Somewhere Over the Autumn [ON...

By veycaelia_

2.1K 132 20

šŒššš­š®š«šž š«šØš¦ššš§šœšž [šŸšŸ–+] š‚šØš„š„ššš›šØš«ššš­š¢šØš§ š°š¢š­š” @š³ššš«ššš¬š£šžš§š¤š¢š§š¬ Ketika hidu... More

ā€¢ I N T R O D U C T I O N ā€¢
ā€¢ M E E T T H E C A S T ā€¢
Capitolo 1 | Benvenuti in Toscana
Capitolo 2 | Meet in Arezzo
Capitolo 3 | He's Dante Castello
Capitolo 5 | Siena Voyage [2]
Capitolo 6 | Party Hangover [1]
Capitolo 7 | Party Hangover [2]
I N T E R M E Z Z O (wajib baca)

Capitolo 4 | Siena Voyage [1]

118 12 4
By veycaelia_

Hola! Alessandra update lebih cepet, yaa 🤣
Sengaja, hari ini karena Zara takut lupa karena dia ada urusan, jadi kita berdua sepakat update sore.

Hope u like it!

_________

4 days later…

Bunyi klakson mobil di depan rumahku terdengar. Itu pasti Matteo dan Sienna. Aku meraih tas backpack-ku dan tas travel ukuran sedang di atas tempat tidur. Sebelum keluar, aku kembali mengecek barang elektronik dan kabel listrik. Memastikan agar semuanya tidak dalam keadaan tersambung dan menyala.

Akhirnya, kami memutuskan untuk pergi ke Siena dan Diborrato hari ini. Kami akan pergi ke Siena terlebih dahulu, setelahnya kami akan menginap dua malam di daerah Diborrato. Dante tidak ikut dalam perjalanan kami karena harus menggantikan bartender yang berjaga malam karena libur cuti. Kata Matteo, bartender itu sedang berkabung atas kematian ayahnya di kampung halaman.

“Buongiorno miei cari,” Dengan girang aku menutup pintu mobil convertible milik Matteo dan mencium kedua pipi mereka. (*Selamat pagi, sayang-sayangku)

“Di Perancis kami melakukannya,” ucapku sembari mengedipkan sebelah mata dan menutup pintu mobil.

“Uh, Perancis seperti saudara Eropa kami yang mengerikan,” sahut Sienna.

Tanpa rasa tersinggung, aku mengabaikan ucapan Sienna. Aku lebih terbiasa mendengar orang-orang yang membicarakan tabiat kami—orang Perancis—yang mereka bilang mengerikan.

”Lihatlah siapa yang sudah kembali, bagaimana huh keadaanmu, Alessandra?” tanya Matteo.

”Tentu saja aku lebih baik. Sakit setelah kepindahan menjadi hal normal. Untunglah hanya dua hari.” Aku menyengir dan memasang sabuk.

“Baiklah. Pronto per questo viaggio?” tanya Matteo. (*Siap untuk perjalanan ini?)

“Sì, naturalmente!” seruku dan Sienna dengan semangat. (*Ya, tentu saja!)

“Let's go, baby!” seruku seraya menyalakan musik bersamaan dengan Matteo yang menginjak pedal gas membawa kami meluncur di sepanjang jalan berbukit Monticchiello.

Butuh waktu sekitar satu jam untuk akhirnya sampai di Siena. Kami menyewa sepeda dari tempat kami memarkirkan mobil. Jam memang sudah memasuki makan siang, kami bertiga memasuki wilayah Piazza Del Campo menuju salah satu cabang resto & bar milik Dante.

Ketika mendengar Siena dan Piazza Del Campo, apa yang terpikirkan? The Heart and Soul of Tuscany? Siena memang simbol dari universal kota dengan menunjukkan integritas bangunan kuno abad pertengahan yang sangat indah. Terutama pusat sejarahnya yang juga masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia UNESCO. Siena juga terkenal sebagai tuan rumah dari pacuan kuda palio yang diadakan setiap dua kali dalam satu tahun pada bulan Juli dan Agustus di pusat alun-alun kota.

Siena tidak hanya populer di kalangan turis, tetapi juga kota pelajar yang dinamis. Hampir dua puluh ribu mahasiswa yang berkuliah di Universitas Siena, terlihat dari seluas mataku memandang, terdapat mahasiswa dan turis maupun penduduk lokal di berbagai sudut alun-alun. Banyak hal yang dapat dilakukan di Siena seperti melihat pemandangan alun-alun kota dari atas Torre del Mangia. Bangunan itu adalah sebuah menara yang terbuat dari batu bata merah setinggi delapan puluh delapan meter yang terletak di pusat alun-alun kota—bersebelahan dengan Palazzo Pubblico. Perlu menaiki empat ratus anak tangga dan dinding sempit yang pengap untuk mencapai puncak menara. Aku tidak pernah melakukannya sekalipun aku pernah berkunjung ke Siena untuk pekerjaan.

Aku membawa sepedaku mengikuti Matteo di depan sana. Sepanjang jalan gang di antara townhouse tua berwarna merah-coklat bata dan lorong-lorong abad pertengahan yang melengkung, terlihat banyak kedai gelateria, toko barang antik, toko pengrajin, suvenir, juga restoran dan bar yang menyediakan berbagai jenis anggur. Matteo dan Sienna berkata akan mengajakku menikmati gelato terenak di alun-alun setelah makan siang.

Tidak lama, kami sampai di depan sebuah resto & bar dengan bangunan yang tidak jauh berbeda dengan mayoritas kota. Terdapat bangku-bangku kecil dengan meja yang dialasi taplak meja putih dengan payung-payung besar dan kanopi berwarna senada di depan restoran. Di beberapa sisi terdapat tanaman hijau yang menghiasi sisi depan dan pintu masuknya.

Kami masuk melewati pintu yang berbentuk melengkung dan disuguhkan dengan keramaian ruangan pengunjung restoran yang lebih padat. Matteo mengangkat tangan kanannya ke salah seorang staf di balik meja dapur dan hendak menghampirinya, sementara aku dan Sienna mencari tempat duduk.

Kami memilih tempat di luar ketika salah satu dari pengunjung telah menyelesaikan makanannya dan seorang pelayan membersihkannya. Matteo kembali dan duduk di depan antara aku dan Sienna.

Sambil menunggu makanan kami datang, Matteo menarik kursi lebih dekat ke arah kami. “Salah seorang temanku di San Gimignano menghubungiku. Apa kalian ingin datang ke pesta bersamaku? Temanku mengundangku besok malam.”

“Boleh. Kita bisa ke sana setelah dari Diborrato,” sahut Sienna.

“Bagaimana denganmu? Kau ikut Alessandra?”

Aku menaikkan sebelah bahuku. “Tentu saja. Siapa yang tidak suka pesta? Aku cukup liar ketika malam hari Matteo,” ucapku menyeringai.

Matteo dan Sienna tergelak. “Siapkan minumanmu kalau kau ikut,” timpal Matteo.

“Mudah. Bukankah kita bisa mencurinya dari salah satu bar Dante?” ucapku bergurau.

Kami tergelak bersama dan menyuap sesendok pasta tortellini pesanan kami yang telah datang.

Aku menuang wine putih berlabel keluarga Castello dan berkata, “Membuka restoran di sini memang pilihan tepat. Rupanya di sini tidak pernah sepi. Pamanmu membuka cabang di mana lagi, Matt?”

Matteo menyeringai. “Ada di Florence dan juga San Gimignano. Kau benar, kita bisa mampir ke sana saat makan siang. Mencicipi beberapa makanan dan mencuri beberapa minuman untuk ke pesta Fabio malamnya,” ucapnya menyebut nama temannya di San Gimignano yang mengundang kami.

“Tiga hari lalu aku melihat mobil di depan rumahmu. Siapa yang datang ke rumahmu?” di tengah kunyahannya Matteo bertanya. Tatapannya mengarah padaku.

Berusaha menelan sisa makanan di mulutku, aku menenggak segelas air. “Itu kakakku. Ada apa?”

Matteo hanya menggeleng dengan lesung pipi di senyumannya. “Tidak. Hanya saja mobil kakakmu keren sekali,” ucapnya seraya tergelak lalu kembali melanjutkan makanannya.

Aku merasakan tatapan Sienna yang melirik dari arah samping kananku. Sienna tahu siapa diriku dan masa laluku—meski bukan sepenuhnya tau siapa diriku, ia hanya tau segelintir dan permukaannya. Namun, ia menyadarinya ketika aku memutuskan membeli rumah di Italia dan tahu bahwa itu aku. 

Sienna tahu bahwa diriku adalah mantan model yang sempat terkenal di Perancis sebelum akhirnya karirku berakhir karena suatu skandal. Meski dalam satu perspektif bukan aku yang dirugikan, hanya saja keluargaku membuat pihak yang bersalah bukan diriku. Aku masih ditawari pekerjaan, sedangkan karir orang itu kandas.

Hanya itu yang ia tahu, selebihnya Sienna tidak mengetahuinya. Tidak ada yang tahu siapa keluargaku atau apakah aku mempunyai kakak atau Adik. Mungkin hampir semua orang yang mengenalku melupakanku karena skandal itu. Mereka semua tidak akan bertanya-tanya tentang siapa aku sebenarnya atau pun siapa keluargaku dan latar belakangnya. Tidak ada lagi yang menaruh perhatian padaku sejak itu setelah aku membuat sebuah konferensi pers tentang pengunduran diriku, meminta agar menghargai keputusanku untuk tidak mencari tau tentang diriku dan kehidupan pribadiku karena pensiun. Setelah kejadian itu, aku bagaikan menghilang dari dunia modeling yang kumulai di umur empat belas tahun.

Lalu, di malam tiga hari yang lalu, kakakku memang datang ke rumahku. Christian datang tanpa kuperkirakan. Seharusnya aku tidak terkejut dengan kedatangannya. Pria itu memang mengerikan. Aku tidak pernah sekalipun memberitahukan kepadanya di mana tepatnya aku tinggal di Italia. Namun, kalian tahu Christian datang secara mengejutkan dengan penampilannya yang lebih mengejutkan malam itu.

“GOD! APA YANG KAU LAKUKAN DI SINI?!”

Aku melihat ke arah sekitar. Tidak ada siapapun lagi selain dirinya.

“APA YANG TERJADI PADAMU, BODOH?!”

Aku menariknya masuk dengan cepat tanpa mengalihkan pandanganku dari penampilannya yang sangat berantakan dan mengenaskan. Terlihat di lengan kirinya terdapat darah yang menembus dari perbannya dan penampilannya berantakan dengan sisa-sisa darah di kemejanya yang kotor.

“Sudah kubilang aku akan menemukanmu,” ucapnya singkat sembari mendudukkan dirinya di atas sofa.

Aku membuka perban lengannya dan melihat luka sayatan yang melintang di otot kirinya. Sepertinya harus dijahit.

“Berhenti mengatakan omong kosong. Apa yang kau lakukan?!” Aku menepuk lengannya keras.

Tanpa mengaduh, pria itu hanya menjawab singkat. ”Aku hanya mampir.”

Seraya beranjak, aku mendengus menanggapinya. “Kau tahu aku tidak akan mempercayainya,” ucapku mencari kotak emergency, lalu menyiapkan alat dan menunggunya steril.

Setelah alat siap, dengan kasar, aku menarik lengannya. “Mengapa kau tidak ke rumah sakit saja atau kau menjahitnya sendiri? Aku semakin tidak mempercayaimu kalau kau seperti ini.” Aku menyuntikkan cairan anestesi pada lengannya setelah membersihkannya ulang.

”Aku tidak mau ke rumah sakit. Di mobilku tidak ada jarum untuk menjahitnya. Aku hanya menyuntiknya untuk menghentikan pendarahan,” jawabnya.

“Aha, tidak masuk akal. Jika kau berada di Italia, aku percaya saja jika kau ada di Siena untuk mengurusi pacuan kuda. Namun, jarak Siena cukup jauh hingga bisa sampai ke rumahku dengan keadaanmu yang seperti ini.” Aku mulai menjahitkan luka sayatan di lengannya. Jangan tanya bagaimana aku bisa melakukannya, tentu saja Christopher mengajariku jika aku menemukan keadaan darurat. 

“Periksa saja mobilnya. Tidak ada yg bisa kau temukan untuk menjahitnya. Itu bukan mobilku,” sangkalnya.

“Jangan mengelak. Aku tidak percaya jika kau tidak mempunyai persiapan apapun. Kau bilang akan menemukanku. Jadi aku pikir kau pasti memang berniat mendatangiku bukan.”

“Terserah padamu. Lakukan saja dengan benar pekerjaanmu.” Dengan menyebalkan, Christian mengabaikanku dan menyalakan televisi.

“Baiklah. Lakukan saja sendiri kalau begitu.” Aku hendak beranjak, namun tangan besar Christian menahan dan menarikku hingga duduk kembali di sampingnya.

“Apa kau lupa aku kidal? Mana mungkin aku melakukannya dengan satu tangan kanan,” protesnya.

“Payah sekali. Jadi katakan apa yang kau lakukan?” Aku masih bersikeras menanyakannya. Meski aku dapat mengira apa yang terjadi, namun aku ingin memastikan dari mulutnya langsung. Aku tahu Christian dari suatu tempat yang tidak jauh dari rumahku.

“Kau ternyata memang lebih bodoh, Alessandra. Aku masih tidak mengerti mengapa kau ‘dikecualikan’ mereka.” Arah mata Christian memang terarah pada televisi, namun aku tahu ia menunggu jawabanku. Mencari hal yang alasannya masih ia pertanyakan.

Aku tahu ia mengalihkan pertanyaanku dengan menyinggung hal lain dengan pertanyaan itu. Jika Christian tidak tahu, maka aku pun juga.

“Aku tidak tahu. Aku pun tidak mengerti mengapa kau, Christopher dan Ayah dikecualikan,” ucapku membalas kalimatnya—kembali menyinggung tentang kehadirannya di keluargaku dan pernikahan ayahku dengan Juliana bahkan ketika *Maman masih menjadi istrinya. Bukannya aku tidak menyukai Christian dan Christopher seperti saudaraku kebanyakan. Hanya saja, aku tidak mengerti mengapa peraturan keluarga kami dengan mudahnya dikecualikan untuk Matthew—ayahku. Mungkin itu pun menjadi pertanyaan Christian tentang aku yang ‘tergolong’ dikecualikan dari kejamnya percaturan dan peraturan keluarga kami yang bahkan tidak manusiawi. 

(*Maman : Ibu dalam bahasa Perancis)

“Aku bukannya tidak menyukaimu. Hanya saja aku sama seperti dirimu,” sambungku bertepatan saat jahitan di lengannya telah selesai.

Hening beberapa saat sebelum akhirnya aku mendengar suara dengusan darinya. “Aku mungkin akan menyeretmu jika mereka menginginkannya. Tapi tidak, mereka tidak memintaku melakukan hal-hal mengerikan itu padamu layaknya yang lain. Hal yang justru membuatku semakin mempertanyakan satu pertanyaan itu, Alessandra.”

Aku hanya menatap kosong piring tortellini-ku yang sudah habis. Sienna dan Matteo masih berbincang heboh di sekitarku. Aku menenggak segelas air hingga tandas dan menyadari mereka menatapku.

“Hei kau baik-baik saja?” Matteo memandangku dengan perhatian penuhnya.

“Ya, kau tidak apa-apa? Sedari tadi kami berbicara kau bahkan tidak menanggapi. Apa ada yang mengganggu pikiranmu?” Sienna terlihat khawatir, dan seketika itu membuatku tertawa lebar. Cukup kencang hingga beberapa pengunjung menatap kami. 

Aku bergerak mengisyaratkan maaf kepada beberapa pengunjung dan kembali memandang mereka dengan sisa tawaku.

Sienna dan Matteo menatapku bingung. “Kau sungguh baik-baik saja?”

Aku hanya mengibaskan tanganku. “Tidak, hanya saja aku merasa lucu dengan kalian. Aku tidak ada masalah apa pun. Aku hanya sedang memikirkan untuk membuka sebuah usaha toko bunga di Tuscany setelah kalian membicarakan bunga Edelweiss di pegunungan Alpen, aku jadi memikirkannya,” dalihku—Tidak sepenuhnya berbohong, karena keinginanku untuk membuka usaha toko bunga itu memang benar.

Mengikuti Matteo setelah membayar bill, aku bertanya, “Kalian punya ide nama yang unik untuk toko bungaku?”

“Dante selalu mempunyai ide untuk hal yang seperti itu. Kau bisa meminta pendapat pamanku setelah pulang, aku akan memikirkannya,” jawab Matteo.

“Bagaimana jika pakai namamu saja? Namamu sudah bagus. ‘Alessandra Florist’ Bagus bukan?” timpal Sienna.

“Alessandra bilang nama yang unik, bodoh. Kau memang payah,” cemooh Matteo pada Sienna.

“Kau sendiri saja tidak tahu. Sebaiknya kau tidak perlu berlagak. Setidaknya aku berusaha memberi saran,” balas Sienna.

“Ha, terserah kau saja. Setidaknya aku memberikan opsi yang lebih baik. Benar begitu kan?” Matteo menyenggol sikuku dengan lengannya.

“Aku menghargai saran kalian. Aku akan masukkan ke dalam catatan. Terima kasih.” Aku tersenyum cerah menanggapinya. Mereka berdua memang tidak pernah untuk sekali saja tidak berdebat.

Kami mengambil sepeda yang terparkir di samping restoran. Aku mengayuh sepeda di antara Sienna dan Matteo menuju kedai gelateria.

Aku menunjuk kedai di depan ujung gang. “Bukankah itu kedainya?” tanyaku ketika kami sudah di tengah perjalanan.

Matteo mengangguk. Saat aku ingin mempercepat kayuhan sepeda, mataku menangkap sesuatu di salah satu toko suvenir. Aku mendadak memberhentikan lajuku hingga membuat Sienna menubruk sepedaku yang ada di depannya.

“Kau baik-baik saja?” Sienna turun dari sepedanya.

“Tidak, aku hanya ingin membeli itu,” ucapku.

Siena menoleh ke arahku. “Kau ingin membelinya?”

Aku mengangguk dan tersenyum menoleh ke arahnya. “Iya, aku akan memberikannya kepada seseorang.” Aku tersenyum lebar dan memberikan selembar euro kepada penjual dan memasukkan suvenir itu ke dalam tas selempang putihku.

Sienna menyeringai menggodaku. “Ah benarkah? Apakah itu kekasihmu? Tunanganmu? Atau kau akan menikah dengannya?” tanya Sienna beruntun sembari terus mendorong bahuku dengan tubuhnya. Agak menyebalkan melihat senyuman menggodanya yang bodoh. Namun, aku tergelak dan tersenyum ke arahnya. “Soon to be. Kau do'akan saja, ya?” Aku mengedip ke arahnya dan menaiki sepedaku untuk menyusul Matteo yang tampaknya sudah sampai di depan kedai.

“Hei! Tunggu aku Alessandra! Asal kuberi tahu saja, kau menyeramkan jika memberikan itu kepada kekasihmu!” Sienna berteriak di belakangku. Aku hanya tertawa sembari terus mengayuh sepedaku di atas turunan.

“Kau akan mengetahuinya! Dan suvernirnya tidak menyeramkan,” balasku ikut berteriak.

“Kau sungguh akan memberikannya pada kekasihmu?” Sienna kembali bertanya, ia berhasil mensejajarkan sepedanya denganku.

Aku hanya mengangguk. Sienna berbisik, “Kau tidak akan berhasil mendapatkan hatinya jika memberikan itu. Percayalah, itu menyeramkan.”

“Tentu saja aku akan berhasil. Lihat saja nanti,” ucapku seraya lebih mempercepat kayuhan sepeda mendahuluinya. Sienna ikut menyusul hingga kami tiba.

“Ada apa kalian? Kupikir kalian mengikutiku,” tanya Matteo menyambut kami ketika turun dari sepeda.

Masih dengan sisa tawa kami, aku menjawabnya, “Tidak, aku hanya dari toko suvenir.” Aku menyengir.

“Tidak-tidak Matteo. Kau lihat saja wajahnya yang berseri itu. Dia membelikannya untuk kekasihnya. Ah, aku kecewa dibohongi ketika dia bilang tidak mempunyai kekasih saat itu,” sela Sienna.

Matteo menatapku, “Benarkah? Hah, sayang sekali. Padahal, aku ingin mengenalkanmu pada sepupu kami besok malam. Dia akan datang di pesta Fabio. Yah, tidak mengejutkan, kau memang cantik,” ucapnya seraya terkekeh dan berjalan menuju pintu masuk gelateria.

Aku berdecak, “Sienna hanya melebihkan. Kubilang ‘akan’ bukan ‘sudah’ Tapi lihatlah dia mencecar namanya,” keluhku.

“Begitu. Benar, kalau begitu siapa namanya?” tanya Matteo berbalik menghadapku dan bersedekap diikuti dengan Sienna yang menyusulnya lalu melakukan ekspresi dan gerakan yang sama. Mereka berdua secara bersamaan mengangguk memintaku mengatakan namanya.

Aku berdecak dan memutar bola mata. “Kalian sama saja. Daripada kalian membahas namanya. Lebih baik kalian rekomendasikan saja nama toko bungaku. Ah, lihatlah gelato-gelato di depan sana. Terlihat menggiurkan bukan? Aku sampai tidak bisa memilihnya,” ucapku seraya melihat deretan rasa gelato yang berada di dalam lemari etalase pendingin.

Sienna dan Matteo menyusul berdiri di sampingku. “Cepat rekomendasikan untukku, lihatlah variannya terlalu banyak. Aku sampai tidak bisa memilihnya.”

Matteo dengan cepat menunjuk sebuah varian rasa Stracciacella untukku tanpa memperpanjang topik nama pria yang kusukai.

“Hei, Alessandra itu gelatomu.” Suara Matteo menyadarkanku. Tanpa kusadari, aku kembali memikirkan Christian.

“Ha, apa kau sampai tidak begitu sabarnya kah untuk memberikan suvenir itu pada pacarmu hingga kau terus memikirnya?” Sienna menimpali.

Sienna dan Matteo sudah mengambil pesanan mereka. Aku berbalik mengambil dan mengucapkan terima kasih kepada pelayan yang sedari tadi menungguku.

“Jangan bercanda. Aku hanya kembali terpikirkan untuk memelihara kucing di rumahku. Lihatlah, pria yang sedang membawa kucing di keranjang sepedanya. Bukankah lucu?” dalihku sembari menunjuk ke arah seorang pria yang sedang duduk di kursi depan kedai dan berbagi gelato bersama kucing di keranjang sepedanya.

Matteo hanya bungkam dan mengabaikanku lalu berlalu untuk duduk di depan sana. Sedang Sienna hanya menyipit dan mendekatiku. Kupikir ia tahu aku hanya berdalih, namun ia berbisik ke arahku. “Aku tahu kau kesepian di rumahmu. Aku tahu pet shop yang menjual kucing-kucing lucu. Atau aku bisa mengantarmu untuk ke shelter hewan untuk mengadopsi salah satunya. Percayakan saja padaku,” ucapnya seraya mengedip.

Aku hanya terkekeh kecil melihat Sienna berlalu melaluiku. Kupikir dia menyadari bahwa aku sedang kembali berbohong, tapi di luar dugaan sepertinya tidak. Aku memang cukup pintar berdalih dan menutupinya. Aku memang sedang memikirkan hal lain. Lebih tepatnya aku sedang memikirkan kalimat terakhir Christian.

“Aku mungkin akan menyeretmu jika mereka menginginkannya. Tapi tidak, mereka tidak memintaku melakukan hal-hal mengerikan itu padamu layaknya yang lain. Hal yang justru membuatku semakin mempertanyakan satu pertanyaan itu, Alessandra.”

Tidak hanya itu, saat aku melihatnya pergi di pagi-pagi buta. Aku menyadari mobil yang ia kendarai. Aku tahu mobil dan plat nomor itu adalah milik keluarga McMillian. Aku tahu keluarga itu tidak jauh tinggal dari Monticchiello. Aku terus memikirkannya, entah apa yang ia lakukan dengan keluarga itu dengan penampilan terakhir kalinya. 

Meskipun aku tahu, aku berusaha menyangkalnya. Aku tahu keluarga itu. Aku pernah berurusan dengan mereka untuk bisnis keluarga kami. Tapi setelahnya, aku tidak mendengar kabar mereka lagi.

Menyadari sesuatu, aku menggeleng berusaha mengabaikannya. Aku kembali dan duduk bersama Sienna dan Matteo di depan kedai ketika mereka melambai memanggilku untuk bergabung.

___________

Glosarium:

Stracciacella: Stracciatella merupakan salah satu varian rasa gelato yang klasik, namun masih menjadi favorit banyak orang.

Stracciatella merupakan es krim vanilla yang dicampur dengan taburan cokelat keras. Rasa gelato lebih ringan dan lembut namun sangat nikmat. Stracciatella Gelato bisa ditemukan dengan mudah di setiap café gelato di seluruh Italia.

__________

Selesai ditulis pada:
Minggu, 15 Mei 2022
Published: Sabtu, 6 Agustus 2022

༺♤༻

Continue Reading

You'll Also Like

1.4M 67.5K 51
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
301K 19.3K 46
Masalah besar menimpa Helena, ia yang sangat membenci bodyguard Ayahnya bernama Jason malah tak sengaja tidur dengan duda empat puluh empat tahun itu...
6.7M 335K 74
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
202K 29.7K 39
Ini adalah Kisah dari Kila. Kila Prastika yang ternyata memiliki seorang bapak kos yang kebelet kawin ... "Nikah sama saya, kosmu gratis seumur hidu...