CATATAN PRESMA

By nawanday

7.5K 410 14

Waktu itu, Naela pikir keputusannya menerima tanggung jawab sebagai seorang Presiden Mahasiswa adalah suatu h... More

PRAKATA
PERKENALAN
2. Janji Temu
3. Berbicara Tentang Keputusan
4. Memikirkan Keputusan
5. Sudut Paling Kanan, Ruang Penuh Ke-dilema-an
6. Musyawarah Kurang Sepakat
7. Sebuah Bantuan Dari Hisyam Danuraksa
8. Perihal Pelantikan
9. Diantara Faradina dan Abibayu
10. Sekelumit Pesan Dari Sang Koordinator
11. Naeka Adhyaksa Pangalila
12. Sinyal Rasa
13. Rapat Besar Perdana
14. Jeda
15. Dialog Koalisi
16. Konsolidasi (Daring)
17. Lampu Merah
18. Alter(n)atif
19. Persiapan Kongres
20. Pelantikan
21. Kongres
22. Resmi
23. Raker
24. Tiga Frekuensi Rasa
25. Menuju Konferensi Nasional
26. H-7

1. Informasi Mengerikan

904 50 0
By nawanday

Di suatu sore, ketika Naela baru saja selesai menghabiskan satu mangkuk mie soto yang dia masak sendiri, samar-samar terdengar bunyi notifikasi handphone yang dia letakkan tepat di samping televisi yang saat ini menampilkan kartun upin-ipin. Iya, dia makan mie soto sambil menonton upin-ipin. Hal itu sudah menjadi kebiasaan baginya. Dia tidak bisa makan dengan lahap jika tidak dibarengi adegan-adegan kocak dari kartun asal negara tetangga tersebut.

Naela melirik ponsel itu. Layarnya memang menyala, tapi ia masih geming sebab sudah bisa menebak--siapa lagi yang menghubunginya di sore hari Jumat seperti ini, jika bukan sahabat konyolnya alias Sisil.

Selama beberapa detik memilih untuk tidak menggubrisnya, membuat si pengirim pesan ngelunjak bukan main. Notifikasi terus-menerus berbunyi sampai Bu Anin, Ibu tersayang Naela bersuara dari kamarnya.  "Mbok ya kalau lagi nonton TV itu HP nya disilen toh, Nduk!" Katanya membuat Naela mendengus.

"Di silent, Buk! Kalau nggak bisa ngomong bahasa inggris ya bahasa lokal aja nggak papa. Ayu masih orang Surabaya kok!" Dan berakhir Naela mengambil handphone miliknya kemudian bergegas menuju lantai dua-dimana kamarnya berada.

Naela menutup pintu kamar seraya membuka sejumlah pesan yang dikirim oleh satu orang. Kerutan halus mulai tampak di keningnya saat dia membaca satu persatu pesan itu. Sebetulnya dari sepuluh chat  yang dikirim Sisil, hanya satu yang berhasil membuat Naela merasa pening. Chat pertama yang berupa file pdf berisi deretan nama-nama calon formatur Badan Eksekutif Mahasiswa. 

"Edan!"

"Kurang ajar!"

"Opo-opoan iki?"

Naela menggerutu sendiri begitu menemukan namanya tertera jelas di bagian kandidat Presiden Mahasiswa bersama tiga orang lainnya. Bagaimana tidak? Selama ini, dia merasa bahwa dirinya bukan mahasiswa cerdas ataupun aktif yang cocok untuk dicalonkan sebagai pemimpin para mahasiswa di kampus. Hanya saja, secara kebetulan, entah mendapat wangsit darimana, kala itu saat BEM sebelumnya mengadakan sebuah kegiatan evaluasi program kampus, Naela tidak sengaja menyampaikan sepatah argumen di depan seluruh mahasiswa. Tapi dia berpikir bahwa itu benar-benar suatu bentuk ketidaksengajaan, mengingat malam sebelumnya dia membaca artikel yang juga membahas hal yang sama.

Selain itu, Naela adalah mahasiswa di kelas karyawan. Menurutnya, sangat tidak efektif jika seorang pemimpin seperti Presiden Mahasiswa diambil dari mahasiswa kelas karyawan. Mereka kuliah saja hanya dua kali dalam seminggu, yang sudah pasti memiliki kesibukan lain di luar kampus. Ini malah dicalonkan menjadi Presma yang mau tidak mau harus sering datang ke kampus. Naela semakin jengah saat benaknya menangkap satu hal yang paling penting dari informasi ini. Tidak ada yang menghubungi dia untuk sekadar meminta persetujuan atau melakukan koordinasi dengannya. Bukankah tidak sopan jika tiba-tiba mencantumkan nama orang lain tanpa ada konfirmasi terlebih dahulu?

Daripada membanting ponsel yang baru dibelikan Ayah beberapa minggu lalu, Naela memutuskan untuk meluapkan sedikit rasa kesalnya pada seseorang yang menyampaikan informasi ini. Naela menekan logo telepon di samping nama Sisil, kemudian menarik napas panjang agar tidak kebablas mengeluarkan kata kasar saat dia berhasil menghubungi sahabatnya itu. Tak menunggu lama, Sisil langsung menjawab panggilan telepon Naela.

"Ha-"

"WOYY!"

Refleks Sisil menjauhkan ponsel dari telinganya. Dia ingin membalas, namun sadar sahabatnya pasti sedang shock karena informasi mengerikan yang dia berikan. Karena itu, Sisil memilih menghela napas lalu menempelkan lagi benda pipih itu ke telinga.

"Naela, are you okay sista?"

"Oke oke ndasmu! Kamu dapat dari siapa informasi itu?"

"Dari anak DPM lah. Kan mereka yang bikin itu."

"DPM kurang ajar! Bisa-bisanya mereka masukin namaku ke bagian kandidat Presma."

"Eh anjir kurang ajar!"

Naela mengernyit. Kenapa sahabatnya jadi ikut bersungut-sungut juga? Padahal yang seharusnya memprotes cukup dirinya sendiri, sebab hanya Naela yang namanya disodorkkan tanpa meminta persetujuannya dulu.

"Kenapa dah? Anda kenapa jadi ikutan ngomong kurang ajar?" Naela mengambil satu bantal untuk ia letakkan di atas paha sebagai tumpuan kedua sikunya.

"Jaehyun kissing anjir! Sakit hati banget lihatnya." 

Satu ungkapan itu benar-benar membuat Naela nyaris melempar ponsel jika saja tak memikirkan harga dan kerja keras Ayah mencari nafkah. Naela tidak tahu kalau Sisil menjawab panggilan via online-nya ketika gadis itu tengah menonton drama yang dibintangi artis yang selalu dia idam-idamkan hampir setahunan ini. Dan Naela sungguh tidak habis pikir, bagaimana mungkin seorang manusia bisa bolak-balik menonton satu drama secara konsisten selama dua bulanan lebih dengan reaksi yang sama tiap kali menyaksikan adegan per adegan.

Naela membiarkan Sisil menyelesaikan dulu aksi galau semenit yang sering dia lakukan saat sampai pada kissing scene di drama itu, sembari mempersiapkan nasihat-nasihat klasik untuk menyadarkan sahabatnya, bahwa Jaehyun tetaplah Jaehyun, bukan Sarimin--cowok penghuni pos ronda yang naksir berat pada Sisil. Jadi mau se-galau apapun dia, sudah dipastikan Jaehyun tidak akan pernah mengetahuinya.

Perlu kalian tahu juga, meski aneh bin ajaib, Sisil adalah manusia paling konsisten di dunia yang tak selebar daun kelor ini. Terbukti dia betul-betul kembali normal hanya dalam waktu semenit setelah mengumpat sendiri dari ujung telepon yang lain. Naela sudah bersiap melontarkan kalimat bijak andalannya walau tahu itu tidak akan berguna. Eksistensi seorang Idol bernama Jung Jaehyun tidak akan tersisihkan hanya dengan kata-kata yang keluar dari mulut manusia alay seperti Naela.

Tapi bukan berarti Naela akan gentar begitu saja. Lagipula, kebetulan sekali dia sedang kesal. Hal itu membuat otaknya memunculkan satu ide konyol. Dia akan berdrama seolah tengah kecewa karena Sisil lebih mengutamakan si Jaehyun Jaehyun itu daripada dirinya yang menelepon untuk urusan yang lebih penting.

Sayangnya, belum sempat ia membuka mulut, pintu kamarnya di ketuk berulang kali dari luar dengan panggilan khas yang ia dapat di rumah.

"Mbak, Mbak Ayu ... buka pintunya, Mbak!"

Naela geming. Bukan karena tidak mendengar, melainkan dia sengaja ingin membuat si pengetuk pintu merasa kesal dan akhirnya pergi sendiri dari depan kamarnya.

"MBAK AYU, BUKA MBAK!!" Sekarang si pengetuk pintu malah mengeraskan suara sembari memutar-mutar knop dan berusaha mendorongnya paksa.

Naela cekikikan sendiri. Panggilan jarak jauh yang ia lakukan dengan Sisil sudah ia matikan sedari tadi tanpa sepatah katapun. Naela pikir, berbicara langsung akan lebih ampuh karena Sisil tidak akan teralihkan lagi oleh Jung Jaehyun.

"Mbak Ayu, itu di bawah ada cowok yang mau dijodohin sama Mbak, makanya Ibuk nyuruh turun."

Pernyataan itu berhasil membuat Naela membulatkan mata sempurna lalu bergegas mendekati pintu. Hal pertama yang dia temui saat membukanya, adalah seorang lelaki dengan tinggi 185 cm. Dia terpaksa mendongak agar bisa menatap wajahnya.

"Siapa? Maksudku, cowok yang mau dijodohin mirip siapa? Angga Yunanda apa Iqbal Ramadhan?" Tanya Naela antusias.

Zidan melongo begitu mendapat pertanyaan tak terduga dari Kakak perempuannya itu. Dia menggaruk tengkuk sambil menguap lebar sebab dia memang baru saja bangun tidur.

"Jefri Nichol," jawab Zidan asal. "Ayo! Mangkane cek sendiri ben ngerti!"

Tanpa bertanya lagi, Naela berlari kecil menuju ruang tamu. Saking antusiasnya, sebelah kakinya membentur pinggiran tangga dan membuatnya mengaduh kesakitan.

Dia berhenti sejenak untuk mengusap-usap tulang keringnya dengan hati berdebar membayangkan bagaimana jika lelaki yang saat ini berada di ruang tamu memang mirip Jefri Nichol. Layaknya orang tidak waras, Naela meringis sambil sesekali tertawa sendiri. Zidan yang menyaksikan itu, praktis bergidik ngeri dan memilih mundur beberapa langkah menjauhi kakaknya.

Naela kerap kali meledek Sisil karena menyukai pria tampan. Padahal dia sendiri tidak jauh berbeda, cuma beda tipe saja. Bahkan sekarang Naela tidak menyadari keberadaan Bu Anin di ruang tengah yang sedang memaku pandang ke layar televisi. Naela melewatinya dengan langkah terseok-seok sebab adegan terbentur di tangga tadi.

"Mbak mu opo o?" Bu Anin bertanya pada Zidan, tapi yang ditanya hanya menggeleng lantas mendudukkan bokongnya di samping sang Ibu setelah mengambil toples kecil yang berisi basreng. Diam-diam Zidan menahan senyum dan menerka-nerka reaksi kakaknya saat tahu bahwa dia ternyata dikibuli oleh adiknya sendiri.

Zidan mulai menghitung dalam hati. Dia yakin, pada hitungan ketiga akan ada teriakan dari ruang tamu.

Satu, dua, tiga..

"JIDAAANN!" Bu Anin terlonjak kaget, sementara Zidan sudah tidak dapat lagi menahan tawanya. Ia terbahak-bahak sembari mengunyah basreng yang terlanjur dia masukkan ke dalam mulut.

Tawa Zidan makin lepas begitu melihat Naela berjalan ke arahnya sambil menghentak-hentakkan kaki dengan wajah yang bersungut-sungut mirip banteng betina. Nahasnya, saking lepasnya dia tertawa, satu potongan kecil basreng yang belum berhasil dihaluskan dengan baik, begitu saja lolos ke kerongkongan. Bocah itu terbatuk-batuk. Ia cukup kelimpungan apalagi saat bumbu pedas yang seenaknya menyebarkan kekuatannya di area pernafasan. 

Bu Anin panik melihat anak lelaki satu-satunya tidak berhenti batuk sambil menepuk-nepuk dada. "Yu, ambilkan air minum buat Adikmu!" titahnya pada Naela yang saat ini berdiri dengan tangan terlipat di depan dada.

"Nggak mau! Biarin aja! Siapa suruh ngerjain Ayu!"

"Ambilin dulu, balas dendamnya habis ini."

Naela sebenarnya enggan menuruti permintaan ibunya. Tapi ia juga tak tega melihat adiknya tampak kesakitan apalagi hanya karena basreng. Maka dari itu, dia berjalan ke arah dapur untuk mengambil segelas air, meski dibarengi gerutuan-gerutuan tidak jelas.

Zidan meneguk air minum yang diberikan kakaknya. Namun juga antisipasi, kalau-kalau kakaknya memasukkan obat aneh ke minuman itu sebagai bentuk pembalasan dendam. Zidan baru bisa bernapas lega saat merasakan potongan basreng yang nyangkut di kerongkongan, ikut hanyut bersama air putih yang ia minum. Dia meletakkan gelas kosong dan toples yang masih berisi basreng di meja, kemudian menatap ngeri keduanya. Dalam hati Zidan berjanji tidak akan memakan basreng laknat itu lagi. Basreng yang membuatnya hampir tak bisa merasakan enaknya bakso Pak Karim--depan gang rumah.

"Aw aw aw kupingku.. kupingku panas!!" Zidan memekik saat merasakan telinga kanannya dijewer dengan keras.

"Rasain! Enak, kan?" Naela tidak melepas tangannya. Dia tertawa puas melihat wajah adiknya memerah karena merasa kesakitan. "RASAKAN JEWERAN JEFRI NICHOL INI HAHAHA!!"

Zidan tahu tidak ada gunanya dia melawan. Karena itu dia harus mengeluarkan jurus terakhir yang selalu ia simpan di sudut otak paling kanan. "Buk, tolong Buk! Mak lampir mau numbalin kuping Jidan!!"

Acara menonton sinetron favorit Bu Anin jelas terganggu karena ulah kedua anaknya. Awalnya Bu Anin akan membiarkan saja mereka berdua bertingkah seperti kartun kucing dan tikus yang dulu sering Zidan tonton rutin setiap hari. Namun, Bu Anin benar-benar merasa frustasi saat Zidan menarik-narik bajunya meminta pertolongan. Bahkan gelungan rambutnya juga menjadi sasaran tangan Zidan.

"ASTAGHFIRULLAH GUSTI YA ROBBI!!" Bu Anin mematikan TV, menatap kedua anaknya yang mendadak menghentikan perseteruan, meski sebelah tangan Naela masih bertengger di daun telinga Zidan.

Suasana seketika hening. Melihat ibunya membuang napas kasar beberapa kali, Naela refleks melepas tangannya kemudian saling melempar pandang dengan Zidan. Keduanya saling menyalahkan satu sama lain melalui tatapan dan menggerutu tanpa suara.

"Sudah selesai?" Bu Anin kembali bersuara. Walau terdengar seperti pertanyaan, tapi Naela dan Zidan tahu jika pertanyaan itu tak membutuhkan jawaban.

"Nanti Ibu bakal telpon Ayah kalian, biar dibuatkan satu ruangan khusus untuk adegan penyiksaan seperti ini, di lengkapi dengan CCTV."

Naela dan Zidan kompak melongo. Mereka tidak pernah kepikiran sampai kesana. Akhirnya Zidan mulai mendekati ibunya dan memeluk manja, berharap amarahnya segera mereda.

"Ibuk marah, ya??" Katanya memasang tampang seperti anak SD yang baru ketahuan mengompol banyak di kasur.

Bu Anin enggan menanggapi, bahkan menoleh pun tidak. Melihat itu, Naela ikut duduk di samping Zidan. Dia berencana akan ikut membujuk ibunya. Sebelum Naela memulai aksinya itu, dia menjitak pelan kepala Zidan sebagai permulaan. Zidan tentu memprotes. Tapi baru ingin membuka suara dan berniat membalas perlakuan kakaknya, nyalinya langsung menciut ketika mendapati dua bola mata Naela hampir keluar dari tempatnya. 

Berakhir Zidan hanya berani menampakkan senyum kecut--tanda dia menerima dengan ikhlas.

"Buk ..." Naela mulai berbicara. Kini dia menyerongkan badan agar bisa melihat jelas wajah Bu Anin. "Naela setuju kok idenya Ibuk yang mau bikin satu ruangan khusus. Tapi syaratnya nggak boleh ada CCTV dan nggak boleh ada tunjangan asuransi."

"EDAN!!" respon Zidan. Mimik wajahnya otomatis berubah. "Ini pembunuhan berencana namanya!"

"Iya, berencana dan terencana dengan baik. Bahkan korbannya sudah mendengar langsung sebelum dieksekusi."

"Jidan tahu sekarang alasan cowok-cowok males ngedeketin Mbak Ayu."

Bu Anin yang semula hanya mau mendengar ocehan tidak berbobot antara Naela dan Zidan, akhirnya tertarik dan menoleh. Mau bagaimanapun juga, Bu Anin penasaran, kenapa anak sulungnya sampai sekarang belum pernah membawa pacar kerumah seperti yang biasa anak tetangga lakukan?

"Apa alasannya?" Alih-alih menunggu, Bu Anin keceplosan bertanya. Hal itu tentu membuat Zidan menyunggingkan senyum penuh kemenangan.

Zidan menatap dua manusia di sampingnya secara bergantian. Wajah tengilnya semakin jelas saat mendapati Naela hanya diam memandangnya dengan sorot mata menyelidik.

"Mau tahu aja, apa mau tahu sama tempe?"

"Nggak sopan!" Naela memukul lengan Zidan. "Orangtua nanya malah ditawarin tahu tempe." sambungnya.

"Orangtua nanya atau anda sendiri yang penasaran?" Sanggahan itu membuat Naela kalah telak. Yang bisa ia lakukan hanya berdehem karena sudah malas menjitak atau memukul Zidan yang ia yakini sampai kapanpun tak akan pernah ada kapoknya.

"Wes talah, opo toh le? Ndang jelasno!"

Zidan cengengesan, membuat dua orang yang sedari tadi serius menanti jawaban, mendadak mengernyitkan dahi bersamaan. Naela sempat berpikir kalau adiknya itu mengidap penyakit bipolar. Namun berbeda dengan Bu Anin yang mulai menyadari jika anak bujangnya lagi-lagi bertingkah dan akan menyebabkan keributan sesi kedua hingga tidak membiarkan suasana di rumah tenang barang sebentar saja.

Bu Anin mulai menarik napas panjang sebelum menyaksikan kembali perseteruan dua cecurut yang mungkin akan berakhir dengan adegan saling pukul atau jewer-menjewer lagi.

"Karena ..." Zidan sengaja menahan kalimatnya. Dia hanya ingin membuat Naela semakin memicingkan mata akibat rasa penasaran yang menggebu-gebu. Selain itu, Zidan juga mulai memasang ancang-ancang melarikan diri.

"Karena Mbak Ayu bukan cewek tulen. Mana ada cewek merencanakan pembunuhan kayak gitu?!" Dengan cepat Zidan berlari menaiki tangga. Meninggalkan dua manusia yang bahkan belum mencerna baik apa yang dia lontarkan barusan. Butuh waktu bagi Naela memahami kalimat musuh dalam panci nya itu, sebab artikulasinya saja tidak jelas karena Zidan berbicara sambil terbahak-bahak.

Baru setelah sosoknya menghilang di ujung tangga, wajah Naela memerah karena berhasil menangkap utuh kalimat yang membuat darahnya naik ke ubun-ubun dalam waktu singkat.

"SONTOLOYO ANAKNYA PAK HARDI!!" Naela berteriak dan hendak beranjak. Napasnya memburu ingin segera memberi pelajaran pada manusia tengil tukang bodyshaming karena dia jauh lebih tinggi daripada dirinya.

Akan tetapi, pergerakan Naela tiba-tiba terhenti karena Bu Anin menahan pergelangan tangannya. Dia spontan menoleh, hanya untuk mendapatkan sorot mata sendu milik sang Ibu. Dengan sedikit terpaksa, Naela memutuskan menunda aksi balas dendamnya.

"Duduk dulu!" Bu Anin sedikit menarik tangan putrinya. "Kamu ndak capek marah-marah tiap hari?" Tanya Bu Anin begitu Naela duduk dengan damai di sebelahnya.

"Daripada kalian berantem lagi, mending kamu temenin Ibuk nonton sinetron."

Naela menghembuskan napas kasar. Sebelah tangannya masih digenggam Bu Anin. Entah Bu Anin sengaja melakukan itu untuk mencegahnya bertindak beringas, atau sebagai bentuk perlindungan untuk anak lelaki kesayangannya itu. Naela hanya mampu berspekulasi sendiri tanpa tahu bahwa alasan sebenarnya adalah karena ibunya ingin menonton sinetron dengan sejahtera tanpa keributan atau gangguan apapun. Episode malam ini lebih pelik dari biasanya. Terdapat adegan pura-pura hamil yang membuat Bu Anin tak dapat melewatkan tiap bagiannya.

"Ibuk kan tahu Ayu nggak suka sinetron?!" jawab Naela malas. "Habis ini pasti istri sah nya minta cerai, terus si suami nikah sama selingkuhan, terus ditinggalin, nyesel, dan berakhir ngemis-ngemis minta balikan sama mantan istri." Naela berceloteh seperti itu setelah Bu Anin kembali menyalakan televisi dan menyaksikan beberapa scene menggelitik sebab ia tahu akan kemana arah jalan cerita sinetron itu.

Tapi kalimat-kalimat Naela tidak mendapat tanggapan. Bu Anin sibuk menggerutu sendiri, sebagai bentuk pelampiasan kekesalan karena tokoh utamanya tidak peka-peka dan terkesan pasrah pada keadaan. Bahkan selama setengah jam Naela berusaha menyamankan diri ikut menonton sinetron itu, ibunya tidak berhenti mengomel, membuat Naela memilih meringkuk membelakanginya.

Naela pikir, posisi seperti ini akan membuatnya lekas tertidur. Sayangnya, deretan nama kandidat Presma yang sempat dia lupakan, kini kembali mengacaukan isi pikiran. Dadanya mendadak sesak. Naela ingin sekali membicarakan hal itu dengan Bu Anin, sekadar berbagi kegundahan sampai dia berhasil menentukan keputusan. Namun, menyadari ibunya yang tampak antusias menikmati adegan jambak-jambakan karena Naela bisa mendengar dua perempuan berteriak mengatakan 'lepaskan tanganmu dari kepalaku', akhirnya dia memilih menghela napas pelan dan bertekad akan memikirkan semuanya esok hari saja, saat dia benar-benar mampu berpikir jernih.

Chapter 1 selesai. Jangan lupa vote!

Continue Reading

You'll Also Like

64.7K 5.9K 48
Sebuah cerita Alternate Universe dari tokoh jebolan idol yang banyak di shipper-kan.. Salma-Rony Bercerita mengenai sebuah kasus masa lalu yang diker...
112K 5K 52
MEMBINASAKAN ATAU DIBINASAKAN CERITA INI DILINDUNGI UNDANG UNDANG hai semua... ini cerita pertama aku jadi maaf kalau banyak typo dan kurang nyambun...
105K 18K 187
Jimin membutuhkan biaya untuk operasi transplantasi ginjal sang bunda namun dia bingung mencari uang kemana dalam waktu kurung 2 bulan. Sementara CEO...
1.2K 181 17
"Kamu menjadi satu-satunya alasan mengapa aku bisa benci dan rindu secara bersamaan di kala hujan turun." -Rainata Kavilea Juwanda