Ambrosia

Od genitest

9.5K 1K 23

Definition of ambrosia 1a : the food of the Greek and Roman gods b : the ointment or perfume of the gods 2 :... Více

2. Suami Istri
3. Ulang Tahun
4. Tonkotsu Ramen
5. Pena Bekas
6. Pangeran Kecil
7. Mooncake Festival

1. Fresh Start

3K 205 7
Od genitest

Mau info dulu, bahwa Ambrosia tidak akan ditamatkan di Wattpad. Aku tahu ... aku tahu ... pasti banyak yang kecewa, atau mungkin banyak yang belum tau kalau aku sekarang menulis di platform Karya Karsa.

Jadiiii ... cerita ini hanya akan aku post di wattpad hingga bab 7, selebihnya bisa kalian temui di Karya Karsa.

Btw, buat yang mau lanjut... siap2 aja karena Ambrosia adalah cerita paling mature dan paling banyak adegan 🔞 dari semua cerita yang pernah aku buat. Jadi ini hanya untuk pembaca 17 tahun ke atas ya.

***

Berlari tanpa menggiring bola, mata itu melirik jam digital besar yang tergantung di atas ring. Sebelas detik lagi sebelum peluit berbunyi. Sebelas detik.

Suara decit sepatu bergema di lantai kayu saat lima pemain dengan jersey putih - biru berhenti berlari, mengatur posisi dengan gerakan terburu-buru.

Deru-deru napas tersengal saling beradu saat tubuh-tubuh itu menubruk, menghimpit, dan berkelit.

Saka Barata berlari gesit meninggalkan lawannya, berhenti di luar garis setengah lingkaran dan melompat menerima bola dari rekan timnya.

Pemain lawan merentangkan dua lengan panjangnya, Saka berkelit ke sisi kiri dan pemain itu segera melesat mengejarnya.

Lima detik lagi.

Tidak ada waktu. Saka melompat kecil dan mengayun lengan kanannya yang hampir mati rasa sepanjang sisa pertandingan ini, menembak bola terakhirnya. Sebuah tembakan yang gegabah.

Bola melesat cepat, seluruh penonton yang memadati stadium terdiam hening saat si bola bundar memantul di papan dan membentur ring sebelum akhirnya memasuki jaring dengan mulus.

Tembakan gegabah berubah menjadi tembakan penyelamat.

Sorak sorai bergema memenuhi setiap dinding stadium. Pecah. Gempa gempita. Ramai tidak karuan.

Seluruh pemain dengan jersey putih - biru mengerubuti pemain bernomor punggung 14 yang baru saja melesatkan tiga point itu. Nama Saka Barata berkumandang dari bibir-bibir penonton seperti genderang perang.

SAKA! SAKA! SAKA!

Sementara seluruh tim lawan tertunduk lesuh begitu wasit meniupkan peluit.

Jakarta Titans baru saja memastikan diri menuju semifinal IBL dengan kemenangan tipis 100-98. Saka Barata, pemain shooting guard andalan mereka mencetak tiga poin penyelamat di detik-detik terakhir.

Gelar MVP sudah pasti menjadi miliknya. Bukan hanya tembakan three points penyelamat itu saja, tapi Saka juga menjadi penyumbang skor dan assists tertinggi mengalahkan semua pemain.

Namun, alih-alih tinggal di lapangan untuk menikmati sorak sorai dan pujian, sepasang kaki kelelahan itu berlari sempoyongan melintasi semua orang yang mengerubunginya, meninggalkan lapangan dan segala perayaannya.

Tidak ada yang mencegahnya.

Memang sudah biasa, Saka Barata tidak pernah berapi-api merayakan kemenangan. Terlebih hari ini, khususnya malam ini, sang pemain andalan Titans memiliki hal penting yang tak bisa ditundanya.

Saka Barata harus bergegas pulang.

***

Biasanya, Saka menyukai malam hari. Tapi tidak sekarang, saat semburat oranye indah di langit telah berubah menjadi gelap, saat ia harus pulang ke rumah lamanya dan melihat Inge Barata—Ibu, terbaring lemah di tempat tidur.

Saat Inge menolehkan kepala ke ambang pintu kamar tempat Saka berdiri—masih dengan jaket olahraganya, senyuman Inge mengembang. Tatapan lemahnya berubah penuh semangat.

Saka berjalan menuju tempat tidur dan menarik kursi untuk duduk di sampingnya. Diambilnya telapak tangan ringkih itu, menatap sekilas tulisan berbahasa Jerman yang tertera di gelang pasien sang ibu yang belum digunting. Aroma alkohol dan obat-obatan menusuk hidung Saka.

Sejak kecil, Saka memiliki indra penciuman yang lebih tajam dari orang normal. Ia terbiasa mencium aroma wangi masakan dari dapur di lantai satu meskipun berada jauh di lantai atas, mencium aroma tak sedap dari gas bocor meski tidak ada seorang pun di rumah yang bisa menciumnya, mengendus biji-bijian kopi mahal yang masih tersimpan rapat di tas kain belanjaan atau bungkus rokok yang tersembunyi di kantong kemeja pak sopir, bahkan, ia bisa mengendus aroma khas unik yang menguar dari tubuh seseorang yang sulit ia ungkapkan.

Awalnya mengganggu, tapi lama-lama ia terbiasa dan memilih mengabaikan semuanya.

Terhitung sejak enam bulan lalu, ia memiliki satu aroma yang sangat dibencinya. Aroma obat-obatan Ibu.

"Gimana perjalanan Ibu?" tanyanya pelan.

"Menyenangkan. Gimana enggak? Pak Bahri sampai repot-repot mengurus pesawat jet buat Ibu pulang, udah kayak tamu kenegaraan aja." Inge tertawa pelan. Tidak terlihat lelah meski baru saja menempuh perjalanan puluhan jam dari Berlin.

"Memang tamu negara," Saka mengulum senyum. "Tamu VVIP." Kemudian, perlahan, senyum itu menipis. "Kenapa memutuskan pulang? Kenapa ... berhenti berobat."

"Kamu tahu kenapa, Saka."

"Pengobatannya belum selesai."

"Nggak ada gunanya."

"Ada."

"Ibu lebih baik menghabiskan waktu Ibu di sini, di rumah Ibu, daripada di negara asing bersama orang-orang asing."

Kalimat itu menusuk Saka berkali-kali. Meski ia tahu Inge sama sekali tidak bermaksud menyindirnya, tapi tetap saja, ia tidak ada di negara asing itu menemani sang ibu. Dan yang lebih menyakitkan lagi, Inge memutuskan untuk berhenti berobat. Menyerah.

"Sudah enam bulan, Saka, sudah cukup."

"Baru enam bulan," tekan Saka. "Baru enam bulan. Dokter bilang butuh tahunan—"

"Kamu pasti tahu, Ibu nggak punya 'tahunan', dr. Friedrich cuma mencoba basa-basi memberi harapan."

Genggaman tangan Saka mengerat, bahasa tubuhnya semakin gelisah. "Selagi masih ada harapan, sekecil apa pun, Ibu harus berjuang."

Inge melepaskan genggaman tangannya, lalu memindahkan jemari ringkih itu untuk menyapu anak rambut di dahi Saka. "Kalau memang Ibu masih punya stok harapan sejumlah 'tahunan', maka Ibu ingin menggunakan harapan itu di rumah. Di sini. Sewaktu-waktu kalau harapan itu sudah habis terpakai, setidaknya Ibu berada di dekat kalian. Kamu, dan Ayah."

Saka nyaris menyeringai. Ayah? Pria itu bahkan tidak ada di sini menemani Ibu.

"Saka, kamu tahu cepat atau lambat, hari itu akan tiba." Inge tersenyum kecil.

Saka berusaha mengatur ekspresi wajahnya. Tentu saja ia tahu hari itu akan tiba. Semua kemoterapi dan obat yang mengalir ke tubuh Inge Barata hanyalah sebuah penundaan. Tidak ada pengobatan apa pun yang mampu membawa sang ibu pada kesembuhan. Semuanya hanyalah penundaan.

Tangan Inge Barata menyelip di antara jemari Saka. Inge menatap sang putra, memohon lewat tatapan dan senyuman lemahnya yang lembut. Bahwa perjuangannya hanya sampai di sini.

"Ngomong-ngomong, Ibu dengar kamu menang," tukas Inge dengan senyum tipis. "MVP lagi, seperti biasa. Anak Ibu jagoan."

"Seharusnya aku temani Ibu di sini."

"Ck! Jangan konyol. Kamu juga punya kehidupan, punya tanggung jawab. Jalani hidup kamu dengan baik, jangan urusi orang yang nggak perlu kamu urusi."

"Ibu bukan cuma 'orang'—"

Inge lekas mencengkeram tangan Saka kuat-kuat. "Dengarkan Ibu. Jangan, buang, waktu, kamu. Ibu di sini baik-baik saja. Kamu yang sehat jangan ikut-ikutan sakit. Ibu mau besok begitu bangun tidur, kamu kembali latihan, kembali tanding, jalani hari-hari kamu seperti biasa. Karena dengan melihat kamu menjalani hari seperti biasa, Ibu seperti diberi kekuatan bahwa semuanya normal, bahwa Ibu nggak sakit. Ngerti kamu, Saka?"

Di saat bersamaan, daun pintu terdorong pelan dengan suara derap langkah kaki. Tanpa menoleh sekali pun, Saka hafal betul siapa pemilik ketukan langkah tegas itu.

"Sudah sampai?" Suara Raja Barata, ayah Saka, terdengar tenang seperti biasa.

Inge tersenyum pada sang suami, mengatakan ya.

Lalu Raja Barata menanyakan apa dia lelah—dengan nada formal yang terdengar penuh basa-basi, dan dijawab lumayan oleh sang istri yang telah menemaninya selama dua puluh enam tahun itu.

Dua puluh enam tahun.

Dua puluh enam tahun sialan yang dibalas Raja Barata dengan tidak menemani sang istri berobat di Berlin satu hari pun.

"Aku pulang dulu." Tidak sanggup berada dalam situasi canggung yang penuh kemunafikan ini, Saka mendorong kursinya dan bangkit berdiri. "Aku datang lagi pagi."

Saka berbalik dan berjalan melewati Raja Barata. Ia berhenti sebentar, agak jauh dari sang ayah, dan memberi anggukan kecil tanpa kalimat. Aroma rokok menthol dan tinta pen tercium dari kemeja Raja.

Raja membalas anggukan itu tanpa senyum.

Pasangan ayah - anak itu memang tidak lagi merasa perlu untuk berbasa-basi semenjak tiga belas tahun lalu. Interaksi normal selayaknya ayah - anak yang hangat, hanya mereka lakukan saat berhadapan dengan lensa kamera.

Saka meninggalkan kamar dan menutup pintu dengan tidak bersemangat, lalu menoleh dan tertegun melihat siapa yang sudah berdiri di ujung lorong kamar. Aroma parfum mahal menyeruak tajam menyapa penciuman Saka.

Wanita paruh baya berpakaian kemeja kerja rapi itu tak sengaja membalas tatapan Saka, lalu ikut tertegun canggung sebelum melontarkan senyum kakunya pada Saka.

Saka tidak perlu repot-repot membalas senyum itu. Kerutan di keningnya sudah cukup memberi jawaban, bahwa sekretaris Raja Barata itu tidak seharusnya berani menginjak kaki di rumah ini, tidak saat ia berada di sini, tidak saat Inge terbaring sakit seperti ini.

Jika tiga belas tahun lalu ia bisa menyambut kehadirannya dengan ramah, memandangnya sebagai sahabat Inge dan sekretaris Raja yang profesional, kali ini tidak. Tidak dengan semua kehancuran yang telah dilakukannya.

Sorot mata Saka yang menajam membuat sekretaris teman tidur Raja Barata itu mengerti, lalu berbalik canggung sebelum buru-buru pergi menuruni tangga.

Perlahan, wajah Saka berpaling pada cermin bundar yang digantung di dinding depannya. Tatapan itu tertuju segaris bekas luka yang melengkung aneh di alis kanannya. Garis yang terlihat seakan memotong alisnya menjadi dua, karena tak peduli meski rambut di bagian tubuh mana pun bisa tumbuh kembali, rambut alisnya tidak tumbuh kembali di bekas luka itu.

Ia ingat bagaimana saat darah mengalir deras di pelipisnya itu, bagaimana Inge Barata menjerit histeris, dan Raja Barata terengah-engah menatapnya dengan tangan terkepal kencang.

Ia tidak ingat rasa sakit itu, tapi ia ingat suara asbak kaca yang jatuh menggelinding di karpet ruang keluarga mereka.

Tiga belas tahun lalu, dan Saka berhenti memperjuangkan sesuatu sejak saat itu.

***

"Saka! Gimana kabar Ibu, Ka?"
"Apa benar Ibu Inge berenti berobat?"
"Gimana kondisi Ibu? Apakah dokter sudah angkat tangan?"
"Saka tolong konfirmasi."
"Kasih statement dong, Ka."

Saka berjalan kesal menubruk tubuh-tubuh reporter yang telah berkerumun di depan gerbang rumah Barata sejak sejam lalu itu. Mengabaikan pertanyaan demi pertanyaan yang terus menyerbu, ia membuka pintu BMW warna hijau emerald norak yang sudah terparkir di depannya.

Petra, sang manager sekaligus pemilik mobil mentereng ini, langsung mengencangkan sabuk pengaman. "Seenggaknya senyum lah, Ka."

Saka membanting pintu dengan keras.

Petra mendecak sambil perlahan memundurkan mobilnya. Beberapa pengawal bergerak cepat menghalau para reporter yang nekat mengetuk kaca mobil untuk mencari perhatian Saka, terjadi keributan kecil dengan aksi dorong-mendorong sebelum akhirnya mobil Petra berhasil melaju pergi.

"You know, Ka?" Petra mendecak lagi di balik kemudinya. "Mereka emang nyebelin, para reporter itu, tapi lo butuh mereka. Kita butuh mereka. Apalagi setelah insiden Tendangan Halilintar itu. Elo butuh perbaikan citra, Ka."

Tendangan Halilintar sudah jadi sejarah sejak tiga bulan lalu, tapi rasanya masih seperti kemarin.

Waktu itu, Saka Barata kesal pada seorang reporter yang memberinya pertanyaan 'apakah performa Saka Barata menurun karena Ibu Inge sudah mau wafat?', lalu menendang tulang kering kaki kiri sang reporter hingga pria itu terjatuh meraung-raung.

Publik gempar. Beberapa berpihak pada Saka karena pertanyaan tersebut dianggap tidak manusiawi, tapi beberapa lagi memihak sang reporter karena Saka Barata memang terkenal arogan sejak dulu.

Tentu saja pihak Saka yang menang.

Karena, ya, dia Saka Barata.

The Little Prince—demikian julukan publik untuknya—meski arogan, tapi dicintai dan dipuja banyak orang. Bukan hanya karena Saka Barata adalah pebasket nasional terbaik saat ini, tapi juga karena ia putra tunggal Raja Barata—Menteri Dalam Negeri republik ini.

"Walaupun lo banyak fans, tapi haters lo juga banyak. Jadi nggak usah sok nggak butuh. Bersikap baik dikit lah sama media, jangan ngelakuin kesalahan lagi kalau elo nggak mau kehilangan sponsor—"

Saka mendesah. Memangnya sejak kapan hidupnya bergantung pada sponsor?

"—atau nama baik bapak lo tercoreng."

Saka terlihat makin gerah.

Bukan hanya Petra, tapi hampir semua orang yang dikenalnya, selalu menggunakan kartu ini untuk membungkamnya. Untuk membuatnya mengubah sikap menjadi anak baik dan santun, atau setidaknya, sedikit tidak terlalu arogan.

Ya, sama seperti publik yang mencintai The Little Prince, publik juga mencintai Raja Barata. Politisi karismatik yang sedang naik daun sejak menjadi anggota legislatif hingga menjadi Menteri seperti saat ini.

Saka tidak memungkiri bahwa ia membenci sang ayah, tapi di sisi lain, ia tahu ia harus menjaga nama baik Raja Barata yang sudah setahun menjabat Mendagri itu demi Ibu.

Apa pun ia lakukan demi Inge Barata, termasuk memenuhi permohonan sang ibu untuk tidak menentang Raja yang memiliki wanita simpanan. Semuak apa pun Saka, ia tutup mulut demi Inge.

"Oke, Ka? Gue ulangi : selain harus jaga image lo, elo juga harus jaga nama baik bapak lo. Jadi sedikit senyum dan keramahtamahan itu wajib. Gue nggak peduli sekalipun senyum lo palsu atau jiwa lo bakal diseret ke neraka setelah elo senyum, pokoknya selama elo nggak ulangi lagi Tendangan Halilintar atau Tapak Monyet atau apa pun itu, kita semua aman. Lo butuh fresh start, Ka, mulai semuanya dari awal."

Saka melipat tangan di depan dada dengan gestur mengantuk.

Petra merentangkan lengan kirinya ke kursi belakang, diambilnya sebuah paper bag cokelat dan diletakkannya kantung itu ke atas paha Saka. "Nih, makan dulu, gue tau elo belom makan dari selesai tanding. Gue nggak mau pundi-pundi uang gue jadi kurus - letoy terus ditinggalin sponsor."

Kebetulan saja mata Petra melirik sepatu yang dipakai Saka, dan pria berambut klimis itu langsung memekik ngeri.

"Satu lagi, Ka. Bisa-bisanya elo pake Nike?! Kalo sampai sponsor lo tau elo pake merk saingan, elo bisa dituntut!"

Saka merobek paper bag dan mengeluarkan setangkup roti tawar yang sudah dingin. Digigitnya roti yang bagian tengahnya telah diolesi mentega dan taburan gula pasir itu. Saka tidak bisa memasak apalagi baking, tapi ia bisa tahu kualitas mentega murahan atau mentega mahal melalui aroma yang menguar dari roti ini. Petra jelas memakai mentega murahan. Dan rasanya pun tidak enak, tapi Saka tidak ambil pusing, mulutnya mengunyah dengan cepat seakan roti itu adalah makanan terakhir di muka bumi. Ia sudah sangat kelaparan sejak pertandingan selesai.

"Atlet kayak lo nggak seharusnya makan makanan sampah," Petra mendecak sinis memandangi cara makannya yang rakus. "Cari pacar lah, Ka, biar ada yang ngurusin lo. Sama si Aurel udah bagus-bagus pacaran lama, malah putus. Sama si Nola Bahenol juga, udah mana cakep, seksi, pinter masak dan bisa nerima mulut gembok elo apa adanya, malah lo anggurin sampe dia lari ke cowok laen. Udah lumayan lama lo jomblo. Udeh sana, nyosor aja cewek-cewek yang ngantri jadi pacar lo. Heran gue, sebenernya apa sih yang lo mau?"

Saat ini yang Saka mau hanya melahap roti lapisnya dalam tenang.

"Kriteria cewek lo sebenernya yang kayak gimana sih, Ka?" Petra masih memekik. "Yang cakep, yang seksi, yang bego-bego yes papa, sampe yang pinter calon pengacara udah pernah lo cicip. Terus kenapa putus, sih? Haram jadah kalau sampe gue harus ngurus lo seumur hidup!"

Saka masih mengunyah rotinya dalam diam.

"Woi! Jawab dong. Apa lo gue kenalin aja sama si Astrid sepupu gue. Udah kegatelan dia pengen gerayangin badan lo."

Masih diam.

Detik demi detik berlalu dan tidak ada suara lain di mobil ini selain suara kunyahan mulut Saka.

"Capek gue ngomong sama tembok." Kabar baiknya, akhirnya Petra ikut diam sepanjang sisa perjalanan.

***

Mobil meluncur di sepanjang aspal halus memasuki gerbang perumahan town house mewah Akasia Residence, terus berbelok berliku-liku, melewati deretan rumah mewah dengan design serupa, hingga sampai di rumah 14A yang berada tepat di ujung jalan. Sudah pukul sebelas malam lebih, jelas tidak banyak aktivitas di sepanjang jalan kompleks mewah ini, kecuali di depan carport 14A milik Saka.

"Great," Saka mendesah capek melihat pemandangan di depan sana.

Sosok Pak Jayaprana tengah berdiri linglung di depan carport rumahnya. Dan terjadi lagi, kalau kata lagu Noah. Dari semua rumah yang bisa disinggahinya di komplek ini, Pak Jaya selalu memilih rumahnya.

"Urusin ya, Pet, gue mau langsung tidur," Saka melepas sabuk pengaman. Dari raut wajahnya, terlihat ia sudah begitu terbiasa dengan kehadiran salah satu penghuni Akasia Residence yang sama sekali tidak memiliki hubungan keluarga dengannya itu.

Petra melenguh bosan sambil mematikan mesin mobilnya. "Heran gue, kenapa keluarganya nggak masukin RSJ aja, sih? Ngerepotin orang aja."

Saka tidak menyangkal bahwa ia juga pernah memikirkan hal yang sama. Satu - dua kali, ia masih bisa memaklumi. Tapi belakangan ini kebiasaan Pak Jaya menjadi semakin rutin. Setiap hari, bapak tua itu mendatangi rumahnya, membawa kantong kresek berisi entah apa, menunggu berjam-jam di depan carport, lalu langsung memeluk dan memanggil Saka dengan nama Bayu.

Benar saja. Baru beberapa detik Saka turun dari mobil Petra, Pak Jaya langsung menoleh dan tersenyum lebar kepadanya.

"Bayu! Kamu sudah pulang." Pak Jaya berlari kecil siap menyambut Saka.

Tapi Petra melesat cepat dan menghalangi Pak Jaya dengan menahan kedua lengannya. "Pak, Pak, sadar, Pak. Ini bukan rumah Bapak. Pulang, Pak, udah malem."

Pak Jaya meronta berusaha melepaskan tangan Petra, kedua lengannya terulur hendak menggapai Saka yang berjalan begitu saja melewatinya. Berulang kali bibir Pak Jaya memanggil nama Bayu.

Saka tidak menggubrisnya. Juga tidak terlalu peduli bagaimana Petra menangani masalah ini. Biasanya, putra Pak Jaya akan datang menjemput sambil terus meminta maaf. Atau kalau tidak, Petra sendiri yang akan membawa Pak Jaya dan mengantar bapak itu pulang ke rumahnya yang hanya berbeda satu blok di belakang sana.

Apa pun itu, Saka sudah terlalu lelah untuk peduli.

Ia melewati carport dan perkarangan depan rumahnya yang gersang, lalu membuka pintu dan masuk ke dalam rumah.

Namun, ada pemandangan yang tiba-tiba saja menyita perhatiannya sesaat sebelum menutup pintu.

Saka mengernyit di balik jendela pintu. Tatapannya melewati pemandangan Petra yang sedang bersusah payah menggandeng Pak Jaya masuk ke mobil, menuju pemandangan halaman rumah depannya yang terang berderang. Rumah 14B.

Rupanya hari ini ia resmi memiliki tetangga baru.

Memang sudah dua hari belakangan ini truk besar terus mondar-mandir memindahkan barang ke sana, namun Saka tidak pernah melihat rupa penghuni barunya karena hampir setiap pagi hingga sore ia tidak pernah berada di rumah.

Sekilas ia mengintip pada pot-pot tanaman yang memenuhi perkarangan depan hingga tangga pintu. Rumah itu kelihatan asri. Bertolak belakang dengan pemandangan depan rumahnya yang gersang dan berdebu.

Kemudian Saka menutup kembali kain gorden dan berbalik pergi. Dengan latar belakang suara mesin mobil Petra yang sudah mengangkut pergi Pak Jaya.

***

TENG!

TENG!

TENG!

Saka menggeretakkan gigi menahan geram.

Terhitung dua belas kali suara teng terdengar dari jam lonceng tua milik rumah di sebelah kirinya. Suaranya begitu kencang sampai-sampai menembus dinding perumahan yang konon salah satu termewah di Jakarta ini.

Saka bertanya-tanya apa yang ada di otak Om Hendro dan Tante Tika—suami istri yang tinggal di rumah sebelah—sampai harus mengoleksi jam lonceng tua yang suaranya bisa membangunkan orang mati ini, dan mengapa mereka bisa tidak merasa terganggu dengan suara teng-nya yang ber-teng setiap satu jam sekali ini!

Pak Jaya, lalu jam lonceng sialan ini. Mungkin ada baiknya Saka pindah rumah. Ke apartemen atau ke hotel sekalian.

Toh, rumah ini tak lebih dari bangunan mewah ukuran 10x20 yang jarang ia tempati. Lihat saja perabotannya yang masih mengilap. Lemari bajunya yang hampir kosong. Juga peralatan dapurnya yang hampir masih perawan karena hanya disentuh jika Saka ingin membuat mi instan.

Ia membeli rumah ini—dengan penghasilannya sendiri—semata hanya untuk memenuhi permintaan Inge yang ingin melihatnya berumah tangga.

Iya. Berumah tangga.

"Siapin rumah dulu, Ka. Calonnya belum ada nggak pa-pa, nanti juga ada."

Dan Inge sudah memintanya saat Saka baru berusia 20 tahun. Pemain basket nasional yang sedang bersinar.

Tentu saja Saka tidak sanggup menolak permintaan sang ibu walau ia tahu berumah tangga tidak ada dalam agenda hidupnya, juga tidak ada dalam peta masa depannya.

Tanya saja pada semua mantan pacarnya.

Queeny.
Andien.
Shella.
Wendy.
Aurel.
Nola.

Mereka yang menolak menoleransi sikap dinginnya, yang bosan dan lelah menerima watak acuh tak acuhnya, lalu satu per satu memutuskan pergi.

Jangankan berumah tangga, pacaran saja Saka hampir tidak berselera. Buang-buang waktu.

TENG!

Mata Saka terpejam menahan kesal. Ia baru saja selesai mandi dan ingin tidur dengan tenang, tapi suara itu membuat kepalanya seperti mau pecah.

Handuk basah dilemparnya begitu saja ke kursi, ia melangkah ke jendela kamar dan berdiri kesal di sana, menunggu hingga suara TENG biadab itu akhirnya genap dua belas kali.

Berganti suara halus roda mobil di seberang.

Saka bergeming sesaat. Ia menunduk dan melihat dari balik kain halus gordennya—yang sudah sedikit berdebu—sebuah mobil Lexus yang baru saja terparkir di carport rumah depan.

Tetangga baru.

Saka melihat pintu pengemudi terbuka dan seorang pria turun dari sana. Jas abunya masih terlihat rapi di tengah malam begini. Sekilas, pria itu terlihat membuka pintu belakang untuk mengeluarkan tas kerja.

Lalu pintu penumpang sebelah terbuka dan seorang perempuan muda turun dari sana. Mengenakan pakaian formal seperti baru pulang kerja. Rambut pendek model bob-nya berwarna cokelat terang, langkah kakinya tampak penuh hati-hati dengan sepasang heels tinggi yang terlihat kurang nyaman.

Perempuan itu mengikuti langkah si pria menaiki tangga menuju pintu rumah. Mereka bercakap sebentar saat sang pria—mungkin suami—mengeluarkan kunci dari saku celananya.

Sesekali, suara cekikikan terdengar hangat dan akrab. Perempuan itu tertawa menutup bibirnya dengan satu tangan sementara satu tangannya lagi menepuk ringan bahu sang suami. Entah menertawakan lelucon apa. Mungkin lucu sekali.

Begitu pintu terbuka, keduanya masuk ke dalam dan entah mengapa Saka masih menonton.

Lampu rumah dinyalakan. Suasana ruang depan rumah terpampang nyata karena gorden jendela belum dipasang. Rumah dengan design yang sama persis dengan rumah Saka itu dihiasi dua jendela setinggi tembok, satu di sebelah pintu utama, dan satu lagi di lantai dua tempat kamar tidur—yang lokasinya tepat di depan kamar tidur Saka. Semua jendelanya masih polos tanpa kain apa pun.

Dan walau jarak rumah mereka yang saling berhadapan itu terpisahkan jalan besar yang muat empat mobil, tetap saja Saka bisa melihat semuanya dengan sangat jelas. Sang tetangga juga bisa melihatnya kalau mereka mau.

Pria—si Suami—itu merapat di jendela, terlihat melepaskan jas seraya mengucapkan sesuatu entah apa dengan gerakan bibir penuh antusias. Wajahnya terlihat jelas. Cukup tampan. Masih muda, mungkin sebaya dengan Saka. Rambutnya rapi dengan belahan samping yang klimis dan postur tubuhnya proposional walau tidak setinggi Saka.

Saat sang suami masih terus mengucapkan sesuatu yang sepertinya sangat seru, sang istri datang dan ikut merapat ke samping jendela.

Masih tidak jelas mengapa Saka masih saja menonton.

Tidak biasanya ia ingin tahu urusan orang lain.

Pasangan suami istri itu bercakap-cakap, lalu sang suami pergi sebentar dan sang istri berputar hingga wajahnya tertangkap jelas oleh Saka.

Wajahnya cantik dengan tulang pipi yang tegas. Warna merah di bibirnya cukup berani, sangat berani sebenarnya, mengingatkan Saka pada Nola yang gemar sekali memulas gincu merah merona. Riasan wajah si Istri cukup tebal. Tubuhnya—percayalah Saka mengamati dengan sopan—berlekuk indah dengan kemeja kerja ketat yang membuat Saka bertanya-tanya apakah dia bisa bernapas.

Lucunya, Saka bisa melihat walau sang Istri berparas cantik serta bertubuh indah, bahasa tubuhnya justru kelihatan sangat canggung.

Perempuan itu berulang kali merapikan rambut dengan menyelipkannya ke balik telinga, tersenyum gugup melipat tangan di depan pinggang, lalu ganti melipatnya ke belakang, dan tersenyum gugup begitu sang suami datang kembali sambil membawakannya gelas minuman.

Kenapa Saka masih saja menonton?

Pasangan suami istri itu saling mendentingkan gelas dan meneguk minumannya dengan bertatapan. Tatapan yang terlalu intens, sampai-sampai Saka merasa malu sendiri karena sudah bertingkah seperti tukang intip mesum.

Sang suami kembali mengucapkan sesuatu seusai meneguk red wine-nya, dan saat sang istri tersenyum sedikit malu-malu sambil berjalan pelan menghampirinya, tubuh kedua pasangan itu saling berdekatan, meski tidak menempel, dan si Istri mengucapkan sesuatu dengan tatapan yang sangat mendamba.

Firasat Saka mengatakan, sudah saatnya ia berhenti menonton.

Tapi, sial, tubuhnya malah tetap di sana.

Si Suami yang kini hanya terlihat punggungnya, seperti mengucapkan sesuatu sambil memasukkan satu tangannya ke dalam saku celana. Mengeluarkan ponsel dan menunduk seperti membaca pesan.

Lalu si Istri yang tiba-tiba saja tidak gugup lagi, menutup perlahan layar ponsel di tangan sang suami, menyentuh lengan pria itu dengan lembut, dan semakin maju merapatkan tubuh mereka.

Si Istri menjinjitkan kedua kakinya untuk mencium bibir si Suami, dan si Suami merangkul mesra pinggang sang istri untuk menyambut kecupan bibirnya.

Saka tahu pertunjukan sudah usai. Ia menghela napas dan mundur dari jendela. Sudah terlalu banyak yang ia tonton.

Tidak pantas.

Kain gorden yang sedikit berdebu itu pun mengayun ringan saat Saka menutupnya.

Saka merubuhkan tubuh ke atas bed cover tempat tidurnya yang tidak pernah dirapikan, lalu tertidur pulas hanya beberapa menit setelahnya.

***

TENG!

TENG!

TENG!

Jam bangsat!

Saka menarik napas panjang dengan rahang mengeras siap marah. Kedua matanya masih terpejam erat, saat suara teng itu bergema enam kali pertanda pukul enam pagi telah tiba.

Sinar matahari yang menembus gorden putihnya seakan ikut memaksanya untuk segera meninggalkan tempat tidur.

Tapi bukan itu yang berhasil membuatnya beranjak. Melainkan suara bel pintu.

Saka melenguh panjang dan menyeret tubuhnya untuk duduk di tepi tempat tidur. Kepalanya tertunduk. Bahunya lunglai. Mungkin ada baiknya ia menghimbau putra Pak Jaya—yang sampai detik ini ia tidak ingat siapa—untuk mulai membawa ayahnya ke dokter. Tidak mungkin ia bisa tahan meladeni Pak Jaya seperti ini setiap hari.

Bel masih berdering nyaring dan Saka akhirnya menyeret jiwa anti sosialnya meninggalkan tempat tidur. Toh, bel itu tidak akan berhenti berdering sampai ia membuka pintu.

Saka meninggalkan kamar tidur dan menuruni tangga menuju pintu, di dalam kepalanya sudah terbayang sosok Pak Jaya yang berdiri tersenyum lebar sambil memanggilnya Bayu.

Menyebalkan sekali. Tidak bisakah manusia-manusia di komplek rumah ini membiarkannya hidup tenang?

Dengan sisa-sisa nyawa yang belum terkumpul, Saka meraih kenop pintu dan menariknya.

Keningnya berkerut dan alisnya bertautan, begitu melihat sosok asing yang bukan Pak Jaya berdiri di sana. Dua orang.

Sebenarnya tidak asing-asing amat karena Saka baru saja melihatnya tengah malam kemarin. Mengintip, lebih tepatnya lagi.

"Hai!" Si Suami tersenyum sopan kepadanya. Tapi senyuman itu tidak bertahan lama. "Eh, sori, kebangun ya? Kita ganggu dateng sepagi ini?"

Saka menyipitkan matanya yang masih mengantuk. Lalu menunduk untuk memeriksa tubuhnya sendiri. Barulah ia sadar, ia menyambut tamu rumahnya dengan setengah telanjang dan hanya mengenakan boxer.

"Tadinya kita mau dateng siangan, tapi takutnya elo udah cabut latian basket." Belum apa-apa, si Suami sudah sok akrab dengan elo-gue. "Tapi kayaknya kita malah kepagian ya? Sori banget, ganggu tidur lo."

Saka memejam mata dan memijit tulang hidungnya tanpa menjawab. Satu lengannya menggantung santai di kusen pintu, memberi vibe cepetan-ngomong-sebelum-gue-tutup-pintu.

"Gue Odi," Suami mengulurkan tangan. "Odi Adiyatama. Tetangga rumah depan yang baru pindah."

Saka menatap malas-malasan. Sedikit pun tidak tertarik menyambut uluran tangannya.

Odi, yang di pukul enam pagi ini saja sudah mengenakan setelan jas rapi serta beraroma cologne mahal, menarik kembali uluran tangannya dengan senyum tipis.

Kemudian Odi menoleh ke perempuan di sampingnya. "Ini Samara, istri gue."

Barulah rasa kantuk Saka menguap pergi.

Hah ...?

Ia mengerjap pada perempuan di samping si Suami itu. Si Istri.

Rambutnya hitam legam, panjang melewati bahu.

Wajahnya lembut dengan dagu tirus.

Riasan wajahnya hanya sekadar pelembab bibir.

Tubuhnya cenderung kurus, bukan tipe berlekuk-lekuk bagai gitar Spanyol seperti yang Saka lihat dari jendela kamar tidurnya.

Saka tertegun.

Apa Odi sedang bercanda atau Saka terbangun di dimensi lain? Apa operasi plastik bisa selesai dalam waktu enam jam? Atau ia sedang menyaksikan atraksi face off film Ayat-Ayat Cinta 2 di mana kedua perempuan itu bertukar wajah dengan begitu ajaibnya?

Perempuan ini, yang tidak bertubuh gitar dan tidak berambut pendek bob warna cokelat ini? Dia bukan si Istri yang kemarin.

Bukan wanita berkemeja ketat semalam yang meneguk red wine lalu bercumbu dengan si Suami.

"Samara." Dengan senyum tipis yang terlihat sangat tenang, perempuan itu mengulurkan tangan. Sorot mata serta bahasa tubuhnya sama sekali tidak terlihat gugup seperti si 'Istri' kemarin malam—atau mungkin lebih baik Saka menggantinya dengan sebutan si Perempuan Kedua?

Perempuan di depannya ini, si Istri yang sesungguhnya, memiliki bahasa tubuh yang terlihat tenang, percaya diri, serta sangat anggun.

Saka mengernyit bingung.

What the actual fuck?

***

Pokračovat ve čtení

Mohlo by se ti líbit

834K 79.4K 51
Ini adalah Kisah dari Kila. Kila Prastika yang ternyata memiliki seorang bapak kos yang kebelet kawin ... "Nikah sama saya, kosmu gratis seumur hidu...
598K 12K 7
Dalam dunia di mana sebagian manusia adalah mutan yang memiliki belahan jiwa, seorang lelaki menemukan belahan jiwanya dalam sosok perempuan yang men...
22.9K 2.1K 18
𝐅𝐫𝐨𝐦 𝐓𝐡𝐞 𝐃𝐚𝐫𝐤 𝐒𝐢𝐝𝐞 || 𝐌𝐢𝐥𝐞𝐚𝐩𝐨 Mile Phakphum Theerapanyakul, "Kami ini dua yang menjadi satu. Satu yang terdiri dari dua. Aku ta...
6.6K 1K 2
Mingyu polisi bodyguard AU Antinomi : Dua hal yang bertentangan, namun tak terpisahkan. *** Bagi Maura, berhasil kuliah di London adalah babak baru...