yang kosong.

"Apa ini seperti di film-film romansa, membimbing seseorang ke kasur dan berarti sesuatu?"

Sial. Ify makin menjadi saja merayunya. Gadis itu tidak cuma terlalu berterus terang, melainkan menjengkelkan. Walau begitu, justru lubuk hatinya menghangat perlahan. Wajah yang larut dalam sendu bukanlah sesuatu yang cocok dipakai oleh Ify, Seperti ini jauh, jauh lebih baik menurut Rio.

"Tidakkah itu terasa konyol jika konteksnya adalah kita?"

Dia yang bilang sendiri tentang kekonyolan dalam pertukaran banyolan mereka. Sial. Mengapa juga ia malah membalas tanya demi tanya Ify yang pastinya tengah mencari pelampiasan dengan menjahilinya?

Tulang duduknya menyangga badan. Duduk memanjangkan kaki di atas seprai yang masih dingin. Selain dikarenakan ada sanubari yang tergelitik ketika bercanda dengan gadis berambut panjang itu, Rio rasa-rasanya ingin menyurutkan obrolan keduanya yang entah bagaimana berkesan menjurus untuk sepasang insan dewasa seusia mereka.

"Berhenti di situ dan kita beristirahat, oke?"

Anggota gerak Ify terayun memangkas jarak. Merambati ranjang queen size yang dikhususkan Rio buatnya, dengan kata lain, satu-satunya tempat tidur yang ada di kamar tersebut.

"Selamat malam." Nada Rio lembut, meski dihiasi gelenyar aneh oleh sebab tak terbiasa mengucapkannya.

Selimut Ify tebar melingkupi empat kaki. "Jangan macam-macam saat aku tertidur. Kamu sedang berencana cari tahu tiga ukuran vitalku, 'kan?"

Terlonjak, Rio menutupi pipinya yang suam dengan kepal tangan. Alis saling menyentuh di tengah dahi. Berakhir merutuki Ify juga diri sendiri yang kurang kuat iman untuk melawan balik.

"Jangan bodoh."

"Aku bercanda." Sontak saja perjaka yang dipermainkan itu mendelik menuju teman berbaringnya.

"Setidaknya sekarang kamu tau aku punya selera humor."

Ya, dan itu cukup mengejutkan. Mengetahui sebagian keceriaan gadis itu belum hilang sepenuhnya dimakan waktu ataupun takdir, Rio patut terperangah.

Terlebih dahulu, Ify memutar haluan. Memberikan punggung lurusnya sebagai sarana tatap laki-laki itu. Meraup udara dalam-dalam, ia melipat tangan cukup erat di bawah selimut. Bersamaan melunturkan senyum ketika meyakinkan diri Rio tidak dapat lagi melihat sisi depan wajah.

Tutur jernih Ify terdengar bergelombang. Sesuatu yang tertahankan ia lerai, berharap semakin meringankan kalut.

"Hei. Kalau aku bilang 'sebenarnya aku masih takut untuk hidup', apa yang akan kamu lakukan?"

Kasur sedikit bergoyang. Lengan Rio menjulur ke tombol lampu berjarak paling pendek dari ia. Ditatapnya pencahayaan yang mati di langit-langit. Memilih berhenti menatap apa pun dari gadis itu, yang tanpa ia tatap pun, ia percayai akan menampilkan raut yang enggan dilihatnya.

"Tidak banyak. Tetap di sini dan berkata 'kamu akan baik-baik saja di hidupmu yang sekarang'. Kukira begitu."

Penghangat tubuh dieratkan sampai ke batas dagu tirus. Tubuh itu meringkuk. "Terima kasih."

Berbaring menghadap arah yang berlawanan, mata elang Rio meneduh. "Hm."

🎭🎭🎭

Lampu bulat kecil yang tertanam melingkari plafon belum menyala, namun seisi ruangan sudah cukup menghangat. Mungkin karena timer pendingin ruangan yang sengaja disetel mati sebelum fajar hari. Rio menutupi indera pengucapnya, mencegah diri menguap lebar. Kelopaknya mulai mengendur menyesuaikan waktu buat terbangun.

Sempurna membolakan manik gelapnya, detak nadi sang pemuda terhentak satu kali. Menggebu lambat nan kuat.

Langit masih hitam. Belum ada bias cahaya matahari yang merembes dari gorden. Namun ia bisa menatapi lekuk Ify dengan jelas dalam gelap. Desahnya berpindah dari hidung menuju kelopak bibir yang tertahan di dahi sang dara.

Demi meredakan jantung yang menimbulkan reaksi tak biasa, sehalus mungkin Rio berniat menegapkan diri dari baringan. Hingga tubuhnya kembali mengkaku selepas mendengar lenguhan kecil dari sang putri tidur yang mulai tersadar.

Seakan berada di ruang kedap suara, yang Ify dan Rio dengar dalam jarak sedekat itu hanyalah dua deru napas gugup. Meluruskan pandang, keduanya mendudukkan diri. Tanpa direncanakan menyebabkan pertemuan yang menyengat bahu keduanya.

Nayanika beradaptasi dengan hitam di sekitar. Tatapan mereka sudah saling mendamba kala pertemuan manik kembali mereka izinkan. Bahkan tanpa sadar bibir merah muda Ify sedikit terbuka.

Gadis ini ....

Perasaan yang kian meresapi relung memaksa Rio sekali lagi memutuskan kontak. Remasan sepuluh jejarian di pucuk paha terputus jua. Sang teruna mencium salah satu ruas telunjuk miliknya sendiri. Gerakannya patah-patah. Membiarkan keberanian yang ia punya membawa jemari yang sama menempel di permukaan terluar bibir lembut gadis itu.

Deg.

Sebuah sentuhan singkat membekukan waktu dalam dimensi keduanya. Mengurung lebih lama. Detak detik berpindah menjadi irama yang semakin kencang dalam dada.

Sepasang hati tanpa diminta bergetar hanya karena sentuhan kecil.

Tangan Rio tidak lagi melayang di depan wajah Ify. Begitu lembut, jari-jari panjangnya menyelipkan sejumput rambut legam Ify ke balik daun telinga.

"Kemarin itu adalah tidur ternyenyak yang pernah ada."

Serak lembut Rio menyalurkan kehangatan lain. Rongga dada Ify penuh dengan sensasi nyaman yang‒disemogakannya‒tidak hanya lahir karena terbawa perasaan.

Jemari Ify bersuai gugup satu sama lain. "Ya. Semoga ini bukan yang terakhir."

Meski setelahnya tidak satu pun lagi dari bagian kulit mereka yang bertemu, senyum rekah membunuh resah. Menikmati sisa-sisa rebah kemarin malam, begitu pun kenangan baru yang baru saja mereka asah.

"Em, mari ...."

Lantunan nada dering milik ponsel Ify menyingkap kesadaran. Rio dan Ify selaras memundurkan tubuh.

Apa yang baru saja kami katakan? Mengingatnya, Ify merasa sesuatu merasuki keduanya hingga merubah dinamika hubungan mereka. Ia meneguk air dalam-dalam.

"Hari ini apa yang akan kamu lakukan?"

Dirapikannya lipatan pakaian. Alas kaki cantik itu membungkus indah Ify yang mempersingkat ruang dengan pintu keluar.

"Kita keluar saja dulu."

Sepotong kartu hotel menyapa papan sensor hitam di daun pintu. Bunyi 'nit' mengonfirmasi sensor yang bekerja pada kartu itu.

Alunan piano betah menggema dari speaker ponsel. Rio mengernyitkan dahi. Sembari memasangkan tali sepatu, sang pemuda membuka suara.

"Kita tunda itu sebentar."

"Hm? Kenapa?"

Ia memposisikan diri senyaman mungkin. "Angkat teleponmu."

"Tidak penting," sergah Ify langsung.

"Orang mana yang menelpon berulang kali seperti itu kalau tidak punya urusan penting? Tidak sebanyak itu orang kurang kerjaan di dunia ini." Sebelah alis mata Rio menggambarkan rasa ingin tahu sekaligus heran.

Badan ponsel edisi lama itu sedari tadi berputar sendiri di nakas hotel. Getaran dari sang penelpon membuat Ify mendesah ringan. Ibu jari menekan logo gagang telepon berwarna kehijauan.

Bibir gadis tunggal keluarga Tanuarja membentuk garis lurus. Sengaja melarang diri menjadi orang pertama yang bercakap dalam jaringan. Sosok di seberang sana juga tak kunjung mengirim respons.

Mengukuhkan dua menit dalam prisip berdiamnya, penantian terbalaskan. Tepat tiga menit, sebuah suara menggetarkan fuad. Berhasil memaku hak sepatunya di tempat yang sama hanya dalam satu kali sabda bernotasi rendah.

"Ah, sayang sekali. Meski kamu diam, aku masih yakin kamu dengar suara aku, Ifiana."

🎭🎭🎭

Haihai!

Kembali dengan bagian yang penuh perasaan, plus sisipan hal manis. Semoga suka dengan bagian kali ini, ya!

Bagaimana perasaan kalian ketika membacanya?

Apa hal-hal manis yang terjadi pada mereka membuat kalian gemas? Apa, nih, harapan kalian untuk ke depannya sehubungan dengan dynamic relasi mereka juga goal yang ingin dicapai? Ceritakan di sini, yuk→

Jangan lupa baca, vote, dan tinggalkan komentar tentang cerita ini, ya. Bantu bagikan ke teman baca lain serta add ke readinglist/library agar tidak ketinggalan cerita Rio-Ify ini! Mari sama-sama meramaikan kisah mereka <3

Ikuti selalu Great Pretender dan sekelumit kisahnya yang tidak akan ditemukan di buku lain ✨

Continue Reading

You'll Also Like

74.3K 4.8K 17
Diambang putus asanya Adel terpaksa menjadikan dirinya baby boy yang tunduk patuh atas kuasa nyonya Ashel CEO cantik, kaya raya, dan berdarah dingin...
4.7K 755 27
"Orang gila yang suka ngajak ribut itu mantan gue"
21.5K 4.1K 51
❝ sumbu langit seperti kisah kita, tak akan habis pun jua rencana. reluk dua lakon asmaradahana, yang terhentak rasa kapuranta, bak...
2.6K 397 35
"9x-7i > 3(3x-7u) kerjain itu ya Anna" -Saka oc / sakala arsenio [sangyeon] cr. name by twt @lokaIantheboyz happy reading !♡