PARA PENAKLUK HANTU

By KalaSanggurdi

326 25 9

Herman dan Sharla adalah "orang pintar" yang sering mendapat tawaran untuk membasmi hantu di berbagai pelosok... More

Bab 1: PARA PEMBURU HANTU
BAB 2: LIMA TAHUN YANG LALU
BAB 3: WAWAN BERAKSI
BAB 4: PETUALANGAN KE INDRAMAYU
BAB 5: KLIEN DARI MANINJAU
BAB 7: LUKISAN NYI DI DATARAN TINGGI DIENG

BAB 6: PARA PENAKLUK HANTU

3 1 1
By KalaSanggurdi

Sudah lima tahun Wawan bekerja bersama Herman, baik sebagai barista maupun sebagai pemburu hantu. Kedua orangtuanya bangga, karena kini dirinya sudah memiliki rumah di Jakarta Timur. Ia sedang sibuk mengambil foto kedua adik kembarnya yang lulus dalam waktu bersamaan. Pun orangtuanya juga bangga bahwa Wawanlah yang membiayai kedua adiknya kuliah. Tiap kali Wawan pulang ke rumah, orangtuanya selalu membicarakan tentang dirinya yang sudah beberapa kali muncul di televisi. Mau acara lawak di malam hari ataupun acara wawancara di sore hari, komentar mereka tetap sama: kumis Wawan mempertampan dirinya. Meskipun demikian, pertanyaan soal pernikahan belum pernah dijawab; Wawan tetap kesulitan mencari pasangan, apalagi pasangan hidup.

Selagi Wawan menunjukkan foto kelulusan kepada kedua adiknya, Wawan mendapat pesan dari Herman: "Cepet balik, ada yang mau diomongin". Wawan tertegun, mengira bahwa Herman menemukan kesalahan dalam pencatatan data atau apa. Meski sudah bertahun-tahun mengurusi data spektroskopi dan komposisi partikulat udara, Wawan masih tetap kena marah karena salah memasukkakn data. Ia hanya terdiam dan mempersiapkan senyum mirisnya nanti.

Sesampainya di kafe Herman, Wawan tertegun. Kafe Herman tutup, meski baru jam dua siang. Ia bertanya-tanya. Apa pun yang mau dibicarakan oleh Herman, sepertinya hal yang cukup serius. Apakah Herman kini memutuskan untuk bekerja penuh sebagai pemburu hantu? Atau apakah kafe Herman dipaksa tutup oleh pemerintah karena masalah pajak? Hal terburuk yang dapat dipikirkan oleh Wawan saat itu adalah kepolisian memergoki bisnis gelap mereka dengan kenalan-kenalan Pak Rahmat. Namun jika demikian, sepertinya Wawan akan lebih dulu dihubungi polisi ketimbang Herman. Apa pun itu, Wawan hanya menghampiri kafe dan menunggu Herman membuka pintu.

Herman datang dari lantai dua setelah Wawan mengonfirmasi kedatangannya melalui gawai, lalu membukakan pintu. Ketika masuk ke dalam kafe, Wawan mendapati Fajri dan Sharla sedang duduk sambil merokok. Lucunya, Sharla terlihat sedang meminum anggur. Raut wajahnya dan Fajri terlihat berbeda dari biasanya.

"Wan," sapa Herman.

"Kenapa, Bang?" Wawan berjalan masuk bersama bosnya.

Herman mempersilakan Wawan duduk tanpa berbicara sama sekali. Wawan kebingungan. Tanpa melihat dirinya, Sharla menuangkan anggur merah ke cangkir kopi di depan Wawan. Wawan semakin kebingungan. Ketika ia memandang Sharla, Sharla merespon, "Percaya ama gua. Lu butuh."

Ketika Herman duduk, keempat pemburu hantu diam. Cukup lama diamnya, sehingga Wawan merasa tidak nyaman. Ia bertanya lagi, "Ada apaan, Bang? Mbak?"

Tidak ada respon. Wawan menebak, "Gua mau dipecat?"

Herman terkekeh singkat, "Nggak, Wan. Kerjalu emang nggak bener, tapi nggak sampe harus dipecat."

"Jadi apaan, Bang? Serem banget ini suasana."

Ketimbang mendengar jawaban Herman, Wawan mendengar helaan napas panjang dari Fajri. Kemudian, Fajri memperlihatkan layar gawainya pada Wawan. Wawan hanya dapat melirik sebentar, dan Fajri kembali menyimpan gawainya. Namun lirikan yang sebentar itu berhasil membuat Wawan terpatung.

"Minum, Wan, minum," Fajri menawarkan. Wawan butuh waktu untuk bernapas, dan seketika meneguk habis seluruh anggur di cangkir kopinya. Satu titik air mata menetes, entah karena anggur, entah karena apa yang ia saksikan pada layar gawai Fajri.

"Berapa?" tanya Wawan dengan suara serak.

"Berapa apaan?" Herman bertanya balik.

"Korban jiwa," jelas Wawan.

Herman bernapas sebentar, "Belum ada angka pasti. Perkiraannya delapan ribu."

Wawan memandang Herman lama, kemudian menutup mata dan menarik napas dalam-dalam. Ia menyumpah, "Anjir."

Tidak lama setelah itu, Fajri mendengar isakan. Nalurinya menyuruhnya untuk menepuk pundak Wawan. Isakan itu tertahan, namun Fajri bersiap jika isakan itu meledak. Ketika ia melihat pada Sharla, Fajri juga mendapati mata Sarah mulai memerah. Fajri tak menepuk teman masa remajanya itu, karena ia yakin hirupan asap rokok sudah cukup untuk menenangkan psikolog itu.

Melihat juniornya, Herman tidak tahu apakah ia harus lanjut menjelaskan situasi atau mengunci mulutnya. Akhirnya, ia hanya dapat menunggu temannya menenang. Ketika Wawan menenang, Herman mendapati rekannya menatapnya dalam-dalam.

"Terus, Bang?"

Herman menghembuskan napas. Ia mengambil bungkus rokok Sharla, menyalakan satu linting, dan menghirup asap. Ketika asap terhembus dari mulutnya, Herman mengumpulkan segenap jiwa raganya.

"Alat gua nyala tadi jam dua pagi. Gua langsung kirim peringatan darurat. Tapi yah, percuma. Mereka cuma konfirmasi ada gempa, tapi warga nggak diungsiin. Peringatan gua nggak digubris."

Wawan kembali bersumpah serapah.

Herman melanjutkan walau berat, "Bentar lagi bakal ada yang jemput kita buat konferensi pers. Dari BMKG. Nanti lu yang ngomong. Naskahnya udah gua bikin."

Wawan tertunduk. Sharla kembali mengisi cangkir kopi Wawan dengan anggur. Wawan tak menunggu sedetik pun untuk langsung meneguk habis seusai Sharla menuang.

"Sebelumnya, Bang," Wawan berujar serak; "Ini terakhir. Habis konferensi, gua izin mundur."

"Maksudlu?" Herman memastikan.

Wawan menghembuskan napas, "Gua nggak mau lagi jadi pemburu hantu."

Herman terdiam. Ia melihat Wawan, lalu Sharla, lalu Fajri. Sejenak, ia kaget. Sejenak kemudian, darahnya memanas. Namun sejenak setelah itu, napasnya terlepas bebas. Setelah semua yang dilewati Wawan, Herman mengerti. Ia membuang abu, menghirup asap, lalu menelan. Setelah itu, ia memandang Wawan dan menangguk, "Iya, gua ngerti. Sebenernya, kita juga mau ngomongin itu."

"Ngomongin apa, Bang?"

"Mau berhenti."

Wawan memandang Herman. Kini ia yang kaget, lalu merasakan darahnya memanas. Sama seperti Herman, ia akhirnya menghembuskan napas panjang. Ternyata rasanya dan rasa Herman sama persis. Namun tetap saja, Wawan memikirkan bagaimana Herman hidup hanya dari membuka kafe.

"Bang Herman nggapapa?" Wawan memastikan.

Herman tertunduk. Matanya sayu. Senyumnya terangkat setengah, "Dosen gua nawarin kerja. Dia bilang alat-alat gua groundbreaking. Gua diajak ke Jerman buat eksibisi alat-alat gua; katanya biar gua dapet penghargaan apa lah."

"Oh," Wawan lemas. Ia teringat bahwa bosnya adalah sang Faraday pada abad ke-21. Namun betapa asingnya semua itu. Lima tahun bersama Herman, ejek-mengejek kebodohan masing-masing, dan mendengar betapa konyolnya Herman berbicara, membuatnya melihat bosnya sebagai orang biasa. Mungkin seperti rekannya yang ia temui di warung kopi, atau satpam penjaga lahan parkir motor kampusnya. Kini tiba-tiba tercipta batas antara dirinya dan Herman, seakan-akan mereka dipisahkan samudra serta benua. Ia mengingat kembali alat-alat canggih kepunyaan Herman, bagaimana meja komputer Herman diautomasi secara mandiri, dan perangkat lunak bernama "Detektif Kentut" yang kaya akan detail ilmu tinggi. Semakin ia pikirkan, semakin jauh sosok Herman baginya. Ia hanya lulusan DKV di universitas antah berantah, yang bekerja sebagai barista setelah lulus. Namun Herman? Herman adalah seorang insinyur mesin, lulusan universitas ternama di Berlin, yang kerjanya menghancurkan takhayul dengan sains, dan sekarang alatnya akan dieksibisi sebagai mesin-mesin terbaik dunia. Wawan hanya seekor semut di lautan tanah, sedangkan Herman adalah seekor rajawali yang terbang tinggi di angkasa.

"Tapi, Wan," Herman mengusik lamunan Wawan.

"Ya, Bang?"

"Gua mau minta satu aja dari lu."

"Apaan, Bang?"

"Selama gua ke Jerman, lu jagain kafe ya. Eh, nggak. Gini deh: gua mau ngasih ini kafe ke lu."

"Lah? Kok gitu, Bang?"

"Ya, jujur aja sih, Wan. Gua ngerasa ini kafe lebih kerawat kalo lu yang punya. Entar pas gua balik ke Jakarta, gua mau buka servis komputer aja di sebelah."

Wawan butuh waktu untuk mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh sang rajawali. Dan ternyata, Fajri dan Sharla juga sama kagetnya.

"Tolol!" teriak Sharla.

"Bego!" Fajri ikut berteriak.

Sharla langsung naik pitam dan menempeleng suaminya, "Kamu tuh kalo punya otak, jangan dicemplungin ke empang! Ngapain jauh-jauh kuliah ke Jerman buat buka servis komputer?!"

"Sumpah, sis, cerein suamilu. Kayaknya dia punya gangguan psikologis jenis terbaru," Fajri menahan tawa, namun memutar matanya.

"Kagak, Jri. Ini mah profound intellectual disorder! Anak kecil aja kalo punya cita-cita biasanya astronot ato dokter. Ini apa?! Buka servis komputer!" Sharla menggelengkan kepala.

Herman masih menggaruk kepalanya karena rasa sakit tempeleng istrinya, namun hendak membela diri, "Kalo aku ke Jerman, nanti kamu gimana?"

"Ya ikut lah!"

"Maksud aku, klinik kamu di sini gimana?"

"Ya elah, masih mikirin klinik. Aku tinggal ikut, terus jadi ibu rumah tangga! Selesai! Hidup tentram, damai, kaya! Apaan coba?!"

"Ya, gimana, Beb, aku mikirnya kalo kamu nggak ada kerjaan di Jerman, yang ada kamu stres. Kamu juga nggak bisa bahasa sana, kan? Entar gimana temen-temen kamu di sini?"

"Ya ampun, Beb! Ngapain mikirin yang begituan?! Aku mending merana di Jerman daripada harus ngadepin ketololan kamu di Meruya!"

Herman setengah berseru, "Intinya, aku mau di Jakarta aja! Mau kerja apa, terserah! Yang penting, aku nggak mau idup susah."

Sharla berteriak kencang, "Tapi ini sengaja banget kamu nyari idup susah!"

"Susah dari mana?! Duit kafe kenceng, kan? Kebutuhan dapet semua, kan? Rumah tinggal dibeli. Mau apa lagi?"

Sharla memandang Fajri, Fajri hanya tersenyum hendak tertawa. Akhirnya, Sharla menyerah, dan berkomentar pada Fajri, "Sumpah, Jri. Kalo nggak gara-gara sayang, udah gua cerein dari dulu!"

"Sayang atau kasian?" Fajri memastikan.

"Dua-duanya," Sharla menghela napas dan melemparkan badannya ke senderan kursi.

Wawan tertawa lepas, "Gua suka gayalu, Bang."

Herman mencari justifikasi dari Wawan, "Iya, kan? Ngapain nyari duit banyak-banyak kalo ujung-ujungnya kerja banting tulang?"

Sharla mengejek, "Mentang-mentang anak orang kaya. Gara-gara duit selalu ada, kamu akhirnya jadi tolol kayak begini. Nyari duit tuh susah, Beb!"

Herman kembali membela diri, "Susah dari mana? Nyari duit banyak yang susah! Nyari duit buat makan mah, buka kafe udah cukup."

Sharla merengek pada Fajri, "Jri, please bantuin gua minterin ini bocah."

Fajri mematikan rokoknya, "Gua sih no comment ya, sis. Udah dapet duit ber-M-M dari Herman. Kalo dia mau buka servis komputer, gua angkat tangan. Duit gua masih ngalir dari rumah sakit."

Sharla menghela napas sepanjang mungkin. Fajri terkekeh, sedangkan Wawan masih tertawa lepas. Herman sendiri tersenyum, entah karena menang debat dengan istri, entah karena tidak tahu mau memunculkan emosi apa kepada istrinya yang sudah muak.

Fajri menyalakan rokok berikutnya, "Anyway, gua rada ngerti pendapatnya Herman. Kayaknya gara-gara tinggal di Jerman juga. Orang sana udah puas jadi kasir minimarket. Nggak kayak orang Indo; kalo kerja harus kerjaan yang punya prestige. Orang sana tinggal di apartemen murah udah bangga. Orang sini mah harus punya rumah segede rumah di Pondok Indah kalo mau bangga. Ya kan, Man?"

Herman mengangguk, merasa dibela. Fajri melanjutkan, "In a way, gua juga rada setuju sama Herman. Kalo idup biasa aja udah puas, ngapain ngejar pamor? Cuma ya, gua pribadi belum puas kalo rumah gua belum ada gazebo. Tapi itu kan gua ya, sis; standar gua tinggi. Si Herman nggak punya standar."

Herman bingung mau merasa dibela atau dihina, namun ia tetap mengangguk.

"Kalo lu udah happy mainin game hape, ya apa bedanya tinggal di Jerman sama tinggal di Meruya? Toh kalian berdua juga seneng-seneng aja kan tinggal di ruko kayak gini?" Fajri menghembuskan asap.

Sharla tak mau membenarkan Fajri, namun ia tak dapat menyangkal bahwa Fajri memang benar. Akhirnya, ia meraih lintingan rokok dan menyalakannya.

"Intinya gua tetep kesel, Jri," Sharla tetap mengeluh.

Wawan hampir mengubah pikirannya untuk berhenti menjadi pemburu hantu, namun ia juga memikirkan kembali gelar sarjananya. Mungkin sudah saatnya ia mencari kerja yang berhubungan dengan kemampuannya. Kalau tidak berhasil, ia tetap dapat kembali ke kafe kecil Herman di tengah belantara Meruya. Ia kembali tertawa, dan menyalakan rokok hasil curian dari kotak rokok Sharla.

*****

Herman berada di rumah barunya. Rumah itu dekat dengan rukonya di Meruya. Kecil, dengan halaman yang cukup untuk main bulu tangkis. Kalaupun terlalu kecil, Herman masih bisa main bulu tangkis di jalan depan rumah. Ia terdiam di dalam bengkelnya, terduduk mengamati piagam di atas meja. Piagam penghargaan dari Jerman, berkat paparan dosennya. Belasan surel ia terima dari penjuru dunia, meminta izin untuk menggunakan paten mesin-mesinnya. Tanpa pendapatan dari kafe sekalipun, uang dari patennya mungkin sudah cukup untuk menghadiahi dirinya dengan rumah di Kebayoran maupun Pondok Indah. Namun yang terpikir di dalam benak Herman adalah betapa merepotkannya membersihkan rumah yang terlalu besar—lebih-lebih karena kini ia tidak mau mempercayakan bengkelnya untuk dibersihkan asisten rumah tangga.

Satu hal yang terpikirkan oleh Herman sedari minggu lalu adalah sepasang pria yang mendatangi rumahnya. Katanya mereka adalah orang dari pemerintahan—meski Herman tak dapat menghilangkan kecurigaan bahwa kedatangan mereka ada sangkut pautnya dengan sosok misterius Warta Lana dan Sena Galang. Uang lima puluh miliar tetap dikirim oleh Sena, meski kegagalan besar Herman dalam menangulangi bencana di Danau Maninjau. Singkatnya, kedua orang pemerintahan itu mengundang Herman, Sharla, Fajri dan Wawan untuk berkunjung ke Istana Negara. Katanya, atas jasa Herman dalam ranah intelektual, Herman beserta para pemburu hantu lainnya berhak dianugrahkan gelar pahlawan. Mengingat percakapan itu, kegirangan istri dan teman-temannya, Herman hanya menggeleng kepala. "Ini pasti gara-gara pengaruh Pak Sena", curiganya. Tidak pernah terpikirkan olehnya bahwa ia kelak akan dikuburkan di makam pahlawan.

Pintu bengkel Herman terbuka. Ia melihat, dan menyaksikan istrinya sudah merias dirinya secantik mungkin. Sejenak, ia mengagumi pemandangan itu.

"Woy, siap-siap, bangsat. Main mulu sama mesin," ujar sosok cantik itu; "Belum mandi kan, kamu? Mandi sana. Mau jabat tangan sama presiden pake tangan beroli?"

Herman terkekeh, lalu mengangguk. Sharla masih tidak terima, "Cepet! Bentar lagi kita mau dijemput!"

"Nggak pake motor aja, ke Istana Presiden? Biar adem angin-anginan?"

"Kamu tuh tolol atau bangsat, sih? Udah enak mau dijemput pake mobil mewah, masih pengen ke sana pake motor? Markirnya di mana?"

"Ya pasti ada lah."

"Nggak mau! Aku udah cantik gini. Entar kena asep knalpot gimana? Mau tanggung jawab kamu kalo muka aku item pas ketemu presiden?"

Sekali lagi, Herman terkekeh dan mengangguk. Ia lekas meninggalkan bengkelnya, namun kembali bertanya, "Aku pake baju apa?"

Sharla tidak percaya apa yang baru saja ia dengar, "Lah? Fajri kan udah minjemin jas ke kamu. Pake jas lah! Jangan pake polo shirt!"

"Tapi—"

"Nggak ada tapi-tapi! Mau ketemu presiden pake celana pendek sama sendal gunung? Tolol!"

Lama kelamaan, Herman merasa keluhan istrinya semakin mengejek. Apa boleh buat, pikirnya, ia memang harus rapi untuk sekali ini.

Sepasang suami-istri itu bersiap-siap, kemudian menunggu di ruang tamu. Sharla tak pernah berdandan secantik itu, bahkan ketika bekerja sebagai psikolog. Gaunnya adalah gaun pinjaman dari ibunya, karena Sharla sendiri biasanya lebih nyaman memakai kaus atau kemeja murahan. Riasnya pun lebih menor dari biasanya, karena biasanya sendiri ia hanya memakai rias mata dan bibir. Tak pernah terpikirkan olehnya bahwa masa saat ia harus menggunakan bedak sudah datang. Dalam gaun merah dan kilau emas kalung dan gelang, ia duduk bersila sambil bermain gawai.

Herman masih butuh waktu untuk merasa nyaman dengan jasnya, terutama dengan dasi yang mencekiknya. Tidak seperti istrinya yang bermain gawai, ia melamun sambil minum kopi dengan hati-hati. Sekilas, ia teringat soal proyek penelitian di Danau Maninjau yang gagal total. Tak sedetik pun terpikirkan olehnya, bahwa ia berhak dihadiahi lima puluh miliar untuk kegagalan sebesar itu. Fajri mungkin senang dan meminta Herman untuk membelikannya rumah, namun Sharla juga merasakan kegagalan Herman dan tak menyentuh uang itu. Wawan pun juga demikian, sembari mengaku bahwa ia tidak tahu harus melakukan apa dengan uang sebanyak itu. Jujur saja, Herman pun juga tidak tahu harus melakukan apa dengan semua uang itu. Mungkin Sebagian besar akan ia sumbangkan, atau—sesuai saran Fajri—ia tanam sebagai saham.

Klakson mobil berbunyi dari luar rumah. Herman menengok, dan menemukan seseorang sedang menunggunya di luar. Tanpa menengok, ia mengajak istrinya, "Yuk, Beb. Udah dateng orangnya."

*****

Jam menunjukkan pukul delapan pagi di gawai Sharla. Ruangan di Istana Presiden begitu luas dan dihiasi berbagai hidangan sarapan. Sharla dan Herman langsung menjumpai Fajri dan Wawan sedang mengantre untuk mengambil nasi goreng. Ketika Sharla meneriakkan nama keduanya, Fajri langsung melambaikan tangannya.

"Hai, sister! Cantik banget lu," puji Fajri.

"Yoi!"

"Jarang-jarang loh ngeliat lu kayak gini. Depan klien aja lu biasanya cuman ngalis ama ngelipstik," senyum Fajri.

"Kapan lagi lu bisa liat gua kayak gini? Cuman hari ini doang sama wisuda SMA, kan?" dongak Sharla mantap.

"Kelakuan masih tetep ya, kayak preman pasar," senyum Fajri sambil memutar mata.

"Yoi!" Sharla tetap angkuh dan bangga; "Lu juga, Wan. Akhirnya cakep juga ya, lu."

Wawan tersenyum simpul dengan wajah yang mungkin sudah harus dipatenkan sebagai merk dagang. Pemandangan itu hanya membuat Sharla semakin tertawa terbahak-bahak.

"Makan, makan," ajak Wawan lembut. Sharla menyelak dengan seketika, membuat orang di belakang Wawan geram—namun tak bisa berkata apa-apa karena yang menyelak adalah seorang wanita cantik. Herman hanya memutar mata dan mengantre dari belakang.

Ketika empat sekawan itu sudah dapat tempat duduk untuk menyantap sarapan, Fajri memulai percakapan dengan mulut setengah penuh, "Udah tau belum?"

"Apaan, Jri?" ujar Sharla.

"Ada Pak Agung loh."

"Hah? Serius?"

"Noh, dia lagi ngobrol sama orang," Fajri menunjuk pada seseorang dengan kemeja batik rapi; "Itu namanya Pak Darmawan."

"Lu kenal?" Herman mengernyit.

"Lah, lu nggak tau?" Fajri ikut mengernyit; "Inget nggak, pas udah selese ngurusin rumah Pak Agung? Kan masih ada si macan tuh—"

"Si Bartholomeong?" Sharla kaget sambil tersenyum.

"Nama aslinya Marcus, sis. Lebih bagus dari nama kita semua."

"Tau dari mana nama macannya Marcus?" Herman penasaran.

Fajri merengek, "Makanya biarin gua selese ngomong, sis. Jadi, si Pak Darmawan itu, dia yang punya itu macan."

"Hah, serius, Bang?" Wawan melongo.

Fajri memelotot, "Iya! Sharla pasti masih inget. Si Pak Darmawan tuh yang penghuni lama rumahnya Pak Agung. Si kolektor hewan eksotis itu loh. Entar ngobrol-ngobrol aja sama si Bapak."

Tanpa perlu berdiri untuk menyapa, Pak Agung sudah menyadari keberadaan para pemburu hantu dan bergegas menghampiri. Setelah tersenyum, Pak Agung menjulurkan tangan untuk berjabat, "Pak Herman."

Herman tersenyum, "Pak Agung. Lama nggak ketemu."

Pak Agung mengangguk riang, kemudian menengok pada Pak Darmawan, "Kenalkan, ini Pak Darmawan. Beliau penghuni sebelumnya dari rumah saya."

Pak Darmawan memperkenalkan dirinya dan berjabat tangan dengan Herman, Sharla serta Wawan. Ia lanjut berbicara, "Terima kasih ya, sudah menemukan singa gunung saya."

"Iya, Pak, sama-sama," senyum Herman.

"Sekarang singa gunungnya di mana, Pak?" ujar Sharla yang rindu akan sosok Bartholomeong yang jinak.

"Sudah dikembalikan ke Amerika, Bu. Jadi yah, memang habitat aslinya di sana. Dulu sekali, saya bawa induknya ke sini sebagai koleksi. Induknya beranak di sini, ada tiga ekor. Masih sempat saya latih. Waktu mau disumbangkan ke kebun binatang, anaknya hilang satu. Saya kira mati dimakan binatang buas. Waktu dapat kabar dari Pak Agung, saya langsung ambil."

"Oh," ujar Sharla agak lama; "Nggak disumbangin ke kebun binatang di sini, Pak?"

Pak Darmawan tersenyum kikuk, "Nggak, Bu. Singa macan yang lain juga sudah dikirim balik ke Amerika. Klimatnya nggak cocok sama mereka. Jadi yang satu ini juga dikembalikan ke sana."

Para pemburu hantu mengangguk serentak, layak siswa SD yang baru diberi tahu sesuatu oleh guru mereka. Kini Pak Agunglah yang berbicara, "Omong-omong, Pak Herman, soal benteng peninggalan Jepang, Bapak sudah tau?"

"Kenapa, Pak?" tanya Herman balik.

Pak Agung lanjut sambil tersenyum, "Proses revitalisasinya sudah selesai, Pak. Jadi sekarang sudah terbuka untuk umum. Kalau mau berkunjung, Bapak dan rekan-rekan sekalian akan kami sambut. Malah, boleh sekali kalau mau isi acara soal proses penemuannya. Mengingat, yah, proses penemuannya sendiri juga unik, kan? Hahaha!"

Herman tertawa formal, "Boleh, Pak. Nanti kami jadwalkan."

"Tenang, Pak Herman. Ongkos transportasi dan penginapan bisa saya sendiri yang tanggung. Gini-gini juga kan, tanda terima kasih saya kepada Pak Herman dan rekan-rekan sekalian," senyum Pak Agung.

Sharla tersenyum bukan main manisnya, masih memikirkan soal Bartholomeong yang sudah pulang ke tanah airnya. Herman dan yang lain hanya tersenyum formal, dan lanjut menyantap sarapan. Pak Agung dan Pak Darmawan mengucapkan salam untuk pergi, dan para pemburu hantu dibiarkan tenang menyantap makan.

Tiba-tiba, pandangan Herman menangkap sosok berpakaian putih di pintu masuk. Brewok dan tingginya langsung membuat Herman mengenal sosok itu: Pak Sena. Herman memandangnya tersenyum dan disapa berbagai macam orang, dan dari sana, kecurigaan Herman menjadi-jadi. Mungkin sebentar lagi, sosok Pak Sena yang misterius akan terkuak. Para pemburu hantu lain pun juga menyadari sosok itu, dan dengan sabar menunggu sosok itu menghampiri mereka semua.

Setelah puas mengobrol dengan personil di istana negara, mata Pak Sena tertuju pada para pemburu hantu. Wawan menyadari, dan langsung kikuk bukan main. Teman-temannya menyusul. Meski sarapan mereka sebenarnya sudah habis, mereka serentak berpura-pura sibuk menyantap. Ketika Pak Sena sudah berada di depan Herman, Herman langsung mengangguk dan tersenyum kikuk.

"Pak Herman, Bu Sharla, Pak Fajri, Pak Wawan," ujar Sena sambil satu per satu menjabat tangan para pemburu hantu; "Selamat pagi."

"Pagi, Pak Sena," ujar Herman agak bingung.

"Jelasnya masih ingat dengan saya, kan?" senyum Sena yang diikuti kekehan. Herman hanya tersenyum simpul.

Sena melanjutkan, "Sebentar lagi, Bu Warta Lana akan datang menemui rekan-rekan sekalian. Kalau rekan-rekan sekalian masih penasaran mengenai kenapa Bapak-Ibu diundang ke Istana Presiden, Bu Warta Lana dapat menjelaskan kenapa."

Herman tak menjawab karena terlalu kikuk. Ia memandang Sena yang duduk di kursi kosong di sebelah Fajri. Setelah nyaman dengan kursinya, Sena lanjut berbicara, "Saya punya prasangka bahwa rekan-rekan sekalian masih memikirkan soal Danau Maninjau: kenapa, meskipun bencana melanda, rekan-rekan sekalian masih tetap mendapat bayaran. Jujur, Bu Warta Lana memang sudah merencanakan. Beliau sebenarnya sudah mempunyai prasangka bahwa rekan-rekan sekalian akan gagal dalam penanggulangan bencana. Namun, kami tidak bermaksud meremehkan kapabilitas Bapak-Ibu sekalian. Yang itu kami tak meragukan sama sekali. Yang kami ragukan adalah... kapabilitas pihak-pihak lain yang terlibat. Pun sebenarnya kami tidak berniat meremehkan siapa pun di sini. Memang, untuk kasus penangulangan bencana yang satu ini, kami rasa terlalu berat bagi siapa pun."

Wawan meneguk ludahnya. Sosok Pak Sena, meski selalu tersenyum dan santai, masih terlalu besar untuk benar-benar dicerna. Sena semacam sadar bahwa suasana mengeruh dengan keberadaannya, namun ia tidak dapat menyalahkan para pemburu hantu.

Sena menghembuskan napas panjang, "Yah, berat rasanya, mengetahui jumlah korban dan kerusakan. Tapi hal tersebut tidak boleh menghapus jasa rekan-rekan sekalian. Untuk pengetahuan Bapak-Ibu sekalian, kami juga berupaya untuk mempekerjakan tim peneliti lain—termasuk tim BMKG. Saya tidak ingin menyalahkan tim-tim lain yang mengurungkan niat untuk memulai penelitian. Jelasnya, susah untuk meyakinkan para ilmuwan meninggalkan pekerjaan mereka, demi sebuah 'prasangka' yang tidak jelas asalnya. Dan rekan-rekan sekalianlah, tim pertama yang berani untuk menghadapi penelitian besar ini. Untuk itu, saya dan Bu Warta Lana hanya dapat berterima kasih dalam bentuk uang. Saya pribadi merasa tidak sopan dengan bentuk terima kasih itu, dan—jika rekan-rekan sekalian menghendaki—saya dan Bu Warta Lana rela untuk melakukan apa pun demi berterima kasih. Salah satu bentuk terima kasih lainnya, ya... ini: alasan rekan-rekan sekalian berada di Istana Presiden saat ini."

Wawan agak susah mencerna kalimat Sena yang rumit. Tak lama, ia terpatung memandang ke arah lain. Bukan karena masih memproses kata-kata Sena, namun karena sosok yang ia tangkap dalam pandangannya. Lama-lama, kaku wajahnya berubah menjadi longoan besar dengan mata yang memelotot lebar. Ia melihat sosok itu menghampiri Sena.

"Sena."

"Bu," senyum Sena menjawab sosok yang membuat Wawan terpukau. Tak lama, Fajri pun ikut terpukau. Hanya Herman dan Sharla yang tak mengerti kenapa.

Sena memandang Herman, "Perkenalkan—"

"Bu Puji Retnowati?" ujar Wawan hampir berteriak.

Sena tersenyum, "Benar. Beliaulah Bu Warta Lana."

Herman hendak bertanya kepada Wawan atau Fajri, siapa Bu Puji Retnowati ini. Namun pada saat itu, ia tak berani. Sepertinya, Herman sendiri yang harus tahu.

"Maaf sebelumnya. Jadi Bu Warta Lana itu Bu Puji?"

Puji tersenyum, "Benar. Boleh saya duduk?"

"Oh, silakan, Bu," ujar Fajri cepat dengan nada sopan yang tak pernah didengar oleh Herman serta Sharla.

Ketika Puji sudah duduk, ia lanjut, "Mungkin rekan-rekan pemburu hantu lagi bertanya-tanya: kenapa saya harus menyamar jadi Warta Lana? Kenapa nggak langsung pakai nama asli saja? Yah, saya ada alasan pribadi lah ya."

Puji melihat para pemburu hantu. Dua di antaranya masih memelotot hebat dan menjaga sikap. Ia terkekeh, lalu tersipu malu, "Jangan gitu ah, Pak Fajri, Pak Wawan. Begini-begini saya masih orang biasa kok. Pak Herman dan Bu Sharla saja mengerti."

"Mereka mah emang nggak kenal sama ibu," keluh Fajri dalam hati.

Senyum Puji masih begitu manis, "Nggak enak lah, kalau saya pakai nama asli. Takutnya rekan-rekan sekalian merasa terbebani. Nggak tiap hari saya meminta tolong untuk urusan pribadi. Apalagi buat hal yang asalnya cuma dari cerita ayah saya. Ada banyak urusan negara yang perlu didahulukan. Saya nggak mau lah, memakai dana negara buat yang beginian."

Herman masih benar-benar tidak mengerti dengan siapa ia sedang berbicara. Puji hanya memandangnya, seperti seorang guru memandang siswa berbakatnya. Kini, Herman dilanda rasa takut akan malu yang kelak menimpanya jika ia bertanya, "Emang Ibu siapa ya?" Sehingga, ia membungkam mulutnya dan membiarkan Bu Puji atau siapa pun berbicara.

"Jadi, apa saya boleh cerita sedikit? Soal latar belakang permintaan saya lima tahun lalu?" pinta Puji dengan nada merdu. Herman dan kawan-kawan mengangguk sambil terpesona.

Puji semringah, "Terima kasih, Pak, Bu. Saya cerita ya. Sebenarnya penelitian Pak Herman ini awal mulanya datang dari cerita ayah saya. Saya memang lahir di Kota Padang, namun kalau bukan karena cerita turun-temurun ini, mungkin saya akan lahir di tepi Danau Maninjau. Sedari kecil, itu saja yang dibilang ayah saya, kalau kami semua sebenarnya orang Maninjau. Namun karena cerita turun-temurun ini, silsilah keluarga saya selalu menghindari Danau Maninjau—melarang untuk tinggal di sana. Padahal, bukan main indahnya pemandangan di sana. Tapi nahas, saya cuma dibolehkan berkunjung. Nggak pernah dibolehkan untuk tinggal lama di sana.

"Keluarga saya—ayah saya—, percaya bahwa tinggal di Danau Maninjau itu tidak boleh. Ada penunggunya, yang katanya tidak mau manusia menodai kesakralan Danau Maninjau. Waktu kecil, saya percaya betul cerita ayah saya. Belum lagi ayah saya bercerita, bahwa keluarga kamilah yang turun-temurun meneruskan wahyu penunggu ini. Kata ayah saya, silsilah kamilah yang satu-satunya diselamatkan dari murka penunggu itu—ribuan tahun lalu. Saya sudah tanya banyak orang, terutama orang-orang yang tinggal di tepi danau. Tapi ternyata, hanya keluarga saya yang tahu cerita soal penunggu ini.

"Namun ketika saya sudah dewasa, cerita ini akhirnya cuma jadi dongeng tidur. Saya saja sempat lupa. Diingatkan lagi dalam bentuk wasiat, ketika ayah saya meninggal karena usia. Semenjak itu, cerita Danau Maninjau selalu ada di pikiran saya. Sebagai tradisi, saya juga ceritakan ke anak-cucu saya. Tapi dalam benak saya, saya nggak pernah mengerti kenapa cerita ini ada, kenapa cuma silsilah saya yang tau, dan kenapa nggak ada orang lain yang tau. Baru, satu dekade lalu, saya cari orang buat menguak misteri cerita ayah saya. Tapi karena pekerjaan, saya nggak pernah benar-benar bisa menelusuri sampai tuntas.

"Walau saya sudah dianugrahi posisi dan harta, saya nggak pernah lupa cerita ayah saya. Karena cerita ini nggak ada sangkut pautnya dengan urusan negara, akhirnya saya memakai biaya sendiri untuk merekrut peneliti. Namun nggak ada yang mau. Sempat ada, tapi berakhir di hipotesis belaka—yang ujung-ujungnya cuma memperumit misteri cerita ayah saya. Hipotesis soal kantung gas, soal Danau Maninjau yang merupakan danau kaldera, yang akhirnya cuma jadi hipotesis. Dan rekan-rekan sekalianlah yang mengonfirmasi hipotesis tersebut.

"Berat rasanya, ketika cerita ayah saya menjadi kenyataan. Semua korban jiwa masih menghantui saya sampai saat ini. Ternyata cerita ayah saya adalah kenyataan, yang sudah lama dilupakan. Berawal dari cerita, menjadi prasangka, kemudian kenyataan. Tapi jasa rekan-rekan sekalian, jelas nggak ada yang dapat membantah. Apa yang saya proposalkan kepada Bapak Presiden, yang hari ini akan dijadikan kenyataan, merupakan sebuah pengingat untuk warga Indonesia sekalian: sosok pahlawan bukan hanya sosok yang mengorbankan jiwa-raganya demi kedaulatan Indonesia. Sosok pahlawan juga bisa seperti Raden Ajeng Kartini dan Ki Hajar Dewantara. Sosok berani yang berjuang di bidang pendidikan, keilmuan, dan kemajuan. Pak Herman, Bu Sharla, Pak Fajri, dan Pak Wawan adalah contohnya. Perjuangan rekan-rekan sekalian harus diabadikan, sebagai peringatan bahwa dengan ilmu dan pendidikan, Indonesia bisa lebih maju dan berdaulat."

Herman mendengar seluruh cerita Bu Puji dengan pana yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Rasa bangga yang sempat pupus, kini muncul dalam dirinya. Memang, kehadirannya di Istana Presiden untuk dinobatkan sebagai pahlawan masih belum benar-benar terjustifikasi dalam benaknya. Namun cerita Bu Puji membuatnya menyadari, bahwa apa pun yang ia lakukan sebagai pemburu hantu, ternyata berujung pada kemajuan negara tempat ia lahir.

Setelah berbasa-basi soal nasi goreng, Bu Puji pamit. Para pemburu hantu bertatapan satu sama lain. Lama mereka bertatapan, dan tidak ada satu pun dari mereka yang tersenyum. Namun demikian, masing-masing dari mereka menyadari binar dari wajah teman-temannya; mereka semua tersenyum dalam hati.

"Jadi tadi Bu Puji itu siapa emangnya?" tanya Herman tiba-tiba.

Fajri memutar matanya dan menyumpahi Herman dalam hati, "Menteri Riset dan Teknologi, bego. Makanya jangan main mesin mulu."

Kini Herman menyadari betapa bodoh dan kolot dirinya. Wajahnya memerah, dan kepalanya tertunduk. Berkali-kali ia menyumpahi dirinya dalam hati.

*****

Proses penobatan dimulai sekitar dua jam setelah sarapan pagi. Para pemburu hantu melewati proses yang dipenuhi pidato dari siapa, kemudian dari siapa, yang diakhiri oleh siapa. Hanya satu pidato yang Herman tahu jelas, yakni pidato presiden.

Ketika ia maju untuk dianugrahi gelar pahlawan, Herman pun tak merasakan apa-apa. Ia dibombardir oleh kilatan kamera, berjabat tangan dengan presiden, sambil memamerkan medalinya ke khalayak umum. Hanya satu yang ia ingat, dan menjadi kenangan abadi di benaknya. Kalimat Bapak Presiden ketika gelar pahlawan itu diberkan kepadanya:

"Kini, Para Pemburu Hantu, telah resmi menjadi Para Penakluk Hantu."

[]


Continue Reading

You'll Also Like

461 105 58
Keluarkan semua yang mengendap dalam hatimu, tidak berguna kau menyimpan cacat hati jika untuk disesali. Bawa dirimu pada kebahagiaan, tumpahkan deng...
24.7K 846 8
Ku memang tak sempurna. Bila dibandingkan dengan kalian yang memiliki segalanya dari keharmonisan keluarga. Aku terlahir dalam keluarga yang harmonis...
14.5K 1K 45
Seorang anak yang diyakini memiliki kemampuan atau sifat yang spesial, tidak biasa, dan bahkan supranatural. "semoga dengan cerita saya ini dapat men...
320 56 16
Kisah seorang pemuda, Mulai dari SMP, SMA, bahkan sampai ke jenjang kuliah, menceritakan kisah percintaannya, perjuangan nya, jatuh bangun nya, asam...