Unconditionally

By jaemon1406

25.3K 3.5K 775

"Where words fail, music speaks." Jiwa (Rose) bisa mendengar bahasa jiwa/batin dari orang-orang di sekitarnya... More

The Intro
Friend
Obat Penawar Untuk Jiwa
Diri
Tutur Batin
Si Lemah
I like me better
Lagu Untukmu
Jatuh Hati
Peter Pan Was Right
Jealous
Pemeran Utama
Laksana Surgaku
Yang terbaik bagimu
Satu-satu
Lagu Untuk Riri
Andaikan kau datang
maybe we need a break
When I was your man
Aku, dirimu, dirinya
the man who can't be moved
(Tanpa judul)
Try Again
Retrospect
I choose to love you
Can't take my eyes off you
Incomplete
Unconditionally
Senyumlah

I finally found someone

864 114 46
By jaemon1406

It started over coffee, we stated out as friends

It's funny how from simple things, the best things begin

This time is different and it's all because of you

-Brian Adams-

---

"I'll call you when I am home," ucap Raga sambil melambaikan tangannya ke arah Jiwa. "Bye," lanjut pria itu tapi kali ini tanpa suara sambil terus menoleh ke belakang memastikan Jiwa sudah masuk ke rumah.

Pintu rumah tertutup, Jiwa membalikan badan dan terkejut melihat kedua orang tuanya yang sudah memakai piyama menunggu gadis itu berpamitan dengan Raga. Seperti tertangkap basah backstreet padahal tidak, Jiwa merasa sangat malu diperhadapkan dengan situasi ini.

"Dari mana aja sih jam segini baru pulang? Tadi Raga izin sama Papa cuma sampai jam sepuluh loh, ini udah setengah dua belas, Papa omelin nanti dia," ucap Warren sambil bertolak pinggang.

"Ih Papa kok gitu, tadi aja makan malamnya selesai jam sembilan karena Papa sama Om Ronald keasikan ngobrolin kerjaan, aku sama Raga jadi gak bisa ngobrol. Pokoknya Papa gak boleh ngomelin Raga awas aja," Jiwa melipat tangannya di dada dan memandang sinis ke arah Warren.

"Ma liat, Ma. Padahal yang ngebesarin selama tujuh belas tahun lebih dikit Papa, tapi yang dibelain malah Raga. Dasar anak muda," Warren berucap sambil menarik-narik tangan Jia minta pertolongan.

"Kamu kaya gak pernah muda aja," Jia justru memukul tangan Warren untuk melepaskan genggamannya.

Jiwa menjulurkan lidahnya ke arah Warren seolah meledek karena sang Ibu justru membela dirinya. Bukan tidak sopan, tapi ayah dan anak ini memang suka sekali saling meledek. Jiwa langsung merangkul tangan Jia dan membawa ibunya menjauhi Warren. Tidak mau kalah Warren langsung merangkul tangan Jia dari sisi satunya.

"Jadi dapet kado apa dari Raga?" tanya Jia menoleh ke gadis kecilnya yang baru merayakan ulang tahun ke 17 beberapa hari lalu yang jaraknya hanya tiga hari dari ulang tahun Raga.

Jiwa menggigit bibir bawahnya sambil tertunduk dan seketika pipinya memerah. Tanpa kata Jiwa langsung melepas tangan ibunya dan berlari kecil menuju tangga ke kamarnya. Melihat respon anak gadisnya Warren menjadi kesal.  Pikirannya sudah jauh berkelana apa yang terjadi antara Jiwa dan Raga sehingga membuat anak gadisnya menjadi salah tingkah seperti itu.

Keluarga Jiwa dan Raga mengadakan makan malam bersama untuk merayakan ulang tahun Jiwa dan Raga tidak ketinggalan Oma dan Liam ikut bersama. Selesai makan malam, Raga meminta izin untuk mengajak Jiwa pergi lebih dulu dengan alasan ingin merayakan ulang tahun berdua. Selama dua hari ini Jiwa dan Raga menginap di rumah masing-masing meninggalkan Trez sementara waktu.

Seperti janjinya begitu selesai mandi Raga langsung melakukan panggilan video dengan Jiwa.

Udah sampai?

Basa-basi banget deh. Gak liat udah di kamar nih?

Ih kan cuma nanya, sensi banget.

Malah dimarahin.

Enggak marah.

Maaf ya. Jangan cemberut gemesin.

Udah dari dulu.

Iya ya?

Iya.

Emang iya?

Aku gebuk yaaaaa.

Ampun ka. Siap. Salah. Haha. Seneng liat kamu ngambek.

Gimana diomelin Om Warren gak tadi aku telat anter kamu?

Iya, katanya Papa mau omelin kamu.

Tuh kan, udah aku bilang aku temuin Om Warren aja.

Kamu malah suruh aku langsung pulang. Aku jadi gak enak.

Kalau kamu ketemu Papa nanti lama lagi, kasian kamu malem-malem nyetir. 

Tenang aja, Papa udah aman, beres.

Ciyeh, perhatian banget. Haha. Btw kok bisa aman?

Mama yang urus. Hahaha.

Hahaha. Oh iya, suka gak kadonya?

Kamu tuh pakai aba-aba dong, aku malu kalau inget tadi.

Hahaha. Kamu gemes banget tadi aku gak bohong.

Pipinya langsung merah.

Ya abisnya gimana, baru pertama kali.

Udah ah gak usah dibahas aku malu.

Tapi aku mau bahas. Gimana dong? Hahaha.

Yaudah aku tutup.

Eh jangan-jangan. 

Mau ngobrolin apa lagi sih?  Baru juga ketemu tadi.

Yaudah sih, sama pacar sendiri emang ga boleh ngobrol. 

Aku kadang masih suka geli sendiri, ngomong aku-kamu, terus denger kamu bilang aku pacar kamu.

Emang aku kelitikin geli.

Kamu kalau deket aku gebuk sih beneran.

Jangan dong. Di sayang aja jangan digebuk.

RAGA IH!

Apa sayang?

RAGAAAA!!!

Iya, apa sayang...

-------

Jiwa mematikan panggilan telefon karena sudah tidak sanggup lagi melihat ulah Raga. Jika dilanjutkan maka kondisi hatinya semakin  tidak terkendali. Saat Raga mencoba menelefon kembali Jiwa tidak mengangkatnya dan hanya mengirim text agar Raga segera tidur.

***

Hujan menyapa Trez pagi ini menambah kesejukan setiap tarikan oksigen yang masuk ke paru-paru warganya. Matahari enggan keluar pagi ini, memberi kesempatan pada hujan untuk mendominasi. Jiwa membuka jendela berharap hujan segera berhenti tapi sepertinya Mr. Rain tidak mau bekerja sama. Terpaksa rencana lari pagi Jiwa dan Raga batal hari ini. Suasa hati Jiwa seperti langit hari ini mendung karena batal bertemu dengan Raga. 

Tapi hal itu tidak berlangsung lama. Hanya sepersekian detik saja saat Jiwa ingin menutup jendelanya, gadis itu melihat seorang pria berdiri di terasnya. Bahkan dari bayangannya saja gadis itu tau betul siapa yang berdiri di sana. Senyumnya langsung muncul secerah mentari pagi.

"Morning, udah bangun?" sapa Raga sambil memegang payung dan melambaik ke arah Jiwa.

"Kamu ngapain hujan-hujanan, sini masuk nanti sakit," ucap Jiwa setengah berteriak untuk mengimbangi suara hujan.

"Bukain dong pintunya biar bisa masuk," sahut Raga.

Dengan segera Jiwa menutup jendela dan menuju pintu depan untuk membukanya. Raga sudah menunggu di muka pintu dengan bibir yang melengkungkan senyum membentuk lubang kecil di pipinya.

"I miss this so much," Jiwa meletakan jari telunjuknya ke lubang kecil di pipi Raga.

"I miss mine so much," Raga menarik lembut tangan Jiwa dan membawa gadis itu kepelukannya.

Raga baru kembali lagi ke Trez sejak hampir satu minggu kembali ke rumahnya untuk kuliah dan bertemu dosen pembimbing. Ini tahun terakhir Raga kuliah, jadwalnya tidak terlalu banyak lagi seharusnya, hanya saja mengejar dosen pembimbing membuatnya harus bolak-balik kampus dan Trez.

Jiwa bergegas menuju dapur untuk menyiapkan teh lemon untuk Raga. Sambil merebus air hangat gadis itu berlari menuju kamar untuk mengambil handuk kecil memberikannya kepada pria yang sedikit kehujanan itu. Dengan langkah terburu-buru ia memberikan handuk kepada Raga kemudian kembali lagi ke dapur, menyiapkan teh dan kini sudah duduk di samping Raga.

"Udah?" tanya Raga. Jiwa tampak bingung. "Udah mondar-mandirnya?" lanjutnya.

"Udah. Hehe," jawab Jiwa sambil tertawa kecil.

"Makasih ya. Kamu jadi repot gini," lanjut Raga sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk

"Kamu mau ganti baju ga? Ada kaos Papa di sini," Jiwa menawarkan pada Raga dan bergegas berdiri tapi Raga menahan dengan menarik tangannya.

"Udah. Duduk sini. Aku maunya kamu di sini, gak mau yang lain," ucap Raga sambil menahan ke dua tangan Jiwa dan meletakannya di atas pahanya.

"Gombal lu," Jiwa langsung berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Raga.

Pipi Jiwa mendadak merona mendengar ucapan Raga itu. Sepertinya ucapan Raga tepat menyentuh hati Jiwa yang membuatnya merasa senang dan malu secara bersamaan. Keduanya bertukar cerita bagaimana menghabiskan satu minggu ini tanpa bertemu satu sama lain. Raga sempat merasa sedikit cemburu saat mendengar Jiwa pergi dengan Liam.

"Tenang aja sih, kan kamu tetap pemenangnya," tegas Jiwa.

"Ya tapi tetep aja, kalau inget Liam pernah nembak kamu juga," sahut Raga.

"Uuuu tayang, cemburuan pacar akuuuu," Jiwa merajuk sambil mengusap lembut bagian leher belakang Raga agar kekasihnya itu tidak kesal lagi.

Raga mengambil tangan mungil Jiwa dan menggenggamnya erat. Sesekali pria itu mengusap punggung lengan Jiwa sambil tersenyum. Jiwa yang merasa nyaman dengan semua perlakuan Raga membiarkan hal tersebut.

Lucu, jika mengingat bagaimana mereka bisa menjadi sedekat ini, tidak ada jarak lagi diantara keduanya. Berawal dari orang yang tidak saling mengenal, pergi minum kopi bersama dan menjadi teman. Memang belum terlalu banyak hal yang dilalui bersama tapi rasanya sudah cukup untuk meyakinkan diri masing-masing bahwa keduanya saling menemukan seseorang yang bisa berbagi kisah kemarin, hari ini dan besok juga.

"Kamu masih belum terbiasa kah kalau ada di keramaian?" tanya Raga.

"Sudah jauh lebih baik dibanding pertama dulu. Oma banyak ngajarin aku untuk mengontrol pikiran aku fokus ke satu hal yang mau aku dengar aja, tapi masih susah," Jiwa menghela nafasnya begitu selesai bicara.

"Pelan-pelan ya. Masih banyak waktu gak usah buru-buru. Kalau kamu ngerasa cape istirahat dulu," ucap Raga.

Jiwa mengambil tangan Raga dan mengusapnya. "Kalau capek aku cuma butuh ini," kata Jiwa sambil mengangkat tangan Raga. "Kamu tuh kayanya dikirim Tuhan khusus untuk buat bantuin aku deh. Kamu rumah buat aku, Ga. Kadang ada hal-hal yang gak bisa aku bagi ke Papa Mama karena gak mau buat mereka semakin kuatir dan merasa bersalah. Aku takut membebani mereka. Biasanya aku pendam sendiri, tapi sekarang ada kamu. Aku bisa bagi sedikit ke kamu. Terus kebisingan di sekitar aku juga  bisa ilang gitu aja pas pegang tangan kamu,"tutup Jiwa.

Raga meletakan telapak tangan Jiwa di pipi miliknya. "Aku seneng banget kamu mikir tentang aku kaya gitu. Kapan pun dimana pun kalau kamu butuh aku, I am here for you. Tapi jangan mikir gitu soal Papa Mama, mereka pasti gak keberatan kamu rely on them. Okay?" Jiwa menjawab Raga dengan anggukan.

"Eh apa nih," Raga melihat dua lembar kertas tergeletak dengan di meja. Dengan segera Jiwa mengambil kertas itu dan menyembunyikan di balik badannya. "Hmm, main rahasia-rahasiaan sama aku?"

Jiwa menatap lekat mata Raga. Seperti ragu untuk menunjukan kertas yang disembunyikan. Raga tidak memaksa, tapi hal itu justru membuat Jiwa merasa tidak enak pada Raga dan memutuskan untuk bercerita. Kertas itu kini sudah ada di tangan Raga.

"Kemarin waktu lagi beres-beres kamar ketemu itu," ucap Jiwa.

"Terus pasti nangis ya semaleman di sofa ini?" tanya Raga.

"Kok tau?"

"Aku kan bisa nerawang."

"Dukun lo? Nerawang segala," Jiwa bercanda yang disambut tawa oleh Raga.

"Mau dibahas sekarang apa enggak?" tanya Raga. Jiwa menggeleng. "Terus yang lembar satu apa?"

Ragu-ragu Jiwa mengeluarkan selembar kertas yang ia sembunyikan di belakang punggungnya.

"Nih," diberikan kertas itu pada Raga.

"Wowwww."

"Jangan ketawa."

"Aku gak ketawa."

"Yaudah biasa aja mukanya."

Tertulis dengan tinta warna biru pada kepala kertas 100 Things Must Do With Raga. Tapi yang terisi baru sampai nomor dua puluh saja. Tidak henti-hentinya Raga tersenyum melihat kelakuan Jiwa.

"Ihh sini deh kalau cuma diketawain," Jiwa menarik lagi kertas dari tangan Raga.

"Enggak diketawain, cuma kamu tuh kelewatan gemesnya. Aku salah tingkah sendiri bacanya. Jadi masih ada delapan puluh hal lagi nih, harus kita mulai dari sekarang," ucap Raga bersemangat.

"Kebanyakan gak ya?" tanya Jiwa ragu.

"Kita punya banyak waktu tenang aja," Raga kembali mengambil kertas itu dari tangan Jiwa kemudian menambahkan tulisan di judul kertas dengan nama Jiwa menggunakan pulpen yang ada di atas meja.

100 Things Must Do With Raga & Jiwa. Jadi bukan hanya Jiwa yang mengisi kertas tersebut tetapi juga Raga. Mereka sepakat untuk mewujudkan satu demi satu hal yang akan mereka tulis di kertas itu.

"Berarti yang nomor lima udah bisa dicoret nih, kan udah waktu di rooftop? Tapi kalau mau diulang lagi gapapa sih, aku gak keberatan," ujar Raga. Jiwa sepakat dan mengangguk.

***

Flashback

Dengan nafas yang tidak beraturan karena berlari, Raga kini sudah berada di rooftop sesuai dengan informasi yang diterima dari Liam untuk menemui Jiwa. Gadis itu sedang berdiri sendirian menatap ke langit yang gelap. Hanya ada beberapa bintang malam ini ditemani bulan sabit yang bercahaya cukup terang.

"Ji," panggil Raga yang membuat gadis itu segera menoleh ke arah sumber suara.

Senyum manis dari wajah mungil Jiwa menyambut kedatangan Raga. Segera mendekat ke arah Jiwa, kini mereka sudah berhadapan satu sama lain.

"Kata Liam kamu nyariin aku?" tanya Raga. Jiwa mengangguk. "Ada apa?" lanjut Raga.

"Ini," Jiwa menyerahkan sebuah bingkai foto kecil pada Raga. Ada potret dirinya dan sang Ibu yang kini sudah ada di surga. "Aku tadi udah ijin ke Tante Jasmine untuk jadi pacar anak yang ada di sebelah Tante Jasmine."

"Terus apa kata Bunda?" Raga seolah larut dalam percakapan yang dimulai Jiwa.

"Boleh katanya. Aku udah janji, posisi Tante Jasmine gak akan tergantikan sama aku, jadi gak usah kuatir," mendengar Jiwa sudah selesai berbicara Raga segera memeluk Jiwa erat.

Bunda kenalin, ini pacar Raga.

Namanya Jiwa. Dia cantik, mirip Bunda agak galak sedikit. Tapi Raga sayang.

Jiwa bisa mendengar dengan jelas setiap kalimat yang Raga ucapkan di dalam hatinya. Mereka memulai hubungan yang tanpa pura-pura ini di tempat yang tidak pernah Raga sangka. Memori menyakitkan dari tempat ini beberapa tahun lalu karena kehilangan bundanya tergantikan dengan perasaan senang karena ini adalah hari pertama Jiwa dan Raga resmi jadian.

"Kamu gak mau bilang apa gitu sama aku?" tanya Jiwa yang berharap Raga mengatakan sesuatu seperti di drama Korea yang ditontonnya belakangan ini ketika pasangan baru resmi berpacaran.

"Apa tuh?" Raga lagi-lagi menggoda Jiwa.

"Yaudah deh, lupain," Jiwa memutar badannya membelakangi Raga dan kembali memandang ke langit.

"Bunda, Raga ijin pacaran sama Jiwa ya. Soalnya Raga udah sayang sama dia. Tenang aja Bund, Raga akan jagain baik-baik," ucap Raga sambil menengadah ke langit.

Jiwa memandang ke samping kirinya tempat Raga berdiri yang hanya berjarak kurang dari sejengkal. Senyum terukir manis di wajah Jiwa. Raga pun menoleh ke arah Jiwa dan memastikan gadisnya kini tidak lagi kesal. Tangan Raga segera merangkul pundak Jiwa dan kini tidak ada jarak di antara keduanya.

Sesuai permintaan sang puan, sepanjang malam keduanya menghabiskan waktu di rooftop dengan berbagi cerita atau hanya sekedar mendengarkan playlist di situs musik favorite mereka. Itu adalah poin ke lima yang juga Jiwa tulis di 100 Things Must Do With Raga.

***

Knocking of the window by the sound of rain

My excitement is increasing before going to you

Should we watch a movie or just go to any place

or walk together in this transparent road

-Je T'aime, Paul Kim-

---

Mari kita ucapkan selamat kepada Kak Raga yang sudah tidak terjebak Kakak-Adik zone lagi dengan Jiwa. Hehehehe.

Keuwuan ini masih akan ada di chapter selanjutnya. Karena aku sayang Jiwa dan Raga, aku mau mereka agak lama bahagianya >.<

Anyway, ada yang tau gak hadiah yang dikasih Raga ke Jiwa? Hahahaha. Ayo kita main tebak-tebakan.

***

Semoga kalian suka ya chapter ini. Kritik dan saran boleh banget didrop di sini.

***

Maaf kalau ada kekurangan, typo dan hal yang gak berkenan. Ambil baiknya, buruknya buang jauh-jauh. 

Oh iya, scene yang 100 things to do itu aku terinspirasi sama Home Town Chacha, yang couple dimple itu ngebuat list hal yang mau  dilakuin bersama. hehehe.

***

Once again, thank you for reading.

Jangan lupa streaming dan dengerin terus Forever Only-nya Mas Jamal yang membuat aku pingsan bahagia beberapa hari terakhir ini. Hehehe.

---

Luvv <3

-Jaemon-

Continue Reading

You'll Also Like

53.2K 9.9K 97
tidak ada yang pergi dari kamu. setiap yang hilang hanya pergi ke tempat di mana mereka seharusnya berada. ..
2.1K 230 13
viviz sinb + stray kids lee know AU (lokal, work life, romance-comedy, bahasa, non baku, lowercase, harsh words)
2.9M 186K 46
[Part lengkap] Blur : Apa yang kamu lakukan jika mengulang waktu kembali? Tabitha Veronika Miller sosok gadis yang diberi kesempatan untuk mengulang...
1.1M 73.8K 47
Daddyyyyyy😡 "el mau daddy🥺"