Obsesi Asmara

By ainiay12

1.7M 117K 52.5K

[PRIVAT ACAK - FOLLOW SEBELUM BACA] - OBSESI, HUBUNGAN TERLARANG, PERSAINGAN BISNIS, PERSAHABATAN, TOXIC RELA... More

| PROLOG |
1. PERTEMUAN SINGKAT
2. BALAPAN
3. KETERTARIKAN
4. IDENTITAS
5. PERINGATAN KECIL
6. PULANG BARENG
7. MENGALAHKAN EGO
8. OFFICIAL?
9. SENTUHAN
10. TERUNGKAPNYA FAKTA & KEHILANGAN
11. DUBAI
12. UNDANGAN
13. BERTEMU KEMBALI
14. PEREMPUAN LICIK
15. MISI & LAKI-LAKI LAIN?
16. EKSEKUSI
17. HOTEL PRIMLAND
18. SISI YANG BERBEDA
19. PERTEMUAN KEDUA
20. PEMBATALAN INVESTASI
21. CUCU PEMILIK SEKOLAH
22. PESTA
23. CINTA SATU MALAM
24. REKAMAN
25. LOVE OR OBSESSION?
26. SATU ATAP BERSAMA
27. APARTEMEN
28. MENGAKHIRI & AWAL YANG BARU
30. PENGAKUAN & PENOLAKAN
31. TANDA-TANDA MULAI BUCIN?
32. MEMENDAM ATAU MENGUNGKAPKAN?
33. MY GIRLFRIEND
34. VICTORIA GROVE CLUB
35. HANYA PELAMPIASAN?
36. PUTUS HUBUNGAN?
37. SIMPANAN OM-OM?
38. BENAR-BENAR BERAKHIR
39. PENCULIKAN
40. BALIKAN
41. PENYESALAN
42. RASA YANG TAK TERBALAS
43. TERBONGKAR

29. HILANG DAN KECURIGAAN

32.9K 2.7K 2K
By ainiay12

Follow terlebih dahulu akun di bawah ini;
Instagram: wattpad.ayay
Tiktok: wattpad.ai & wattpad.ay

Diwajibkan untuk vote dan komen sebelum membaca cerita ini!

Jangan lupa komen di setiap paragraf!

Ramaikan cerita ini ke teman-teman kalian dan sosmed kalian dengan memakai hastag #obsesiasmarawattpad #bianastara #aloraaleandra

Tepat jam enam pagi Bian terbangun karena merasa badannya pegal-pegal, ia tidak terbiasa tidur di sofa seperti ini.

Cowok itu mengucek matanya sembari berjalan ke kamar Alora dan mendapati gadis itu masih tertidur pulas.

Bian mendekat perlahan, dan menaikkan selimut yang dipakai Alora. Menatap gadis itu dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Ia mengulurkan tangannya dan mengusap-usap rambut Alora. Kali ini perlakuannya terlihat tulus.

"Makasih, Alora. Gue pulang dulu. Nanti gue temuin lo lagi kalo masalahnya udah selesai," katanya lalu mengecup kening Alora, kemudian keluar kamar.

Dengan berat hati Bian harus segera pergi, padahal ia masih mau terus berduaan dengan Alora.

Cowok itu mengambil kunci mobil dan ponselnya yang berada di meja. Kemudian mengendarai kendaraan beroda empat itu keluar dari apartemen Alora.

Bian sadar, mengindari masalah bukan solusi yang tepat saat ini. Karena semakin ia menghindar maka masalahnya akan semakin membesar. Mau tidak mau ia harus membereskan semuanya agar bisa memulai lagi semuanya, tentunya bersama Alora.

Bian akan mengakhiri semua kepahitan dan pengkhianatan ini secepat mungkin. Setelah semua masalahnya selesai, ia akan menemui Alora.

Tiba-tiba saja cowok itu tersenyum saat mengingat Alora yang tertawa tadi malam. Benar-benar indah, sampai-sampai ia ingin melihatnya setiap hari.

Alora bagaikan candunya saat ini.

"Perasaan apa ini?" Bian bertanya pada diri sendiri.

Sebenarnya perasaan apa yang ia rasakan ketika bersama Alora?

Mengapa ia seperti tidak ingin berjauhan dari Alora?

Mengapa jantungnya berpacu cepat saat berdekatan dengan Alora?

Mengapa hatinya seperti meletup-letup bahagia ketika gadis itu juga bahagia? Kenapa rasanya ia selalu ingin bersama Alora setiap waktu?

Dan satu lagi yang tidak Bian mengerti, kenapa setiap ada masalah yang terjadi padanya, ia pasti selalu ingin menemui Alora. Hanya Alora yang bisa membuatnya tenang.

Padahal dulu saat berpacaran dengan Citra, Bian tidak pernah merasakan hal-hal semacam ini.

Setiap hari yang ia lewati dulu tidak berarti apa-apa. Tidak ada perasaan semacam ini.

Tidak terasa mobil cowok itu sudah memasuki pekarangan rumahnya. Tanpa mengetuk pintu Bian masuk ke dalam rumah, dan melihat Lia yang sedang memasak bersama asisten rumah tangga.

Sepertinya Lia menyadari keberadaan Bian dan langsung berlari menghampiri. "Bian! Akhirnya kamu pulang juga, Mama khawatir sama kamu."

"Berhenti pura-pura," ucap Bian muak.

"Bian, kamu kemana aja? Kenapa kamu gak pulang?" Lia masih bersabar dan mencoba berbicara baik-baik.

"Karena ada lo, makanya gue gak pulang."

"Bian!"

"Hormati Ibu kamu!" perintah Aslan sembari berjalan turun dan mendekati mereka.

"Jangan pulang sekalian kalo kamu cuma mau buat onar!" geram pria itu melihat kelakuan anaknya.

"Aku emang gak mau pulang, tapi terpaksa karena ada sesuatu yang harus aku urus." Bian tidak takut ketika Aslan mengancamnya seperti itu.

Aslan melenggang pergi setelah perkataan Bian. Sebenarnya ia tidak benar-benar serius mengatakan itu. Ia hanya ingin Bian bisa menghargai Lia.

Lia tetap tersenyum. "Kamu siap-siap dulu, nanti Mama panggil saat sarapan udah siap."

Cowok itu bahkan tidak berniat menjawab Lia, dia berjalan acuh tanpa menghiraukan Lia yang di belakangnya. Memandang Bian penuh harapan. Sampai kapan keluarganya akan seperti ini? Dan kapan Bian akan bisa menerima dirinya?

Bian langsung menerobos masuk ke kamar Ergi tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Ergi yang berada di dalam pun terkejut ketika melihat Bian yang tiba-tiba datang.

"Ngapain lo?!" tanyanya. Cowok itu sedang bersiap-siap untuk pergi ke rumah sakit. Selama beberapa hari ke depan ia sudah izin akan libur sekolah untuk menjaga Citra.

Bian tidak langsung menjawab. Sebelumnya ia sangat-sangat ingin memberi Ergi pelajaran. Bahkan ia pernah berpikir untuk membunuh Ergi. Emosinya benar-benar tidak terbendung ketika mengingat perbuatan mereka, tapi… setelah bertemu Alora tadi malam, mendadak semua keinginan itu lenyap.

Bian tidak ingin berlarut-larut dalam masalah ini. Dan seandainya ia bisa membunuh Ergi, masalahnya justru akan semakin besar. Semua perlakuannya kini tidak akan bisa mengobati rasa kecewanya. Hanya dengan mengakhiri, Bian bisa memulai lagi.

Alora. Keinginannya sekarang adalah bersama Alora. Bian hanya ingin terus bersama Alora.

"Kenapa lo? Tiba-tiba jadi gagu?" Ergi berbicara lagi. Melihat Bian saat ini ia teringat akan kondisi Citra.

"Lo apain Citra? Kenapa dia bisa jadi kaya gitu? Lo pasti tau sesuatu, kan? Atau jangan-jangan lo yang bikin Citra sekarang ada di rumah sakit?" tuduh Ergi menunjuk-nunjuk Bian dengan marah.

"Gak salah? Harusnya gue yang nanya. Ngapain lo berduaan sama cewek gue di hotel malem itu?"

Bian bisa melihat kalau Ergi terkejut atas pertanyaannya. "Kaget? Kenapa gue bisa tau?"

"Itu urusan gue sama Citra, lo gak ada hak ikut campur."

"Hm bener kata lo, gue sekarang gak ada hak ikut campur urusan kalian. Jadi kalian sebaiknya jangan pernah muncul lagi di depan gue." Bian hendak pergi namun urung.

"Satu lagi. Lo mau Citra, kan? Lo boleh ambil dia karena gue gak Sudi sama bekas lo. Gue gak terbiasa sama barang-barang bekas," kata Bian mengakhiri.

"Anjing! Jangan kurang ajar lo!" Ergi menujuk Bian tapi dengan cepat cowok itu menghempasnya.

"Tangan lo terlalu kotor buat nyentuh gue," ucap Bian.

"Makin kurang ajar, ya, lo!"

"Sekali lagi gue tegasin, baik lo maupun Citra, menjauh dari hidup gue. Dari dulu lo selalu mau Citra, kan? Sekarang gue kasih dia sama lo. Gratis."

Bian terkekeh membuat Ergi bingung. "Gue lupa, dia, kan, emang gratisan. Makanya dia mau-mau aja ngangkang di depan lo."

Bugh

Ergi menghajar cowok itu. "Jangan pernah merendahkan perempuan!"

Bian meregangkan otot-ototnya, dan balik menatap Ergi remeh. "Lo gak ngaca? Dengan merenggut keperawanan anak orang, itu juga bisa disebut merendahkan, kan? Kata-kata itu gak cocok keluar dari mulut lo."

"Situasinya berbeda, Bian! Lo harus tau itu!" kata Ergi geram. Sedari tadi perkataan Bian berhasil memancing emosinya.

"Gue gak mau tau situasinya gimana. Yang gue tau, lo ngambil kehormatan cewek gue di saat status dia masih pacaran sama gue. Dengan kata lain lo sama aja dengan para pelacur di luar sana yang merebut milik orang lain," tutur Bian membuat Ergi kalau telak.

Ergi terdiam. Karena sekeras apapun ia menjelaskan, Bian tidak akan percaya.

"Dulu gue selalu mikir. Apa gue yang keterlaluan karena gak menghargai lo sebagai kakak tiri gue. Apa gue keterlaluan karena terus-terusan nyalahin lo, tapi… sekarang gue tau dan gue yakin, orang kaya lo gak akan bisa berubah baik."

Bian maju beberapa langkah. "Sekali jadi orang jahat, selamanya lo akan menjadi orang jahat," kata Bian kemudian keluar, membanting pintu kamar cowok itu dengan keras.

Sementara Ergi masih meresapi dan memikirkan baik-baik ucapan Bian. Apa ia sudah salah mengambil langkah? Entahlah tiba-tiba saja ia dilanda kebingungan. Tapi… mau menyerah juga rasanya percuma karena semua sudah sejauh ini.

•••

Alora menggeliat pelan sembari menyesuaikan cahaya matahari yang menerobos masuk ke dalam kamarnya. Dia berdiri dan menyibak gorden dan melihat matahari sudah tinggi, itu artinya hari sudah siang. Tidak biasanya Alora tidur sampai sesiang ini.

Gadis itu langsung berlari ke ruang tamu mengingat Bian menginap di apartemennya semalam. Tapi tidak ada siapapun di ruang tamu, hanya ada kemeja putih milik cowok itu yang kemarin dilepaskannya.

Alora mengambil kemeja itu sembari celingak-celinguk mencari keberadaan Bian. Apa dia sudah pergi? Tapi kenapa tidak memberitahunya dulu?

Alora tidak terlalu memikirkan, karena pasti nanti dia akan bertemu dengan Bian lagi. Sekarang dia harus mandi dan pulang karena kedua orang tuanya menelepon terus, terutama Jovan yang setiap saat mengiriminya pesan agar cepat pulang.

Setengah jam kemudian Alora sudah siap dan dia mengunci apartemen nya. Membawa kemeja putih milik Bian, Alora lantas mengendarai mobil hitam itu keluar apartemen.

Sembari menyetir Alora memangku kemeja cowok itu, dan entah dorongan dari mana gadis itu tiba-tiba mendekatkan kemeja Bian ke hidungnya, menghirup aroma parfum yang masih menempel di baju itu.

Alora tersenyum-senyum sendiri, baru sekali menciumi bau parfumnya Alora langsung merasa candu, apalagi dengan pemiliknya.

Dua kali Bian menginap di apartemennya, dan dua kali pula cowok itu meninggalkan barang-barang miliknya. Yang pertama jam tangan, dan sekarang kemejanya. Entah akan ada yang ketiga atau keempat kali depannya, yang pasti Alora tidak akan menolak kedatangannya.

•••

Empat hari kemudian…

Alora berdiri di atas rooftop sekolah seorang diri. Wajahnya menatap lurus ke depan dengan pikirannya yang berkelana kemana-mana. Gelisah itulah yang dia rasakan saat ini.

Sudah empat hari Bian menghilang tanpa kabar. Sejak malam itu Alora tidak lagi melihat Bian. Saat di sekolah pun ia tidak bisa menemukan cowok itu.

Bahkan Gaska dan Darren yang ia tahu sebagai sahabat Bian selalu menghindar saat ia menanyakan tentang cowok itu. Seolah mereka sedang menutupi sesuatu, atau mereka memang sengaja tidak ingin memberitahu keberadaan Bian.

"Ra!" panggilan dari Haikal membuat Alora menoleh, menatap mereka bertiga yang berjalan ke arahnya.

"Ngapain di sini?" tanya Shena.

"Kalian ngapain ke sini?" Alora enggan menjawab.

"Mau ngajak lo ke kantin. Pas istirahat tadi lo langsung pergi gitu aja," ujar Haikal.

"Kalian duluan aja, gue gak laper," jawab Alora lesu.

Nevan menatap Alora curiga. Ia merasa Alora sangat aneh beberapa hari ini. Seperti banyak pikiran. Apa ini ada kaitannya dengan jam tangan waktu itu?

Merasa di tatap oleh Nevan, Alora memalingkan wajahnya, mengindari kontak mata dengan cowok itu.

"Gue lagi pengen sendiri," kata Alora tanpa menatap mereka.

Shena yang mengerti pun akhirnya pergi di susul oleh Haikal. Mereka tidak banyak bertanya, karena sudah pasti Alora dalam suasana hati yang tidak ingin diganggu saat ini.

Lain hal nya dengan Nevan yang masih berdiri di belakang gadis itu. "Lo…,"

"Gue baik-baik aja, Van. Lo gak perlu khawatir," sela Alora tahu Nevan akan berbicara apa.

Cowok itu mengambil napas berat. "Jangan telat makan, nanti sakit," ujarnya kemudian pergi.

Alora menutup matanya dan menikmati semilir angin yang bertiup tak beraturan. Gambaran wajah Bian kembali teringat di benaknya, membuat ia kembali merasa cemas.

Apa Bian sengaja mempermainkan dirinya? Dia sengaja berpura-pura baik kemarin dan sekarang menghilang seperti di telan bumi. Atau sudah terjadi sesuatu pada Bian?

Entahlah Alora harus mencarinya kemana.

Ingin sekali ia mengubungi cowok itu, tapi apa daya nomor nya saja Alora tidak punya.

Pintu rooftoop kembali terbuka, terdengar langkah seseorang yang perlahan mendekati Alora.

"Gue baik-baik aja Van, nanti gue makan," ujar Alora mengira seseorang itu adalah Nevan.

Karena tidak mendengar jawaban Alora balik badan, dan betapa terkejutnya ia ketika melihat Reynald yang berdiri sangat dekat di hadapannya.

"Lo…,"

"Hai!" sapa Reynald.

"Lo! Ngapain lo di sini?"

"Ada larangan buat gue gak boleh ke sini?" tanya Reynald. Cowok itu terlihat mengeluarkan handphone nya dan menyodorkan ke Alora. "Tulis nomer lo."

"Gue gak mau," tolak Alora. Tidak sembarang orang bisa mendapatkan nomornya, terlebih lagi Reynald baru dikenalnya beberapa hari ini.

Reynald mengambil handphone nya kembali dengan kecewa. Sisi tangan kirinya mengepal tanpa sepengetahuan Alora.

"Lo kenal Bian?" tanya Reynald membuat Alora menatapnya.

Untuk kali pertama, Reynald bisa melihat jelas setiap pahatan wajah sempurna gadis itu. Karena setiap bertemu Alora pasti membuang muka dan tidak mau menatapnya, tapi kali ini berbeda.

"Lo kenal Bian?" Reynald mengulangi.

"Pertanyaan itu gak wajib gue jawab," balas Alora.

Mendengar jawaban Alora, Reynald akhirnya paham, bahwa kata-kata Bian hari itu ternyata benar. Alora memang menyukai Bian. Reynald bisa melihat mata gadis itu berbinar kala mendengar nama Bian.

Tapi ia tidak perduli akan hal itu.

"Apa yang lo suka dari Bian? Dia cuma murid biasa, sama seperti murid-murid lainnya."

"Yang jelas lo gak punya apa yang dimiliki Bian. Lo gak punya sesuatu yang bisa bikin gue tertarik," kata Alora kemudian hendak pergi.

"Gue suka sama lo, Alora," ungkap Reynald menghentikan langkah gadis itu.

Reynald berbalik, Alora juga berbalik menatapnya. "Gue tau," kata Alora.

"Jadi, lo terima gue?" tanya cowok itu bersemangat.

"Gue tau lo suka sama gue, tapi… bukannya lo juga tau kalo gue sukanya sama Bian?"

Seketika kepercayaan Reynald runtuh dalam sekejap. Ia kira Alora akan menerimanya begitu tahu tentang perasaannya. Tapi yang terjadi malah sebaliknya.

"Lo gak boleh nolak gue," kata Reynald penuh penekanan.

"Gue gak punya kewajiban untuk nerima lo." Alora menjawab tenang, dan hal itu berhasil memancing emosi Reynald.

"Gue gak suka penolakan," ujarnya lagi.

"Gue juga gak suka dipaksa."

Begitu kalimat itu selesai terucap Alora pergi begitu saja, meninggalkan Reynald yang mengepalkan tangannya pertanda marah.

Baiklah mungkin Alora bisa menolaknya kali ini, tapi di waktu mendatang ia pastikan gadis itu tidak akan bisa berkutik. Tidak ada yang boleh menolak kemauannya.

Memangnya siapa Alora? Sok jual mahal. Selama ini tidak ada satupun gadis yang bisa menolak pesonanya, lalu Alora? Berani sekali dia menolaknya.

•••

"Anjing! Kenapa lo biarin!"

Emosi Bian benar-benar meledak ketika meliha foto Alora sedang bersama Reynald, dan di foto itu mereka sangat dekat sekali.

"Ngaco lo! Gimana caranya kita tiba-tiba dateng ke sana?"

"Tau nih, kenapa gak lo sendiri aja yang nyamperin mereka?" Darren ikut membenarkan perkataan Gaska.

"Lo tau kondisi gue gak memungkinkan buat ketemu Alora, gue gak mau dia khawatir," ucap Bian kembali mendudukkan dirinya.

"Justru dengan lo ngilang kaya gini Alora tambah khawatir sama lo. Mending lo kasih tau aja apa yang sebenernya terjadi," usul Darren.

Bian tampak menimang ucapan sahabatnya itu. Dia menatap lengannya yang dibalut perban putih, ingatannya melayang pada malam itu, malam di mana Alora mengobati lukanya dengan telaten.

"Semua terserah lo, tapi saran kita mending lo kasih tau Alora. Gue takut Reynald berani macem-macem lagi sama Alora, apalagi pas gak ada lo."

"Betul tuh! Kita gak bisa selalu jagain Alora. Lo tau sendiri kan Reynald orangnya nekat, dia bisa lakuin apa aja sama Alora selagi lo gak ada," tutur Gaska mengakhiri.

"Nanti gue pikirin lagi," kata Bian. "Soal Citra sama Ergi gimana? Alora belum tau soal mereka, kan?"

"Mungkin," jawab Gaska acuh.

"Sebisa mungkin kalian jangan biarin Alora tau tentang apa yang terjadi sama Ergi dan Citra. Gue gak mau dia mikir macem-macem," ujar Bian.

"Kita gak bisa jamin itu, Bi. Karena Alora punya banyak anak buah yang selalu di suruh suruh."

"Orang suruhan?" tanya Bian.

"Bawahannya mungkin. Kita gak tau pasti, yang jelas waktu itu kita pernah ngikutin Alora dan dia minta anak buahnya buat nyari informasi keberadaan lo sekarang," jelas Darren dan diangguki Gaska.

"Segitunya dia mau tau?" tanya Bian sedikit tak percaya. Kenapa Alora sampai menyuruh orang untuk mencarinya?

"Bi…," panggil Gaska serius.

"Apaan?"

"Lo… yakin udah tau seluk beluk tentang Alora dan keluarganya?"

Pertanyaan Gaska membuat Bian dilanda kebingungan. Benar, selama ini dia tidak pernah tahu atau mendengar tentang keluarga Alora.

"Gue yakin dia bukan orang biasa. Karena sistem keamanan di rumahnya ketat banget. Di depan rumahnya ada beberapa orang yang jaga. Gak sembarangan orang bisa masuk ke rumah Alora."

"Pasti itu satpam di rumah dia," balas Bian tidak terlalu memikirkan.

"Satpam apaan lebih dari 5 orang? Mana semuanya pake jas hitam, persis kaya di film-film action gitu."

Dareen mengangguk. "Bener karena kita berdua liat sendiri. Jumlah mereka banyak dan semuanya berpakaian serba hitam."

Bian kembali berpikir seraya mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap mereka berdua bergantian. Dia menjadi teringat peristiwa di hotel Primland kala itu, pistol yang dipegang Alora itu bukanlah pistol sembarangan.

Sepengetahuannya tentang senjata, itu biasanya di pesan khusus langsung dari pembuatnya. Dan biasanya terdapat nama dan juga kode pada pistol itu. Menandakan tidak sembarang orang bisa memilikinya.

"Kenapa lo?" tanya Darren bingung. Sedangkan Gaska hanya diam saja.

"Gue pernah liat Alora bawa pistol, dan dia niatnya nembak Citra di depan umum," ujar Bian pelan.

"Anjir! Serius lo? Kok bisa?" Gaska sampai berdiri saking terkejutnya.

"Gila gila! Gue makin yakin Alora itu bukan cewek biasa."

"Lo tau posisi Alora waktu pegang pistol itu dimana?" Darren bertanya karena ada sesuatu yang janggal.

"Di hotel Primland."

"Nice! Bener kata Gaska. Alora bukan orang sembarangan. Karena setau gue keamanan di hotel itu bener bener ketat, hampir semua pengunjungnya orang-orang penting, dan pasti semuanya melalui proses pemeriksaan."

"Maksud lo?" tanya Gaska tidak paham.

"Logika aja, gimana caranya Alora bisa masuk dengan membawa senjata? Dan dia lolos dari pemeriksaan itu?"

Gaska langsung bersemangat dan menimpali. "Bener! Bener banget. Gue yakin Alora pasti punya akses buat masuk ke hotel itu, makanya dia bisa bawa senjata."

Cukup lama Bian terdiam setelah mendengar ucapan-ucapan mereka. Yang dikatakan mereka cukup masuk akal. Saat itu ia tidak menyadari karena terlalu sibuk dengan Citra.

Agaknya Bian harus mencari tahu tentang Alora? Apakah itu perlu? Atau biarkan saja? Karena selama ini Bian bisa melihat kalau perlakuan Alora terhadapnya sangat tulus.

"Kalian pulang dulu, nanti gue kabarin lagi. Gue harus istirahat total." Bian tidak mau membahas lebih jauh.

Mereka berdua tidak bertanya lagi dan langsung menuruti perintah Bian, keluar dari rumah cowok itu.

Bian memang harus beristirahat setelah mengalami kecelakaan empat hari lalu setelah pulang dari rumah Aslan. Tidak ada luka serius hanya lengan dan lututnya sedikit lecet, karena saat itu dia mengendari motor.

Itu sebabnya dia menghilang, ia tidak ingin Alora khawatir.

•••

1,2K VOTE & 1,3K KOMEN.

NEXT PART BAKALAN PETCAHHHH ABISSS🤪 AYO PERCEPAT TARGETNYA

SPAM NEXT DI SINI👉

SPAM UP DI SINI👉

SPAM ALORA👉

SPAM BIAN👉

SPAM REYNALD 👉

SPAM NEVAN👉

SPAM EMOT APAPUN👉

KAPAL BIAN-ALORA ABSEN HADIR 👉

KAPAL REYNALD-ALORRA ABSEN HADIR 👉

YANG SETUJU REYNALD SAMA ALORA ANGKAT TANGAN 👉

MAU BILANG APA SAMA MOMI?👉

🌼

JANGAN LUPA FOLLOW AKUN RP CERITA INI. BIAR KALIAN BISA UPDATE KESEHARIAN MEREKA

Continue Reading

You'll Also Like

PUNISHER By Kak Ay

Teen Fiction

1.3M 114K 43
"Kenapa lo nolongin gue, hm? Kenapa nggak lo biarin gue mati aja? Lo benci 'kan sama gue?" - Irene Meredhita "Karena lo mati pun nggak ada gunanya. G...
Love Hate By C I C I

Teen Fiction

3.2M 221K 38
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Ada satu rumor yang tersebar, kalau siapapu...
4.9M 388K 37
[DIMOHON BUAT READER'S SEBELUM BACA CERITA INI UNTUK TAHU KALAU INI MENCERITAKAN TENTANG TRANSMIGRASI YANG CUKUP KLISE. JADI JIKA ADA KALIMAT YANG SA...
808K 96.2K 12
"Gilaa lo sekarang cantik banget Jane! Apa ga nyesel Dirga ninggalin lo?" Janeta hanya bisa tersenyum menatap Dinda. "Sekarang di sekeliling dia bany...