If I had Hope, it would be You

By rmyouniverse

272 19 3

Ethan Shamas hanyalah bocah lelaki biasa yang harumnya seperti campuran ragi dan kayu manis, pandai merangkai... More

Let Me Guide You to Osamore
Wishing on a Sky

On the Humber, on the Benz

28 3 3
By rmyouniverse

Apa yang lebih menyenangkan daripada diberi upah susu kedelai oleh Bibi Gill? Sampai sekarang Ethan belum menemukan lawan sepadan untuk mengalahkan berkat Tuhan yang satu itu. Sekalipun itu Kharqa yang bernyanyi? Tidak tahu, sih. Kendati diam-diam ia mengagumi suaranya dari jok kemudi, lelaki yang ikut mengisi coretan buku harian Kharqa nyaris seumur hidupnya itu masih menunggu sesuatu; semacam ledakan, barangkali? Ia yakin seratus persen jika sahabatnya mampu melakukan lebih dari sekadar nyanyian ketika bosan di perjalanan. Tidak bermaksud hiperbolis, tetapi demi susu kedelai buatan Bibi Gill (lagi-lagi), semua orang harus mendengar Kharqa bernyanyi. Suatu saat nanti, ketika akhirnya gadis itu setuju untuk menunjukan bakatnnya—itulah yang membuatnya menunggu.

"When I was just a little girl

I asked my mother, what will I be

Will I be pretty, will I be rich

Here's what she said to me

Que sera, sera

Whatever will be, will be

The future's not ours to see

Que sera, sera

What will be, will be."

"Tidak mau punya toko roti saja?" tawarnya menyambung maksud lagu yang Kharqa nyanyikan. "Kau bisa makan cinnamon roll setiap hari, semaumu."

"Kedengarannya seru, sih, tapi tidak, ah. Aku ingin jadi saudagar tanah saja seperti Nyonya Kady."

Ah, Nyonya Kady. Wanita itu memang tidak tinggal di kompleks tempat mereka tinggal, tetapi sebagian besar tanah dan rumah yang disewakan di sana adalah milik wanita tersebut—termasuk peternakan kuda di dekat sekolah, tempat keduanya menghabiskan musim panas dengan pekerjaan paruh waktu. Sebenarnya mereka bisa bekerja di rumah makan atau kebun stroberi milik paman Ethan. Namun, Kharqa lebih memilih peternakan kuda yang mengizinkannya bermain dengan bayi kuda selepas jam kerja.

"Ethan, tau tidak?" serunya menepuk pinggang sang kawan dari belakang. "Terkadang, ketika kau mengikuti kelas tambahan, aku sering sekali bertemu dengan Nyonya Kady di jalan. Dia selalu memberiku tumpangan pulang, lho! Lalu aku juga diberi sekantung permen jelly, Nyonya Kady bilang dia sangat suka makanan manis. Pantas saja, ya, aroma kabin mobilnya seperti toko manisan yang ada di kota, yang pernah kita datangi itu, persis sekali." Kurva senyumnya tertarik menyentuh mata, cukup dengan membayangkan bagaimana manisan itu menciptakan sensasi manis yang meletup-letup lucu di mulutnya sukses membawa Kharqa terbang hingga lautan kosmik.

Mendengar itu, Ethan merasa takjub setengah iri. "Kau diantar pulang dengan Benz? Hebat sekali."

Kharqa mengangguk meski sahabatnya tidak mungkin melihat. Ia setuju, tidak ada bising suara kerikil maupun rem yang berderit ngilu, bokongnya juga tidak akan sakit karena duduk di bantalan jok yang keras saat melewati jalan rusak. Namun, "Bukannya aku tidak suka dibonceng dengan sepeda, lho. Naik Benz memang nyaman, tetapi rasanya lain kalau tidak ada kau ... aku jadi tidak bisa mengobrol seperti ini."

"Seperti apa?"

Kharqa kehilangan kata-katanya. Ia benar-benar tidak mengira pernyataannya akan mendapat umpan balik. Niatnya agar sahabatnya tidak merasa tersinggung dan berkecil hati, dan nyatanya lelaki itu pun tidak merasa terganggu sama sekali. Alih-alih tersinggung, Ethan malah terkejut dengan pernyataan yang gadis itu lontarkan. Beruntung Kharqa tidak bisa melihat pipi tomatnya dari belakang sana.

"Ya ... obrolan teman sebaya. Astaga, mana mungkin aku membahas kentut segar pagi hari, bukan? Hahaha." Aduh, dasar konyol.

Entah karena kecewa atau sibuk merutuki ke-kikuk-kan masing-masing, yang jelas suasananya berubah canggung setelah itu. Mereka yang awalnya berisik sepanjang perjalanan, kini membiarkan suara kerikil serta derit rem aus terdengar lebih nyaring dari deru napas.

Sampai akhirnya sepeda Humber milik Ethan memasuki lahan parkir di belakang sekolah, ia berkata sembari membantu Kharqa turun, "Cepat, nanti kau terlambat."

"Sampai bertemu saat makan siang?" Well, itu memang pertanyaan. Sebab terkadang, Ethan tidak ada di kantin untuk menghabiskan makan siang bersamanya. Entah karena mengerjakan tugas atau sekadar malas pergi, setiap saat alasannya tidak pernah sama.

Namun, hari ini Ethan mengangkat alisnya sekilas dan mengangguk. "Sampai bertemu saat makan siang," katanya yang juga sukses mengusir kecanggungan di antara mereka. Tanpa keduanya tahu, belah-belah pipi mereka merona samar dibalik punggung yang saling menjauh, pun tidak menyadari adanya sepasang mata yang memperhatikan sejak mereka tiba di sana.

Sorot mata anak itu seolah meledek dalam diam, lantas berlari menghampiri Kharqa. "Hoi! Sua, tunggu!"

Tanpa repot menoleh, Kharqa tahu siapa pemilik suara itu. Hanya satu orang yang memanggilnya begitu meski sampai bosan memberitahu kalau ia tidak menyukainya. Entah dengan cara apa lagi agar Arthur tidak menyinggung nama 'Suara'. Mengembus napas tanpa niat meninggikan nada bicara, ia berujar kalem—mengoreksi untuk yang kesekian kali, "Panggil Kharqa saja, Arthur."

Mau bagaimana pun, agaknya lelaki itu pun tidak berniat untuk menurut. Sebab, "Suara juga namamu, kan? Biarkan aku memanggilmu begitu agar namanya jadi terdengar menyenangkan."

Sayangnya tidak sama sekali. Agaknya hal ini akan jadi satu soal yang tak akan pernah selesai dibahas, jadi, "Tumben sekali kau datang lebih awal, biasanya baru sampai waktu bel berbunyi."

"Hari ini pendaftaran kontesnya, bukan? Aku tidak ingin melewatkannya dengan hukuman, tahu!"

Sejak awal, Kharqa memang tidak memberikan seluruh atensinya pada Arthur. Ia hanya memperhatikan kemana kakinya melangkah. Biar begitu, telinganya masih menangkap semua perkataan temannya dengan baik, tapi, "Pendaftaran ... kontes apa?" Apa ia melewatkan sesuatu?

"Oh, kau tidak tahu?" Memelankan laju langkahnya, ia mendapati Kharqa menggeleng ragu—masih berusaha mengingat-ingat perihal kontes yang dimaksud. "Memang baru akan diberitahukan hari ini, sih ...," jedanya hendak melambaikan tangan pada beberapa anak yang menyapa dari jauh. "... Tapi ini, kan, acara tahunan, jadi semua anak sudah tahu. Memangnya kau tidak ingat?"

"Maksudmu pekan bakat siswa?"

"Nah, itu!"

Oh, sudah mulai, ya .... "Apa kau akan menyanyi?" Meletakan tasnya sembarang di atas meja, Kharqa duduk menyerong sambil menopang kepala—menunggu jawaban sang lawan bicara.

Anak lelaki yang usianya terpaut empat bulan lebih tua dari Kharqa itu malah cengar-cengir menaikturunkan alisnya dengan tampang menyebalkan.

"Jawab pertanyaanku, bodoh!"

"Aku akan bermain biola," katanya dengan tengil yang makin menjadi-jadi. "Keren, kan? Aku tahu. Terima kasih, ya."

Asal kau tahu, saat ini Kharqa tengah berusaha menahan tangannya agar tidak melayang. Keren, memang keren. Namun, ketika mereka mengaku-ngaku sambil pasang muka tengil, Kharqa jadi ingin mengusap wajah mereka dengan pantat panci. Tentu saja itu tidak benar-benar terjadi (setidaknya untuk saat ini).

"Kau sendiri, tidak ikut?" tanya Arthur guna mengalihkan topik. Pertanyaan yang wajar sebetulnya. Sebab ia juga tahu kalau Kharqa suka menyanyi. Jadi, tidak ada salahnya, kan, mengikutsertakan diri selagi masih bisa? Pun tahun depan akan menjadi tahun terakhir mereka di sini. Ketika sudah disibukkan dengan ujian, maka tidak akan ada waktu untuk kegiatan di luar pembelajaran.

Lain halnya dengan Kharqa yang malah merasa tersudutkan, ia tersenyum kecut, membuang pandangan ke luar jendela. "Memangnya aku punya bakat apa?" tanyanya lebih pada refleksi putri sematawayang keluarga Beaumont yang terbias samar pada kaca. Memangnya apa yang bisa kulakukan tanpa melukai perasaan orang?

"Menyanyi? Entahlah, aku mendengarmu di kandang kuda, lho. Bibi, kan, tidak punya karyawan gadis selain dirimu."

"Hng ... aku tidak merasa itu hal yang spesial," katanya. "Yang suaranya lebih indah juga banyak, tahu. Nanti aku akan terlihat seperti upil." Tawa hambar itu, Arthur benci sekali. Kharqa menganggap dirinya sendiri bukan apa-apa, seakan eksistensinya tidak layak. Apa yang membuatnya sebegitu tidak percaya diri? Ia benar-benar tidak mengerti.

Barangkali, Kharqa memang tidak perlu menuangkan segalanya. Arthur juga tidak perlu alasan khusus agar dirinya bisa mengerti. Intinya, mengikuti pekan bakat itu bukanlah sebuah ide bagus—terlebih kalau sampai ayahnya tau.

Kenapa? Tolong jangan—berhenti di sana. Sekadar bertanya 'kenapa?' pun Kharqa tidak berani, seakan-akan segala bentuk suara tanya diharamkan menyapa rungu sang ayah. Gadis itu hanya perlu menurut tanpa kompromi.

Saat itu usianya baru menginjak tujuh tahun—dua tahun sejak Ibu meninggalkan rumah. Merasakan sendiri Ayah yang kerap kali memarahi ketika ia bernyanyi, menangis, bahkan tertawa dengan alasan bising yang membuatnya sakit kepala, awalnya Beaumont muda tidak ingin menarik simpul dengan tergesa. Barangkali suaranya memang menganggu, jadi dia menurut dan berusaha menjaga rumah tetap senyap. Kendati ada saat di mana ia mulai mempertanyakan mengapa Ayah membenci semua hal yang dia lakukan—tidak hanya perihal suara, tetapi nyaris segalanya. Terlepas itu baik atau buruk, mereka semua sama. Ayah tetap tidak suka. Mengembus napasnya lelah, Kharqa telat mendapati dirinya dihabisi secara perlahan oleh pikiran sendiri. Tidak, Ayah tidak jahat. Aku memang menganggu, maka berhenti dan jangan jadi durhaka.

Namun, kau juga terluka.

Aku hanya berlebihan.

Kau tahu, kan, kalau sikap Ayah tidak bisa dibenarkan?

Ayah yang membiayai hidupmu. Rumah, sekolah, makanan—

Lantas, kenapa kita sampai berdebat jika semuanya memang baik-baik saja? Kenapa kau bicara padaku?

"Berisik," keluhnya diredam rengkuhan tangan sendiri. Orang lain mungkin melihat Kharqa tertidur ketika yang lain mengerjakan soal latihan. Sebenarnya tidak, pikirannya carut-marut oleh luka. Sibuk meributkan apakah ia berhak merasa sakit atau tidak, dan jika bertanya apa akar masalahnya, makin tidak ada habisnya selain membuat simpul cacat bahwa dirinyalah yang bersalah atas hidup yang tidak pernah diharapkan.

Ibu ... yang melahirkanku, kan? Apa Ibu menginginkanku? Kalau aku pergi mencari Ibu ....

"Kharqa?"

Yang dipanggil tersentak cukup keras sebelum menemukan seseorang berdiri tepat di sampingnya dengan tangan terbuka. Adanya si ketua kelas di sana sontak membuatnya melayangkan tatap penuh tanya, 'ada apa?'

"Lembar jawabanmu." Ditudingnya selembar kertas di bawah tangan Kharqa dengan isyarat mata.

"O-oh ...." Gadis itu lantas buru-buru menyerahkan kertas yang dimaksud seraya merapikan helai rambut yang jatuh menutupi wajah. Setelah sepenuhnya tersadar, rupanya kelas sudah berakhir. Meja-meja di sana pun sudah kosong ditinggal anak-anak pergi makan siang. Ah iya, makan siang!

"Psst." Arthur, tentu saja. Semua anak pergi kecuali dirinya. "Temani aku, yuk!" ajaknya yang langsung menarik tangan si gadis.

"Ke kantin, ya? Ayo, Ethan sudah menunggu."

"Eh, bukan!"

Kharqa yang tadinya menurut saja dibawa pergi mendadak menghentikan langkah. Ia mengerutkan dahi, hendak melayangkan protes. "Kemana lagi?"

Berdecak kecil, Arthur kembali menarik tangan si gadis lantas berlari. "Sebentar saja, kok," katanya.

Anak lelaki itu membawanya berlari sepanjang koridor, melewati tangga menuju kantin di lantai satu, juga melewati ruang kelas Ethan—yang dengan tidak tepat waktunya membuat mereka berpapasan. Saking cepatnya, Kharqa jadi tidak menyadari ada Ethan di situ. Otaknya butuh waktu lebih lama guna memroses apa yang baru saja terjadi. Tangga yang terlewat, seseorang yang tampaknya seperti Ethan, ucapan 'sampai jumpa saat makan siang', dan—kemana pula Arthur membawanya sekarang?

Bocah sinting!

Bergeming di tempatnya, Ethan sama sekali tidak mendapat petunjuk atas apa yang baru saja melintas. "Kharqa? Kantin, kan, bukan lewat sana ...." Apakah ia perlu mengikutinya atau lebih baik kembali saja ke kelas? Agaknya, kuriositas di kepalanya tumbuh subur bak gulma di tanah lapang. Jadi, mengikuti mereka hingga samar-samar rungunya tangkap kedua temannya yang tengah berbincang, persis di persimpangan koridor—yang jika Ethan melangkah sekali lagi saja, sudah dipastikan ketiganya akan kembali bertatap muka. Namun yang menghentikannya kali ini tak lain suara Kharqa tertahan lemah, lantas timbul rasa cemas jika si gadis akan menangis detik itu juga.

"Bukannya sudah kukatakan kalau aku tidak mau ikut?"

"Biar aku yang bilang pada Ayahmu, kalau begitu."

"Tetap tidak bisa ... k-kau tidak mengerti—"

"Hei, kalian di sini? Sedang apa?" Hening seketika.

Continue Reading

You'll Also Like

2.6M 265K 62
Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita?
458K 50K 22
( On Going + Revisi ) ________________ Louise Wang -- Bocah manja nan polos berusia 13 tahun. Si bungsu pecinta susu strawberry, dan akan mengaum lay...
5.9M 390K 68
#FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA⚠️ Kisah Arthur Renaldi Agatha sang malaikat berkedok iblis, Raja legendaris dalam mitologi Britania Raya. Berawal dari t...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.5M 28.6K 12
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...