The Future Diaries Of Audrey

By Chocomellow26

1.5K 80 0

Audrey sangat mencintai romantisme. Dia penulis. Dan impiannya adalah mendapatkan kesempatan merasakan romant... More

Bab Satu
Bab Dua
Bab Tiga
Bab Empat
Bab Enam
Bab Tujuh
Bab Delapan
Bab Sembilan
Bab Sepuluh
Bab Sebelas
Bab Dua Belas
Bab Tiga Belas
Bab Empat Belas
Bab Lima Belas
Bab Enam Belas
Bab Tujuh Belas
Bab Delapan Belas
Bab Sembilan Belas
Bab Dua Puluh
Bab Dua Puluh Satu
Bab Dua Puluh Dua
Bab Dua Puluh Tiga
Bab Dua Puluh Empat
Bab Dua Puluh Lima
Bab Dua Puluh Enam - END

Bab Lima

77 6 0
By Chocomellow26

Jangan lupa like and comment nya ya

Chocomellow

###

Arkan

Apa kau begitu yakin cinta sejati akan ada? Hidup bahagia selamanya terdengar mustahil begitu kau membuka televisi dan melihat gosip perceraian para artis.

***

Arkan membawa Audrey ke salah satu hipermarket yang dekat dikawasan rumahnya. Wanita itu memakai jeans biru yang pas di kakinya, dangan oversize hoodie yang dipasangkan dengan jaket denim. Audrey keluar dengan bucket bag nya. Yang sepertinya berisi seluruh hidupnya. Tas itu cukup besar dan terlihat berat. Ketika wanita itu melihatnya, rambut hitam panjang itu tergerai, dan jatuh saat wanita itu memasang sneakersnya.

"Ready?" Arkan mengunci pintu begitu menyaksikan Audrey mencepol rambutnya asalan dengan ikat rambut.

"Yes."

Arkan mengeluarkan mobilnya. Dia menunggu Audrey menutup pintu gerbang, lalu masuk ke mobil. Ia melirik Audrey sesekali ketika wanita itu kembali mengatur rambutnya agar lebih rapi. Arkan tak pernah keluar bersama wanita yang begitu cuek. Audrey adalah wanita yang paling cuek yang pernah dikenalnya. Ia bahkan tak memakai lipstik. Hanya lipglos pink natural yang terlihat selalu di pasang dibirnya. Membuat bibirnya terlihat lembab dan lembut. Bibirnya yang mengkilap selalu menarik perhatian Arkan. Audrey tak butuh perona pipi, karena pipi putih nya cukup mudah berubah warna saat wanita itu malu. Audrey juga selalu berpakaian santai dan tertutup di depannya. Jika itu wanita lain yang diajak Arkan keluar, mereka pasti menggunakan baju yang mengekspose sebanyak mungkin kulit dan lekuk tubuh mereka. Lalu menutupi wajah mereka dengan fundation dan lipsitik yang membuat kesan mereka ceria dan enak dipandang.

Disisinya Audrey tampak lebih natural dan polos. Audrey sangat mudah di baca, sehingga Arkan tak perlu menerka-nerka isi pikirannya. Jujur, Arkan lebih menyukainya. Dia bosan dengan wanita yang mengatakan 'tidak apa-apa' atau 'aku baik-baik saja' sebagai senjata dan makna yang berlawanan. Jadi ketika ia membaca ekspresi Audrey, Arkan merasa... stabil.

"Kau membawa payung?" tanya Arkan melirik isi tas Audrey ketika wanita itu membuka tasnya untuk mengambil ponsel.

"Ya, buat jaga-jaga, takut hujan."

"Kita pakai mobil. Bukan berjalan kaki. Apa lagi isinya selain payung? Tas mu terlihat berat." Arkan membelokan mobil dengan lancar. Memasuki kawasan ramai kendaraan.

"Aku membawanya bukan hanya untuk hujan. Ini senjata. Aku terbiasa membawa payung kemanapun aku pergi untuk jaga jaga jika terjadi sesuatu yang memerlukan senjata. Kau mungkin tak tahu, banyak kejahatan yang mengincar wanita di luar sana." Jelas Audrey. Dia mengetik sesuatu di ponselnya mengirim pesan pada kakaknya, lalu melirik jalanan yang ramai. Wanita itu kembali memasukan ponselnya, dan mengeluarkan isi tasnya satu persatu, memperlihatkannya pada Arkan. "Selain payung ada dompet, tisu basah, minyak kayu putih, semprot merica, notes, tempat pensil, lipglos dan parfum. Apa kau mau?" tanya Audrey sambil menyodorkan botol parfumya.

"Tidak, aku tak mau berbau bunga," kata Arkan dan Audrey kembali meletakan barang itu ke dalam tasnya. Menyusunnya serapi mungkin. Arkan menebak bahwa Audrey sering mengalami pelecehan di tempat umum. Meski ia tak bepenampilan terbuka, bisa jadi Audrey pernah mengalaminya. Rasa khawatir bercampur takut mewarnai pikirannya. Indra-indra Arkan langsung waspada, ia menduga Audrey korban pelecehan. Arkan mengerutkan hidungnya, bertanya dengan penuh rasa antisipasi, "apa kau pernah mengalaminya? Maksudku kejahatan ditempat umum, karena itukah kau membawanya kemana-mana?" Dia bertanya dengan hati-hati, menunjukan ia khawatir dan wanita itu bisa percaya padanya.

"Aku pernah di buntuti oleh orang asing saat turun dari Transjakarta. Dia sudah mengikutiku saat aku masuk, dan melirikku sepanjang jalan. Tempat umum bisa berbahaya jika kau tak hati-hati." Aku Audrey. "Dan ini bukan bau bunga, ini vanila." Audrey membuka botol parfumnya, dan menciumnya, sekali lagi dia menyodorkan botol kaca putih bening itu pada Arkan. "Benarkan?" Arkan mengangguk setuju, tapi pikirannya mengarah pada hal lain. Audrey tidak hanya mengalami pelecehan, tapi bisa jadi perampokan, penculikan atau bahkan pemerkosaan. Jika dilihat dari ketidaknyamanannya bersama laki-laki, ini menjelaskan alasan kenapa wanita itu sering waspada dengan laki-laki.

Tidak mengetahui keresahan Arkan, Audrey menutup botol parfumnya dan memasukan kembali benda itu ke tasnya. Dia mengikat tali di tasnya dan menaruhnya rapi di sampingnya.

"Lalu bagaiamana kau menanganinya?" tanya Arkan dengan lembut, namun sepertinya wanita itu dapat mendeteksi kecemasan dari raut wajahnya.

"Kau tak perlu khawatir, aku menanganinya dengan baik." Kata Audrey, "ketika sadar aku dibuntuti aku langsung mengeluarkan payung dan semprot mericaku kalau-kalau di serang, tapi untungnya aku dekat dengan para premen di komplek apartemenku, jadi malam itu aku beruntung karena beberapa premen yang aku kenal melihatku berjalan dengan aneh, sambil terus melirik kebelakang. Mereka membantuku dan mengantarku pulang ke apartemen dengan aman. Sampai sekarang mereka masih melakukannya jika kebetulan mereka melihatku di sekitar tempat nongkrong mereka."

"Wow, aku tak menyangka kau akan mengalami hal seperti itu."

"Ya, memang, kadang menakutkan untuk keluar sendirian. Aku bahkan pernah di raba-raba ditempat umum. Waktu aku pulang dari Hamura, pakai trans. Karena transnya padat dan diisi banyak orang yang pulang kerja, mereka mencari kesempatan. Meraba-raba bokong, pinggang, perutku. Karena tak tahan, aku menggunakan teknik yang Cecil ajarkan padaku. Aku menyikutnya dengan kencang hingga dia berteriak kesakitan. Dan menendang tulang keringnya dengan sepatuku. Itulah gunanya sneakers yang keras ini." Audrey mengangkat kakinya, menampakkan dad sneakers putih-pitch nya. Seolah mendukung pernyataannya, sepatu itu memiliki outsole yang tinggi. Siap menyakiti tulang kering siapapun yang berani melecehkannya.

Arkan tertegun. Dia tak menyangka wanita itu akan mengalami pelecehan di tempat umum lebih sering dari pada yang ia kira. Arkan mendengar banyak pelecehan yang terjadi apalagi di tempat umum, dan kebanyakan menyasar wanita. Tapi ia tak menyangka akan mendengarnya dari Audrey. Arkan pikir, Audrey terlalu bahagia untuk mengalami pelecehan. Dia terlihat lemah dan tak bisa melindungi dirinya. Arkan lebih terkejut lagi mendengar dia berani menyerang balik orang yang melecehkannya. Dibutuhkan keberanian untuk melakukannya. Dia bangga mendengar Audrey berhasil membalas perlakuan laki-laki itu padanya. Dan berterima kasih pada Cecil yang mengajarkan Audrey teknik jitu untuk melindungi dirinya. Setidaknya bukan karena alasan kekerasan atau pemerkosaan yang membuat wanita itu anti dengan laki-laki.

"Omong-omong, dimana kau mencium bau bunga?" tanya Audrey, dia mengerutkan dahinya penasaran.

"Entahlah. Tapi kau memang berbau bunga."

"Benarkah? Tapi aku tak memakai parfum beraroma bunga." Jelas Audrey dengan wajah bertanya-tanya. Dia mencoba mencium bau tubuhnya sendiri, tapi tak yakin bau bunga tercium dari tubuhnya. Bahkan sejujurnya, ia tak mencium apa-apa. Ketika lampu merah, Arkan mengambil kesempatan itu untuk mendekat, dan menarik nafasnya ketika jarak mereka cukup untuk bisa mencium aroma lembut bunga dari arah wanita itu.

Arkan melemparkan tatapan spekulatif pada Audrey. "Aku yakin ini bau bunga." Arkan kembali menekan gas begitu lampu hijau. Audrey salah tingkah ketika laki-laki itu mengendus di dekat lehernya.

"Apa mungkin aroma sampo mu?" tanya Arkan ketika memperhatikan Audrey terdiam. Ia tersadar begitu melirik rambut wanita itu yang setengah kering.

"Bisa jadi." Audrey mengembuskan kuat-kuat poninya, hingga berterbangan dan memperlihatkan dahi mulusnya. "Ternyata aku tak salah memilih sampoo. Mereka menawarkan 'rambut wangi sepanjang hari' di iklannya. Ternyata itu semua bukan bohongan."

"Itukah yang mereka janjikan padamu?" tanya Arkan melihat Audrey yang mulai memilin ekor kudanya. Tangan Arkan gatal, ingin ikut dalam pilinan jari dan rambut Audrey. Ia ingin membenamkan jarinya ke rambut hitam lembut itu dan menghirup aromanya.

"Ya, itulah yang mereka janjikan. Inilah alasanku memilihnya. Sampo mahal yang akan membuatku seperti dewi yunani ketika keluar dari kamar mandi." Audrey mendongak begitu mereka memasuki area parkiran. Arkan dengan lihai memarkirkan mobilnya. Dia melepas sabuk pengamannya dan memperhatikan Audrey yang juga melakukan hal yang sama, lalu berjanjak keluar mobil.

"Jadi kau ingin seperti dewi yunani begitu keluar kamar mandi?"

"Tentu saja, karena itulah aku membeli sampo, conditioner, sabun, lulur yang harganya membuatku menangis."

"Ku rasa kau tidak perlu membeli semua produk mahal itu, kau cukup keluar kamar mandi tanpa sehelaipun pakaian, itu akan membuatmu tetap menjadi dewi yunani."

Audrey berhenti, ia langsung memeluk tubuhnya dengan kedua tangan. Menyelamatkan dirinya dari imajinasi nakal Arkan. Wanita itu mengerutkan dahinya tak setuju dengan tanggapan Arkan. Arkan yang menyaksikan reaksi lugu Audrey sambil terkekeh geli. Dia semakin tertawa begitu Audrey mundur selangkah. Dia ingin menggodanya, tapi reaksi Audrey sungguh diluar ekspektasinya.

"Kenapa? Kau tak berani?" tanya Arkan. Jelas tatapan pria itu membayangkan apa yang dibayangkan Audrey sekarang. Keluar dari kamar mandi dengan rambut basah, dengan bulir air di seluruh tubuh moleknya, dan tanpa pakaian. Mata Arkan menggelap, rahangnya mengeras. Audrey yang menyadari itu. Mundur lagi selangkah, seolah ia kaget dengan reaksi Arkan.

"Kau membuatku takut." Katanya dengan menyentuh pipinya yang terasa panas. Menatap Arkan dengan waspada.

"Apa yang membuatmu takut?" Suara rendah dan parau Arkan semakin menegaskan apa yang saat ini menyelimuti otak pria itu.

"Kau seperti ingin menerkamku."

"Aku tak akan menerkammu." Bohong, dan Audrey juga sadar dia berbohong. Suara itu jelas meragukan. "Sepertinya kau harus menjaga jarak dariku," pinta Arkan begitu mereka melangkah ke dalam.

"Jika aku mengatakan kau omes, apa aku akan dipecat?" tanya Audrey menatap Arkan yang mengambil troli belanja.

"Tidak, tapi aku sarankan kau tidak mengatakannya. Berani sumpah, aku pasti akan menyeretmu keluar dari sini, dan menerkammu di mobil." Arkan mengikuti Audrey melangkah ke arah rak bumbu.

"Kalau begitu aku akan menyimpannya untuk diriku." Audrey mengambil merica bubuk, mengecek tanggal kadaluwarsanya, kemudian memasukannya ke troli.

Arkan terdiam, dia berhenti mengikuti Audrey. Alasan apapun itu, ia tak menyukai kewaspadaan dari nada suara Audrey. "Kenapa kau menyimpannya, buang saja. Tak usah dipikirkan." Arkan memperhatikan keseriusan Audrey saat mengambil beberapa bumbu lainnya dari rak didepan mereka.

"Aku harus. Itu untuk mengingatkanku bahwa aku tak aman bersamamu."

"Kau aman bersamaku, asalkan kau bisa menjaga jarak aman. Kau tak akan terluka." Arkan menggerutu tak setuju, ia tak ingin Audrey tak percaya pada dirinya. Dia benci mengakui bahwa dia takut Audrey akan membangun tembok penghalang dengannya. "Apa yang kau periksa dari tadi?" Arkan kembali menyamakan langkahnya dengan Audrey, kemudian mengalihkan topik pada tindakan wanita itu.

"Memeriksa tanggal kadaluwarsa. Beberapa bumbu di dapurmu sudah jatuh tempo." Kata Audrey, dan menarik Arkan kearah bagian bahan dapur.

"Jadi apakah benar kedua orang tuamu dokter, Bapak Arkananta?" Audrey menaruh tepung, spaghetti, dan beberapa mie ke dalam troli. Arkan dibelakangnya mengikuti Audrey melangkah. "Benar, mama dokter kandungan, sedangkan papa dokter umum. Dari mana kau tahu itu?"

"Itu sudah menjadi informasi umum diperusahaan. Sama seperti informasi mengenai kehidupan asmara dan pertemananmu dengan Pak Deo. Semua orang mengetahui itu. Jangan bilang kau tak tahu, bahwa mereka tahu?" Audrey berbalik dan menatap Arkan keget dengan fakta ini.

"Yah, aku tak terlalu peduli," Arkan mengangkat bahunya santai, seolah tak mempermasaalahkan apa yang dikatakan Audrey.

"Jadi bagaimana rasanya mempunyai dokter pribadi di rumah?"

"Tidak ada rasa apapun."

"Benarkah? Bukankah seharusnya kau lega. Apa semua anggota keluargamu juga dokter?"

"Sejauh ini hanya aku yang memilih jalan yang berbeda." Arkan membelokan troli mengikuti Audrey ke arah bagian ayam dan ikan.

"Sejauh ini? Berarti itu belum pasti." Audrey berbalik mengeluarkan notes dan pena dari tasnya. Menceklis semua barang yang sudah masuk dalam troli.

"Adikku masih kecil, dia belum bisa menentukan jalan mana yang akan ditempuhnya. Jadi aku tak bisa bilang ia akan masuk kedokteran begitu ia besar nanti." Jawab Arkan dan mendongakan wajahnya kearah Audrey yang sibuk mengambil sesuatu di rak paling atas mereka.

"Perempuan? Atau laki-laki? Berapa umurnya?" tanya Audrey begitu Arkan membantunya meraih sereal dan menaruhnya di troli.

"Perempuan. 12 tahun. Mungkin." Jawab Arkan dengan ragu. Audrey menatapnya dengan pandangan aneh. "Kenapa?" wanita itu menggelengkan kepalanya tak habis pikir pada Arkan.

"Kau punya adik perempuan, tapi kau tak yakin umurnya? Kasian." Audrey terdengar khawatir. "Aku turut prihatin pada adikmu, mendapatkan kau sebagai kakaknya, membuatku turut sedih untuknya." Katanya dengan pandangan mengiba. "Kau harus lebih perhatian dengannya. Jika itu aku, aku akan selalu membawanya kemana-mana. Aku iri denganmu. Aku dulu juga punya adik perempuan. Jadi siapa namanya? Apa dia paling bungsu?"

Audrey kembali melangkah, dan berhenti ketika melihat ayam segar berjejer didepannya.

"Namanya Emily, dia paling bungsu. Adikku yang lainnya kembar. Keduanya laki-laki dan saat ini mereka sibuk menggantungkan hidup dan mati menjadi dokter di rumah sakit." Arkan mengikuti Audrey. "Kau dulu punya adik? Apa maksudnya?" Arkan memarkir troli tepat disebelah Audrey. Dan memandang wanita itu yang sedang memilih ayam.

"Tolong yang ini pak," tunjuknya. "Ya, yang ini. Terima kasih. Dia meninggal saat umurnya empat tahun." Jawab Audrey dengan santai, tapi Arkan mendapati nada sedih keluar dari mulut yang sering tersenyum itu.

"Maafkan aku, seharusnya aku tak bertanya," Audrey menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa, itu sudah lama sekali. Bukan salahmu, kita sedang membicarakan keluarga sekarang." Jelas wanita itu berbohong. Ia bisa melihat gurat sedih di matanya. Sejauh ini Arkan mengobrol dan memperhatikan perubahan ekspresi wajahnya, ia bisa membedakan wajah sedih, kesal, takut, dan ceria wanita itu.

Arkan diam, tak ingin melanjutkan. Dia memilih mengambil ayam yang disodorkan petugas hipermarket dan memasukannya ke troli.

"Apa kau selalu membawa notes itu kemanapun kau pergi?"

"Ini?" Audrey mengangakat notes bersampul pink dengan cup cake di tengahnya. "Benda ini seperti hidupku." Katanya. "Mungkin karena aku penulis. Ide bisa muncul kapan saja di kepalaku, bahkan disaat tak terduga sekalipun. Jadi aku butuh ini."

Audrey melangkah ke bagian ikan-ikanan, memilih berapa ikan dan mengecek insang dan tubuhnya dengan seksama. Begitu ia tak menyukainya, ia melewatinya. Dan ketika ia merasa ikan yang didepannyalah yang segar, wanita itu meminta petugas untuk menyiapkannya.

"Jadi saat tak terduga apa saja yang pernah kau alami?"

"Banyak, misalnya saat aku sedang mandi, atau saat aku sedang lari pagi, bahkan sering saat ingin tidur. Itu benar-benar mengesalkan. Ide yang tiba-tiba muncul, lalu laptop yang memanggil manggil, dan tubuhmu yang meminta diistirahatkan. Aku tak tahu harus mendahulukan yang mana, makanya aku sering mencatatnya di notes." Jelas Audrey dan meletakan ikan tadi ke troli.

Audrey membawanya ke bagian minuman. Mengambil susu, yoghurt. Lalu pindah mengambil telur, bakso, sosis dan sayur. Setelah mereka membayar. Arkan mengajak Audrey makan siang di daerah sana. Dan pulang. Audrey menyibukan setengah harinya dengan menyusun isi kulkas Arkan, bersih-bersih dan menyiapkan makan malam. Sedangkan Arkan memilih membenamkan dirinya di ruang kerjanya.

***

Jangan lupa follow akun Chocomellow26 untuk update cerita lainnya.


Continue Reading

You'll Also Like

425 120 64
Judul : K.U.N Penulis : Gerimis Senja Bab : 257 Sinopsis : Berawal dari Agam, seorang murid baru yang mendapat tantangan dari Maxim untuk...
1.2M 60.2K 50
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
2.3K 151 15
[15+] Keajaiban tak pernah berhenti membuat manusia terpukau. *** Seorang kreator komik yang dikenal dengan nama...
5.3M 285K 55
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...