Extraordinary Kin: The Journe...

By Tenderlova

628K 132K 23K

BAGIAN KEEMPAT TULISAN SASTRA Tidak ada remaja yang tidak memiliki masalah ketika mereka berumur 17 tahun. Di... More

Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 10
Bagian 11
Bagian 13
Bagian 14
Bagian 15
Bagian 16
Bagian 17
Bagian 18
Bagian 19
Bagian 20
Bagian 21
Bagian 22
Bagian 23
Bagian 24
Bagian 25 [FINAL]

Bagian 12

26.2K 5.9K 901
By Tenderlova

Note : Mungkin nanti bakalan ada banyak typo soalnya nggak aku revisi ulang, jadi biarin aja. Nanti bakalan aku revisi kalau udah senggang. Happy reading!


***


Bagi orang-orang dewasa, masalah pertemanan mungkin bukan sesuatu yang serius. Kebanyakan dari mereka pasti tidak peduli meskipun mereka tidak memiliki teman. Lajur kehidupan yang pahit dan pelik pasti sudah membuat mereka mengerti bahwa memiliki banyak teman bukanlah prioritas utama. Meskipun mereka hanya memiliki satu, atau bahkan tidak sama sekali, itu bukan masalah dan kehidupan mereka akan terus berjalan. Tapi bagi anak yang baru menginjak usia 17 tahun sepertiku, masalah pertemanan adalah sesuatu yang krusial. Memiliki teman atau tidak, sama seperti menentukan keberuntungan bahkan kehidupan kami kedepannya.

Aku sendiri masih tidak mengerti. Kenapa kami harus membentuk kelompok-kelompok kecil hanya untuk menertawakan sesuatu? Kenapa masing-masing kami harus bersinggungan untuk membahas sesuatu? Seperti hari ini ketika bel istirahat berbunyi, aku melihat bagaimana kelompok-kelompok pertemanan yang ada di kelasku mulai berpencar mencari anggotanya--persis seperti sekelompok jenis semut yang terpencar dengan kawannya. Sementara ditempatku duduk, aku tidak memiliki siapa-siapa selain diriku sendiri.

Aku sudah terbiasa. Namun untuk beberapa waktu, ada perasaan mencelos ketika anak-anak di kelasku selalu menatapku dengan pandangan yang berbeda. Aku tidak merasa sesedih itu, tapi rasanya cukup tidak enak ketika kita dianggap berbeda. Jadi tidak seperti anak-anak yang menuju kantin dengan kawan-kawannya, aku berjalan ke arah sana sendirian. Tujuan kami sama, tapi nasib pertemanan kami saja yang membedakan.

"Kak Jaya!!"

Tapi untuk pertama kalinya, ada seseorang yang menjajari langkahku. Untuk pertama kalinya, ada seseorang yang berjalan bersamaku menuju kantin.

"Hi, Re!" aku menyapanya dengan senyum tipis. Setidaknya, kehadiran Rebecca membuat perasaanku membaik sedikit demi sedikit. Jauh di dalam hatiku, sebenarnya aku berteriak kegirangan. Aku pikir aku akan lulus dari sekolah ini tanpa memiliki teman satu pun. aku pikir aku akan terus berjalan menujun kantin sendirian seperti hari-hari sebelumnya.

"Makan bareng yuk!" Rebecca berucap dengan nada riang. Langkahnya terlihat melambung-lambung, seakan berjalan di sebelahku adalah hal yang menyenangkan baginya.

"Mau makan apa?" tanyaku, karena aku memang tidak memiliki alasan apapun untuk menolak tawarannya.

"Hmmm.." lalu ia mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya di dagu. Itu terlihat lucu sampai-sampai aku refleks terkekeh saat melihat tingkahnya yang--imut. "Kakak mau makan apa?"

"Apa aja sih. Aku pemakan segala." kataku yang entah mengapa membuatnya tergelak. Itu jelas membuatku heran. Manusia jenis apa Rebecca ini sampai-sampai ia terkekeh pada leluconku yang sebenarnya terlalu jayus untuk disebut lelucon. Bang Tama saja hampir tidak pernah menertawakan leluconku padahal dia adalah manusia paling receh di keluargaku.

"Omnivora dong?" ia tertawa semakin keras. "Kakak udah pernah makan apa aja selama ini?"

"Apa ya? Makan hati? Makan nyinyiran tetangga? Makan pahit getirnya kehidupan?" Kali ini Rebecca terkekeh. "Semuanya dimakan sampai kenyang."

Kami terus berjalan menyusuri lorong-lorong kelas yang ramai. Sepanjang perjalanan itu, aku selau melihat sudut-sudut bibir Rebecca tertarik dengan indah. Bahkan sesampainya kami di kantin yang ramai, dia berlari tergopoh-gopoh untuk menarik satu kursi kosong untukku. Meskipun caranya berinteraksi denganku cukup mengundang keheranan untuk diriku sendiri, aku memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa.

"Makan batagor kuah aja ya, Kak? soalnya kayaknya cuma batagornya Bu Wiwin aja deh yang rada sepi." katanya, sembari mengawasi kedai-kedai makanan yang ada di sepanjang kantin. Caranya meneliti terlihat cukup serius, dan itu benar-benar lucu.

"Boleh. Kamu duduk aja, biar aku yang beli."

"Eh, nggak usah, Kak! Biar aku aja!"

Melihat Rebecca yang tiba-tiba menghadang langkahku, aku jelas mencebik. "Kamu duduk aja. Jagain mejanya biar nggak diserobot orang lain."

"Nggak pa-pa?" tanyanya dengan raut wajah yang sungkan. Lagi-lagi ekspresinya yang lucu dan imut itu membuatku ingin tertawa.

"Ya nggak pa-pa lah, Rebecca! Cuma beli batagor ini, bukan beli ekstasi." kataku, lalu meninggalkannya di salah satu meja kantin yang masih kosong.

Selama aku meninggalkannya untuk memesan makanan, beberapa kali aku melihat orang-orang menyapa Rebecca dengan suara yang riang. Mereka saling melambai satu sama lain seperti telah berkawan lama. Bahkan selama aku menunggu pesanan kami jadi, diam-diam aku menghitung berapa kali ia melambai pada orang-orang di sekelilingnya.

Dari kejauhan, Rebecca terlihat seperti bunga yang baru saja mekar. Dengan warnanya yang indah dan menyenangkan, ada begitu banyak kawanan kupu-kupu yang berjalan menghampirinya. Pemandangan ini jelas berbanding terbalik dengan apa yang terjadi padaku selama ini. Tapi entah mengapa, aku turut senang melihat Rebecca memiliki banyak teman. Ada perasaan lega ketika aku menemukan gadis itu tidak kesepian dalam kehidupannya. Ia memiliki orangtua yang memberinya banyak kehangatan dan teman-teman yang bisa menghargai keberadaannya sebagaimana harusnya.

"Jadi sekarang beneran bakal lupain Arini?"

Aku terlonjak dan nyaris menemukan jantungku meloncat ke lantai saat kepala Cetta tiba-tiba saja bersandar di pundakku. Kedatangannya yang tiba-tiba dan tidak tertangkap pengelihatanku benar-benar membuat dadaku berdegup bukan main.

"Anjing!" aku menumpat, sambil mengelus dadaku. "Salam dulu kek! Kaget gue!"

"Jadi lo beneran nyerah sama perasaan lo?" anak itu kembali bertanya. Kali ini raut wajahnya terlihat serius, seolah dia benar-benar mengkhawatirkan hubunganku dengan Arini.

Ketika pertanyaan itu mulai menyebar ke dalam kepalaku, yang bisa aku lakukan hanya mencebik dan menarik napas panjang. Pertanyaan itu tidak sulit. Ia hanya memiliki dua jawaban, iya atau tidak. Tapi entah kenapa aku tidak memiliki jawaban apapun untuk diriku sendiri.

"Gini nih kalau udah suka sama sahabat sendiri. Ribet." Cetta kembali menyeletuk, dan aku terkekeh ketika menyadari bahwa apa yang baru saja ia ucapkan adalah benar.

"Ya gitu deh. Kalau gue ngaku ke dia, persahabatan kami pasti bakalan canggung banget. Kalau gue nggak ngaku, rasanya kayak mau gila." kali ini aku menyambung dengan senyum pasi. Di sampingku, Cetta tidak mengatakan apa-apa. Raut wajahnya terbaca jelas bahwa dia sedang mengkhawatirkanku saat ini.

"Tapi lo tahu nggak sih?" beberapa detik kemudian, aku menoleh ke arahnya. "Di satu sisi gue ngerasa seneng tiap denger Arini cerita soal Sanjaya. Gue lega soalnya dia akhirnya ketemu sama orang yang dia mau."

"Meskipun orang yang dia mau ternyata bukan lo?"

Aku mengangguk sambil terkekeh. "Meskipun orang yang dia mau bukan gue."

Suara hela napas Cetta terdengar begitu jelas di telingaku. Sama sepertiku, tidak ada yang bisa Cetta lakukan selain menghargai keputusanku. Sepanjang hidupku, ini adalah kali pertama ia melihatku begitu putus asa pada perasaanku sendiri. Jadi melihat sikapnya yang seperti ini, aku berusaha untuk mengerti. Sebagai seorang kakak, aku paham bahwa Cetta pasti ingin melakukan banyak hal untukku. Tapi karena dia juga memiliki banyak keterbatasan, yang bisa ia lakukan hanyalah menepuk pundakku. Hanya dengan cara seperti ini ia mengatakan padaku bahwa ia peduli.

"Kalau lo pikir itu yang terbaik buat perasaan lo, good luck, brother!" ucapnya. Kemudian anak itu berjalan meinggalkanku. Bersamaan dengan langkahnya yang perlahan-lahan menjauh, pesananku dengan Rebecca sudah selesai di buat.

Namun, entah kenapa pertanyaan itu kembali memenuhi setiap sudut kepalaku. Apakah aku benar-benar harus menyerah? Apakah urusan cinta benar-benar bisa menjadi serumit ini?


***


"Kak?"

Di tengah keheningan yang terjadi karena kami yang sama-sama menikmati menu makan siang kami, Rebecca tiba-tiba bersuara. Aku mendongak dan menemukan gadis di hadapanku itu sedang memandang langit biru. Seolah dalam tatapan matanya yang indah itu ia menyimpan banyak sekali pertanyaan tanpa jawaban.

"Kakak udah kepikiran belum kalau lulus nanti mau ngapain? Mau kuliah dulu atau mau langsung kerja?" tanyanya. Padahal dia baru kelas 10, tapi kenapa pertanyaannya seolah dia akan lulus besok.

Untuk beberapa lama, aku terdiam. Sejujurnya aku belum berpikir sejauh sana, tapi karena Rebecca tiba-tiba membahasnya, aku langsung kepikiran begitu saja.

"Nggak tahu, belum kepikiran mau ngapain. Kamu?" aku melemparkan pertanyaan yang sama.

"Sama, aku juga sebenernya belum kepikiran." Jawabnya. "Aku pernah dengar katanya untuk memulai masa depan yang indah, itu mulainya dari hari ini. Hidup sebaik mungkin yang kita bisa. Karena hidup yang baik hari ini, sama artinya dengan hidup yang baik di masa depan."

Ketika Rebecca mengatakan itu, aku mulai melepaskan alat makanku dan melipat kedua lenganku di atas meja. Makan siangku belum habis, tapi ucapan Rebecca terasa menarik untukku yang sering sekali merasa tidak pernah melakukan apapun sepanjang hidupku.

"Sesederhana kita yang melipat kaus kaki waktu pulang sekolah. Menyimpan sepatu di rak sepatu atau menggantung seragam untuk kita pakai besok. Kehidupan yang baik di masa depan di mulai dari hal-hal sesepele itu." kata Rebecca.

Aku nggak tahu apakah saat ini Rebecca sedang tersenyum pada sekelompok awan putih di langit yang biru, atau ia sedang tersenyum pada daun-daun dari pohon besar yang ada di samping kantin. Namun yang pasti, aku tersenyum padanya dan terus mendengarkan ucapannya seolah-olah itulah yang ingin aku dengar selama ini.

"Jujur, kadang sebelum tidur aku tuh sering banget ketakutan soal masa depan. Mau jadi apa aku nanti? Apa yang harus aku lakuin kalau tiba-tiba di masa depan nanti aku ketemu sama kejadian yang sulit? Apakah di masa depan nanti aku bakal jadi sendirian dan kesepian? Sampai aku nggak bisa tidur setiap mikirin masalah itu. Tapi setiap aku keluar rumah dan ketemu sama banyak orang, kayaknya mereka juga mikirin masalah yang sama. Iya nggak sih, Kak?" Kali ini ia menoleh ke arahku. Sementara aku tidak mengatakan apapun selain mengangguk.

"Memikirkan masa depan pasti nggak bakal ada habisnya." Lalu ia kembali meraih sendok dan garpunya. Ia menyeruput kuah batagornya dan menatapku lagi dengan senyum lebar. "It's tiring when you think of a God's secret that doesn't have any answers, right?"

"Jadi kesimpulannya?" setelah sekian lama terdiam, aku bersuara.

"Berhenti mengkhawatirkan masa depan dan jalani kehidupan yang sekarang sebaik yang kita bisa." ucapnya. Ia setahun lebih muda dariku, tapi ucapannya benar-benar menenangkanku seperti orang dewasa yang telah melalui banyak sekali kesulitan. "Berpikir untuk perencanaan masa depan emang bagus, artinya kita peduli sama kehidupan kita, kan? Tapi terlalu mengkhawatirkan sesuatu yang bahkan belum terjadi bisa bikin kita kacau dan lalai sama apa yang kita lakukan sekarang. Jadi setiap aku kepikiran soal mau jadi apa kalau aku lulus nanti, aku selalu mikir, kenapa aku nggak nikmati aja dulu hal-hal yang aku jalani sekarang? Misalnya kayak melakukan apapun yang aku suka, karena masa muda nggak akan pernah datang dua kali. Belajar yang rajin dan menyerap banyak ilmu karena anak-anakku nanti juga berhak punya ibu yang cerdas. Mau kuliah atau enggak, setiap orang pasti punya titik keberhasilan masing-masing, kan?"

Rebecca Izumi. Aku tiba-tiba ingin tahu tentangnya lebih jauh. Aku ingin tahu hal-hal apa saja yang sudah ia lalui sepanjang hidupnya sampai-sampai dia memiliki pemikiran sejernih itu untuk anak-anak seusia kami yang seharusnya masih labil dan kacau. Apa yang ia miliki sebagai kekuataan hingga akhirnya ia bisa terlihat begitu bersinar--setidaknya di mataku.

"Re?" Aku menunduk dan perlahan-lahan mulai mengaduk kembali makanannku. Rebecca tidak menyahut, tapi aku tahu bahwa saat ini ia pasti sedang menatapku. "Nggak semua bisa kayak kamu."

"Maksudnya, Kak?"

"Nggak semua orang bisa punya pikiran sepositif kamu." Ucapku. Kali ini aku mendongak dan terkekeh. "Aku juga sering banget mikir kayak gitu. Ngerasa nggak berguna, sampai-sampai aku bingung banget mau jadi apa suatu saat nanti. Aku pengen cerita ke keluargaku kalau aku tuh sering banget ketakutan kalau udah mikir sampai ke sana, tapi aku nggak bisa. Kamu tahu lah, orang dewasa pasti punya banyak kesibukan. Mereka punya banyak hal yang harus dilakuin. Jadi seumpama aku cerita masalah kayak gini, kayaknya mereka bakalan mikir 'yaelah, masalah gitu doang'. Makanya aku lebih pilih diem, daripada aku sakit hati denger omongan yang enggak-enggak?"

Selesai aku bicara, Rebecca tertawa. Lagi-lagi aku tidak tahu bagian mana yang lucu sampai-sampai dia tertawa sekencang itu.

"Padahal dulu mereka juga pasti pernah ada di fase yang sama kayak kita ya, Kak? Tapi giliran kita yang curhat, dianggapnya pasti bukan masalah yang serius. Mereka nggak tahu aja, kadang kepala kita kayak mau pecah rasanya."

"Termasuk masalah nggak punya temen di sekolah." timpalku, dan kali ini Rebecca menjentikkan jarinya--tanda bahwa dia setuju dengan argumenku.

"Orang-orang dewasa tuh kebanyakan kayak ngerasa udah paling jago soal masalah hidup. Mereka selalu beranggapan kalau mereka udah terlalu banyak makan asam-garam kehidupan. Jadi kita yang bocil-bocil ini masalahnya udah kayak ampas kopi--nggak penting."

"Kita ngeluh masalah kebanyakan tugas aja pasti langsung dinyinyirin. 'Yaelah baru ngerjain tugas sekolah doang, belum juga kerja udah ngeluh mulu'." aku kembali menimpali dan Rebecca kembali tertawa seperti sebelumnya.

Kami menghabiskan sisa makan siang kami dengan umpatan demi umpatan untuk orang-orang dewasa yang kurang ajar di lingkungan kami. Pembicaraan tentang bagaimana tetangga kami yang terus-terusan menyombongkan anaknya. Pembicaraan tentang tugas sekolah yang setiap hari menguras emosi dan mental kami. Pembicaraan tentang aku yang tidak memiliki teman sementara Rebecca yang selalu punya teman di setiap kelurahan.

Aku dan Rebecca membicarakan banyak hal, mulai yang penting sampai yang tidak penting. Aku membayar makanan yang kami makan, sementara dia membayar minuman yang kami minum. Lalu kami kembali berjalan menuju kelas masing-masing seperti teman yang sudah mengenal sejak lama.

Rebecca Izumi memiliki kekuatan magis yang sama sekali tidak bisa aku mengerti. Berada di dekatnya membuatku nyaman. Dia membuatku mengalir seperti air sungai yang berjalan menuju lautan lepas. Rebecca membuatku lupa tentang masalah pertemanan yang kian lama kian membuat perasaanku sesak. Dia seperti sihir putih yang terbang di antara sihir hitam yang mengelilingiku.

"Rere!" Tepat sebelum aku meninggalkannya untuk masuk ke dalam kelas, aku menoleh. Sementara di ambang pintu, Rebecca menatapku dengan sepasang matanya yang berbinar. "Besok makan siang lagi ya!"

Itu bukan penawaran, melainkan aku mengajaknya untuk makan siang lagi besok. Gadis itu tidak mengatakan apa-apa, tapi ia mengacungkan jempol dengan senyum yang lebar--tanda bahwa ia setuju untuk makan siang berdua lagi denganku.

Lalu sepanjang perjalanan kembali ke kelasku, aku mulai menerka-nerka. Obrolan seperti apa yang harus aku bicarakan dengannya besok? Menu makan siang apa yang harus kami makan? Di meja nomor berapa kami harus duduk?

Itu mungkin hanya sesuatu yang sepele, tapi untuk pertama kalinya, aku pikir aku tidak akan pernah bermalas-malasan lagi untuk berangkat ke sekolah.




Bersambung...

"Hidup untuk memberikan yang terbaik." -Langit Merah Jambu.

Continue Reading

You'll Also Like

880K 31.9K 50
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...
15.6K 2.5K 11
"Tipe cowok Kak Arin itu yang lebih muda dari Kak Arin atau yang lebih tua dari Kak Arin?" "Tergantung. Tapi mudanya jangan muda banget dan tuanya ja...
70.4K 9K 19
Tentang Jihoon yang menceritakan teror yang menimpanya ditahun 2014 bersama teman-temannya. Berawal dari post it, sebuah permainan petak umpet, hingg...
212K 58.1K 20
[Sudah tersedia di toko buku] Dimitri kembali pulang, tapi di tengah perjalanan, ia menyadari bahwa pulangnya tidak lagi terasa sama. Yang dibawanya...