Gandara

By ZiviaZee

519 38 28

[Teen fiction X Action] Di SMA Pemungkas Praja, kami mengenal hierarki pecundang dan penindas. Hierarki rahas... More

PRAKATA
Bab 2 | Pasti ada alasan untuk kita saling bersinggungan.
Bab 3 | Aku, kamu dan di antara kita.
Bab 4 | Mimpi-mimpi yang hanya jadi mimpi.
Bab 5 | Angan yang patah, realita yang meruak.

Bab 1 | Aku ingin bersinar seperti para bintang.

107 8 6
By ZiviaZee

Gandara

A novel by Zivia Zee

•••

Pernah sekali terlintas di pikiranku ketika kepak sayap burung melalui mataku yang tengah memuja langit. Sebenarnya, kebebasan yang kuidam itu sedekat jarak pandang ke jumantara. Maksudku, coba lihat ke atas sana. Langit itu luas melingkupi bumi seperti selimut tebal yang terbuat dari kapuk. Dan siapapun yang mendamba ketenteraman pasti mendapat sandaran kala melihat ke arahnya.

Seperti aku yang meringkuk tergugu di hamparan keramik dingin kamar mandi sekolah. Yang udaranya lembab dan temaram, yang dinding-dindingnya menggema kala aku merintih. Bertimbalan dengan gaung tawa Sarita dan teman-temanya kala mereka memukul dan menendangku sesukanya.

Tubuhku memang merasa sakit. Tapi pikiranku mengawang jauh saat mataku mengintip langit dari balik lengan yang memar kebiruan. Ada seberkas cahaya yang jatuh ke samping kepalaku saat itu, dan hangatnya seolah berkata ... tidurlah.

Tidurlah.

Biar rasa sakit yang mendera tubuh lemah itu dibawa pergi oleh buai mimpi. Dan kupandu engkau pada hangatnya ekstasi. Tempat di mana kamu hanya akan merasa ... tenang.

Kata-kata langit tiap aku bersemuka dengannya selalu bergaung dengan cara yang sama. Melantunkan kalimat-kalimat yang membujukku menyerahkan diri pada ketidaksadaran. Seperti saat seseorang menghirup ekstasi melalui hidungnya. Zat-zat adiktif itu akan merayumu melakukan hal-hal yang tidak akan pernah kau lakukan saat biasanya. Begitulah caraku tertidur tiap kali aku dirundung.

"Kamu bodoh, Irish. Kamu bodoh dan aneh." Sekali itu Kinara berkomentar kala aku menemukan diriku terbaring di ranjang UKS dua jam setelah aku dipukuli. Seragamku yang penuh jejak sepatu sudah berganti dengan seragam baru yang bersih. Aku menduga Kinara yang meminjamkannya dari cadangan OSIS, seperti biasanya. "Aku tidak pernah bertemu orang yang ketika dipukuli malah diam saja. Meringkuk di lantai sampai ketiduran. Tidak pernah kecuali kamu."

Aku memandanginya yang tengah membalik-balik majalah di kursi. Tersenyum pahit.

Ini bukan pertama kalinya dia bilang begitu. Hampir setiap kali gadis berkucir kuda itu menengokiku di UKS, dia selalu mengatakan hal yang sama. Aku mengerti tidak semua orang dapat memahami. Mekanisme pertahananku memang aneh. Namun, hanya itu yang bisa aku lakukan, bukan? Jika aku melawan, segalanya akan terasa lebih sakit.

Sedang aku hanya ingin semuanya cepat berakhir.

Kinara menutup majalah dan menempatkannya kembali ke atas nakas. Ia bangkit berdiri seraya berujar, "Kalau kmu sudah baikan, cari makan di kantin sana."

Gadis itu melenggang ke arah pintu keluar.

"Kinar." Buru-buru aku memanggilnya. "Makasih, ya."

Gadis itu setengah menoleh dengan tatapan dingin. "Buat apa terimakasih sama aku? Toh, aku nggak akan nolongin kamu meski kamu dibuli di depan mataku."

Aku tersenyum pahit, lagi. Mengikutinya keluar UKS. Baru dua langkah, aku hampir menabrak seseorang yang tengah berlarian di koridor. Sebelum aku benar-benar mengucapkan kata maaf, lelaki itu sudah melesat pergi. Hanya punggungnya yang tersisa untuk kuamati.

"Kejar." Kinara berujar. "Suruh dia minta maaf."

Aku menggeleng pelan. "Aku yang salah."

Aku yang salah. Aku yang tiba-tiba berada di jalurnya. Padahal aku sudah tahu kalau pada jam istirahat, koridor pasti ramai. Terlebih koridor UKS yang terletak di bagian depan gedung dekat dengan kantin.

Kinara menggeleng tak habis pikir, namun, ia berhenti menarik atensi pada hal itu dan kembali menggerakkan kaki menuju kantin.

Setelah diam beberapa saat, gadis itu bergumam lagi. "Kalau kamu cemen begitu, kau nggak akan pernah berhenti digangguin si Sarita."

Kepalaku menunduk dalam. "Aku tahu," bisikku. Kinara geleng-geleng kepala. Helaan napasnya menandakan bahwa ia juga tidak bisa berbuat apa-apa untukku.

"Tenang aja. Sarita nggak makan di kantin yang ini," ujar Kinara sesampainya kami di kantin.

Untuk ukuran orang dengan kepribadian apatis sepertinya, gadis itu menyadari kecemasanku dengan begitu cepat. Aku memang tidak mengatakan apa-apa. Tapi, mataku berlari ke berbagai arah. Ada rasa takut saat kakiku menginjak kantin yang terhubung dengan tiga koridor--utara, selatan dan barat. Mewaspadai orang-orang yang muncul dari tiga jalur itu.

Bisa saja itu Sarita atau teman-temannya. Pikiran akan kemungkinan itu tidak pernah gagal membuatku gemetar sepanjang badan. Fakta itu membuatku merasa semakin menyedihkan.

"Aku mau pesan bakso. Kamu juga sana, pesan apapun yang kamu inginkan."

Dia tidak memberiku kesempatan untuk merespon satupun perkataannya dan pergi begitu saja. Kuhela napas panjang. Tiga bulan aku bersekolah di SMA ini, bisa terhitung jari seberapa sering aku mengunjungi kantin. Jika tidak diajak Kinara, aku tidak akan pernah berinisiatif datang sendiri. Bagi orang sepertiku, tempat ini tidak ada bedanya dengan ruang penyiksaan. Aku sudah pernah mengalami berbagai hal memalukan di sini. Mengingatnya benar-benar membuatku tersiksa dua kali.

Kantin ini punya banyak hal untuk dijajakan pada para murid. Tapi, bagi orang sepertiku, makan di tempat ini rasanya bagai melakukan hal tabu di tempat terlarang. Meskipun aroma rebusan mi instan dan bumbu siomai menggoda hidungku, dan suasana hangat canda tawa orang-orang bergumul di udara, tidak ada perasaan yang membuatku merasa diterima di tempat yang sama. Seolah-olah ... aku hidup di dunia yang berbeda.

Tidak berminat memesan apapun, kuputuskan untuk menghampiri Kinara yang tengah berdesakan mengerumuni tukang bakso. Namun, laguh-lagah yang tiba-tiba menyerobok sunyi menghentikan langkahku yang baru terhitung dua. Sontak saja jantungku memompa keras. Kakiku membeku di tempat.

Ini bukan berita baik. Jika Sarita atau orang populer yang tengah ingin mencari mangsa datang ke kantin khusus anak kelas satu, aku akan jadi bulan-bulanan. Tanganku mengepal berusaha menenangkan diri saat aku menolehkan badan ke sumber keramaian. Belum ada siapapun yang muncul dari lorong utara. Akan tetapi aku bisa melihat orang-orang yang tengah berjalan di jalur itu menyingkirkan diri mereka mengapit ke dinding seolah-olah ada tangan tak kasat mata yang menghalau mereka dari tengah jalan. Murid-murid lain yang tengah bergumul di kantin bangkit dari bangku mereka dan membentuk kerumunan-kerumunan di sekitar mulut lorong.

"Itu Gandara!" seru seseorang di antara kerumunannya.

Saat itulah lima orang dengan bet kelas tiga muncul dari lorong koridor tersebut. Berjalan berarak melintasi kantin dengan seluruh pasang mata tertuju pada kelimanya.

Bukan Sarita, aku menghela napas lega.

Di SMA Pemungkas Praja, kami mengenal hierarki pecundang dan penindas. Hierarki rahasia yang dibentuk untuk menentukan masa SMA seseorang. Penindas, sebut saja Sarita yang anak pengacara. Pecundang, sebut saja aku yang bukan siapa-siapa dan tidak punya apa-apa. Di antaranya, tentu saja ada anak biasa yang tidak tahu menahu atau yang tahu tapi memilih untuk tidak peduli seperti Kinara.

Tapi, di atas segalanya, ada mereka yang disebut Gandara.

Gandara tak lebih dari sebatas perkumpulan lima orang yang hanya punya satu kesamaan, populer. Tapi, tidak seperti Sarita, mereka bukan penindas, apalagi pecundang.

Aku tidak tahu apa yang mendasari dominasi Gandara di sekolah ini. Barangkali karena semua anggotanya adalah senior kelas tiga di sekolah dengan budaya senioritas yang tinggi seperti Pemuja*, karena aku belum pernah melihat mereka menindas siapapun. Meski kabar burung berkata mereka sebenarnya tidak berbeda dari para penindas lainnya.

*Pemuja: akronim dari Pemungkas Praja.

Mataku mengekori langkah mereka. Dari tempat aku berdiri, Mereka bagaikan datang dari dunia lain. Dunia yang jauh dari tempat aku bersimpuh. Bagaikan seribu lampu panggung dipasang khusus menyoroti jalan mereka, mengikuti ke manapun orang-orang itu melangkah. Lalu perasaan terasingkan itu menjadi demikian jelas, dan aku menemukan diriku mengasihani diri sendiri. Mereka yang disoroti banyak cahaya, sedangkan aku yang meratap dari kejauhan. Ditinggalkan sendirian di sudut kegelapan yang tidak terjamah harapan.

Terkadang, aku berpikir bahwa lebih baik mengakhiri--

"Itu Kak Eliaz 'kan, ya? Ganteng banget!" Pekikan seorang perempuan yang berdiri tak jauh dariku membuat tubuhku melonjak.

"Eh, tapi kenapa dia nggak pakai seragam?"

Mendengar percakapan mereka, mataku bergerak sendiri tertuju pada salah seorang lelaki di antara lima anggota Gandara. Seperti kata mereka, ia tidak mengenakan seragam atasan. Tubuhnya hanya berbalut kaus hitam yang lengannya digulung hingga ke pundak. Aku memandanginya sekilas. Tak lama mataku berpindah pada seorang perempuan yang berjalan paling depan saat seseorang menyebut namanya.

"Razan Ivy! Itu Razan yang atlet taekwondo itu 'kan?"

"Kalau liat aslinya, dia lebih keren, ya. Kata anak kelas dua, dia memang lain dari yang lain. Pacarku bilang, waktu kelas satu, Razan pernah tiba-tiba menyerang anak kelas tiga yang waktu itu suka memalaki anak kelas satu, tingkah senior itu katanya memang nyebelin. Padahal, sebelumnya mereka tidak pernah ada masalah apa-apa. Mungkin Razan kesal karena temannya pernah dipalak atau apa."

"Gila, ya. Masih kelas satu tapi berani lawan kelas tiga. Apa karena dia kuat? Atlet taekwondo 'kan, dia?"

"Ya ... sejak itu namanya memang langsung melejit. Banyak senior yang cari masalah sama dia, tapi, semua langsung lari terbirit-birit begitu lihat kaki cewek itu melayang ke depan muka. Sekarang, dia kelas tiga dan disegani sama satu sekolah."

"Tapi, anehnya, sejak awal masuk aku tidak pernah lihat Razan--"

Razan Ivy mudah dikenali. Selain pamornya sebagai ketua Gandara sekaligus atlet taekwondo yang membuat eksistensinya dikenali satu sekolah, gadis itu juga punya penampilan yang unik. Cewek itu terlihat paling mencolok dengan rambutnya yang bergelombang sebahu berponi depan dan fitur wajah campuran kaukasoid. Kulitnya putih-berbintik cokelat gelap yang terlihat samar-samar di area hidung dan pipi. Matanya punya bentuk yang tajam, beriris cokelat terang dan jika dia melihat ke arah seseorang, ia seperti melihat ke dalam jiwanya. Lalu, rahangnya sangat tegas.

Di lihat dari jauh, aku bisa melihat ia tinggi semampai. Rok rimple hitam sekolah kami hampir lima senti di atas lututnya. Meski cuma pakai seragam sekolah, penampilannya bisa dibilang cukup ikonik dengan ciri khas jaket kulit oversize berwarna hitam mengkilap yang kerap melapisi seragam putihnya.

"Nga-ngapain Kak Razan ke sini?" Aku bergumam pada diriku sendiri. Namun, seseorang mengejutkanku dengan jawaban.

"Kamu jarang ke kantin, sih. Makanya baru liat. kak Razan and the gang emang rajin ke kantin anak kelas satu." Itu Kinara yang tahu-tahu saja sudah berdiri di sampingku seraya memegang nampan dengan mangkuk bakso.

"Nga-ngapain?"

Kinara memandangku dingin. "Ya, makan lah. Ngapain lagi?"

Jawabannya sontak membuatku merasa bodoh.

Tanganku menggaruk kepala. Lantas mengikutinya berjalan ke salah satu meja saat orang-orang mulai kembali berpencar dan sibuk dengan urusan masing-masing. Memandangiku yang mengambil duduk di depannya, Kinara bertanya heran. "Nggak pesan makan?"

Aku menggeleng diikuti senyum kikuk. "Nanti ada yang pura-pura nyenggol terus ngotorin baju pinjaman OSIS kayak waktu itu, lagi."

Mendengar jawaban pesimisku, gadis itu mengangkat alis. "Hah?"

Bola mataku mendelik ke atas. "Ya ... kan biasanya memang gitu--"

"Aku tahu," potongnya cepat. "Maksudku, itu ... kayaknya bukan baju cadangan OSIS, deh."

Kini dahiku yang berkerut heran.

"Bu-bukannya kamu yang bawa aku ke UKS tadi?"

Gadis itu menggeleng. "Waktu aku ke UKS, kamu udah tiduran di sana. Makanya, tadi sebenarnya aku mau nanya. Kok, kamu bisa pakai baju dia?"

"D-dia?"

Tenggorokanku bak disambangi kemarau kala aku mulai menyadari ada sesuatu yang ganjil. Aku memang sudah merasa aneh sejak tadi, baju yang kupakai terasa jauh lebih besar dari baju cadangan OSIS yang biasa Kinara pinjamkan. Awalnya aku tak ambil pusing karena kupikir ia secara tidak sengaja membawakanku ukuran yang lebih besar. Tapi, karena gadis itu bilang demikian, hatiku tidak bisa tidak dag-dig-dug. Buru-buru aku meraba bagian dada di atas saku, dan bulu romaku naik serempak begitu aku merasakan papan nama yang terpasang di sana.

Baju cadangan OSIS tentu tidak dilengkapi papan nama!

Kalau begitu ... baju siapa yang kupakai ini?

Haloha!!

Another teenfic-action yang kutulis huehehehe ><

Siapapun yang menemukan cerita ini, welcome to the club!! Hope you enjoy the story

Jangan lupa follow, vote dan komennya😉~~~

See you on the other page 😆

Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 15.9K 2
21 sampai ending diprivate Nerissa Aprodita menganggap dirinya hanya boneka sang Mama yang harus tetap tersenyum walau mengalami segala kepahitan d...
1.5M 112K 46
Aneta Almeera. Seorang penulis novel terkenal yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwanya...
26.9K 3.5K 39
High Level merupakan sebuah klub populer di Alana High School. Klub ini terdiri dari 4 orang ambisius yang selalu menguasai ranking teratas sekolah...
864 148 7
Ketika Aiora memutuskan masuk di SMA Kalingga, cewek itu sudah merancang segala kehidupan SMA-nya dengan sempurna. Aiora akan memastikan seluruh peng...