Our Stories

By yennymarissa

53.2K 5.5K 936

"If you love someone, let it go, because if he returns, he will be yours. But if he does not come back, he ne... More

Regret - 01
Regret - 02
Regret - 03
Ambiguity
Maleficent
Too Late
Time Lapse
Losing Us
Broken
Broken
Little Mermaid
White Lies
Lost Stars
It Takes Two To Tango

End of The Road

3.9K 375 78
By yennymarissa

Adya mengusap air matanya yang masih terus saja mengalir saat lagi-lagi menemukan suaminya berbohong. Seharusnya, di kehamilan pertama ini—sesuatu yang sudah ditunggu oleh mereka berdua dan tentu saja keluarga mereka masing-masing—hanya ada kebahagiaan yang menemani perjalanan pernikahan mereka di tahun ketiga ini. Namun sayangnya, Adya justru harus mendapati suaminya kembali terjebak dengan cinta masa lalu yang rasanya sangat memuakkan.

"Dy? Belum tidur?"

Dulu, suara lembut itu selalu berhasil menenangkan hati Adya. Selalu. Tetapi sejak mengetahui kebohongan sang suami dari dua bulan lalu, Adya hanya menemukan perasaan sakit yang tak tertepikan.

"Sayang, ini udah malam. Tidur, yuk." Dipta sedikit mengernyitkan kening saat kepulangannya malam ini tidak menemukan Adya tertidur di ranjang mereka. Padahal sudah tengah malam, dan istrinya yang sedang hamil itu seharusnya sudah beristirahat sejak beberapa jam yang lalu. Adya justru terlihat sibuk menatap gelapnya langit malam melalui jendela kamar mereka

Adya hampir saja berjengit jijik saat lengannya dirangkul mesra oleh Dipta.

"Dy? Kenapa bengong, sih? Ada yang sakit?" tanya Dipta khawatir saat Adya masih saja terdiam tak menyahut tiap kalimatnya.

"Mas," panggil Adya berusaha menahan getar suaranya. "Darimana?"

Dipta sedikit terkejut mendapati satu tanya itu. "Kamu kan tahu aku lagi sibuk kerjain proyek pembangunan gedung rumah sakit, Sayang," jawabnya tenang sambil mengusap lembut rambut sang istri.

"Kamu sibuk kerjain proyek pembangunan atau memang sibuk di rumah sakit buat temenin perempuan lain, Mas?"

Tubuh Dipta seketika menegang, dengan kedua mata yang membola lebar. Keringat dingin mulai membasahi dahinya saat menyadari Adya sudah mengetahui kebohongannya selama beberapa bulan ini. Dipta mengalihkan tatapan dari sang istri dengan gusar. Sangat gusar. Bagaimana bisa Adya tahu tentang hal ini? Di saat Dipta bahkan sengaja memilihkan rumah sakit yang jauh dari jangkauan Adya untuk perempuan yang pernah menjadi bagian masa lalunya itu. "D-Dy... aku bisa jelasin—" Dipta tersentak saat Adya menolak sentuhan tangan darinya. Sesuatu yang selama ini tak pernah dilakukan sang istri sekalipun mereka sedang bertengkar. "Dy," lirihnya frustasi.

"Udah berapa lama kamu bohongin aku?"

Dipta masih memilih diam. Ketakutan. Semua di luar dari rencananya.

"Berapa lama, Mas?"

"Empat bulan lalu," cicit Dipta. Memilih untuk jujur. "Tapi kamu jangan salah paham, Dy. Aku murni mau bantu Sekar—"

Plak!

Kedua mata Dipta kembali melebar. Sangat terkejut dengan tamparan yang diterimanya. Adya adalah salah satu wanita paling lembut dan tenang yang pernah ditemukannya. Sikap itulah yang berhasil membuat Dipta jatuh cinta dan akhirnya mau membuka hati setelah sekian lama tertutup akibat putus dari Sekar—yang tak pernah direstui oleh kedua orangtuanya.

"Jangan pernah sebut namanya di depanku," desis Adya dengan tajam. Dipta harus tahu kalau Adya tidak akan pernah bisa memaafkan sebuah pengkhianatan. Sampai kapan pun, Adya tidak bisa terima kebohongan yang dilakukan oleh Dipta.

"Dy, Dya!" Dipta berusaha mengejar langkah Adya yang memaksa keluar dari kamar mereka. "Kamu mau ke mana? Kamu harus dengerin aku dulu," pintanya menahan kepergian Adya.

"Aku nggak akan pernah dengerin semua kalimat bohongmu lagi!" sahut Adya keras. "Kamu harus pilih—"

"Sekar sakit, Adya!" potong Dipta sama kerasnya. Dadanya masih berdebar keras saat tahu kalimat apa yang akan dikatakan Adya tadi. "Sekar sakit. Kanker hati stadium tiga," jelasnya dengan satu tarikan napas. "Jadi, nggak ada yang harus dipilih, Dy. Aku punya kamu. Selamanya akan begitu."

Adya berdecih sinis. "Selamanya akan begitu?" ejeknya. "Tapi kamu terus ketemu dia di belakangku selama empat bulan ini. Kamu bohong bilang sibuk kerja, dan bikin aku kayak orang tolol selama beberapa bulan terakhir!"

"Maaf," lirih Dipta dengan kepala tertunduk. "Aku nggak punya pilihan, Dy. Aku nggak mau kamu salah paham—"

"Bukan itu," potong Adya. "Bukan itu alasannya," ulangnya lagi dengan tegas. Sungguh, air matanya bahkan tak ingin keluar sejak Adya memutuskan untuk melakukan konfrontasi dengan Dipta. "Tapi karena kamu tahu kalau aku akan tolak bantuan yang mau kamu kasih buat cinta pertama kamu itu. Jadi akhirnya kamu milih buat bantu dia diam-diam dan temenin dia setiap hari di rumah sakit. Setiap hari!"

Oh, sial.

Adya benar-benar sial karena sudah menjatuhkan hati pada laki-laki yang tak pernah sepenuhnya keluar dari bayangan masa lalu. Sejak delapan tahun lalu, Adya sudah mengenal Dipta sebagai anak dari sahabat orangtuanya. Adya yang memiliki umur lima tahun di bawah Dipta, merasa begitu tertarik dengan laki-laki tinggi dan tampan itu. Tetapi setelah tahu kalau saat itu Dipta yang berumur dua puluh lima tahun sudah memiliki kekasih sejak SMA, Adya memilih untuk berhenti menaruh rasa suka sebelum semakin dalam. Namun setahun setelahnya, Adya diberitahu oleh sahabat mamanya—yang sekarang menjadi ibu mertuanya—kalau Dipta sudah berpisah dengan sang kekasih, Adya tanpa sadar kembali membesarkan rasa sukanya. Berbekal dari waktu mengenal yang diberikan oleh kedua orangtua mereka, Adya perlahan mendekatkan diri dengan Dipta.

Sampai dua tahun setelahnya, Dipta mengajaknya berpacaran. Sikap Dipta yang semakin hangat dan memperlakukannya dengan sangat baik membuat Adya perlahan yakin kalau laki-laki itu sudah benar-benar membuka hati padanya. Bahkan ketika hubungan mereka berlanjut ke arah yang lebih serius, Dipta semakin membuat Adya jatuh cinta. Bukan hanya kalimat cinta dan sayang yang diterima Adya dari Dipta, tapi juga perlakuan menyenangkan yang membuatnya merasa sangat dicintai oleh laki-laki itu.

Dipta bahkan melamar Adya di tahun ke dua hubungan mereka resmi sebagai sepasang kekasih. Adya sungguh terlena dengan semua sikap perhatian yang diberikan Dipta sepanjang mereka mengenal sampai remi menikah tiga tahun yang lalu. Karena ternyata, Dipta tak pernah bisa menghapus nama Sekar di dalam lubuk hati terdalamnya. Bahkan di saat mereka sedang dalam masa menyambut calon anak mereka.

Mengerikan sekali perlakuan Dipta pada Adya. Dan sungguh, Adya berusaha untuk tidak memukul wajah menyedihkan Dipta malam ini. Mengapa Dipta yang harus terlihat frustasi? Bukankah seharusnya Adya-lah yang menunjukkan raut itu? Suaminya kembali memberi perhatian pada sang mantan di saat dirinya sedang hamil? Bukankah itu sangat menyedihkan?

Padahal Dipta tahu, kalau sejak resmi berpacaran, Adya tak pernah nyaman dengan pembahasan apa pun terkait mantan kekasih pria itu.

"Nggak gitu, Dya..." balas Dipta berusaha membujuk lagi. Sekalipun sejujurnya, semua kalimat Adya tadi juga benar, tapi lebih dari itu, Dipta tak ingin sang istri terluka dengan keputusannya. Tetapi Dipta juga tak bisa abai begitu saja saat melihat seorang kenalannya sedang memerlukan bantuan darinya. "Sek—dia," Dipta meralat sebutan namanya untuk Sekar, agar tak semakin membuat Adya marah. Tetapi Dipta merasa harus menjelaskan semuanya dari awal, agar Adya tak semakin salah paham. "Aku nggak sengaja ketemu dia empat bulan lalu, Dy," ujarnya memulai penjelasan saat dirasa Adya mau mendengarkan dirinya. "Dia salah satu anggota tim dari rekanan kerjaku yang urus pembangunan rumah sakit. Waktu kami lagi meeting, tiba-tiba dia pingsan dan aku baru tahu kalau dia sakit kanker hati."

Hari itu, Dipta benar-benar merasa iba saat mendengar penyakit yang dialami oleh Sekar. Sesakit apa pun hatinya ketika Sekar memilih menyerah dari hubungan mereka karena restu orangtuanya yang tak kunjung didapat, tapi Dipta tetap tak bisa abai dengan kenyataan kalau mantan kekasihnya itu berada di ambang kematian. Belum lagi gaji Sekar yang tak terlalu besar jelas tidak bisa membiayai pengobatan terbaik untuk perempuan itu. Sekar tak memiliki siapa pun lagi di dunia ini. Sekar hanya seorang anak yatim-piatu yang harus menghidupi dirinya sendiri sejak masih SMP. Itulah sebabnya dulu Dipta jatuh hati pada kegigihan seorang Sekar Ayunda.

Tetapi itu hanya masa lalu. Di masa sekarang, Dipta sudah memiliki Adya Prameswati di sisinya. Sesuatu yang sangat Dipta syukuri—walau tetap tak bisa menghapus sisi kemanusiaannya untuk Sekar. "Dy—"

"Kamu bahkan biayai pengobatan dia?" Adya berdecih semakin sinis. Sungguh tak bisa menahan rasa kasihan pada dirinya sendiri yang sudah mengabdikan diri pada laki-laki seperti Dipta.

"Kamu nggak paham apa yang kuceritain tadi, Dy? Dia nggak punya siapa pun—"

"Dan itu bukan urusanmu!"

"Dy..?" Dipta sungguh tak percaya kalau rasa cemburu Adya bisa mengalahkan sisi kemanusiaan yang selama ini dimiliki oleh istrinya itu.

"Itu bukan urusanmu, Dipta! Urusanmu itu adalah aku! Istrimu yang lagi hamil, tapi kamu bohongin dengan keterlaluan!!"

"Kamu ngerti nggak sih maksudku?!" Dipta ikut meninggikan suara saat mendengar Adya mengubah panggilan padanya. Itu sangat terdengar tak sopan baginya. Karena selama ini Adya selalu menghormatinya.

Adya tergugu. Air mata yang sejak tadi tak mau keluar, perlahan mulai meringsek saat mendengar bentakan dari sang suami. Sesuatu yang pertama kali terjadi sepanjang mereka saling mengenal.

"Dia yatim-piatu, Adya! Yatim-piatu! Di mana hatimu yang nggak bisa kasih sedikit belas kasihan sama dia, hah??" Dipta merasa semakin frustasi karena tak tahu harus mengakhiri perdebatan ini seperti apa. "Aku nggak selingkuh sama dia, Dy. Demi apa pun, aku udah nggak punya perasaan apa pun sama dia selain rasa kasihan. Aku cuma temenin dia karena sakit. Dokter bilang dia juga nggak punya waktu lama, Dy. Setidaknya kita berbuat kebaikan buat seorang yatim-piatu di sisa hidupnya."

Berbuat kebaikan katanya?

Di mana letak kebaikan saat hatinya-lah yang menjadi korban?

Siapa yang bisa menjamin di masa-masa berbuat kebaikan itu, hati suaminya tak lagi terjerat cinta masa lalu yang dulu sangat indah karena penuh perjuangan itu?

Adya mengetatkan rahangnya. "Terserah kamu."

"Adya!" Dipta kembali membentak sambil mencekal kuat lengan Adya yang sekali lagi ingin beranjak dari kamar mereka. Tetapi detik selanjutnya, Dipta membuang napas seolah ingin menenangkan diri dari amarah yang seharusnya tak boleh timbul. Karena semua ini adalah kesalahannya yang tak jujur sejak awal. "Jangan egois, tolong. Aku tahu istriku perempuan baik yang punya hati lembut dan sangat luas."

Kalimat itu membekukan tubuh Adya. Mendinginkan debaran jantungnya yang menggila karena perasaan kasihan Dipta pada perempuan lain. Kalimat itu membuat Adya memutuskan untuk menjadi perempuan yang berkebalikan dari perkataan Dipta tadi.

Ini akhirnya, Dipta.

===

"Sebaiknya kamu nikah sama Mbak Sekar, Mas."

Dipta hampir saja tersedak makanannya saat mendengar kalimat tiba-tiba dari Adya. "Kamu ngomong apa sih, Dy?"

Setelah malam pertengkaran mereka seminggu lalu, ini kali pertama Dipta mendengar Adya membicarakan Sekar lagi. Apalagi pembicaraan itu sesuatu yang membuat Dipta tiba-tiba bergidik ngeri.

Adya sudah memutuskan semuanya sejak malam itu. Semuanya. Sampai akhir. Dipta tak akan bisa memilih antara dirinya dan Sekar—karena alasan belas kasihan pada perempuan yatim-piatu. Terbukti kalau sejak pertengkaran mereka seminggu lalu pun, Dipta masih tetap menemui Sekar—walau kali ini selalu mengatakan padanya.

Mengatakan, bukan ijin.

Karena yang dikatakan Dipta hanya sebentuk kalimat, "Hari ini aku ke rumah sakit lagi, ya."

Begitu.

Dan Adya memilih mengangguk saja. Bahkan saat tiba-tiba Dipta harus menginap di rumah sakit karena kondisi Sekar yang drop, Adya hanya mengiyakan saja. Berperan sebagai istri yang patuh dengan kalimat terakhir yang diucapkan Dipta malam itu.

Sepertinya memang berhasil. Karena Dipta bertingkah seolah tak pernah ada masalah di antara mereka berdua. Dipta justru masih sibuk dengan semua kegiatan harian pria itu, pun juga tak lupa meminta waktu malam bersamanya.

"Setelah aku pikir-pikir, kamu benar, Mas. Kasihan Mbak Sekar sendirian berjuang melawan penyakitnya. Menurutku, lebih baik kalian menikah. Aku bisa dapat pahala, dan kamu juga nggak perlu bolak-balik ketemu aku dan Mbak Sekar dalam sehari. Karena kalau kalian menikah, kita bisa tinggal satu rumah bersama."

Dipta membuang napas kasar. "Nggak perlu sampai segitunya, Dy. Aku nggak mau nikah lagi," tolaknya. Tak suka dengan ide sang istri.

"Mas," Adya menggenggam tangan Dipta dengan lembut. "Coba kamu pikirin kalau terus kayak gini. Kamu bisa kehilangan momen kehamilan anak pertama kita karena harus sibuk bagi waktu antara kerja, aku dan Mbak Sekar. Tapi kalau kamu nikah sama Mbak Sekar, aku bisa bantu kamu merawat Mbak Sekar di rumah ini. Kita bertiga sama-sama nggak akan kehilangan banyak waktu bersama. Kedekatan kamu dan Mbak Sekar juga nggak bisa jadi fitnah kalau kalian menikah, Mas."

Tidak masuk akal.

Bagi Dipta, ide itu sangat tidak masuk akal.

"Lagipula, aku juga bisa dapat pahala saat berbagi suami dengan perempuan yang keadaannya seperti Mbak Sekar kan, Mas?"

Telak.

Dipta merasa Adya menyerang di titik yang tepat.

"Pikirkan lagi, Mas. Aku cuma mau yang terbaik buat kita bertiga."

Sayangnya, Adya tak benar-benar memberi Dipta waktu. Karena setiap hari, Adya terus merongrongnya dengan kalimat-kalimat yang sama.

"Kamu cinta aku kan, Dy? Kenapa minta aku nikahin perempuan lain?"

"Karena kamu punya belas kasihan yang besar, dan aku nggak mau jadi penghalangnya, Mas."

Dan akhirnya, Dipta menyerah. Dengan segala bujuk rayu yang diucapkan oleh Adya, Dipta memilih mengiyakan permintaan sang istri. Hanya sampai Sekar sembuh atau memang kalau akhirnya tidak bisa bertahan hidup lagi. Itu perjanjian yang diucapkan oleh Dipta dan hanya dibalas anggukan juga senyum oleh Adya.

Seluruh rangkaian persiapan pernikahan dipersiapkan langsung oleh Adya dengan perutnya yang semakin membuncit. Bahkan Adya yang memberi penjelasan pada kedua orangtua mereka dan memasang badan saat Dipta dipukuli oleh sang papa dan papa mertuanya.

Tidak sampai dua bulan, pernikahan itu akhirnya akan terlaksana. Adya akan resmi membagi suaminya dengan perempuan lain. Bahkan Adya memaksa dua keluarga besar mereka agar datang untuk menyambut satu anggota baru yang akan menjadi bagian dari mereka. Tak ada air mata yang mengalir di pipi Adya di saat mama dan mama mertuanya terus saja menangis sejak kemarin.

Sedangkan Dipta—yang berubah menjadi murung sejak rencana pernikahan itu dipersiapkan, semakin menekuk wajah saat menyadari kalau hari ini akan memiliki tanggung jawab yang lebih besar sebagai seorang suami yang beristri dua orang. Dipta bahkan menangis memeluk Adya selama berada di kamar mereka sejak subuh tadi.

"Jangan nangis dong, Mas. Nanti Mbak Sekar bingung kalau lihat pengantinnya jelek gini," canda Adya sambil mengusap wajah sang suami.

"Maafin aku, Dy. Maaf," lirih Dipta sambil memeluk erat Adya. "Seharusnya nggak perlu begini. Aku nggak mau. Aku cuma kasihan sama Sekar, Dy."

Adya hanya menepuk-nepuk pelan punggung sang suami. "Aku punya hadiah buat kamu," bisiknya lembut, lalu melepaskan pelukan mereka dan berjalan mengambil sebuah amplop berwarna merah muda kesukaannya untuk Dipta.

"Surat?"

Kepala Adya mengangguk dengan senyum yang masih mengembang di bibir. "Bukanya nanti. Habis kamu selesai siap-siap dan turun ke bawah buat ijab. Oke?"

Ada debar yang tak asing dirasakan oleh Dipta. Teringat kalau di hari pernikahan mereka pun, Adya juga memberikan hadiah yang sama. Sebuah surat indah yang berhasil membuatnya menelan haru karena coretan demi coretan tentang mimpi pernikahan mereka.

Mimpi yang akhirnya dipatahkan oleh Dipta.

Adya memajukan tubuhnya dan memberi ciuman lembut di bibir Dipta yang masih tertegun menatap amplop pemberiannya. "Siap-siap ya, Mas. Aku juga mau bantu Mbak Sekar siap-siap."

Hati Dipta rasanya begitu perih saat matanya mengikuti kepergian Adya. Istrinya itu sama sekali tidak menangis. Terlihat begitu kuat dan ikhlas saat berniat memberikan kebahagiaan untuk perempuan yang sedang sakit keras.

Di kamar lain, Adya melihat Sekar sedang dirias oleh salah satu MUA ternama yang sengaja dipilihnya untuk perempuan itu. Wajah pucat itu hari ini terlihat lebih segar dan berseri karena mungkin akhirnya bisa menikah dengan laki-laki yang masih dicintai dengan begitu hebat.

"Terima kasih ya, Dya."

Adya hanya mengulas senyum tipis, lalu membalas dengan kalimat bernada aneh. "Mbak akan bahagia mulai sekarang."

Setelah mendapat balasan senyuman terima kasih yang tulus dari Sekar, Adya memutuskan untuk keluar kamar dan memastikan seluruh persiapan yang ada sudah selesai. Keluarganya dan Dipta belum datang. Mereka tadinya berniat tak datang, tapi Adya memaksa dengan sangat keras, jadilah akhirnya mereka memutuskan datang saat ijab kabul akan berlangsung. Adya memilih mengiyakan saja. Karena sepuluh menit lagi pun, Adya sudah tidak akan ada di rumah ini.

Iya, Adya memilih berhenti melangkah bersama Dipta. Diam-diam Adya mengakhiri segalanya yang berhubungan dengan Dipta—kecuali bayinya. Calon anaknya yang mungkin tak akan Dipta temui saat lahir.

Aku tahu ini egois. Tapi di sisa umurku, aku mau sedikit waktu bersama dengan Mas Dipta, Dya.

Kalimat itu tak akan pernah dilupakan Adya saat pertemuan pertamanya dengan Sekar tanpa sepengetahuan Dipta. Dan ya, Adya memberikan Dipta. Seutuhnya. Meski keputusannya akan dikutuk oleh sang Pemberi Hidup. Adya mengesampingkan dosa yang mungkin sudah mengejarnya sejak menjalankan rencananya diam-diam.

Lagipula, Adya sudah tahu, akhir seperti apa yang akan Dipta berikan pada Sekar setelah kepergiannya hari ini.

===

"Adya!!"

Seluruh orang yang berada di lantai satu seketika terkejut saat mendengar teriakan nyaring dari Dipta yang berada di lantai atas. Bahkan Nimas—mamanya Dipta yang baru tiba bersama suami dan kedua besannya langsung ke lantai dua karena takut terjadi sesuatu dengan Adya.

"Dipta! Ada apa kamu teriak-teriak?!"

"Mana Adya?! Di mana istriku, Ma?!" Dipta terus berlari mengitari tiap sudut rumah dan sama sekali tak menemukan Adya di mana pun. Air mata tak henti mengalir di pipinya dengan raut wajah begitu hancur. Sama sekali tak peduli dengan baju pengantin di tubuhnya—yang berhasil menimbulkan banyak tanya di wajah para tamu.

"Mas Dipta..."

Panggilan bernada lembut dari Sekar itu sama sekali tak menahan tiap langkah Dipta yang sedang panik mencari Adya.

"Dipta, berhenti! Kamu kenapa, sih?!" Risky—sepupu Dipta, yang juga ikut datang—menghentikan langkah sang sepupu.

"Adya menceraikan aku, Bang!" Dipta akhirnya menangis terduduk pilu di bawah tangga. Benar-benar tak peduli pada kesiap lirih dari banyak orang di sekitarnya.

"A-apa..?" Risky yang masih kebingungan segera mengambil kertas yang berada di genggaman erat tangan Dipta.

Ada dua surat di sana.

Surat dengan tulisan tangan Adya.

Dan... akta perceraian antara Pradipta Anwar dan Adya Prameswari.

Seketika Nimas pingsan dan Gendis—mama Adya yang langsung terduduk lemas segera ditahan oleh sang suami. Keadaan rumah itu kacau.

Risky segera membubarkan para tamu. Sama sekali tak mempedulikan isak tangis perempuan bernama Sekar—yang seolah tak terima karena gagalnya pernikahan hari ini. Risky bahkan tak peduli ketika Sekar mulai terlihat sesak napas saat setelah sadar dari pingsan, tantenya itu terus memberikan cacian pada Sekar dan Dipta yang memilih meringkuk di lantai setelah dihajar habis-habisan oleh sang ayah.

Seluruh anggota keluarga Dipta dan Adya melihat sendiri bagaimana hancurnya seorang Pradipta Anwar hari ini. Dipta bahkan tak memberikan perlawanan apa pun saat sang ayah memberi pukulan demi pukulan. Dipta hanya terus menangis memanggil nama Adya—memohon pengampunan di depan kedua mertua, yang juga masih saling memeluk dengan tangis setelah tahu putri tunggalnya menghilang entah ke mana.

"Buat apalagi kamu menangis sekarang?! Sana siap-siap! Kamu mau menikah hari ini, ingat itu!"

"Aku mau cari istriku! Aku harus cari Adya!" Dipta berteriak di tengah rasa sakit yang mendera seluruh tubuhnya.

Radi—papa Dipta—berdecih sangat sinis. "Istri?? Sudah nggak ada! Kamu cuma punya calon istri dan mantan istri! Sana lihat kondisi calon istrimu yang cuma bisa nangis sampai kelihatan mau mati!"

Dipta kembali meluruh saat sang papa meneriakkan kenyataan yang ada.

Benar, Adya bukan lagi istrinya. Pengadilan sudah mengesahkan perceraian mereka kemarin. Diam-diam Adya sudah mengurus perceraian mereka berbekal perjanjian pra nikah yang mereka buat.

Bahwa; perceraian bisa dilakukan dalam keadaan apa pun jika salah satu melakukan pengkhianatan.

Dipta semakin menangis. Tangisan pilu yang sarat akan luka dalam karena keberanian Adya melepaskan diri dari pernikahan mereka. Bagaimana bisa Adya melakukan ini padanya? Bagaimana bisa Adya mempersiapkan segala hukuman untuknya dengan begitu rapi sampai membuatnya tak sadar kalau perempuan itu sedang merakit bom yang bisa membumi-hanguskan dunianya dalam sekejap?

Jahat.

Adya sangat jahat dan mengerikan!

Tidak ada yang berkhianat di antara mereka. Tetapi Adya menjadikan belas kasihan yang diberikannya pada Sekar sebagai bukti pengkhianatan. Sungguh, terlalu kejam!

"Perceraiannya nggak sah! Aku masih suami Adya! Aku nggak pernah merasa menceraikan dia!" teriak Dipta lagi.

Dipta hanya sedang menyangkal. Karena siapa pun yang ada di sana tahu kalau perceraian itu sah di mata hukum. Adya sepertinya sengaja tak memberikan surat panggilan sidang sampai pengadilan menjatuhkan putusan verstek. Entah pengacara dan cara seperti apa yang membantu Adya diam-diam selama ini.

"Aku minta maaf, Dy. Maafin aku." Dipta terus meracau dalam tangisnya. Kalimat demi kalimat yang tertuang dalam surat Adya tadi semakin mengeraskan tangisan Dipta. Tadi Adya sempat membuatnya tersanjung dengan kalimat-kalimat awal dalam surat itu, tapi menjelang akhir, Dipta merasa dunianya dipaksa berhenti tiba-tiba.

Aku memang manusia egois, Mas. Harga diriku terlalu tinggi kalau dibandingkan dengan belas kasihan buat perempuan lain. Jadi, terima hukuman kecil dariku, Mas.

Dipta terus menangis. Menyesali rasa kasihannya yang tidak tahu tempat. Menyesali sikap tololnya yang membuat Adya memilih pergi. Menyesali akhir perjalanannya bersama Adya. Dipta semakin meraung. Meratap sampai akhirnya pingsan dan membuat seluruh orang di sekitarnya begitu panik. Sampai melupakan ada satu sosok lagi yang hancur terduduk di sudut ruangan.

Sekar Ayunda berusaha keras menahan sakit di sekujur tubuhnya beriringan dengan sakit hatinya yang tak kunjung berakhir sejak Dipta sama sekali tak mempedulikan kehadirannya di sini. Sekar juga menangis. Menangisi hatinya yang patah. Menangisi harga dirinya yang terluka. Juga menangisi hidupnya yang malang.

Karena ternyata, Adya tidak pernah berniat memberikannya sedikit kebahagiaan perempuan itu, tapi justru menginginkannya untuk tahu diri. Dengan jalan yang bagi Sekar begitu mengerikan dan tak akan pernah bisa dilupakannya—bahkan sampai mati.

Ketiganya, memiliki akhir perjalanan yang menyedihkan.

End

jangan lupa voment-nyaa yaaa!

salam,
yenny marissa

27 Agustus 2022

Continue Reading

You'll Also Like

1M 115K 52
[PRIVATE ACAK! SILAHKAN FOLLOW SEBELUM MEMBACA] "NENEN HIKS.." "Wtf?!!" Tentang kehidupan Nevaniel yang biasa di panggil nevan. Seorang laki-laki yan...
738K 27K 32
[KAWASAN BUCIN TINGKAT TINGGI 🚫] "Lo cuma milik gue." Reagan Kanziro Adler seorang ketua dari komplotan geng besar yang menjunjung tinggi kekuasaan...
404 62 5
"Kamu bisa lepaskan andai itu menyakitkan." Periode : Januari - Februari 2024
918 102 9
I can smile because we're together, i can cry because it's you. So what can't i do? - smile flower