The Future Diaries Of Audrey

By Chocomellow26

1.5K 80 0

Audrey sangat mencintai romantisme. Dia penulis. Dan impiannya adalah mendapatkan kesempatan merasakan romant... More

Bab Satu
Bab Dua
Bab Tiga
Bab Lima
Bab Enam
Bab Tujuh
Bab Delapan
Bab Sembilan
Bab Sepuluh
Bab Sebelas
Bab Dua Belas
Bab Tiga Belas
Bab Empat Belas
Bab Lima Belas
Bab Enam Belas
Bab Tujuh Belas
Bab Delapan Belas
Bab Sembilan Belas
Bab Dua Puluh
Bab Dua Puluh Satu
Bab Dua Puluh Dua
Bab Dua Puluh Tiga
Bab Dua Puluh Empat
Bab Dua Puluh Lima
Bab Dua Puluh Enam - END

Bab Empat

80 8 0
By Chocomellow26

Hai, balik lagi bersama Chocomellow

Untuk pembaca semua, jangan lupa vote and commentnya ya. Mohon kritik dan saran yang mendukung dari pembaca semua.

Terima kasih

###

Audrey

Jika kau tidak suka katakan tidak. Jika kau suka, tinggal bilang iya. Tak perlu berputar putar. Perasaanmu hanya kamu yang tahu.

***

Pagi. Dan Audrey keluar dari paviliun dengan celana yoganya, jaket lari, dan sepatu larinya. Rambutnya diikat ekor kuda, dan begitu selesai mengunci pintu. Ia sekali lagi memastikan bahwa rambutnya telah diikat dengan kuat. Begitu Audrey melangkah, ia melihat Arkan yang juga keluar dari rumah utama. Lengkap dengan pakaian larinya.

"Lari pagi?" tanya audrey.

"Ya. Kau mau lari kemana? Sudah menentukan trek larimu?"

"Belum, masih mempertimbangkan jika didaerah ini punya taman."

"Kalau begitu ikut aku, kita bisa ke taman di dekat sini. Taman kompleks ini cukup luas. Banyak orang yang berolah raga disana. Ada lapangan tenis dan lapangan basket. Keluarga-keluarga dikompleks ini sering piknik di dekat danau tak jauh dari taman. Kita bisa pulang lewat danau jika kau mau melihatnya. Disana cukup banyak jajanan tradisional."

Arkan mengunci pintu gerbang. Audrey mengikutinya sambil sesekali meregangkan tangannya.

"Apa kau terbiasa lari pagi?" tanya Arkan.

"Hanya weekend, weeekdays lebih sering yoga. Niat bangun pagiku hanya bisa digunakan pada weekend. Sedangkan weekdays beban terberat yang perlu ku angkat adalah kelopak mataku. Jadi aku lebih memilih yoga atau olah raga ruangan, itupun di sore hari. Kau sendiri? Suka olah raga pagi?"

"Aku setiap hari olah raga, mulai pukul 6 pagi. Weekend biasa aku lari pagi atau bersepeda. Sedangkan weekdays biasanya dilakukan di rumah. Di rumah ada ruang khusus untuk olah raga. Jika kau belum tau. Ruang di depan tangga di lantai dua adalah ruang olah raga, disana cukup banyak alat olah raga. Kalau kau mau, kau bisa menggunakannya."

"Dan sekarang aku tahu. Terima kasih sudah mengizinkan, aku akan menggunakannya sebaik mungkin. Jadi apa olah raga yang kau sukai selain dari lari dan bersepda?" tanya Audrey dan berhenti untuk meregangkan kakinya. Arkan juga ikut melakukan pemanasan sambil memperhatikan Audrey di depannya.

"Aku pernah berlatih judo dan taekwondo. Terkadang aku juga bermain tenis atau basket bersama Deo."

"Kau bisa judo dan taekwondo, aku iri dengan orang-orang yang belajar bela diri. Dulu aku pernah ikut belajar silat bersama Joe, tapi tak berhasil. Badanku terlalu kaku untuk bisa silat. Joe juga tak ingin aku berakhir lebam karena terlalu sering jatuh atau dipukuli lawanku. Akhirnya aku berhenti setelah belajar selama sebulan."

"Dan Joe adalah?"

"Dia kakakku," jawab Audrey dan kembali melanjutkan langkah mereka ke arah taman.

"Tapi kau belajar yoga. Yoga juga butuh keluwesan dan kelenturan."

"Aku belajar yoga awalnya untuk mengatur pikiran. Dan itu membantuku lebih luwes dan lentur. Sebelumnya tubuhkan benar-benar kaku. Aku tak berminat olah raga apapun selain renang dan lari. Bahkan dulu aku sempat ikut acara seni sekolah yang mengharuskanku menari. Itu benar-benar penampilan paling buruk sepanjang sejarah." Kekeh Audrey sambil menarik ikat rambutnya dan mengikatkan ulang dengan erat.

Arkan memperhatikan wajah samping Audrey. Hidungnya mancung, dan rambutnya bergoyang dengan indah di setiap langkahnya.

"Ceritakan padaku, apa yang terjadi?"

"Aku tak ingin kau tertawa terbahak-bahak disini," menolak untuk menyebarkan aibnya lebih lanjut.

"Kau sudah mengoreknya sedikit, jika ingin mengatakannya. Katakan semuanya. Jangan setengah-setengah dan membuatku penasaran."

Audrey berhenti sesaat, menatap Arkan yang menunggunya. "Aku bisa mati penasaran saat ini," kata Arkan untuk membujuk Audrey menceritakan tragedi memalukan itu.

"Seseorang tak boleh mengatakan kata 'mati' begitu mudah. Dan penasaran tak membuat orang mati." Kata Audrey. Ia berhenti sebentar. Kembali melangkah, Arkan mengikutinya. "Jadi waktu kelas 1 SMA, ada acara penyambutan tamu. Guru seni di sekolahku memintaku untuk ikut menjadi bagian dari penyambutan tamu. Awalnya aku kira aku ditaruh dibagian acara, tapi ternyata bagian hiburan. Aku masuk kelompok tari. Mungkin beliau mengira karena aku hebat dalam sastra kemapuan seniku yang lain juga sama hebatnya. Tapi dia salah. Menari adalah salah satu kekuranganku. Dari semua teman-temanku. Gerakanku lah yang paling amburadul. Guru tariku kesulitan mengajarkan setiap gerakan yang mudah bagi teman temanku, tapi sulit bagiku. Karena acaranya sudah didepan mata, mereka tak bisa menggantikanku. Dan jadilah. Aku bisa menghafal gerakannya, tapi gerakakanku tak seluwes teman-temanku. Terkadang aku bergerak terlalu cepat, terkadang aku bergerak terlalu lambat. Sehingga mengacaukan gerakan temanku yang lain. Tak ada kelembutan atau keanggunan dari gerakanku. Gerakanku seperti robot yang dipaksa menekuk dan menggeliatkan tubuhnya. Aku menjadi bahan tontonan dan gelak tawa saat itu. Karena membuat tarian itu kacau. Aku tak tahu apakah acara hari itu komedi atau tragedi." Hidungnya mengerut, mengatakan kejadian itu kebih seperti tragedi baginya.

"Aku bisa membayangkan bagaimana hancurnya acara itu." Komentar Arkan dan tersenyum pada Audrey. "Jadi apa kau akhirnya disalahkan karena hal itu?"

"Ya, aku menjadi bahan lelucon hingga akhir masa SMA ku."

"Pasti berat,"

"Sangat berat, tapi aku punya Joe dan Cecil yang membantuku menghalau mereka. Jadi tak terasa terlalu berat."

"Kau pasti sangat menyangi kakakmu." Kata Arkan.

Audrey tersenyum. "Dia yang terbaik." Audrey bersyukur Joe menjadi kakaknya. Dan Memem menjadi neneknya. Dua orang yang menjadi keluarganya. Dia selalu berfikir bahwa dia manusia yang beruntung.

"Nah, ini tamannya. Kau mau lari bersamaku, atau kita berpisah disini dan aku akan menunggumu di dekat danau di ujung sana?" tunjuk Arkan ke arah selatan taman.

"Kita berpisah disini saja, karena aku tak yakin bisa mengikuti kecepatan larimu." Audrey memutar-mutar kakinya, melihat sekeliling taman yang ramai.

"Aku kecewa, kalau begitu aku akan menunggumu satu jam lagi di area danau."

"Oke, aku tak sabar ingin mencicipi kue disana." Kata Audrey dan memulai larinya meninggalkan Arkan terlebih dahulu.

***

Audrey sampai lebih dulu. Lalu membeli mineral dan meneguknya disalah satu bangku taman. Sambil menunggu Arkan, ia mengedarkan pandangannya ke area danau. Banyak penjual berjejeran di sepanjang danau. Menjual beraneka ragam barang. Kaos, sendal, makanan, buah, bahkan ada yang menjual boneka dan barang pecah belah.

Matahari dengan malu-malu muncul di setiap celah daun rimbun di sekitar taman. Hari ini cukup mendung. Berdasarkan ramalan cuaca pagi ini, hujan akan mulai di malam hari. Itu pun dengan intensitas sedang. Audrey bersyukur dengan informasi itu. Ia melirik jalanan. Sisa hujan semalam terlihat jelas di sekitar taman. Beberapa genangan air sepertinya tak menghalagi penghuni komplek menikmati weekend mereka. Audrey melirik anak-anak yang bermain dan membeli cemilan di sekitar taman. Suasana yang akrab. Seperti di apartemennya.

Arkan menemukan Audrey sepuluh menit kemudian. "Kau mau minum?" Audrey menyodorkan botol mineral pada Arkan yang tengah duduk disebelahnya. Posisi mereka cukup dekat, sehingga Audrey bisa merasakan suhu tubuh Arkan diantara dinginnya angin pagi. Bangku di taman ini memang tidak bisa mengakomodasi mereka berdua, ditambah Arkan dengan badannya yang besar sudah cukup memakan banyak tempat. Suhu tubuh Audrey meningkat drastis saat hangat tubuh Arkan berasosiasi dengan tubuhnya. Audrey ragu-ragu menatap Arkan, tak terbiasa dengan kondisi mereka. Ia jarang berdekatan dengan laki-laki, jarak mereka kembali membuatnya waspada. Padahal baru kemarin ia berhasil menaklukan kecanggungan mereka.

Sebelum dia sempat berfikir untuk menaikan level kewaspadaannya, suara baritone Arkan menyadarkannya. Jenis yang sama dengan Joe, menggoda dan menenangkan. "Terima kasih. Kau menunggu lama?"

"Tidak, aku juga baru sampai."

Arkan meneguk air minaral yang disodorkan Audrey, satu botol mineral habis dalam waktu satu menit ditangan Arkan. "Apa yang akan kau lakukan setelah ini?" Arkan meremukan botol itu dan melemparkannya ke tempat sampah di depan mereka.

"Memasak sarapan, belanja bahan makanan." Jawab Audrey dan melakukan hal yang sama dengan Arkan.

"Tidak usah masak sarapan hari ini, kita sarapan di sini saja. Apa kau ingin belanja bahan makan siang ini?" Arkan menyandarkan bahunya dan menggeser posisinya menghadap Audrey.

"Masih belum tahu, mungkin siang ini, tapi mungkin juga sore." Sebenarnya ia ingin membereskan paviliun sebelum mulai belanja. Barang-barangnya masih belum ia bongkar. Audrey juga ingin mengepel dan menata beberapa buku yang tersusun di paviliun. Pagi ini, ia melihat buku-buku yang diikat di dalam paviliun. Dan berfikir mungkin ia bisa mulai beres-beres dengan menyusun buku di paviliun sebelum mulai mengerjakan rumah utama.

"Siang ini saja, aku akan menemanimu membeli persediaan dapur." Ajak Arkan dan menolehkan tatapannya kearah Audrey.

"Bagus, aku cukup khawatir membawa banyak barang sendirian." Audrey mendapati Arkan menatapnya dengan lekat. Mata hitamnya terlihat bersinar dibawah matahari. Dia menopang kepalanya dengan tangannya yang disandarkan di sandaran kursi. Dan menatapnya dengan gigih. Ketika ia melihat T-shirt abu-abu itu, ia bisa membayangkan otot perut dan lengan di baliknya. Ia bahkan tak perlu bersusah payah, karena kaos yang penuh keringat itu bahkan tak lagi bisa menghalangi siluet badan Arkan. Audrey merasakan degup jantungnya cukup keras, dan darahnya mengalir keseluruh tubuhnya begitu merasakan Arkan menarik rambutnya.

"Aku suka rambutmu. Apalagi diikat ekor kuda seperti ini." Arkan mengambil sejumput rambut Audrey, lalu mengelus-elusnya sesuka hati. Audrey menoleh, mencoba menetralkan reaksi aneh tubuhnya. Dan Arkan memperhatikan itu, dia menatap Audrey lagi dan berlama-lama di area lehernya. Karena rambutnya diikat ekor kuda, Arkan jadi lebih leluasa memamandang lehernya yang jenjang. Satu lagi bagian tubuh Audrey yang ingin disentuhnya. Leher putih, jenjang dan sekarang terlihat memerah karena wanita itu malu.

Arkan menarik nafas, keinginan untuk menarik wanita di depannya dan mencium seluruh lehernya membuat panas mengalir ke bagian bawah tubuhnya. Sudah setahun sejak berita pertunangan Renata, dan sejak itu Arkan merasa dirinya yang menggila tertidur untuk sementara. Mungkin karena ia sudah lama menerima kenyataan bahwa ia tak lagi tertarik dengan wanita. Keberadaan Audrey membantah pikiran itu. Audrey kembali membangkitkan sisi gilanya yang sudah lama dijinakkan oleh Renata. Dijinakan terasa bukan kata yang tepat, mungkin dia bisa mengatakan 'dibungkam' agar lebih menggambarkan.

Sebelum berlama-lama disini dan menyebabkannya tak bisa menggerakan kakinya. Arkan berdiri, mengajak Audrey untuk mencari sarapan disekitar danau.

"Apa yang kau suka?" Kata Arkan dengan suara serak. Dia membawa Audrey masuk ke kerumunan. "Disini tak ada sup ayam, jadi kita tak bisa menyantap sup ayam kesukaanmu untuk sarapan." Arkan menarik siku Audrey mendekat lalu memposisikan wanita itu didepannya, melindunginya.

"Apapun, aku tak pilih pilih makanan. Tapi aku menyarankan makanan yang mudah di cerna. Bukan makanan berat."

"Kalau begitu mau bubur ayam? Atau soto?" tawar Arkan begitu mereka memasuki lebih dalam area tersebut.

"Bubur ayam boleh. Tapi biasanya bubur ayam ada kacangnya. Apa tak masalah?"

"Kenapa apa kau khawatir?"

"Tentu saja. Aku tak ingin menyeretmu ke IGD setelah menyantap bubur ayam."

"Itu bisa aku tangani," kata Arkan membawa Audrey ke dalam warung tenda yang menjual bubur ayam. Audrey memilih tempat duduk, sedangkan Arkan memesan makanan.

Dia melirik Arkan yang bicara dengan tukang bubur tanpa jeda. Audrey yakin Arkan adalah tipe laki-laki yang suka memerintah dan memberikan instruksi. Dia pernah melihat Arkan beberapa kali di kantor, tapi Audrey tak pernah tahu seperti apa bekerja langsung di bawah pria sepertinya. Sebagian karyawan Hamura pernah mengeluh dengan mengatakan Arkan bos yang gila kerja. Tapi menurut Audrey, sebagai bos tentu ia ingin karyawannya bekerja lebih produktif. Jadi Audrey tak memikirkan aspek itu sebagai kepribadian yang merugikan.

"Aku juga memesan susu jahe untukmu, semoga kau suka." Arkan mendudukan diri di depan Audrey.

Dia menuangkan air ke dalam gelas yang baru saja di ambil Audrey. "Jadi apa menu makan malam kita hari ini?" Pria itu menatapnya ketika Audrey ingin mengambil alih teko dari tangannya. "Sekedar ini aku bisa." Katanya dan menyodorkan satu gelas ke depan Audrey.

"Tauco dengan ikan kembung sebagai protein utamanya. Apa kau suka olahan tauco?" Audrey meminum air didepannya.

"Aku suka olahan tauco. Tapi daripada itu, ayo buat sup ayam untuk makan malam hari ini. Aku ingin mencicipi sup ayam yang konon katanya dapat menenangkan itu." Audrey terkekeh. Lalu dia mengambil serbet dan mengelap bibirnya. Semua itu tak lepas dari pandangan Arkan. Ia menatapnya lamat lamat. Dan Audrey menjadi lebih salah tingkah lagi ketika beberapa gadis cantik masuk ke tenda dan melirik Arkan. Tertarik. Namun, laki-laki itu hanya menatap Audrey.

Audrey berdeham. Menghilangkan rasa tak nyaman dalam dirinya. "Itu memang benar, ada beberapa kejadian langka yang membuktikannya." Wanita itu menyunggingkan senyum licik yang lebar.

"Oh ya? Coba jelaskan padaku kejadian langka apa yang terjadi," pinta Arkan dan ikut meminum air dalam gelasnya.

Tukang bubur menyerahkan dua porsi pada meja mereka. "Terima kasih," ucap Arkan dan Audrey berbarengan. "Jadi tiga tahun lalu, aku dan Memem sering ke panti asuhan di dekat rumah kami. Kami sering membantu memasak disana, apalagi kalau ada acara."

"Siapa Memem?" Arkan mengaduk buburnya.

"Nenekku, aku memanggilnya Memem. Jadi, Pak Jaris dan Pak Dzaki salah satu penyumbang yang sering ikut acara di panti asuhan. Mereka nyaris berkelahi karena memperebutkan sup ayam kami. Situasinya sungguh mencekam. Pak Dzaki bilang ia akan menikahkanku dengan cucunya jika ia mau aku bekerja direstorannya untuk membuat sup ayam." Audrey mengaduk bubur itu dengan rapi.

"Jadi apa kau jadi menikahi cucunya? Berapa umurnya saat itu?"

"Umur cucu tertuanya sekitar 12 atau 13 tahun. Aku tak tahu pasti."

"Dan umurmu?" Arkan menyendok buburnya.

"22 tahun. Sekarang kalau ku pikir-pikir aku hampir menjadi pedofil karena sup ayam." Audrey menyendok buburnya dan memperhatikan Arkan yang tersenyum mendengarkan komentarnya.

"Aku jadi penasaran dengan sup ayam mu."

"Kau akan menyukaianya. Dan kau tak akan bisa berpaling darinya. Aku bisa jamin."

"Sekarang aku takut mendengarnya. Jika pria seperti Pak Dzaki bisa menyodorkan cucunya padamu. Aku yakin sup ayam mu akan membuat pria mana pun mempertimbangkan melepas status lajangnya." Arkan menghabiskan buburnya. Dia mengambil teko, dan mengisi ulang air dalam gelas Audrey.

"Tidak semua, aku yakin kau tak akan berfikir seperti itu." Audrey mengangguk sopan pada tukang bubur setelah ia meletakan susu jahe di meja mereka.

"Kenapa kau befikir seperti itu?"

"Karena kau womanizer."

Arkan mengerutkan alisnya. Jelas tak setuju dengan pendapat Audrey. "Itu yang dibilang seluruh pegawai perempuan di Hamura. Dan asal kau tahu, semua karyawan wanita di Hamura bilang kau tipe laki-laki yang sulit disenangkan."

Arkan menyodorkan susu jahe ke arah Audrey. Memintanya untuk meminumnya.

"Tidak, jika itu kau. Mungkin aku akan mempertimbangkannya. Jadi katakan padaku apa saja yang dikatakan karyawan perempuan di kantor tentangku?"

Audrey membuka matanya lebar-lebar. Susu jahenya jelas masuk ke jalur yang salah setelah mendengar tanggapan asal-asalan dari Arkan. Arkan menyodorkan serbet ke arahnya. Begitu Audrey ingin mengambilnya, laki-laki itu sudah lebih dulu mengusapkannya ke arah bibir dan dagunya. Audrey menarik nafas dengan susah payah. Jantungnya jelas bekerja keras pagi ini. Arkan menatap Audrey dengan seringaian nakal. Lalu perutnya menegang sebagai tanggapan. Dua hari ia bertemu dengan Arkan, ia menyadari reaksi tubuhnya yang aneh saat bersama Arkan. Bukan perasaan buruk, hanya saja ini baru baginya.

Panas tubuh Arkan bisa ia rasakan dari ujung jemari pria itu, membuatnya semakin sulit mengendalikan reaksinya. Seketika pipinya terasa panas. Ia tak menduga laki-laki itu masih akan menggodanya di tempat umum seperti ini. Audrey kembali mengingat perlakuan Arkan padanya. Ia mengisi gelas minumnya, memegang rambutnya, melindunginya dari kerumunan, dan sekarang mengusap bibirnya. Semua hal-hal kecil yang menurut Audrey terlalu romantis untuk dilakukan oleh seorang Arkan pada asistennya. Audrey mencoba menamai tindakan Arkan, tapi tak satupun kata sifat yang cocok untuk menjelaskannya.

Ia segera mengenyahkan khayalan romantis dari otaknya. Mengingatkan diri sendiri bahwa perlakuan Arkan padanya bukanlah momen romantis. Tak perduli seberapa parah otaknya menyelewengkan tindakan itu. Ia tak boleh tersapu. Arkan itu womanizer. Dan ia hanya menggodanya seperti kebanyakan wanita lainnya. Dia tak ingin serius, dan Audrey tak bisa menyerahkan dirinya pada Arkan. Itu bukan cita cita –hidup bahagia selamanya- yang diinginkan Audrey.

Di depannya Arkan menunggu jawabannya tapi ia tahu laki-laki itu menatapnya dengan intens. Mata hitam itu sungguh berbahaya, seakan ingin menerkamnya. Ada sesuatu pada diri Arkan yang membuatnya kurang aman.

Audrey menarik nafas dalam. Meminum kembali susu jahenya hingga tandas. "Tak ada yang spesial. Mereka hanya mengobrol betapa sulitnya bekerja dibawah Bapak Arkananta yang terhormat, yang sangat perfeksionis dan gila kerja. Mereka bilang kau sangat benci orang yang malas dan hanya sibuk bergosip," Audrey bicara tanpa jeda. "Oh, dan sekarang aku bergosip didepannya. Apa yang harus aku lakukan? Apa aku akan dimarahi habis-habisan?" Wanita itu melebarkan matanya dan menutup mulutnya seolah terkejut dan baru sadar dengan apa yang dia lakukan.

Arkan terkekeh memperhatikan perubahan ekspresi Audrey. "Tidak, kau salah satu penulis yang ku suka. Karena kau terlalu rajin mengeluarkan novelmu."

"Senang mendengarnya."

***

Yuk follow juga akun Chocomellow26 untuk update cerita menarik lainnya.

Continue Reading

You'll Also Like

4.8M 178K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...
1.2M 61.8K 50
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
177 62 11
"Jika takdir di dunia ini bisa ku putuskan dengan tanganku. Maka aku akan memilih jalan takdir ku sendiri." Azellia Warning!! Cerita ini hanya fikti...
89.2K 4.9K 39
Ini tentang seorang gadis penyuka Fisika namun tidak suka dengan Bhs. Inggris. dia adalah Aileen Aurelia Griselda. Ini tentang Cakra Aryasatya Sapu...