Diana, Sang Pemburu Badai

Por Winnyraca

143K 33.5K 2.5K

Tamat. Ayahnya terbunuh, dia sendiri mengalami kekerasan serta harus kehilangan tunangan. Namun, Diana tak ma... Más

1. Permulaan
2. Anak Kunci
3. Tyo
4. Penjelasan
5. Yang Bisa Dia Percaya
6. Sang Wartawati Genit
7. Pria Dari Jauh
8. Ponsel Ibu
9. The Escort Lady
10. Ada Apa Dengan Saskia?
11. Deposit Box
12. Penjelasan Ibu
13. Target
14. Tyo dan Yoyo
16. Diincar
17. Begundal Tampan
18. Penguntit
19. Tyo Yang Berdedikasi
20. Apakah Dia Ditolak?
21. Saya Yang Lebih Dulu Jatuh Cinta
22. Preman Kegelian
24. Teman Yang Galak
25. Teruslah Bersamaku Apa Pun Situasinya
26. Membantu Menenangkan
27. Politisi Yang Tidak Sebersih Itu
28. Memeriksa Fakta
29. Motif Hadi Tanusubroto
30. Menyingkirkan Keraguan
31. Alasan Sebenarnya
32. Kebimbangan Sisa Mas Lalu
33. Agenda Rahasia Hadi Tanusubroto
34. Mertua Berto
35. Pacar Terkeren
36. Kekecewaan Tyo
37. Sikap Tyo Yang Aneh
38. Kekasih Yang Cerdas
39. Berhadapan Dengan Bram
40. Benang Kusut
41. Rencana Utomo
42. Delapan Tahun Lalu
43. Keamananmu Prioritasku
44. Kekasih Yang Mengenalnya Dengan Baik
45. Lena
46. Genting
47. Saran Lena
48. Mewawancara Herman Bulaeng
49. Tindakan Bram
50. Pembunuh
51. Pengorbanan Tyo
52. Hanya Tiga Mayat
53. Selamat
54. Siapa Yang Menolong Tyo?
55. Bambang
56. Membaca Taktik Hadi
57. Gue Marah, Jo!
58. Rencana Utomo
59. Informasi Yang Menimbulkan Harapan
60. Memancing Di Air Keruh
61. Diana Dalam Bahaya!
62. Bumerang
63. Diana-Pemburu Badai
64. Mengungkap Tabir Kekuasaan
Akhir Kisah-Awal Baru

15. Puber Kedua

2.6K 617 53
Por Winnyraca

Met pagi!

Cekidot.

BAGIAN LIMA BELAS: PUBER KEDUA

Canggung, Diana berdeham. "Uhm ... itu agak overrated, sih, tapi makasih."

Tyo mengangguk, ekspresinya biasa saja seperti tidak merasa kalau sudah membuat seorang gadis hampir pingsan karena melayang. "Tolong drop saya di sisi jalan yang agak gelap situ, saya akan menyusul Mbak dengan jalan kaki. Hati-hati saat masuk ke rumah, sebelum Mbak masuk, pastikan pintu dalam keadaan persis seperti saat ditinggal tadi. Saya akan memantau dari jarak enggak terlalu jauh, dan kembali ke tempat saya setelah memastikan kalian aman."

"Mas Tyo enggak mau saya antar aja? Jauh lho balik ke tempat Mas?" Diana bertanya heran.

Tyo menggeleng. "Saya jauh lebih tenang kalau melihat Mbak Diana sudah aman di rumah dulu sebelum pulang," jawabnya.

Kehangatan menguasai benak Diana. Rasanya menyenangkan dijaga dan diperhatikan begitu. Sebuah keinginan untuk mengukur kadar perhatian Tyo muncul. Dia menghentikan mobil di tempat yang ditunjuk Tyo, dan menoleh pada pria yang sedang mencopot sabuk pengamannya. "Uhm ... sebelumnya, boleh saya tanya?"

Tyo menoleh dan mengangguk. "Silakan."

"Uhm ... Yoyo itu adik sepupu Mas Tyo? Kalian dekat?"

Tyo kembali mengangguk. "Cukup dekat, tapi jarak usia kami lumayan jauh."

Diana mengerjap cepat. Waduh ... jarak umur yang jauh? "Oh ... memangnya dia umur berapa?"

Tyo mengingat sebentar. "Dua-dua tahun ini."

Wadaw! Hampir tujuh tahun lebih muda darinya! Diana langsung merasa seperti mbak-mbak genit yang suka daun muda. Tapi, sekarang, itu bukan masalah, kan?

"Masih muda, ya?" Diana berkomentar, garing.

"Iya. Makanya saya sempat merasa dia kurang sopan karena memanggil Mbak Diana langsung dengan nama." Kalimat Tyo terdengar serius.

"Uhm ... saya yang minta." Diana buru-buru menjelaskan.

"Begitu?"

"Maksudnya, supaya akrab. Saya mau pedekate."

"Oh."

Diana mengerutkan kening. Kenapa tidak ada perubahan pada ekspresi Tyo? Masih biasa saja tanpa ada tanda-tanda....

"Boleh, Mas?" tanyanya, hati-hati.

Kali ini Tyo yang mengerutkan kening. "Boleh, apa?" Dia balik bertanya.

Diana tersenyum gugup. "Boleh saya pedekate sama Yoyo?"

Tyo mengerutkan kening, heran. "Bukan saya yang bisa bilang boleh atau enggak. Kalau dia mau, silakan."

Diana melongo. Tidak ada keberatan? Cemburu, gitu? Terus, perhatiannya ...?

Tyo mengangguk untuk berpamitan, dan turun dari mobil. Untuk beberapa saat Diana menggenggam roda kemudi sambil berpikir. Kesadaran mendatanginya saat sosok Tyo menjauh. Astaga ... ada apa dengan dirinya? Kenapa dia jadi bodoh begini? Kenapa dia harus bertanya pada Tyo soal keinginannya mendekati Setyo? Dalam kapasitas sebagai apa? Sepupu? Sejak kapan sepupu dimintai izin soal pedekate atau apalah itu?

"Bego! Bego! Bego!" gerutunya sambil memutar roda kemudi dan meneruskan perjalanan yang tinggal sedikit. Dia tahu Tyo mengikuti tak terlalu jauh dengan berjalan kaki karena bisa melihat sosok pria itu—yang tampak seram—berjalan di sepanjang trotoar. Malu banget! Ada apa dengannya?

******

"Jadi, siapa yang sudah mengacau?" Bram bertanya kepada asistennya yang memasuki ruangan dengan tablet di tangannya.

Tina, sang asisten, membaca catatannya. "Variabel tak terduga, Pak. Gadis yang dipilih itu biasanya memiliki tingkat keberhasilan tinggi. Dia juga selalu mendapat misi sulit, dan saat ini tidak sedang memiliki masalah. Jadi, tidak diketahui alasan dia bunuh diri," jelasnya.

"Apa dia punya pacar?"

"Punya, tapi kami sudah menelisik pergaulan dan juga keluarganya, tidak ada yang mengetahui alasannya juga. Mereka bilang, gadis itu tidak menunjukkan tanda apa pun."

"Apa ada kemungkinan dia membicarakan tentang pekerjaannya kepada keluarga?"

Tina terlihat ragu sejenak. "Tidak. Tapi, ada yang kelihatan lebih berpotensi masalah."

Bram langsung mengangkat wajahnya dan mengalihkan pandangan dari tabletnya kepada sang asisten. "Masalah?"

"Pacarnya mengatakan kalau sempat mengantarkan dia ke sebuah rumah makan untuk menemui wartawan."

Hening. Bram menyandarkan punggungnya dan mendengkus keras."Wartawan? Dia bukan artis, bukan selebriti, tapi menemui wartawan? Buat apa?" tanyanya, curiga.

"Orang kita sudah tanya siapa wartawan yang dimaksud, dan juga tujuan dari pertemuan itu, tapi pacar gadis itu bilang tidak tahu. Sekarang kita sedang berusaha menelusuri lebih jauh, mohon diberi waktu, Pak," jawab Tina, sigap.

Bram tercenung. "Tunda dulu rencana. Saya akan bicara dengan kolega kita. Buat acara tidak resmi, misalnya, menonton film bersama dan atur pertemuan makan malam sesudahnya."

"Baik, Pak."

"Tina."

"Ya, Pak?"

"Cek siapa wartawan yang dimaksud, dan atur makan siang saya dengannya."

Tina langsung mengerutkan kening. "Bapak langsung yang ingin menemuinya?"

Bram mengangguk. "Saya ingin menilai karakternya, jangan sampai kejadian bertahun lalu terulang. Saya benci kalau harus melihat orang hebat jatuh hanya karena berseberangan dengan kita."

Tina masih terlihat ragu, tapi kemudian mengangguk. "Baik, Pak."

"Pergilah."

Tina langsung beranjak pergi meninggalkan Bram yang merenung sendiri. Jemarinya mengetuk pegangan kursi sementara keningnya berkerut dalam. Kenapa dia merasa dejavu?

*******

Diana mulai mengetik di laptopnya sambil sesekali melihat catatan yang dia buat berdasarkan bukti yang diberikan Bambang. Dia mengetukkan pensilnya ke meja sambil berpikir keras. Apa kira-kira alasan Benjamin Mangkudilaga harus dijebak? Apakah karena dia vokal, bukan hanya berani mengkritik pemerintah, tapi juga tak segan mengoreksi rekan seperjuangannya di dewan? Apakah karena objektivitasnya, yang membuatnya sering berseberangan bahkan dengan orang-orang dari partainya sendiri?

Atau ... karena ada kemungkinan dia akan dicalonkan menjadi presiden? Apakah ada pihak tertentu yang merasa kalau bisa saja pria itu menang?

Diana membuka halaman mesin pencari dan mengetikkan nama Benjamin Mangkudilaga. Mantan dosen jenius dan praktisi ekonomi dengan banyak prestasi, Benjamin pernah mengalami tekanan dari pemerintah di kekuasaan lama. Meski demikian, sikapnya yang tak tergoyahkan membuat banyak orang mendukungnya, sehingga dia bisa bertahan meski mendapat serangan dari segala arah. Nasionalismenya tinggi, dia menjunjung kemajemukan dan sering didiskreditkan sebagai komunis karena menolak menunggangi isu SARA. Baginya, bekerja keras adalah harga mati, meski itu berarti dia dimusuhi oleh mereka yang hanya ingin mencari keuntungan lewat jabatan.

Saat ini, Benjamin termasuk pihak yang menentukan untuk digolkannya undang-undang pertambangan, apakah ... karena itu dia menjadi target?

Cepat Diana mengetikkan kata kunci, berbagai berita tentang RUU pertambangan dan perminyakan pun muncul memenuhi layar. Dia langsung mencetak artikel-artikel tersebut dan mempelajarinya dengan teliti. Membuat beberapa catatan, dan buntu saat mencoba mengambil kesimpulan tentang siapa yang menentang Benjamin dan partainya. Kesal, Diana meraih kotak rokok dan bangkit dari kursi. Dia membuka jendela kamar lebar-lebar, tapi kemudian membatalkan niatnya merokok. Ibunya sangat tidak suka dia merokok, dan mengetahui kalau beliau sedang dalam kondisi tidak baik karena ancaman yang diterimanya, Diana tak tega menambah bebannya dengan melakukan sesuatu yang dibenci olehnya.

Dihelanya napas dalam-dalam, diisinya penuh paru-parunya dengan udara malam yang dingin. Ingatannya melayang kembali pada ayahnya, Saskia, dan juga Bambang. Dia mengerutkan kening. Kenapa seperti ada bagian yang hilang, di saat bersamaan, ada semacam koneksi?

Bunyi notifikasi ponsel menarik perhatiannya. Dia berbalik, kembali ke meja, mengambil ponsel, dan membaca pesan yang masuk. Sebuah senyum terulas begitu saja melihat siapa pengirimnya.

"Besok saya bebas, silakan beri tahu saya kalau butuh bantuan. Tyo."

Oh ya ampun ... kenapa seperti ada kupu-kupu beterbangan di perutnya gara-gara membaca pesan ini? Rasanya seperti yang sering digambarkan dalam novel-novel romantis. Padahal, ini Tyo, polisi preman yang sedang menyamar dan bertampang sangat menakutkan, bukan Setyo yang ganteng dan seksi. Uhm ... apa dia boleh meneruskan niatnya mendekati Setyo? Tapi, pria itu jauh lebih muda, kenapa bukan Tyo saja? Tapi ... Tyo lajang, bukan? Kalau lajang, enggak pa-pa, deh. Biarpun seram dan rada mengenaskan begitu, Diana ingat kalau aslinya Tyo itu ganteng dan malah, lebih seksi dari Setyo.

Aih ... ada apa dengannya? Kenapa dia malah membandingkan dua pria itu? Jangan-jangan mereka malah sama sekali tidak tertarik kepadanya? Dia saja yang kege-eran karena puber. Eh, puber? Diana mengerucutkan bibirnya. Gawat! Umurnya belum tiga puluh tapi sudah mengalami puber kedua, kan, keterlaluan?

Sebuah pesan kembali masuk.

"Setelah saya pikir, akan sulit buat saya untuk selalu ada setiap saat. Bagaimana kalau Mbak Diana belajar bela diri? Setidaknya untuk melindungi Mbak Diana dan memberi waktu sampai Mbak bisa melarikan diri kalau ada apa-apa?"

Diana ternganga. Belajar bela diri? Berarti ... ada sesi rangkul-rangkulan dan banting-bantingan? Tanpa pikir panjang dia langsung mengetikkan balasan.

"Mau, Mas. Boleh. Kapan bisa ajari saya? Secepatnya?"

BERSAMBUNG

Kayak biasa, buat yang pengen baca cepet, kalian bisa langsung ke Karyakarsa.  Di sana udah sampe bab-bab terakhir loh.

Sampe ketemu lagi di bab berikut, jaga selalu kesehatan,  kebersihan,  dan selalu sayangi semua yang ada di sekitar kalian ya.

Makasih banyak buat ngikutin cerita ini.

Winny

Tajurhalang Bogor 8-8-22, publish ulang 23 Oktober 2022

Seguir leyendo

También te gustarán

3.8M 125K 33
SUDAH TERBIT DAN TERSEDIA DI GRAMEDIA Sudah ditamatkan di wattpad sejak 2014. Blurb: Celovia Andien Damarsandi "Kakek akan memberi 35% saham peru...
48.9K 4.3K 17
[Cerita ini berdiri sendiri] Ada banyak hal yang Ara sukai, termasuk laki-laki pendiam yang tidak banyak bicara. Tapi, hanya sekedar menyukai secara...
261K 2.8K 41
Populasi rekomen cerita yang menurut gue bagus. Mungkin kita bisa saling bertukar informasi tentang populasi cerita bagus di wattpad ? Sekedar iseng...
51.5K 7.9K 30
cerita suka-suka yang penting cerita wkwk