PARA PENAKLUK HANTU

Od KalaSanggurdi

326 25 9

Herman dan Sharla adalah "orang pintar" yang sering mendapat tawaran untuk membasmi hantu di berbagai pelosok... Viac

Bab 1: PARA PEMBURU HANTU
BAB 2: LIMA TAHUN YANG LALU
BAB 3: WAWAN BERAKSI
BAB 4: PETUALANGAN KE INDRAMAYU
BAB 6: PARA PENAKLUK HANTU
BAB 7: LUKISAN NYI DI DATARAN TINGGI DIENG

BAB 5: KLIEN DARI MANINJAU

7 0 0
Od KalaSanggurdi

"Keren banget, Mbak," Wawan terpana dengan model karakter permainan yang dimainkan Sharla—yang baru ia beli dengan harga ratusan ribu Rupiah. Ia sendiri masih belum selesai terpana dengan komputer baru yang dibeli oleh Sharla.

"Yoi," Sharla bangga, meskipun ia masih kesal karena kalah tanding dalam permainan Defense of the Artifact 3. Ternyata komputer bagus tidak dapat membantu Sharla bermain lebih baik.

"Aku masih nggak nyangka kamu pinter nge-build PC ya. Layar 16k, VRAM 24Gb, RAM 128Gb, CPU 4GHz, liquid coolant, RGB... keren, keren. Framerate sampe 144 fps," bahas Herman, "Tapi tetep aja, aku masih kesel."

"Kenapa kesel?" tanya Sharla yang menutup permainannya, dan mulai bermain permainan lain.

"Karena kamu make PC secanggih ini buat main solitaire."

"Suka-suka aku dong," Sharla tak acuh dan lanjut main solitaire.

Herman memutar mata lalu menatap Wawan, "Lu kalo buang-buang duit jangan kayak istri gua ya. Duit dari Pak Agung masih ada kan?"

Wawan terkekeh, "Udah abis, Bang."

"Gimana?!" Herman kaget.

Kekehan Wawan semakin kikuk, "Ya, gimana ya, Bang?"

Herman secara agresif menggaruk kepalanya, "Lu in total dapet 250 juta! Terus lu bilang duitnya udah abis?!"

"Iya, Bang," Wawan memasang senyum tanpa dosa.

"Lu ke manain?! Baru tiga bulan, jir!"

Wawan terdiam, namun masih tersenyum. Herman masih menagih jawaban, dan akhirnya Wawan bercerita, "Jadi gini, Bang: gua ada adek kembar. Bulan lalu baru mau mulai kuliah mereka. Aslinya emang mau dibayarin ama ortu sih, Bang. Tapi gua maju aja, mau bayarin. Buat ngeringanin beban lah, Bang, soalnya kuliah adek-adek gua rada mahal."

Kini Herman yang terdiam. Ia memastikan, "Jadi duitnya lu pake buat bayarin adek-adeklu kuliah?"

"Iya, Bang," senyum Wawan sambil tersipu.

"Aw, kakak yang baik banget lu ya," Sharla meleleh; "Jadi adeklu kembar?"

"Iya, Mbak," kekeh Wawan masih merah tersipu.

"Namanya siapa?" suara Sharla masih tinggi dan diringankan senyum.

"Nina sama Ninet, Mbak. Cewek dua-duanya," Wawan menjelaskan; "Yang satu masuk hukum, yang satu lagi masuk psikologi."

"Ih! Lucu banget! Gua ada adek tingkat dong ya," Sharla bersemangat; "Kuliahnya di mana mereka?"

Wawan seperti menghindar, "Ada lah, Mbak. Di Jakarta; universitas swasta. Makanya rada mahal. Maklum lah ya, masuk negeri rada susah."

"Nggak apa-apa banget, kok, Wan. Yang penting mereka bisa kuliah," senyum Sharla; "Noh! Kayak Wawan dong, Beb! Dermawan!"

Herman tegertak, "Lah kok?! Aku kan anak tunggal!"

"Kasian, deh! Nggak punya saudara! Makanya autis," ejek Sharla, yang benar-benar tidak seperti seorang psikolog.

Herman menggerutu. "Ya masa aku minta adek ke ortu aku sekarang."

"Bang Herman anak tunggal?" tanya Wawan membanting topik.

"Iya," jawab Herman cepat.

"Lu mau, Wan, ada lagi orang kayak Herman? Nggak bersyukur lu Herman cuma ada satu?" kekeh Sharla.

"Bangsat," ujar Herman dalam hati.

Wawan tersenyum, "Lucu aja, gitu, Mbak. Gua kira Bang Herman punya saudara. Mbak Sharla punya saudara?"

Sharla memutar kursinya agar dapat mengobrol dengan suami dan bawahannya, "Gua ada adek cowok sih. Seumuran lu kayaknya; baru lulus."

"Sama persis kayak Sharla, Wan. Gamer juga. Kayaknya lebih parah lagi," Herman menambahkan.

"Tapi asik, Beb," Sharla menangkal; "Bisa main bareng. Kamu udah nggak punya saudara, nggak punya temen, kan? Nggak pernah main bareng. Kasian deh."

"Buset, Beb, direm dikit itu mulut!" Herman rewel.

Wawan sekali lagi mengembalikan pembicaraan pada topik awal, "Terus adeknya Mbak Sharla lulusan apa? Psikologi juga, Mbak?"

"Oh, nggak. Dia lulusan manajemen. Kuliah di Bandung."

"Kece juga, Mbak," puji Wawan.

"Kece sih kece, Wan. Tapi doi masih pengangguran," Sharla menghela napas.

"Nggak apa-apa, Mbak. Gua juga masih jadi barista, kan?" Wawan berusaha menaikkan semangat Sharla.

"Apaan, barista. Lu kelar kuliah baru berapa bulan, udah dapet duit ratusan juta," Sharla memuji balik.

Wawan tertawa, "Ortu gua sampe curiga loh, Mbak. Nanyain duitnya dari mana."

Herman ikut obrolan, "Terus lu bilangnya gimana?"

"Gimana?" Wawan agak bingung; "Ya, gua jawab jujur aja, Bang. Gua kerja sama pemburu hantu yang lagi ngetren di TV. Mereka rada nggak percaya gitu. Gua kasih selfie kita-kita, baru percaya mereka. Hehehe!"

"Buset, pemburu hantu yang lagi ngetren di TV," Herman tersipu; "Ngomongin apa aja emang lu?"

"Ngomongin apa, maksudnya, Bang?" Wawan agak tidak nyaman, karena yang ia ingat soal ceritanya sendiri adalah bagaimana ia mengumbar aib Herman yang cukup sinting.

"Ya, apa aja yang lu obrolin," jelas Herman.

"Gitu-gitu aja, Bang. Gua ngapain aja, pemburu hantu kayak gimana, sama alat-alat buat ngeburu hantu kayak gimana aja..." Wawan kemudian pamer, "Terus gua jelasin tuh, satu-satu, dari Spektolskop sampe Detektif Kentut!"

Herman memutar mata, "Mentang-mentang udah ngerti ya, lu. Dasar."

"Emang ngerti ortulu?" tanya Sharla.

"Kagak," jawab Wawan cepat dengan sambutan kekehan.

Sharla ikut terkekeh, "Jelas banget. Yang ngerti kayak gituan cuma orang gila!"

"Kamu orang gila juga dong," Herman membela diri.

"Yoi! Makanya aku nikahin kamu. Cuma orang gila yang mau sama kamu!" tawa Sharla meledak.

"Kurang ajar. Jadi istri kok gini amet sih," gerutu Herman.

"Abang sama Mbak cocok kok," timpal Wawan yang hendak melerai.

"Halah, kutu kupret," Sharla memutar mata; "Turun yuk, pengen nyebat. Udah shift-nya Wawan juga, kan?"

Herman mengangguk. Terakhir kali ia ketahuan merokok di lantai dua ruko tempatnya tinggal, Sharla marah-marah karena bau rokok akan mengusir kliennya. Meski Sharla kerjaannya memang menggerutu 24 jam 7 hari, Herman tak ingin memancing gerutu sungguhan dari istrinya.

*****

Kafe Herman sudah banyak berubah. Bersama dengan adik Fajri, Wawan menambahkan berbagai macam perhiasan seperti poster dan kata-kata unik di tembok dinding. Tidak lupa, lilitan lampu yang digunakan pada pemburuan hantu di Indramayu kini menghiasi dinding dan langit-langit kafe, malah hingga terbentang sampai lapangan luar ruko, tergantung pada tiang-tiang ramping. Penataan kafe juga sudah lebih terasa mewah, dan menu kopi yang dapat dipesan juga sudah jauh lebih beragam.

Wawan kini menjadi barista tunggal, menggantikan Ersa si gadis barista baru. Ia kewalahan, karena pelanggan kafe sudah membeludak. Sebenarnya, Herman dan Sharla pun harusnya tidak mendapatkan tempat duduk dengan keramaian kafe. Untungnya tempat duduk favorit tim pemburu hantu selalu dilabeli "reserved" oleh Wawan dan Ersa.

Ketika Herman dan Sharla duduk, beberapa mata tertuju kepada mereka berdua. Sepertinya orang-orang tersebut hendak meminta swafoto bersama mereka, namun terlalu malu untuk mendekati. Toh, Herman sempat melihat satu-dua di antara orang tersebut diam-diam mengambil fotonya beserta istri. Herman tidak merasa nyaman dengan seluruh perhatian itu, namun memang mungkin belum terbiasa saja.

Ketika rokok Sharla sudah dinyalakan, Herman memulai basa-basi, "Kamu ada kepikiran mau mulai nyari rumah?"

Sharla menghembuskan asap, "Ngapain?"

"Ya, duit kita kan udah banyak. DP rumah bisa lah."

"Ngapain?" Sharla menekan perkataannya.

"Buat punya rumah, lah! Mau tinggal di sini terus?"

"Mentang-mentang udah punya duit ya kamu. Bahasannya jadi mau beli rumah. Emang bisa ngurusnya?"

"Tinggal nyewa pembantu, kan?"

"Males banget. Nggak usah, lah. Klien aku pada taunya aku buka klinik di sini."

"Ya kliniknya tetep di sini. Tapi kita tinggal di rumah."

"Terus tiap hari bolak-balik ngabisin bensin buat ke sini? Males banget. Mending duitnya buat yang penting-penting."

"Emang rumah nggak penting?"

"Ini kita udah punya tempat tinggal, Beb. Ngapain punya tempat tinggal banyak-banyak? Kayak boomer aja kamu."

"Bisa buat investasi, kan? Kita kontrak-kontrakin. Duitnya lebih banyak."

"Sejak kapan otak kamu jadi duit gitu? Yang lulusan teknik Jerman tapi malah buka kafe kan kamu."

"Goblok," gerutu Herman.

"Lagian, mancing," ejek Sharla; "Udah lah, tinggal di sini aja. Udah pewe. Duitnya buat yang beneren penting aja."

"Emang yang penting apaan?" tanya Herman dengan tatapan menuduh.

"Skin karakter game, game baru, mi goreng seblak, telur gulung—"

"Eh, gila. Gituan penting buat kamu?!"

"Iya," ucap Sharla sambil melotot; "Kamu sendiri punya duit banyak malah beli perkakas baru buat ngutak-ngatik mesin. Emang yang kayak gituan penting?"

"Penting lah!" Herman membela diri; "Buat kerjaan juga."

"Ini kerjaan ngeburu hantu nggak bakal tahan sampe kita tua, Beb. Dua puluh taun dari sekarang orang udah nggak bakal percaya lagi sama hantu. Udahlah! Kafe kamu sama klinik aku udah jadi reliable income. Mau apa lagi emang? Kapal pesiar? Buat apaan? Mancing sarden?"

"Ya nggak kapal pesiar juga, Beb."

"Elah," Sharla memutar mata; "Ngapain sok-sok jadi orang kaya. Kita kayak gini aja udah hepi. Orang kaya banyak pikiran, banyak musuh, banyak parasit. Be humble aja kek."

"Ya udah, ya udah," Herman mengalah; "Ngomongin rumah malah jadi kayak gini."

"Aku udah berkali-kali bilang, Beb," Sharla mulai berargumen, "Yang tau seluk beluk pikiran manusia antara kita berdua tuh aku. Manusia tuh udah bakal hepi-hepi aja kalo bisa makan, bisa berak, bisa tidur. Depresi obatnya olahraga, bukan duit. Masalah keluarga obatnya ngobrol, bukan duit. Kamu mah enak, ortu kaya, bisa nyekolahin kamu sampe Jerman. Tapi akhir-akhirnya kamu ke aku juga, kan? Konsultasi? Kenapa, waktu itu? Depresi? Hah! Ketajiran ortu kamu nggak bisa ngobatin kesepiannya kamu, kan?"

"Hadeh, mulai lagi kamu," Herman memutar mata dan menghembuskan asap.

Sharla melanjutkan, "Idup kita udah lebih bahagia juga kan, semenjak pacaran? Kita tinggal di ruko kontrakan, buka kafe butuk, buka klinik kecil. Dulu kita nggak ada duit. Tapi sampe sekarang hepi-hepi aja kan? Sekarang pas duit melimpah, pas muka kita udah terkenal, idup kita jadi lebih baik nggak? Nggak, kan? Biasa-biasa aja? Bukan gara-gara duit sama pamor kita bisa hepi kayak gini. Kalo idup udah cukup, mau duit cuma seuprit, kita tetep bisa hepi."

"Iya, iya," Herman mulai malas mendengarkan.

Sharla masih saja melanjutkan, "Kamu juga, kapan terakhir kali olahraga? Kemaren aku ajakin ngegym alesannya apa? Males? Elah. Padahal itu obat depresi sama penyakit kronis. Duit udah melimpah, udah bisa sewa gym bagus, masih aja males-malesan. Itu perut udah kayak hamil 28 bulan masih aja nggak diurus. Entar kalo udah diabetes, baru deh mewek-mewek. Padahal tinggal pergi, tinggal bayar, tinggal—"

"Hai sisters!"

Fajri datang memotong ceramah Sharla dan menyelamatkan Herman. Herman bersyukur dalam hati, "Jri, rokok, Jri."

"Wah, rokoknya naik level nih, kalian. Apa nih? Cigarillo?" komentar Fajri melihat rokok Herman dan Sharla tidak dibalut keras putih, melainkan tembakau.

"Bukan, Jri. Rokok biasa, tapi balutannya tembakau. Lebih berasa," senyum Herman.

Melihat Sharla cemberut karena terpotong, Fajri bertanya, "Napa, sis? Gua motong ya? Emang ngobrolin apa kalian?"

Cemberut Sharla langsung menghilang, "Si tolol satu ini kemakan duit, Jri."

"Oh ya?" tanya Fajri dengan nada sarkas; "Kena penyakit OKB dia?"

"Yoi," Sharla menghirup asap.

"Kayak bisa aja ngatur duit. Emang mau dijajanin apaan?" Fajri mengambil rokok cokelat Herman, dan menyalakannya.

"Rumah," ejek Sharla.

"Emang sanggup ngurusnya, sis? Kalian berdua tuh orang yang paling nggak bisa ngurus rumah, tau," Fajri terkekeh.

Sharla membela diri, "Gua sih bisa-bisa aja, Jri. Naluri cewek gua gini-gini masih ada. Cuman ngapain punya rumah kalo di sini udah pewe?"

"Gua sih nggak bisa tinggal di kantor sendiri ya, sis. Tapi kalo lu nyaman, ya udah. Di sini aja," Fajri jelas lebih suportif terhadap Sharla ketimbang Herman. Herman sadar, dan hanya bisa menggeleng-geleng sambil tersudut duo spesialis kejiwaan yang sakit jiwa.

"By the way, gimana bisnis?" Fajri mengubah topik.

"Bisnis kafe ato ngeburu hantu?" Herman memastikan.

Fajri menghela asap, "Ngeburu hantu aja. Kafe kalian udah cantik, nggak akan gua hina-hina dulu lah sampe entar kalo gua bosen."

"Terakhir sih dapet klien yang dirujuk Pak Rahmat. Tebakan kalian bener, coy. Pengedar narkoba juga. Wawan lagi yang ngurus. Intinya cuman mau dapet sertifikat 'bebas hantu' dari kita-kita," Herman menjelaskan.

"Lumayan, Bang, dapet duit diem kita," ujar Wawan yang tiba-tiba muncul karena mendengar namanya tersebut.

"Lah, Wawan," ujar Herman. Ia hendak bertanya apakah Wawan tidak sibuk, namun ia urungkan niat itu ketika melihat tidak ada pelanggan di kasir kafe yang sedang memesan sesuatu.

"Oh, ya? Dapet berapa?" senyum Fajri.

"Dapet 25, Bang," senyum Wawan penuh kemenangan.

Fajri mengangguk-angguk, "Wah, pantes Herman kena penyakit OKB. Udah masuk tivi, masuk tivi lagi gara-gara perkara benteng Jepang kemaren. Orang sekarang kalo ngetips nggak ngira-ngira. Lu gimana, Wan? Dah mulai ngerti perkakas Herman?"

Wawan hendak pamer, "Udah dong, Bang. Gampang!"

"Wah, Man," Fajri memandang Herman; "Lu udah bisa pensiun. Wawan aja yang maju besok-besok."

Senyum Wawan masih muncul, namun wajahnya memucat mendengar komentar Fajri. Herman terkekeh, "Iye sih, udah ngerti baca data, pinter nego... besok lu aja Wan yang ngeburu hantu."

"Ya nggak gitu juga dong, Bang," Wawan berusaha menyelamatkan dirinya.

"Nggak apa-apa, Wan," Fajri menarik asap; "Itu duit semua isinya. Kali, lu mau traktir gua luluran. Hahaha!"

"Oh, lu beneren luluran?" Sharla langsung menyahut.

"Iya dong, sis! Tebak siapa yang nraktir!" Fajri memamerkan mulus wajahnya kepada dua lelaki yang seumur hidup tak pernah luluran.

"Udah ya, Jri. Utang gua lunas," Herman komentar dengan nada kalah. Sharla tertawa terbahak-bahak.

"Iya, Man, iya. Gua kasih," senyum Fajri; "Nah, lu udah pada tau kenapa gua dateng ke sini?"

Herman dan Wawan saling berpandangan. Kemudian, Herman menebak, "Buat pamer lu habis lulur?"

Fajri memutar mata, "Of course, sisters. Biar kalian berdua minimal bisa belajar ngerawat kulit buluk kalian dari si master. Tapi nggak cuman buat pamer doang, sis."

"Apa, Jri?" Sharla ikut penasaran.

Fajri mempersiapkan diri, dan mengatur duduknya hingga badannya miring ke arah teman-temannya, "Ada calon klien baru. Kayaknya selevel sama Pak Agung. Dari SumBar."

"Wah, klien supertajir lagi?" Herman langsung tertarik.

"Namanya lucu sih: Warta Lana. Kayaknya nama samaran. Cuma dia berani narok DP setengah M. Setengah M, sisters!"

Tiga orang di depan Fajri langsung menengok satu sama lain. Mereka butuh waktu untuk mencerna kata-kata Fajri. Sharla bertanya sekali lagi, "Setengah M? Lima ratus juta?"

"Iya!" Fajri berteriak dalam bisik.

"Yang bener lu?" Herman masih tidak percaya.

"Ampun, sis! Mau gua tunjukin emailnya ke kalian semua?"

"Bentar, bentar," Herman menenangkan keadaan, "Ini klien tau, kan, sewa jasa kita nggak sampe segitu?"

"Gua nggak tau, ya, kalo itu," Fajri bersender pada kursi; "Cuma dia specifically bilang kalo dia bakal bayar di muka segitu. Hari ini katanya perwakilannya mau dateng."

Sharla mengernyitkan alisnya, "Hari ini banget? Nggak besok? Udah jam sepuluh malem gini."

"Ya, gimana ya, sis. Bisa aja ini orang omdo doang. Terus gua ke sini cuma buat pamer hasil luluran gua," ujar Fajri ringan, seakan-akan ia habis bercanda.

"Elah, kalo kayak gitu mah, emang cuman omdo dong!" Herman kecewa.

Di ujung pandangan Wawan, ia menangkap sosok tinggi besar memasuki kafe. Penasaran, ia menengok kepada sosok itu. Ia perhatikan cara pakaiannya, yang serba putih dengan jas layak orang Hindia Belanda—lengkap dengan topi. Rambutnya lebat sebahu, dan brewoknya juga terpampang menutupi seluruh lehernya. Wajahnya tegas, hampir-hampir seram. Matanya seperti melotot, meski Wawan yakin matanya memang sebesar itu.

Tiba-tiba, sosok tinggi besar itu memandang balik kepada Wawan. Wawan bergeming. Sosok itu mendekat.

"Kenapa, Wan?" Herman mendapati raut wajah Wawan yang seakan-akan seperti sedang melihat hantu. Tak perlu menunggu lama, Herman sadar siapa yang sedang dilihat Wawan. Kepalanya mendongak ke atas, memandangi sosok tinggi besar yang tiba di depan meja para pemburu hantu. Dengan serta merta, semua mata pemburu hantu tertuju kepadanya. Diam menyelimuti semua orang yang terlibat.

"Pak Herman?" ujar sosok itu.

"Iya," Herman heran; "Kenapa ya, Pak?"

"Oh," sosok itu tersenyum; "Perkenalkan, saya Sena Galang. Sudah dapat email dari Ibu Warta?"

Herman langsung reflek memandang Fajri, dan Fajri reflek memandang balik. Keduanya bergeming dan terheran, namun keduanya mengonfirmasi kebenaran cerita Fajri.

"Iya, Pak. Berarti Bapak perwakilannya Bu Warta?"

"Benar, Pak Herman. Apa sudah terlalu malam, Pak?" sosok itu melihat sekeliling, seperti sedang resah.

"Oh, nggak apa-apa, Pak. Kami masih available."

Sosok itu menunjukkan giginya dengan senyum, "Oh, baik, Pak Herman. Kalau begitu saya mau langsung saja."

Herman memandang teman-temannya, terdiam sesaat. Setelah mendapatkan hawa konfirmasi dari teman-temannya, Herman berdiri, "Mari Pak, ke lantai dua. Kita bahas di atas."

"Baik, Pak Herman," senyum Sena. Ia melangkah mundur agar para pemburu hantu punya ruang untuk berdiri. Mereka berlima bergegas menuju lantai dua.

*****

Sena menyeduh kopi yang disediakan Wawan. Ia tersenyum, menghirup harum kopi dan memberi komentar, "Ternyata kopi kafe Pak Herman sebagus nama Pak Herman sendiri, ya."

Herman tersenyum formal, diikuti Sharla, Wawan, dan Fajri. Keempatnya tegang, namun antusias menyambut cerita klien baru mereka. Bagi Wawan, sosok Sena begitu esentrik. Seragam dan topi putihnya begitu bersih, namun wajah Sena seperti preman beringas. Hampir Wawan mengira bahwa Sena adalah penulis terkenal, atau mungkin seniman ternama yang belum pernah ia dengar sebelumnya. Jelasnya, Sena terlihat seperti orang yang memang sanggup membayar setengah miliar Rupiah detik itu juga.

"Baik, saya mulai," Sena bersender; "Siapa saya, dan siapa klien saya, sebenarnya tidak penting untuk Anda-Anda sekalian. Yang penting adalah perihal yang akan saya bawa ke hadapan Pak Herman dan rekan-rekan. Perlu saya tekankan, klien saya bukan orang yang senang bermain-main. Jadi jumlah uang yang ditawarkan di email klien saya itu jumlah nyata, yang akan langsung saya transfer ke rekening Pak Herman malam ini juga... kalau Pak Herman dan kawan-kawan setuju untuk melayani permintaan klien saya."

Herman meneguk ludah. Jelas ia akan mengiyakan apa pun permintaan Bu Warta, jika uang yang terlibat memang sebanyak itu. Namun jumlah uang yang begitu tinggi membuatnya ragu, malah khawatir, terhadap permintaan Bu Warta. Herman dapat merasa bahwa teman-temannya juga berpikir demikian—bahkan Wawan yang biasanya berwajah bingung, kini memasang wajah yang tak kalah seriusnya.

Sena menerawang ke langit-langit, sembari memainkan jemarinya, "Jelasnya, klien saya tidak mengharapkan pembasmian 'hantu'. Saya rasa hal itu sudah jelas, mengingat Pak Herman dan kawan-kawan selama ini tidak benar-benar membasmi hantu. Yang dibutuhkan klien saya adalah kemampuan Bapak-Ibu sekalian... alat-alat dan kecerdasan Anda-Anda sekalian. Namun, iya, dari modal yang akan klien saya berikan saja, mungkin Bapak-Ibu sekalian dapat menyadari 'skala' dari permintaan klien saya."

"Maksud Pak Sena?" Sharla berusaha menggali.

Sena terkekeh singkat, lalu melanjutkan dengan senyum, "Bu Sharla, atau Pak Herman, apakah familiar dengan geografi Indonesia?"

Sharla dan Herman saling memandang dalam bingung. Sena melanjutkan, "Ada sebuah cerita, umurnya mungkin sudah ribuan tahun, yang sayangnya sudah punah dan tak pernah terdengar lagi di kawasan Danau Maninjau. Penduduk di sana sempat mengungsi besar-besaran, membawa cerita mengenai kutukan yang akan menimpa siapa pun yang berani tinggal di sana. Konon, seluruh penduduk yang tinggal di sana, bersamaan dengan seluruh hewan ternak dan ikan di dalam danau, mati misterius dalam semalam, persis setelah gempa melanda Danau Maninjau."

Fajri meneteskan keringat dingin. Ketika ia melirik pada Wawan, ia sadar bahwa bukan dirinya saja yang berkeringat dingin. Pembawaan Sena seakan-akan mistis. Cara bicaranya, penampilannya, hingga cerita yang ia bawa, semua terasa magis. Pengalaman keempat pemburu hantu itu cukup untuk menghilangkan kepercayaan mereka terhadap takhayul, namun Sena terlihat seperti sebuah takhayul yang menjadi kenyataan.

Setelah menyeduh kopinya, Sena kembali bercerita, "Klien saya adalah satu dari sekian sedikit orang yang tersisa, yang masih mendengar sayup-sayup cerita itu. Memang klien saya belum mengonfirmasi,—untuk itu klien saya meminta bantuan Bapak-Ibu sekalian—namun klien saya meyakini bahwa fenomena itu terjadi karena sesuatu yang ada di dasar Danau Maninjau. Mungkin sebuah kerak bekas ledakan gunung api, mungkin sebuah ruang kosong. Dari geografi Danau Maninjau itu sendiri, yang merupakan danau kaldera, klien saya menebak bahwa cerita itu nyata. Ratusan, atau bahkan ribuan jiwa, mati karena keracunan karbon dioksida. Gempa yang melanda pada waktu itu mungkin menggeser kerak di dasar Danau Maninjau. Dan dari kerak tersebut, terlepas berton-ton karbon dioksida yang cukup untuk mengubah konsentrasi udara. Dua hal yang kemudian membuat fenomena itu mematikan adalah: Danau Maninjau itu sendiri sebenarnya adalah kawah yang diliputi pegunungan, dan bahwa karbon dioksida adalah gas berat yang akan turun ke permukaan bumi. Udara biasa digantikan oleh gas karbon dioksida, dan gas itu diperangkap oleh pegunungan yang mengelilingi Danau Maninjau."

Wawan hampir memasang wajah bingungnya, karena ia kesulitan memahami cerita Sena. Namun omongan soal ribuan kematian membantunya memasang wajah serius. Herman mengerti betul cerita Sena, namun terpana karena ia sendiri tidak pernah memikirkan kemungkinan tersebut.

Sena kemudian memajukan badannya ke hadapan para pemburu hantu, dan menyudahi senyumnya. Ia melanjutkan, "Pak Herman dan rekan-rekan sekalian. Yang saya dan klien saya bicarakan di sini adalah ribuan nyawa penduduk sekitar Danau Maninjau. Kita tidak tahu kapan gempa berikutnya di kawasan tersebut, dan kita tidak tahu apakah gempanya akan cukup untuk membuka lagi kerak di dasar danau. Namun jika kejadian di cerita ini pernah terjadi, maka luapan gas karbon dioksida akan membanjiri seisi pegunungan. Tidak ada ruang untuk terjadi kesalahan. Yang klien saya inginkan adalah: Pak Herman dan rekan-rekan datang ke Danau Maninjau, dan meneliti dasar danau. Itu saja. Semua kendala finansial akan ditanggung. Klien saya tidak peduli berapa banyak biaya yang diperlukan Bapak-Ibu sekalian. Bayaran untuk penelitian yang sukses adalah sepuluh kalilipat dari yang akan saya berikan malam ini. Namun jika dari penelitan tersebut, ada kemungkinan cerita punah ini terjadi lagi, maka klien saya akan meminta Bapak-Ibu sekalian untuk melakukan sesuatu. Mungkin mengungsikan seluruh penduduk di sekitar Danau Maninjau, atau menangulangi bencana alam itu. Jika berhasil, maka klien saya akan menambahkan lagi sepuluh kalilipat. Total yang Bapak-Ibu akan dapatkan adalah 55.5 miliar Rupiah. Semua itu tidak termasuk biaya yang Bapak-Ibu perlukan untuk kesuksesan penelitian dan penangulangan bencana."

Sena dapat melihat seisi ruangan dipenuhi dengan mata terbelalak dan tubuh yang terpatung. Herman hendak berteriak, namun ia tidak tahu kenapa. Ia memikirkan dengan keras, sosok Warta Lana yang diwakilkan oleh Sena Galang. Seorang politikus? CEO dari perusahaan mahabesar? Nama samaran dari gubernur Sumatra Barat, atau mungkin seorang menteri maupun presiden? Kekuatan finansial yang dipamerkan Sena di luar akal orang awam, hingga pamor Pak Agung sendiri terasa kecil sekarang. Tidak hanya biaya transportasi dan hidup saja, yang bisa mencapai puluhan juta, namun juga biaya penelitian salah satu danau terbesar di Indonesia. Mustahil, malah mungkin terdengar sinting, bagi Herman. Apakah Sena serius atau tidak, hanya bisa dijawab pada malam itu juga.

"Bagaimana, Pak Herman?" Sena mengeluarkan gawainya, "Apakah bersedia?"

"Saya..." Herman kesulitan melanjutkan perkataannya; "Sebenarnya saya tidak yakin dengan omongan Pak Sena."

"Baik," Sena mengutak-atik gawainya, "Boleh tahu nomor rekening Pak Herman?"

Herman tegertak, dan dengan kikuk mengeluarkan gawai. Ia kemudian menyuguhkan Sena gawainya, yang menunjukkan catatan nomor rekening Herman. Sena mengangguk, lalu mengetik di gawainya.

Setelah selesai, Sena kembali bersender, "Boleh dicek, Pak Herman."

Herman mengambil kembali gawainya, kemudian mengecek tabungannya. Ia terbelalak. Sena ternyata sungguh-sungguh. Sena sendiri lanjut berbicara, "Kalau Pak Herman menolak, uang itu tetap milik Bapak. Anggap saja sumbangan dari klien saya. Namun jika Pak Herman tertarik, Bapak bisa mengucapkan langsung kepada saya."

Perlahan, Herman mengangkat kepalanya, mencari istri dan teman-temannya. Semua ternyata memandang dirinya. Beberapa detik kemudian, Fajri mengangguk lemah, meski raut wajahnya sama kusutnya dengan raut wajah teman-temannya. Sharla menyusul, dan Wawan yang terakhir mengangguk.

Herman mengangguk.

Sena tersenyum, "Baiklah, Pak Herman dan rekan-rekan sekalian. Sebenarnya Bapak bisa mulai kapan saja. Namun tidak ada yang dapat memprediksi kapan gempa berikutnya akan melanda Danau Maninjau. Jadi mungkin Bapak-Ibu bisa merencanakan dari sekarang."

Kopi Sena diseduhnya hingga habis, lalu ia merogoh tas kulit yang ia bawa. Setelah mengeluarkan beberapa lembar kertas bermeterai, Sena melanjutkan, "Sekarang, soal formalitas. Klien saya sebenarnya tidak peduli soal administrasi seperti ini, namun ini saya pribadi yang inisiatif. Buat jaga-jaga, sebaiknya ada ikatan legal di antara Bapak-Ibu dengan klien saya."

Herman membaca baik-baik seluruh kertas yang disajikan Sena. Tak satu pun perihal yang hendak ia pertanyakan, karena Sena berkata jujur: kertas-kertas ini hanya membahas ikatan legal. Setelah menunjukkan kepada Fajri, Sharla, dan Wawan, Herman menandatangani semua kertas itu.

Sena bergegas berdiri, "Baiklah, Pak Herman dan kawan-kawan. Terima kasih untuk kopinya, dan kerja samanya. Kalau ada apa-apa, saya bisa dihubungi melalui email yang kemarin. Saya pamit dulu."

Dan dengan begitu saja, Sena keluar dari ruangan itu. Kini tersisa para pemburu hantu, dalam hening dan diam yang begitu lama.

*****

"Gimana nih?" Herman mengusap rambutnya selagi menarik asap panjang; "Udah kelanjur gua iyain."

Jam menunjukkan pukul dua pagi. Kafe sudah ditutup sedari jam dua belas malam. Namun, keempat pemburu hantu masih berkumpul di salah satu meja.

"Mau nggak mau," Fajri termenung; "Siapa yang bisa nolak bayaran segede itu, sis."

"Tetep aja," Herman membanjiri teman-temannya dengan asap; "Duitnya kegedean. Kerjaannya kegedean. Kita tuh pemburu hantu, bukan peneliti. Dan... apaan sih yang kita teliti? Danau Maninjau? Nggak juga. Ini kita disuguhin cerita, entah beneren ato nggak."

"Ujung-ujungnya ceritanya juga soal hal mistis sih, Bang. Cuma agak beda aja," Wawan ikut menghirup asap; "Soal legenda Danau Maninjau."

"Nah itu, legenda. Lu nggak tau itu beneren kejadian ato nggak. Kalopun iya, itu legenda dari zaman kapan?" Herman pusing.

"Wan, bikinin kopi dong," pinta Fajri, yang kemudian membalas Herman; "Saran gua sih, Man, kita keep in contact aja sama Pak Sena. Kita masih bisa bilang kalo kita nggak sanggup, kok."

Wawan kembali ke belakang kasir, membuat kopi untuk semua teman-temannya. Sharla kini ikut mencoba mencerna omongan Fajri, "Cuma, Jri, kalo beneren ada kejadian kayak gitu di masa lalu, dan kejadian lagi, bisa banyak banget korban jiwanya. Kita secara nggak langsung bisa disalahin, karena kita udah tau informasinya dari Pak Sena."

Fajri melambai, "Itu kalo kejadian, sis. Kalo nggak? Kita dapet setengah miliar gratis. Kalo kita tolak dari sekarang, terus beneren kejadian, ya bukan salah kita lah! Yang kayak gini udah levelnya pemerintah yang nanganin. Bukan kita-kita lagi."

"Gimana kalo Pak Sena sama Bu Warta sebenernya pemerintah yang lagi nyamar?" duga Sharla; "Kita nggak tau juga mereka siapa. Nggak mungkin mereka iseng ngasih kita setengah miliar. Kita semena-mena sama mereka, mereka bisa aja nuntut kita. Ujung-ujungnya kita kena juga kalo kita bohong ato ngacir. Kita udah high profile banget, nggak mungkin yang kayak gini bakalan kependem begitu aja."

Fajri mengurut dahinya dengan tangan kiri, selagi rokok bertengger di tangan kanannya, "Gimana ya, sis? Apa gua coba cari tau dulu mereka ini siapa?"

Wawan kembali hadir, memberikan kopi ke tiga temannya. Setelah berterima kasih, Herman berpendapat, "Kayaknya percuma juga kalo kita nyari tau. Kalo emang bener orang pemerintahan, kita nggak bisa nolak lagi. Kalopun nggak ada hubungannya sama pemerintahan, orang yang bisa asal buang setengah miliar jelasnya bukan orang biasa. Bisa aja CEO dari mana, ato bandar narkoba gede. Dua-duanya tetep nggak enak. Antara kita tetep kena tuntut, ato kita bakal diburu ama orang dari dunia gelap. Kita nggak bisa tiba-tiba nolak ato bail out. Setengah miliarnya udah di kita."

"Balikin aja," ujar Fajri cepat, dan dengan cepat pulai mengambil gawai; "Ini gua mintain nomor rekening si Bapak deh."

Semua kembali diam. Kantuk melanda empat pemburu hantu, namun malam Minggu itu menghalangi semuanya untuk tidur. Misteri dan paranoia yang dibawa oleh Sena juga mencegah semuanya untuk menguap maupun melemah. Tiba-tiba, wajah Fajri berubah.

"Sisters," ujar Fajri yang terpaku pada gawainya; "Si Bapak udah ngirim email baru."

"Apaan?" Herman ingin lihat.

"Si Bapak ngasih rumah, mobil, sama kapal buat nanti kita di Danau Maninjau. Dia nanya kapan mau berangkat, buat dibeliin tiket pesawat. Dia juga nanyain lu perlu apa buat beli-beli perkakas, Man."

Mendengar Fajri, Herman dan Sharla memandang satu sama lain. Wawan terkekeh sambil merinding, "Udah nggak bisa ngacir kita, Bang."

Herman menggelengkan kepala, menyeduh kopinya, dan menyumpahi Sena, "Bangsat. Apa sih mau mereka?!"

"Mau kita kerja, Bang," Wawan berusaha meringankan suasana. Herman menggelengkan kepala sekali lagi.

"Ya udah, Beb. Mau ngggak mau," Sharla menghembuskan asap.

"Udah dikasih rumah, mobil, kapal, duit... ini mah emang udah soal kapan mau berangkat, sis. Bukan bisa ato nggak lagi," Fajri bersender pada kursi, menikmati wajah Herman yang makin berantakan.

Herman semakin menggaruk kepalanya, hingga akhirnya ia membanting tangannya pada meja, "Elah. Ya udah! Kalo duit bukan masalah, gua beli barang yang nggak-nggak."

"Nah, semangat dia sekarang," kekeh Fajri.

"Kita-kita ngapain tapi? Kita nggak ada jobdesk," Sharla menyeduh kopinya.

"Anggep aja liburan, sis. Berapa lama sih? Palingan seminggu dua minggu di sana. Worth it banget dibayar setengah miliar buat liburan ke Danau Maninjau. Biarin si Herman main-main sama Wawan," senyum Fajri.

"Kafe dipegang siapa, Bang?" tanya Wawan lugu.

"Entar bisa diurus lah ama adek gua," Fajri menghela asap; "Siapa tau dia bisa pedekate sama Ersa juga, kan?"

"Okelah," senyum Wawan. Ia tak mengira akan berlibur ke Sumatra Barat.

"Jangan seneng dulu lu, Wan. Lu bantuin gua," ujar Herman cepat. Cepat pula senyum Wawan memudar.

*****

Wawan sedang libur menjadi barista. Meskipun demikian, kini ia jusru sedang sibuk-sibuknya menemani Herman merakit mesin baru.

Kali itu, Wawan tengah terduduk di kursi kafe yang ramai membeludak, sambil menonton acara On the Tops. Lucunya, meski sudah berbulan-bulan, Wawan mendapati namanya beserta pemburu hantu lain terpampang. "Pengusir hantu penemu peninggalan sejarah", judul acara malam itu. Wawan hampir meledak dalam tawa ketika melihat wajah Pak Agung juga ikut terpampang, sedang berjabat tangan dengan Herman sembari membawa sertifikat penghargaan. Bosnya pada foto tersebut tidak sempat memasang senyum, sehingga wajahnya terlihat seperti tidak niat tersenyum.

Meski hanya beberapa menit terpampang di acara On the Tops, ego Wawan sudah cukup ditinggikan. Kini ia senyum-senyum sendiri, sembari menyeduh kopi buatan sendiri. Ersa, di balik meja kasir, hanya dapat mengernyit kebingungan melihat tingkah laku rekan sesama baristanya.

"Nggak kerja lu?" tanya Ersa.

"Ini nungguin Bang Herman pulang," Wawan menengok pada Ersa, sambil tersenyum puas karena kopi hangatnya.

"Enak banget ya," gerutu Ersa.

"Entar juga kalo Bang Herman udah nyampe, nggak bakal enak," canda Wawan; "Gimana Zirman?"

Persis ketika Wawan menyebut nama adiknya Fajri, wajah Ersa langsung merah. Ersa cemberut, "Kok nanya gua?"

Wawan tergelak, "Lah, kemaren kan lu baru nge-date bareng dia!"

"Apaan sih!" teriak Ersa, yang suaranya tak dapat mengalahkan ramai kafe; "Ngobrol doang dibilang nge-date!"

"Ngobrol apaan emangnya, Sa?" rayu Wawan; "Soal masa depan?"

"Diem lu!" hardik Ersa, yang langsung kembali mengurusi pesanan pelanggan. Wawan tertawa sebagai balasan, kemudian kembali menyeduh kopinya.

Damai dan santai Wawan langsung terbunuh seketika ketika Herman petantang-petenteng masuk kafe sambil membawa kardus besar di pundaknya, serta tas perkakas bengkel di tangan kirinya. "Woy, bantu!" teriaknya.

Sebelum ditembak dengan semburan caci maki, Wawan segera menghampiri Herman. Herman menyuguhkan kardus besar di pundaknya, namun Wawan malah mengambil tas perkakas yang terlihat lebih kecil dan ringan.

"Si anak bangsat," cerca Herman; "Bantu bawa kardusnya!"

"Takut Bang," kekeh Wawan; "Gede gitu. Badan gua kan kerempeng, Bang."

"Alesan," tuduh Herman.

"Beneren, Bang. Kan Bang Herman yang punya otot gede," Wawan tersenyum melas.

"Ya udah. Yuk," Herman mengajak Wawan naik ke lantai dua. Wawan ikut dengan pasrah, sambil ditertawai Ersa.

Sesampainya di lantai dua, Wawan dan Herman berjalan dengan sangat hati-hati. Ternyata, Sharla masih punya sesi dengan salah satu klien. Mengetahui bahwa kerjanya akan menimbulkan banyak suara, Herman ke ruang bengkel dan menaruh barangnya tanpa suara. Wawan mengikuti, kemudian ditawarkan Herman untuk merokok dulu di bawah. Wawan mengangguk.

Ketika sampai di bawah, Herman hampir mengeluh dalam bentuk kalimat sumpah serapah saat melihat meja favoritnya sudah ditempati pelanggan. Akhirnya, Herman mengajak Wawan untuk berdiri-berdiri cantik di depan kafe. Semua demi menunggu Sharla selesai konseling.

Langit sedang cerah, dan bulan bulat sempurna. Jika lampu kafe masih seredup dulu, mungkin Herman dan Wawan dapat melihat lebih banyak bintang. Setelah menyalakan rokok, Herman dan Wawan berdiam-diam.

"Bang," Wawan menghentikan hening; "Ini kita beneren bakal ke Danau Maninjau?"

Herman menghela asap, "Yah, mau nggak mau. Sonarnya tinggal diselesein malem ini. Udah tinggal diselarasin sama detektor partikelnya Fart-Detective. Seismo-Ghost juga udah gua update supaya bisa ngebaca topologi danau."

Wawan terpana, "Gila, Bang. Dua bulan udah kelar aja. Pinter banget."

Herman menahan sipunya, "Biasa aja, Wan. Teknologinya udah tersedia di mana-mana. Gua cuman ngotak-ngatik seadanya."

"Tapi gua nggak pernah denger ada orang Indo bisa sampe kayak Bang Herman. Udah kayak Einstein aja," puji Wawan.

Herman terkekeh, "Einstein mah orang teori, coy. Kalo lu mau bandingin, yang pas itu Faraday. Doi buat barang, teorinya baru digodok Maxwell puluhan taun kemudian. Tapi yah, gua mah apa? Teori udah ada, barang udah ada, gua cuman ngotak-ngatik doang."

"Tetep aja, Bang. Buat ukuran orang Indo, Bang Herman udah keren banget. Faradaynya Indonesia," Wawan membesar-besarkan.

"Bacot lu," Herman tak dapat menahan malunya.

"Omong-omong, Bang, gimana?" Wawan membanting topik.

"Gimana apaan?"

"Itu, Bang. Soal Pak Sena sama Bu Warta. Udah tau mereka siapa?"

"Oh, belum. Fajri dari kemaren nggak nemu-nemu mereka siapa. Sampe nanyain netizen di Kulkas.com, nggak ada yang tau. Pada ngira Pak Sena seniman, tapi nggak ada yang tau nama aslinya siapa. Bener-bener nggak ada info sama sekali. Bingung gua."

"Apa jangan-jangan, mereka intel, Bang?"

"Kalo udah kayak gini sih, gua nggak bisa nolak tebakanlu juga, Wan. Muka Pak Sena aja nggak ada di internet. Boro-boro Bu Warta. Antara mereka se-low profile itu, ato mereka entah gimana caranya bisa ngapus jejak mereka di internet. Lama-lama serem juga."

"Terus, mereka yang bayarin barang-barang Bang Herman?"

"Iye, coy. Gua ngeri. Beneren. Duit udah kayak upil aja. Tau nggak, Wan, barang-barang gua dibeli dari Jerman. Harganya nyampe ratusan juta. Dan Pak Sena masih jabanin. Malah, shipping-nya yang mahalnya aduh-mak dijabanin juga. Seminggu nyampe semua barangnya. Ada kali, tiga ratusan juta abis."

"Ngeri banget sumpah, Bang. Rumah sama kapal yang dikasih juga mewah banget. Gua ngeliat fotonya aja udah merinding. Lebih keren lagi dari rumah Pak Agung."

"Gua curiga, Wan. Mereka ini jangan-jangan beneren kaki tangan presiden, ato nggak perwakilan dari negara mana. Apa gua salah ya? Ngejabanin permintaan mereka?"

"Gua nggak tau, Bang. Sumpah."

"Sama, Wan, gua coba nyari cerita yang dikasih tau Pak Sena. Beneren nggak ada yang tau. Kesannya emang mistis banget sih, kalo sampe ada satu kampung mati misterius. Cuma satu petunjuk doang. Dan itu cerita dari Kamerun, di Afrika. Ceritanya sama persis: ada danau yang kata penduduk setempat nggak boleh dijadiin tempat tinggal. Bolehnya di atas bukit, karena katanya ada dewa atau apalah yang bisa ngebunuh satu kampung di sekitar danaunya. Dan beneren kejadian, Wan. Ribuan orang mati misterius. Katanya gara-gara ada longsor yang ngeganggu danau, yang akhirnya ngelepasin gas karbon dioksida banyak banget."

"Gila, Bang. Serem banget."

"Kalo dipikir-pikir, masuk akal sih Danau Maninjau bisa ada kejadian kayak gitu. Cuma, yah, itu kalo emang ada gas karbon dioksida yang keperangkep di dasar danau."

"Terus kita-kita yang disuruh ngecek sama Pak Sena, kan, Bang?"

"Iya, Wan. Kalo beneren ada, sumpah, Wan, gua nggak tau harus ngapain. Gimana caranya kita bisa ngasih tau warga setempat?"

"Kok nanya gua, Bang? Gua juga nggak tau."

"Kalo kata Fajri, bisa pake media sosial. Diviralin, katanya. Cuma, gimana? Gimana caranya kita bisa ngeviralin yang kayak ginian? Emang ngejamin bakalan didenger pemerintah setempat?"

"Siapa tau, Bang."

Dengan pandangannya, Herman menangkap seseorang turun dari lantai dua. Sepertinya sesi konseling Sharla sudah selesai. Herman mengisap asap terakhirnya dan membuang puntung rokok ke jalan, lalu menginjaknya.

"Yuk, Wan. Ke atas," ajak Herman. Wawan mengiyakan dengan anggukan lemah.

*****

Wawan agak lega karena kerjaannya sedari tadi ternyata hanya mengoper obeng dan sekrup. Ia dan Sharla terduduk memperhatikan Herman dengan mesin-mesinnya.

"Tadi klien yang mana, Beb?" ujar Herman dengan artikulasi amburadul karena mulutnya tengah menggigit sebuah sekrup.

"Ada lah," Sharla tidak niat bercerita.

"Yang BPD, Beb?" tebak Herman.

"Emang kamu tau BPD apaan?" tantang Sharla.

"Yang bipolar gitu, kan?"

Sharla tertawa mengejek, "Gitu aja masih salah, Beb. Kamu kalo nggak ngerti, nggak usah asal nebak."

Herman memutar mata, lalu mengutak-atik obeng, "Ya makanya ceritain."

"Males," hina Sharla.

"Jadi psikolog gitu amat, Beb," keluh Herman; "Klien kamu juga kamu giniin, emangnya?"

"Ya mereka bayar, Beb. Nggak kayak kamu."

"Aku bayar juga kok, pake mas kawin," Herman membela diri.

Sharla kembali terkekeh mengejek, "Kamu kira mas kawin artinya konsultasi gratis seumur idup?"

"Ya seenggaknya, itu congor dijaga dikit kek. Nggak berasa kayak mulut psikolog," keluh Herman.

"Congor congor aku. Kok kamu yang ngatur?" Sharla memutar matanya.

Wawan tersenyum mendengar Sharla, seorang psikolog, menghina suaminya sendiri. Ia berkomentar, "Udah, Bang. Diemin aja. Kasian Bang Herman kena sembur Mbak Sharla mulu."

"Udah biasa dia," senyum Sharla.

"Tenang, Wan. Gua diginiin udah bertaun-taun. Untung istri gua," ejek Herman.

"Kalo cerai, dia juga yang rugi kok, Wan. Biarin aja. Ini mas kawin dari gua buat si tolol satu ini," Sharla terbahak.

"Buset, Mbak. Sadis amet," Wawan ikut terbahak.

"By the way, itu mesin gede juga ya, Beb," Sharla membanting topik; "Gimana bawanya entar di pesawat?"

"Itu mah, urusan Pak Sena, Beb. Biar dia yang mikirin," senyum Herman.

"Buat apa aja?" tanya Sharla.

Herman berhenti sebentar untuk memandang istrinya, "Sonar, detektor partikel, detektor suhu. Intinya semua alat buat ngeburu hantu, aku satuin semua."

"Wuih, keren, keren," akhirnya Sharla memuji suaminya.

"Idealnya kita ada kapal selam. Tapi gila aja, masa aku minta Pak Sena beliin kapal selam? Kalopun dia bisa, rasanya aneh aja kalo bisa," keluh Herman.

"Harusnya minta aja, Bang, siapa tau beneren dikasih," ujar Wawan.

Herman lanjut mengutak-atik mesin, "Bukan cuma soal duit doang, Wan. Perizinan make kapal selam dari pemerintah lah, logistik gimana itu kapal selam dibawa ke Danau Maninjau lah. Nggak lucu aja, Wan. Prosesnya bisa lama. Mesin segede ini aja udah harus nyewa pick-up dari Meruya sampe ke SumBar. Gimana mo bawa kapal selam ke sana?"

"Terus ini mesin gimana makenya entar di sana?" lanjut Sharla.

Herman berpikir sebentar, "Ya, dipake kayak jangkar gitu. Pake rantai, diceburin sampe deket sama dasar danau. Kapalnya kita bawa keliling. Paling nggak, kita teliti dulu bentuk topologi dasar danaunya. Terus detektor partikelnya buat nyari tau: banyak mineral karbonat nggak? Ada karbonasi air nggak? Kan dugaan awalnya, si Pak Sena bilangnya ada semacem kerak yang isinya karbon dioksida. Berarti minimal banget, kita harus cari tau ini karbon dioksida bereaksi sama ekosistem danau atau nggak."

Wawan kembali pusing, dan Sharla mengangguk pura-pura mengerti. Herman melanjutkan, "Nah, detektor suhunya ya buat ngeliat equilibrium reaksi karbonasi."

"Apa?" Wawan kaget; "Apaan?"

Herman memutar matanya, "Intinya ya, Wan, ada yang namanya stratifikasi danau."

"Itu nama alat baru Bang Herman?" Wawan menebak dalam bingung.

"Bukan," Herman menggelengkan kepala; "Itu fenomena fisika. Intinya, danau tuh punya tiga lapisan: epilimnion, metalimnion, sama hypolimnion. Ini namanya stratifikasi danau. Danau tropis biasanya nggak ngikutin ini peraturan, kecuali kalo dalemnya lebih dari belasan meter. Kalo danaunya nyampe 100-an meter, suhu air bakal turun banget. Bisa sampe sekitaran 4°C. Nah, yang mau kita teliti tuh bagian danau yang dingin ini."

"Oh, oke Bang," Wawan masih belum mengerti; "Terus?"

"Terus, Wan, dasar danau kan tekanannya tinggi tuh. Bagus buat karbonasi. Karbon dioksida bakal larut di air, jadi asam karbonat. Atau yah, pelan-pelan ngeresep ke batuan. Ini entar yang harus kita deteksi pake detektor partikel. Cuma, Wan, karbonasi itu endotermik. Jadi kita bisa expect suhu air bakal lebih rendah dari 4°C. Nah, itu kenapa kita perlu detektor suhu."

Wawan malah semakin pusing mendengar penjelasan Herman. Herman tidak peduli dan lanjut menjelaskan, "Tapi, Wan, reaksi karbonasi bisa dibalik jadi eksotermik. Bisa ngasilin panas. Cuma buat ngebalik reaksinya, lu perlu turunin tekanan, sama naikin konsentrasi karbon dioksida. Kalo Pak Sena bener, dan ada kerak di dalam Danau Maninjau yang isinya karbon dioksida dalam jumlah besar, ini bisa jadi masalah gede. Kalo keraknya kebuka, berarti tekanan dasar danau bakal naik banget. Dan tekanan segede itu bakal ngebuat tekanan di sekitar jadi lebih kecil. Hasilnya? Itu reaksi karbonasi bakal kebalik, dan kebaliknya bakal gila-gilaan. Karbon dioksida yang larut di dalem air bakal dilepas, semuanya bakal jadi gas. Terus naik deh ke permukaan. Satu kampung di sekitar Danau Maninjau bakal tenggelem dalem karbon dioksida. Ribuan orang bisa mati nggak bisa napas."

Muncul setitik keringat dingin dari dahi Wawan, meski ia kesulitan mencerna penjelasan Herman. Herman menatap Wawan yang wajahnya mulai berantakan, "Kalo kita nemu keraknya, ini mesin bakal kita tinggal di sana. Kita jadiin mesinnya alat pemantau reaksi karbonasi. Kalo suatu hari alatnya ngedeteksi tekanan sama suhu ngelonjak naik, berharap aja orang-orang yang idup di sekitar danau udah ngungsi. Ato nggak? Yah, kita gagal."

Wawan diam. Sharla ikut berkeringat dingin, lalu berkomentar, "Gila. Nggak ada peringatan gitu apa? Pas suhu sama tekanan naik, emang nggak bisa langsung diumumin buat ngungsi?"

Herman menggelengkan kepala, "Nggak, Beb. Reaksinya bakal cepet banget. Hitungannya menit, paling lama yah berjam-jam. Ngungsiin satu kampung nggak mungkin cuma setengah hari. Bisa berhari-hari. Kalo udah kejadian, kita udah nggak bisa ngapa-ngapain lagi. Kita gagal total. Korban jiwa udah pasti ada, dan udah pasti banyak banget."

Sharla meneguk ludah, "Berarti kalo kita nemuin keraknya, kita wajib langsung ngomong ke pemerintah setempat buat ngadain pengungsian?"

"Iya," kini Herman yang berkeringat dingin; "Danau Maninjau nggak bisa lagi jadi tempat tinggal permanen. Kalo keraknya ketemu, udah. Nggak boleh ada kompromi. Kita nggak bisa ngeramal kapan ada gempa ato longsor. Kalopun reaksinya baru muncul puluhan taun kemudian, Danau Maninjau udah nggak bisa lagi ditinggalin."

"Gila, Bang," bulu kuduk Wawan berdiri, "Ini kita beneren nentuin nasib orang sama nasib Danau Maninjaunya sendiri. Nggak kebayang gua, Bang, kalo keraknya ketemu. Bakal susah banget kompromi sama pemerintah setempat. Belum lagi Danau Maninjau tuh tempat wisata. Kemungkinan gagalnya tinggi banget."

"Makanya," Herman membanting obengnya, "Pak Sena tuh keterlaluan. Yang kayak gini nggak bisa dilakuin sama orang kayak kita!"

Sharla menerawang ke langit-langit ruang bengkel, "Berharap aja marketing-nya Fajri bagus. Sama lu, Wan. Berharap aja mulutlu lancarnya selancar waktu lu nego sama Pak Rahmat."

Wawan merasa terpojok. Dalam benaknya, kini ia memegang nasib ribuan orang di sekitar Danau Maninjau. Dan hanya dirinya seorang; Herman hanya dapat membuat alat dan mendeteksi kerak, Sharla hanya dapat melakukan penelitian psikologis, dan Fajri hanya dapat menjadi Fajri. Tak pernah terpikirkan seumur hidupnya, bahwa ia akan mempunyai tanggung jawab yang lebih besar dari bayangannya. Ia mengira setelah lulus, ia akan jadi seniman yang mempercantik kafe atau semacamnya. Ternyata nasib berkata lain, dan memintanya mengatur nasib ribuan orang di masa depan.

"Bang," Wawan bergetar, "Gua kayaknya nggak mau ikutan buat yang satu ini."

Serentak, Herman dan Sharla menoleh pada Wawan. Herman setengah berteriak, "Maksudlu?"

Gemetar Wawan semakin hebat, "Ini kegedean buat gua, Bang. Gua ngerasa nggak sanggup."

Masih setengah berteriak, Herman melabrak, "Ini juga kegedean buat gua, Wan. Kegedean buat Sharla sama Fajri! Tapi gua terlanjur ngeiyain. Duitnya udah cair. Terus lu mau kabur, gitu? Bawa duitnya?"

"Nggak, Bang. Gua ngundurin diri buat yang ini aja. Duitnya nggak bakal gua ambil."

Sharla akhirnya membela suaminya, "Wan. Gua ngerti perasaanlu. Gua juga ngeri. Gua nggak tau gua bisa ngapain di sini. Tapi, Wan, setidaknya kita coba dulu."

"Tetep aja, Mbak, gua nggak yakin."

Sharla menghela napas, "Lu udah tau perkaranya gimana, Wan. Kalo Herman nemuin keraknya, lu juga terlibat. Mau lu dikasih tau keraknya ada ato nggak, lu udah tau bareng kita-kita soal Pak Sena sama soal Danau Maninjau. Lu bakal keluar dari job ini, sambil megang pengetahuan bahwa di masa depan nanti, bakalan ada ribuan nyawa melayang."

Kini Wawan ikut setengah berteriak, "Terus gua bisa apa, Mbak? Gua nggak bisa apa-apa!"

"Lu bisa nyoba," Sharla menegaskan; "Emang gua sama Herman yakin bakal berhasil? Nggak, Wan! Ini basically kita denger vonis hukuman mati buat orang Danau Maninjau. Hukumannya hampir nggak mungkin nggak kejadian! Tapi suara lu bisa aja ngubah keadaan. Nggak ada yang tau, Wan, kalo nggak dicoba."

"Terus kalo gua nggak bisa apa-apa, gimana emangnya, Mbak?" rengek Wawan.

"Yah, gimana ya, Wan? Ini pilihanlu. Antara lu keluar, nggak ngelakuin apa-apa, sambil tau kalo bakalan ada korban jiwa. Atau lu ikut, terus nyoba nyelamatin orang-orang ini. Mending lu gagal tapi udah usaha, daripada lu gagal tanpa ada usaha sama sekali."

Wawan diam. Otaknya panas, dipenuhi proses berpikir yang berlarut-larut. Setitik air membahasi ujung matanya. Wajahnya kini sama berantakannya dengan pikirannya. Herman dan Sharla memaklumi, dan membiarkan Wawan memproses segala hal.

Setelah entah berapa lama diam, Wawan membisikkan doa. Lalu ia menatap kedua bosnya, "Oke. Gua coba."

Herman dan Sharla tersenyum. Herman menghela napas panjang, "Oke. Besok kita mulai urus perjalanan kita ke SumBar. Wan, lu bantuin gua cari transportasi. Entar Fajri bakal ngurus perizinan sama administrasi lain-lain. Beb, tugas kamu entar buat ngobrol sama orang-orang. Kalo harus ada negosiasi ato obrolan yang kamu rasa nggak bisa kamu lakuin, Wawan entar yang nge-back up."

Sharla mengiyakan, "Anggep aja kita lagi liburan ke Danau Maninjau ya. Tenang, Wan, it's okay. Lu nggak salah milih. Kalo lu butuh apa-apa, gua gratisin konsultasi sama gua deh."

"Bangsat, enak banget. Aku nggak pernah konsultasi gratis sama kamu," canda Herman.

"Bacot. Udah sana pacaran ama mesin!"

Wawan akhirnya dapat tersenyum dan tertawa melihat pertengkaran rumah tangga itu, meski sulit. Benar kata Sharla, baiknya ia menganggap bahwa ia akan berlibur ke Danau Maninjau, ketimbang hancur karena terlalu banyak berpikir.

*****

Ketika mereka sampai ke villa mereka di pinggir Danau Maninjau, Wawan dan Herman terpana. Villa yang disewakan oleh Sena begitu mewah dan luas. Lebih mewah dan lebih luas dari rumah Pak Agung, dan terlihat lebih antik pula. Sembari membawa tas dan kopernya, Wawan berkomentar, "Keren banget, gila."

"Boleh banget sih, sis. Bisa jadi villa liburan buat kita-kita," Fajri mengipas dirinya dengan kipas kertas yang ia beli di toko suvenir di Kota Padang; "Ini kita disewain ato dibeliin?"

Herman mengeluarkan kopernya sendiri dari bagasi mobil, "Disewain lah. Ya kali dibeliin. Orang cuma buat kebutuhan penelitian."

"Bilang aja kali, sis, kalo kita butuh permanent residence buat penelitian jangka panjang. Pasti si Bapak berani beliin," senyum Fajri.

"Itu mah emang maunya lu!" Herman memutar mata.

Setelah bercakap dengan orang yang membawakan jasa pick-up, Sharla menghampiri para lelaki, "Woy. Beres-beresnya entar dulu. Turunin mesin dulu dari pick-up. Abangnya mau pulang."

"Sana, Wan," usir Fajri yang langsung mengurusi tiga kopernya. Wawan tersenyum dalam paksa.

"Yuk, Wan," Herman membiarkan kopernya di samping mobil, dan bergegas ke truk pick-up. Wawan menyusul.

Mesin itu sangat berat, dan memang harus diangkat oleh setidaknya dua orang. Herman agak bersyukur bahwa ia memasang roda, meski ia tahu bahwa mesin itu takkan membutuhkan roda saat nanti ditenggelamkan di dasar danau. Wawan yang kurus harus menggunakan seluruh tenaganya agar dapat mengimbangi kekuatan Herman untuk menurunkan mesin itu. Ketika mesin itu menyentuh bumi, mesin itu hampir kabur karena rodanya meluncur ke jalan.

"Tahanin, Wan," Herman setengah berteriak. Wawan berhasil menahan mesin itu dengan kakinya, namun agak kesakitan karena kakinya ditabrak mesin.

"Terus ini dikemanain, Bang?" Wawan menahan sakit.

"Dibawa ke depan villa aja. Entar kita angkat ke dalem."

Wawan mengeluh dalam hati. Mengangkat mesin itu dan melewati tiga-empat anak tangga akan jauh lebih sulit dari menurunkannya dari pick-up. Nahas, ia tidak dapat memohon pada Fajri yang jelas akan langsung menolak untuk membantu.

Fajri yang sudah masuk ke dalam rumah sedari tadi kini muncul dari balik pintu, "Wifi-nya kenceng loh, sisters!"

"Elah, Fajri, Fajri," keluh Herman; "Mending lu bantuin Wawan angkat mesinnya."

"Itu kan kerjaan kalian berdua," Fajri menghindar.

Herman setengah membentak, "Terus kerjaanlu apaan dong, woy?!"

"Gua kan manager kalian semua, sis. Sopan dikit ama gua!" lambai Fajri yang kembali masuk ke dalam rumah. Herman menghembuskan napas panjang.

"Ya udah, Wan. Bawa aja dulu ke samping tangga. Terus urusin baranglu. Entar kita angkat bareng."

Wawan mengiyakan Herman.

"Yakin, Beb? Ini hujan udah agak rintik-rintik, loh," Sharla tiba-tiba mempertanyakan.

Herman perlu memproses sedikit pertanyaan Sharla, "Beb. Ini mesin bakal dicelupin ke dalam danau."

"Terus?" Sharla belum sadar.

"Ditinggal ujan nggak bakal ngefek lah. Mesinnya kedap air."

Sharla kini mempertanyakan kenapa dirinya bisa diluluskan kuliah. Wawan kemudian menyadari sesuatu, "Terus kenapa harus dibawa ke dalem villa? Tinggalin di luar aja, Bang."

Sekali lagi, Herman perlu memproses pertanyaan Wawan, "Wan. Maling besi di Sumatra, ada banyak."

Kini giliran Wawan yang mempertanyakan kenapa dirinya bisa diluluskan sekolah. Herman tak acuh dan bergegas masuk ke garasi untuk menurunkan kopernya. Ia tak perlu lama-lama berpikir untuk memutuskan apakah ia harus bawa komputernya atau tidak. Untuk itu, kopernya agak lebih besar karena berisi semua perkakas komputernya. Jelas, berberes-beres untuk merakit kembali komputernya menjadi prioritas.

Saat sudah selesai membawa barang-barangnya ke dalam rumah, Sharla bergabung dengan Fajri dan duduk di sofa ruang tamu. Ia mengeluarkan gawainya dan langsung menyalakan permainan daringnya. Fajri di sebelahnya sedang merokok dan melihat-lihat media sosial.

"Asik banget ya, sis, di sini. Sejuk banget, nggak kayak di Jakarta," Fajri menarik napas panjang untuk menikmati udara.

"Yang penting ada wifi, Jri. Mau tinggal di tengah pasifik, gua jabanin," Sharla fokus menatap gawainya.

Herman menetuk tombol "suka" pada foto seorang aktor Korea Selatan, "Jangan lupa juga, sis, harus ada passive income buat bayar wifi-nya."

Sharla bergabung dalam tim untuk mulai bertarung dalam permainan daringnya, "Itu mah urusannya Herman. Gua tinggal berhenti jadi psikolog; jadi ibu rumah tangga."

"Emang lu bisa masak sama ngurus anak?" tantang Fajri.

"Itu urusan Herman juga lah," Sharla tak acuh.

"Itu mah bukan ibu rumah tangga, sis. Itu parasit," kekeh Fajri.

"Salah sendiri nikahin gua," Sharla mulai fokus bertarung.

"Gaya lu, sis. Suka banget gua," Fajri menghembuskan asap. Ia lalu melirik ke arah pintu untuk memperhatikan perjuangan Herman dan Wawan dalam mengangkat mesin ke dalam rumah.

Ketika mesin itu berhasil masuk ke ruang tamu, Fajri berkomentar, "Pinter kalian kalo jadi kuli ya."

Herman hanya dapat memandang Fajri dengan tatapan penuh benci dan berharap Fajri menyadarinya. Pun kalau Fajri menyadari, Herman tahu persis bahwa Fajri hanya akan menikmati tatapan kebencian itu. Wawan hanya dapat terkekeh miris.

Setelah selesai deru napas lelahnya, Herman setengah berdesah pada Wawan, "Yuk. Bantu gua ngerakit PC."

Wawan hanya dapat melongo sambil mengelap keringat di keningnya. Udara di villa itu memang sejuk, namun otot Wawan yang tak pernah digunakan memaksa badannya untuk memanas dan berkeringat. "Hadeh, Bang. Istirahat dikit lah," keluhnya.

Herman tak acuh, "Entar aja. PC gua lebih penting dari istirahatlu."

Wawan tertawa, namun Sharla yang sempat mendengar, kebingungan apakah itu tawa atau tangis. Fajri menertawakan nasib malang anak buah Herman itu.

Waktu berlalu dan kini keempat pemburu hantu akhirnya bersantai bersama pada sofa ruang tamu. Herman menyalakan rokoknya, bersamaan dengan Wawan. Sharla masih tenggelam dalam permainan gawainya, dan Fajri masih sibuk memandangi satu per satu para aktor tampan dari Korea Selatan.

"Gimana si Pak Sena?" Herman memulai obrolan.

Reaksi Fajri telat setengah menit, "Oh, Pak Sena? Barusan ada email dari dia. Intinya bilang selamat datang di SumBar lah."

"Ada lagi?" Herman menghembuskan asap. Wawan bergegas berdiri sambil merokok, dan pergi ke dapur untuk menyiapkan kopi.

Fajri mengambil bungkus rokok Herman dan menyalakan sebatang, "Dia udah ngobrol sama pemerintah setempat. Kita di-expect buat ketemuan sama Camat Tanjung Raya besok, sekalian dikasih izin sama kapal."

"Cepet juga ya reaksi Pak Sena. Baru nyampe udah harus ketemu camat," Herman mengurut keningnya dengan satu tangan.

"Sebenernya lebih keren lagi sih, sis. Si Bapak udah ngurus 'semuanya'. Kita bener-bener cuma tinggal bawa badan sama senyum lebar. Nggak ada basa-basi ato surat-surat lagi. Tinggal ketemu, cipika-cipiki, terus naik kapal. Si Bapak juga udah mastiin kita nggak bakal digangguin keamanan setempat selama kita di sini."

Herman terdiam sebentar. Ia terpana. Ia kembali menghirup asap, "Orang macem apa si Pak Sena, sih? Segitunya. Gila."

"Yang penting kita tinggal ngobrol sama camat. Yang kayak gitu gua sama Sharla aja lah yang ngurus. Lu sama si Wawan tinggal urusin perkapalan sama permesinan," Fajri menyudahi penggunaan gawainya, dan kini berselonjoran di sofa; "Lu ada yang perlu diurus, emangnya? Di komputer?"

"Nggak juga sih," Herman juga ikut selonjoran; "Mesin udah dikalibrasi. Program-progam di PC udah di-update. Emang tinggal dipake aja. Tapi cepet juga. Biasanya orang Indo kalo habis long trip bakal dikasih istirahat sehari dua hari."

"Ya ini lah, istirahatnya," gerutu Fajri; "Gua juga mau-mau aja sih, kalo istirahatnya diperpanjang terus kita keliling danau sambil makan rendang."

"Biasanya kan lu yang suka gitu," kekeh Herman.

"Lah? Lu kata gua ke sini ada kerjaan? Nggak lah, sis. Gua cuma nampang doang sambil liburan."

Herman membenarkan Fajri dalam hati, sekaligus membakar benci dan gerutunya. Kalau bukan karena kemampuan Fajri dalam manajemen serta memasarkan jasa mereka, Herman mungkin sudah akan adu mulut dengannya saat ini. Meskipun demikian, Herman tak pernah yakin dapat menang beradu mulut dengan "sang" Fajri.

"Sharla juga begitu. Ya nggak?" Fajri menyenggol Sharla.

"Yoi," respon Sharla cepat. Herman hanya dapat memutar matanya.

*****

Sharla dan Fajri sedang duduk menikmati angin Danau Maninjau sambil mengobrol dengan Camat Tanjung Raya. Di kapal itu, hanya Herman yang tengah sibuk memerhatikan laptopnya. Wawan berdiri di sebelahnya, melihat biru yang dalam dan memastikan rantai mesin Herman tidak kenapa-kenapa.

Penasaran dan sembari menjaga keseimbangannya, suara Wawan beradu dengan angin, "Gimana, Bang?!"

Sambil melawan bising angin, Herman menjawab, "Baru di pinggir danau, Wan. Ini baru mulai ngemetain dasar danau."

"Alatnya ada kamera nggak, Bang?"

"Ya nggak lah. Lu mau liat apa?"

"Siapa tau keliatan ikan ato apa, Bang."

Herman memutar mata, "Lu kata wisata terumbu karang?!"

Wawan terkekeh kecil, "Canda, Bang."

Herman sudah meminta nakhoda kapal untuk mengelilingi pinggiran danau terlebih dahulu, agar dapat memetakan dasar danau selengkap mungkin. Sejauh ini, Herman hanya perlu memastikan rantai mesin tidak terlalu turun agar mesinnya tak bertabrakan dengan dasar danau. Ia sempat khawatir laptopnya akan terbakar sinar matahari, namun ia bersyukur bahwa ada bagian kapal yang diteduhkan atap.

"Jadi ini kita di pinggir-pinggir dulu, terus ke tengah gitu, Bang?" Wawan mencoba untuk berbasa-basi.

"Kan udah gua briefing, Wan. Lu nggak denger tadi?" Herman tak menyadari bahwa Wawan hanya ingin berbasa-basi dan menyeriuskan pertanyaan Wawan yang terdengar bodoh.

"Gua denger kok, Bang," Wawan membela diri, "Mastiin aja."

Herman memutar mata, "Iya. Pinggir-pinggir dulu, terus ke tengah. Sejauh ini masih nggak ada yang aneh. Topologi gitu-gitu doang, suhu masih di atas 20°C, karbonat masih stabil. Masih normal semua."

"Nggak ke dalem dulu aja, Bang?" Wawan menawarkan.

"Bisa sih. Tapi di sini enak, Wan, kena angin," Herman menyalakan rokoknya yang mati tertiup angin; "Lu yang nggak bisa ke dalem, Wan. Kan lu yang narik-ulur rantai mesinnya. Gua di luar biar lu ada temen."

Wawan langsung mendapatkan pencerahan yang membuatnya cemberut. Setidaknya, bosnya cukup baik untuk menemaninya di pinggir kapal. Melihat luasnya Danau Maninjau, Wawan agak resah, "Berapa lama nih, Bang?"

"Mana gua tau. Sejam? Dua jam? Pokoknya data topologinya harus lengkap. Jadi ya kerjaan kita bakal muter-muterin danau sampe mampus. Bisa aja seharian kita di kapal."

Wawan semakin cemberut, "Tapi Pak Camat katanya nggak bisa lama-lama juga, kan?"

Herman mengangguk, "Entar dia turun, kita lanjut. Si Sharla bakal temenin. Fajri nanti tek-tokkan sama nakhoda."

"Gua nggak boleh ikut Mbak Sharla?" Wawan berusaha negosiasi.

"Ya nggak lah," Herman memutar mata; "Lu jaga rantai."

Wajah Wawan tidak dapat lebih cemberut lagi, meski ia berharap agar wajahnya bisa ditekuk lebih turun lagi. Ia mengeluh, "Kenapa nggak dibuat otomatis aja, Bang? Rantainya?"

Herman berusaha menjelaskan di tengah angin, "Aslinya gua mau nge-install otomasi rantai juga, Wan. Cuma kalo gitu, berarti gua harus kasih perhitungan sama kapalnya. Kita kan nggak tau kapalnya bakal kayak gimana, jadi gua sengaja nggak install. Lagian kalo kita tau kapalnya, kalo mau diotomasi, yang nyetir kapal juga harus ngerti kerja mesinnya gimana. Antara kita ajarin nakhodanya, ato gua yang nyetir kapal. Ya, gua nggak bisa nyetir kapal, kan?"

Wawan mengangguk dan merasa kalah. Ini artinya ia harus berdiri berjam-jam di atas kapal—mungkin sesekali jongkok untuk istirahat. Ia ingin bayarannya dilebihkan, namun ketika ia ingat lagi bahwa bayarannya mencapai ratusan juta Rupiah, ia mengurungkan niatnya untuk mengeluh lebih jauh.

Beberapa saat kemudian, Fajri keluar dari dalam dan menghampiri dua lelaki malang di pinggir kapal. Setelah bersender di dinding kapal, ia mulai berbicara, "Si Bapak Camat mau udahan naik kapal, sis. Dia cuma satu keliling doang."

Herman mengangguk, "Oh, ya udah. Sharla jadi ngikut?"

Fajri menahan tawanya, "Lu harus liat kondisi istrilu sih. Kasian dia, nahan muntah dari tadi."

Herman baru tahu bahwa istrinya mudah terkena mabuk laut. Sejenak, ia ikut tersenyum bersama Fajri, "Ya udah kalo gitu. Temenin si Pak Camat. Emang mau ngobrolin apa lagi?"

"Nggak ada sih," suara Fajri hampir dikalahkan angin; "Si Bapak Camat udah di-briefing soal penelitianlu. Intinya mau dibicarain lebih lanjut lagi ke atas-atas. Gua nggak yakin bakal dibahas lagi sih. Moga-moga aja iya. So, si Sharla katanya mau pulang dan rebahan. Kasian juga, sis. Mukanya udah kicep banget dari tadi."

Herman sebenarnya ingin menggerutu karena ketidakkompakkan istrinya, namun mengasihani sembari menertawakan keadaannya. Ia akhirnya mengiyakan Fajri, dan Fajri kembali masuk ke dalam kapal.

"Padahal kapalnya begini bagus. Stabil banget. Masih mabok aja dia," kekeh Herman sambil menatap Wawan. Wawan terkekeh balik sambil menahan mabuk lautnya.

Setelah menurunkan Camat Tanjung Raya beserta istrinya yang wajahnya mulai menghijau, Herman melanjutkan petualangannya mengelilingi Danau Maninjau. Kapal mulai mengelilingi bagian dalam danau, dan Herman masih belum menemukan apa-apa.

Sesuai instruksi Herman, Wawan mulai menurunkan sedikit rantai mesin. Jika Herman tidak cepat meneriaki Wawan untuk berhenti, mesinnya mungkin sudah akan menabrak dasar danau. Herman hampir panik karena penelitiannya hampir gagal, dan reaksi Wawan yang hanya tersenyum naif membuat darahnya memanas.

Bahkan ketika kedalaman danau sudah mendekati enam puluh meter, Herman masih belum menemukan apa-apa. Wajah bingungnya mengundang Wawan untuk bertanya, "Kenapa, Bang?"

Herman menggaruk kepalanya, "Belum nemu apa-apa dari tadi. Semuanya normal."

"Bagus dong, Bang," ujar Wawan dalam bingung.

"Bagus sih bagus, Wan. Cuma meresahkan aja."

"Kenapa meresahkan, Bang?"

"Nggak tau juga sih. Guanya aja mungkin."

"Emang Bang Herman berharap bakalan ada keraknya?"

"Jujur ya, Wan. Gua rada berharap gitu. At least artinya Pak Sena bener, dan kita dapet lima M."

"Oh, bener juga ya. Kalo beneren ada, kita dibayar."

"Tapi kalo beneren ada, ya, lu tau lah, Wan."

Wawan tak menjawab. Ia tak benar-benar mau membayangkan masa depan ketika Herman mengonfirmasi keberadaan kerak di dasar Danau Maninjau.

Ketika kedalaman danau mencapai seratusan meter, Herman memerhatikan laptopnya sekali lagi. Tiba-tiba, wajah Herman berubah total.

"Wan, jagain laptop. Gua mau ke dalem," Herman bergegas berdiri dan memasuki kapal. Wawan ditinggalkan dalam bingung.

Di dalam kapal, Herman langsung bergegas menghampiri Fajri dan sang nakhoda. Tanpa basa-basi, Herman bertitah, "Pak, berhenti di sini sebentar."

Sang nakhoda mengiyakan meski agak heran, dan Fajri sendiri langsung keluar keringat dingin. Ia bertanya kepada Herman, "Kenapa, Man?"

"Konsentrasi karbonatnya naik tajem," ujar Herman yang langsung meninggalkan ruangan itu. Fajri tak mengerti.

Ketika Herman kembali, Wawan langsung bertanya, "Kenapa, Bang?"

Herman mengulang apa yang ia ucapkan kepada Fajri. Wawan tak mengerti, namun menyadari bahwa kapal mulai melambat dan membelok agak tajam. Ia hendak menghampiri Herman, namun Herman memerintahkannya untuk menurunkan rantai mesin.

Ketika sudah menurunkan rantai mesin, Wawan menghampiri Herman dan ikut memandangi laptop. Aplikasi yang ia simak terlihat begitu asing, tidak seperti aplikasi yang sudah susah payah ia pelajari berbulan-bulan. Hal itu memaksanya untuk bertanya kepada Herman sekali lagi, "Maksud Bang Herman soal konsentrasi karbonat itu apa?"

"Bentar, Wan," Herman mengutak-atik laptopnya. Ia menatap dengan fokus tinggi, lalu terdiam lama. Sangat lama, hingga Wawan khawatir dan dapat menebak apa yang ditemukan oleh Herman.

Herman bergumam, "Suhunya kerendahan. Karbonat di mana-mana. Tekanannya tinggi. Topologi... anjir."

"Bang?" Wawan mulai panik.

Herman menatap Wawan. Wajahnya sama ketakutannya dengan teman malangnya yang masih belum mengerti apa-apa. Sambil gemetaran, Herman meraba-raba bungkus rokoknya. Ia melindugi apinya dari angin, dan menyalakan rokoknya. Wawan dibuat menunggu.

"Keraknya ketemu," ujar Herman sambil menarik asap.

*****

"Oke, gua mulai," ujar Herman di depan papan tulis. Ia kemudian menulis banyak hal, dan menggambar beberapa hal. Sharla, Fajri, dan Wawan menunggu sambil terduduk bersila di atas karpet. Ia melanjutkan, "Keraknya ada di kedalaman 112 meter, di selatan danau. Dari data topologi yang gua dapet, keraknya ini diameternya bahkan nggak nyampe sepuluh senti. Tipis banget. Mungkin malah cuman sesenti ato dua senti. Cuman gengs, panjang keraknya ada sampe lima belas meter. Statusnya inaktif, dan dari data spektroskopi, kayaknya 'ditutup' sama lapisan mineral karbonat yang tumbuh di sepanjang kerak. Gua kurang paham apa ada vegetasi danau yang juga ikut nutupin, tapi dari sonar, keraknya steril dari hewan-hewan danau. Dengan konsentrasi karbonat yang setinggi itu, gua yakin air danau di sekitaran situ terlalu asam buat tumbuhan tumbuh. Malah sebenernya gengs, gara-gara ada kerak itu, komposisi air danau di sekitar jadi beda banget dengan air danau lain. In a sense, kerak ini ngebuat 'danau kecil' di dasar danaunya."

"Gimana, Bang?" Wawan menunjuk tangan. Herman melihat wajah bingungnya, dan memaklumi.

"Intinya, kayak air sama minyak. Jadi kayak nggak nyatu gitu. Komposisi air kerak sama air danau sebeda itu soalnya. Gua juga curiga jangan-jangan 'danau kecil' ini juga asin karena kikisan mineral, jadi makin nggak nyatu sama air danau yang tawar."

"Oh, oke Bang," Wawan mengangguk tidak mengerti.

Herman lanjut sambil bermain dengan tulisannya di papan tulis, "Nah, karena ada 'danau kecil' ini, si kerak jadi punya semacam buffer. Ini yang ngecegah keraknya buat nggak semerta-merta ngeluarin karbon dioksida besar-besaran. Mungkin juga karena nggak pernah diganggu sama bencana alam kayak gempa atau longsor, keraknya jadi anteng selama ratusan tahun. Cuma, buffer yang ada di kerak tuh keliatan rapuh banget. Disenggol dikit, bakal bacok satu kampung pake karbon dioksida."

Sharla tunjuk tangan, "Mau nanya: itu jadi mesinnya di tinggalin di sebelah keraknya gitu?"

Herman menggangguk, "Bener. Dia bakal update terus, setidaknya sampe kita angkat lagi. Udah ditandain pake pelampung juga. Cuma, Beb, aku kayaknya bakal buat minimal tiga lagi buat mapping bagian danau lain. Dua bakal ditarok sekitar 5-20 meter dari keraknya, buat jaga-jaga kalau 'danau keraknya' meluas ato gimana. Dari sonar juga, di dasar tanah danau juga udah ketauan ada ruang gede. Gua kurang paham kenapa bisa ada pocket segede itu. Mungkin peninggalan dari gunung api zaman bahola. Tapi ya, logikanya kalo emang pernah kejadian pocket ini kebuka, dan gas karbon dioksida di dalemnya merembes keluar,—kayak ceritanya Bu Warta—harusnya nggak bakal kejadian lagi. Harusnya kantong gede ini udah kerendem air, dan udah meraih equilibrium."

"Hayoloh gua nggak ngerti," senyum Sharla miris. Wawan dan Fajri ikut mengangguk tak mengerti.

"Intinya, besar kemungkinan kalo ceritanya Bu Warta cuma bisa kejadian sekali doang. Jadi di masa depan, nggak bakal ada kejadian karbon dioksida merembes keluar."

"Kalo gitu udah, dong, sis? Kita udah neliti, ternyata nggak bakal kejadian. Cus deh, dapet lima M," Fajri berkomentar.

Herman diam sebentar sambil menempelkan spidol papan tulis ke bibirnya, "Nggak juga, Jri. Kalo ada perubahan tekanan di sekitar kerak, semua karbon dioksida yang larut di air bisa langsung berubah jadi gas. Satu kampung bakal bye-bye. Maksud gua tadi lebih ke kenapa masih bisa ada konsentrasi karbonat yang tinggi banget di sekitar keraknya. Harusnya nggak ada, kalo emang ceritanya Bu Warta udah pernah kejadian. Semua gas karbon dioksida udah dikeluarin. Pocket di dalem kerak yang dulunya isinya gas karbon dioksida semua, pasti sekarang udah kerendem air. Cuma ya gitu, Jri, airnya masih pekat banget sama karbonat. Artinya, ada 'sesuatu' di dalem bumi yang masih ngeproduksi karbon dioksida dalam jumlah besar, dan semuanya larut di dalem air. Mungkin bisa aja minyak bumi, kebakar gara-gara tekanan ato reaksi kimia apa lah, ato sisa-sisa gunung api zaman bahola."

"Jadi kalo dalem bahasa manusia normal, maksud lu apa, sis?" Fajri mengernyitkan alis.

"Maksud gua, kejadian di ceritanya Bu Warta masih bisa keulang lagi," Herman menggaruk kepalanya.

Semua terdiam. Penjelasan Herman yang panjang lebar memang sukar dimengerti teman-temannya. Namun penjelasan singkatnya dimengerti secara penuh.

"Ada yang bisa kita lakuin buat pencegahan?" tanya Sharla; "Itu kerak bisa ditutup nggak?"

Herman menggeleng, "Kalopun bisa, teknologinya belum ada. Kalopun ada, bakalan jadi proyek yang gede banget, dan bisa belasan taun prosesnya. Kita nggak mungkin bisa nutupin sendiri; harus ada bantuan pemerintah. Jelasnya, kita nggak bisa ngewujudin proyek segede itu. Kalopun bisa, kemungkinan gagalnya tetep gede. Bisa aja kita justru ngeganggu equilibrium di keraknya, terus bakalan banjir karbon dioksida. Korban jiwa bakal tetep ada. Pencegahan paling realistis ya, nutup Danau Maninjau. Nggak boleh ada yang tinggal di sekitarnya. Maksimal cuma bisa dikunjungin buat wisata sebentar."

Sharla menengok pada Fajri, dan Fajri menengok pada Wawan. Herman menengok baik pada Fajri maupun pada Wawan. Semua melemparkan kewajiban ke satu sama lain.

"Mau nggak mau ya," angguk Sharla; "Kita harus ngeyakinin pemerintah setempat buat nge-clear-in Danau Maninjau."

"Berat banget, sis," geleng Fajri; "Realistisnya, kita laporan ke Pak Sena terus ngacir pas duit lima M udah cair."

"Terus nungguin ada gempa, sama korban jiwa yang nyampe ribuan," sambung Herman; "Minimal ya, dicoba ajak ngobrol dulu aja tuh si Pak Camat."

"Iya," angguk Sharla; "Wan, lu jago ngomong kan?"

Wawan melihat Sharla menyengir, dan merasakan seluruh jiwa raganya tertuduh. Ia langsung berkomentar, "Ya nggak gitu juga, Mbak. Gua mah cuma butiran debu di sini."

"Dibantu Fajri lah ya," Sharla kembali menyengir; "Buat sesuatu di sosmed, viralin perkara ginian."

Fajri merengek, "Lu pada nggak puas apa sama duit lima M? Pada mau dapet duit 50M gitu, sisters?"

"Patut dicoba sih," angguk Sharla; "Berhasil ato nggak, kita udah ngantongin lima M, kan?"

"Gosh, sis, lu nge-overestimate kemampuan marketing gua," Fajri menggeleng lemas.

"Coba dulu aja," Herman angkat suara; "Tugas gua di sini basically udah selese. Lu lagi yang gerak, Jri—bareng sama Sharla. Wawan masih perlu bantuin permesinan."

Wawan tersenyum dalam takut. Sharla merasa dikhianati, "Lah kok, aku?!"

"Ato kamu yang bantuin permesinan. Mau?" goda Herman. Sharla dengan cepat menyesali rengekannya.

"Ya udah, gua cobain. Berhasil ato nggak, bukan tanggung jawab gua ya, sisters. Kalo dapet 50M, gua minta rumah elit dari kalian semua," Fajri mengalah.

Herman mengangkat senyumnya. Namun, mengetahui persentase kesuksesan mereka, senyum Herman tidak terangkat sepenuhnya.

Herman menyimpulkan, "Oke. Gua bakal replikasi mesin buat sebulan ini. Lu tolong minta dana lagi dari Pak Sena, Jri. Wawan bakal stay sama gua di sini. Lu sama Sharla berkelana lah, ngobrol-ngobrol sama pemerintah."

Wawan bersyukur ia masih akan libur panjang bersama bosnya di Danau Maninjau. Meskipun demikian, ia teringat lagi tentang gelar sarjana DKV-nya. Dalam benaknya, ia merindukan kehidupan sederhana; ia berharap setelah semua ini selesai, kerjaannya hanya mempercantik kafe atau menangani perburuan hantu yang skalanya jauh lebih kecil dari perkara Danau Maninjau ini.

*****

Herman kembali keliling Danau Maninjau untuk menaruh mesinnya ke dasar danau. Dikarenakan berat mesin, Herman harus menaruh mesinnya satu-satu ketimbang serempak—ia khawatir berat tiga mesin akan menenggelamkan kapalnya. Proyek itu sudah berjalan tiga bulan lamanya, dan Wawan sendiri sudah terbiasa dikelilingi orang yang berbahasa Minang.

Sambil termenung, Herman tiba-tiba mulai mengajak Wawan mengobrol, "Ada satu yang masih nggak gua ngerti, Wan."

Wawan yang senantiasa memerhatikan rantai mesin bertanya dengan polos, "Apaan, Bang?"

Herman menghembuskan asap, "Kenapa Danau Maninjau airnya nggak asin?"

"Ya karena danau kan, Bang? Danau emang airnya air tawar gitu."

"Nggak semua, Wan. Banyak danau yang airnya asin. Biasanya karena bereaksi sama bebatuan. Danau yang asalnya dari kawah gunung biasanya gitu. Danau Maninjau harusnya nggak jadi pengecualian. Apalagi ternyata ada kerak yang isinya karbonat semua."

"Mana gua tau, Bang," senyum Wawan.

"Lucunya lagi, kemaren kita udah tes keasaman air danau. Nggak asem-asem banget lah ya. Masih 11-12 sama danau lain, dan itu pun keasamannya bisa dijelasin sama air ujan. Masuk akal sih, kenapa air danau jadi nggak asin: bebatuannya nggak kekikis asam, jadi mineral di dasar danau nggak semerta-merta larut di air."

"Maksud Bang Herman gimana?"

"Lucu aja. Air 'danau kerak' pasti asem banget, dan pasti ngikis mineral sekitar. Jadinya air 'danau kerak' pasti asin. Cuma 'danau kerak' ini stay di kerak doang, malah jadi buffer, ketimbang ngebuat satu Danau Maninjau jadi asem sama asin."

"Kalo jadi asem sama asin, malah jadi sambalado, Bang."

Herman memutar matanya, "Lucu, Wan. Lucu."

Wawan terkekeh, "Lagian, Bang, dari kemaren datanya kayaknya gitu-gitu terus. Nggak berubah sama sekali. Harusnya oke-oke aja berarti, kan?"

"Justru itu, Wan. Itu cuma konfirmasi kalo danaunya lagi di equilibrium. Kita basically cuma nunggu ada yang nyenggol keraknya aja."

Wawan terdiam sebentar, "Kalo mesinnya diapa-apain sama binatang, terus nyenggol keraknya, gimana Bang?"

Herman hampir tertawa, "Ya nggak bakal kenapa-kenapa lah. Maksud gua, yang nyenggol tuh yang kayak gempa, badai, ato ada orang sinting yang ngebom Danau Maninjau."

"Siapa yang mau ngebom Danau Maninjau?"

"Ya paling orang sinting."

"Siapa orang sinting yang mau ngebom Danau Maninjau, emangnya?"

"Mana gua tau, Wan! Itu pun juga belum tentu berhasil nyenggol keraknya."

"Jadi harusnya nggak bakal kenapa-kenapa kan, Bang?"

Herman berpikir, "Iya juga sih. Gempa di Sumatra biasanya dari laut semua, ya. Nggak akan bener-bener nyenggol Danau Maninjau."

"Aman dong?"

"Kalo dipikirinnya gitu, iya sih, Wan."

Wawan tiba-tiba mengeluh, "Terus ngapain kita masih di sini, Bang? Kalo emang udah bakalan aman terus?"

Herman tak dapat mencela keluhan Wawan, karena memang ada benarnya. Namun ia masih memikirkan cerita Warta yang disampaikan Sena, dan bagaimana Sena sendiri masih senantiasa mengirimkan dana untuk proyeknya. Hingga saat itu, Sena mungkin sudah habis sepuluh miliar: lima miliar untuk bayaran para pemburu hantu, dan sisanya untuk penelitian itu sendiri.

"Jaga-jaga aja sih," ujar Herman singkat setelah berpikir lama.

"Terus kapan kita pulang, Bang? Gua udah kangen Meruya nih. Masa Bang Fajri sama Mbak Sharla boleh pulang?" Wawan meneruskan keluhannya.

"Hari ini terakhir, kan? Narok mesinnya? Ya udah. Paling besok ato lusa. Entar kita tektokan aja ama Pak Sena."

"Gua bawa pulang apa ya, Bang?"

"Maksudlu?"

"Kalo bawa pulang rendang, rumah makan Padang di Jakarta ada banyak."

"Oh, oleh-oleh?"

"Iya, Bang."

"Lu udah bakal bawa pulang lima M, ngapain lagi mikirin oleh-oleh kayak rendang? Bawa pulang aja Rumah Gadangnya sekalian."

"Buset, Bang!"

"Duitlu udah segudang, Wan! Masih mikirin oleh-oleh rendang aja."

"Maklum, Bang, otak gua masih otak orang susah."

Herman terkekeh. Akhirnya Wawan bisa lucu juga, pikirnya.

*****

"Teror Penunggu Danau Maninjau?" Herman terbelalak sambil melihat Fajri yang senyumnya juga membelalak; "Maksudlu apaan?!"

"Ya biar relevan lah, sis, sama kerjaanlu," Fajri melambaikan jemarinya; "Lagian ya, kalo lu jelasin se-detail mungkin soal ilmu-ilmu anehlu, nggak bakal ada yang ngerti. Kalo nggak ada yang ngerti, nggak akan ada yang nonton. Lu kan udah ter-established nih, sebagai pemburu hantu. Ya gunain lah kerentanan orang Indo terhadap takhayul."

"Masuk akal sih, Bang," Wawan ikut tersenyum lebar.

Meski sudah di kafenya di Meruya, Herman merasa hari-hari tanpa Fajri membuat gelagat Fajri menjadi semakin aneh. Herman tahu persis bahwa Fajri memang seaneh itu, dan mungkin dirinya masih mabuk udara seusai mendarat di Jakarta.

"Apa nggak bakal ngebuat pemerintah jadi nggak nanggepin kita dengan serius?" kritik herman.

Sharla menghela asap, "Ya kita udah coba ngelobi waktu kamu sibuk di danau. Wawan aja sampe ikutan, kan?"

"Iya, Mbak," senyum Wawan dalam keluh; "Gua masih rada sakit hati sama respon Pak Bupati."

"Sampe gubernur aja juga nggak mau nanggepin kita, sis," Fajri membela Wawan; "Mau cara apa lagi, emangnya? Minimal ya, kalo pemerintah nggak mau nanggepin kita, ya kita panasin aja rakyat jelata. Siapa tau bisa ngebuat pemerintah ngeladenin."

Herman ingin tertawa karena kekonyolan ide Fajri, namun masih tetap menahan kesal, "Ya nggak gitu juga dong, Jri. Yang ada kita makin nggak ditanggepin serius. Iya kalo orang percaya. Kalo nggak, gimana?"

Fajri menghirup asap, "Kalo nggak, kita tetep aman kok. Tugas kita sekarang ya cuma bisa begini. Emang sih, Pak Sena banyak duit. Kita bisa nyuap pemerintah sono. Tapi kalo nggak mempan, kita yang bakal kena kasus."

Herman memandang Sharla. Sharla hanya membela Fajri, "Entar aku yang ngedit pidato kamu di LoeTube, biar kata-katanya bisa mancing emosi penonton."

"Lah, kok kamu malah ngedukung idenya Fajri?" Herman berteriak tidak terima.

"Habis mau gimana lagi, Beb?" Sharla mematikan rokoknya; "Kita udah nggak bisa ngapa-ngapain lagi."

"Minimal kalo kita jelasin dikit soal Danau Maninjau, orang bakal ngerti keadaannya gimana," Herman hendak mempertahankan martabatnya.

"Awalnya Sharla juga maunya gitu, Man," Fajri menyeduh kopinya; "Cuma yang kayak begitu nggak bakalan viral. Orang yang pinteren dikit emang bisa percaya, tapi sister, orang kebanyakan nggak sepinter itu. Kalo iya, mereka nggak sepeduli itu. Nih ya, sis, anggep lah kita ngebuat konten yang rada ilmiah dikit. Anggep lah konten kita bisa viral. Kita bisa didukung sama seleb sosmed yang ngerti, bener. Tapi seleb-seleb yang peka sama sains, pamornya nggak segede seleb-seleb cantik-ganteng yang masih percaya sama zodiak."

Herman menggaruk kepalanya, "Terus, lu mau dapet paparan dari seleb-seleb yang kayak gitu? Emang mereka peduli?"

Fajri memutar matanya, "Baru aja gua bilang, sis, perkara yang kita bawa nggak bakal ngundang kepedulian orang."

"Ya kalo gitu, kita tinggal buat konten yang bakal dipeduliin sama orang-orang yang bener lah!" Herman membanting puntung rokoknya.

Sharla berusaha membantu Fajri, "Ya siapa orang-orang yang bener ini? Pemerintah? Kita udah nyoba, dan nggak berhasil. Maksud Fajri di sini, orang-orang yang 'bener' yang kamu maksud, nggak bakal punya exposure yang bisa ngegerakin pemerintah buat peduli sama kita. Cuma, kalo kita belokin dikit aja, kita bisa dapet exposure dari orang yang percaya takhayul sama orang yang ngerti sains."

Herman terdiam sebentar, "Jadi, maksud kalian itu gimana?"

Sharla berusaha berbicara dalam bahasa Herman, "Kita coba ngeviralin konten yang kesannya mistis sama lebay. Hantu-hantuan tuh masih bakalan dapet exposure gede di masyarakat. Sekalian aja, kita ngobrol sama produser film, supaya ngangkat topik hantu-hantuan ini ke layar lebar. Nah, orang yang percaya hantu bakalan ngegenjot banget 'Teror Penunggu Danau Maninjau' ini. Kalo hoki, yang kayak ginian bisa viral bertahun-tahun."

"Terus?" Herman masih tidak bergeming.

Fajri kini melanjutkan, "Nah, sis, orang-orang yang nggak percaya hantu bakal ngeliat topik viral kita sebagai sampah. Mereka bakal bego-begoin kita, dan siapa tau, bakalan ada orang yang actually nyari tau soal 'Penunggu Danau Maninjau'. Di situ lah, sis, kita bisa jelasin sains-sains anehlu. Dapet lah kita paparan dari orang yang percaya takhayul, sama orang yang percaya sama sainslu."

Herman mencoba mengunyah penjelasan Fajri dan Sharla. Lama ia mencoba mencerna, lalu ia perlahan terpana.

"Anjir," senyum Herman; "Jenius lu, Jri!"

"Iya dong," Fajri tersenyum lebar, "Fajri getoh!"

"Jadi intinya, kita buat perkara di sosmed, Bang?" Wawan menimpal; "Kita buat netizen berantem?"

"Bener!" seru Fajri sambil tergelak.

Wawan membayangkan peperangan yang akan terjadi di media sosial, "Seru tuh kayaknya, Bang."

Fajri mengiyakan, "Jadi kita buat perkara di sosmed, ngundang pertengkaran, terus kelar-kelar, kita jelasin perkara aslinya."

Satu kelompok pemburu hantu itu serempak menyeduh kopi, dan membiarkan sunyi mampir sebentar. Herman memecah hening, "Terus, jadi gimana?"

Fajri menyalakan rokok yang keentah berapa, "Gua buatin naskahnya dulu. Terus entar Sharla ngerapihin. Entar, lu yang ngomong. Usahain mukalu harus muka sekicep mungkin, tapi berkoar-koar. Habis itu, kita bantu koar-koarin di sosmed. Gua ada lah, kenalan seleb-seleb sosmed. Si Wawan juga punya temen di perfilman. Kita panas-panasin tuh semua orang. Sekalian, si Wawan coba nyari koneksi ke produser film. Soal duit, kan nggak masalah ya, selama ada dana dari Pak Sena."

Wawan tersentak, "Bang Fajri ada kenalan seleb?"

"Ada dong," senyum Fajri angkuh.

"Kenalin dong, Bang. Emang Bang Fajri kenalannya siapa aja?" Wawan menoleh pada Fajri.

"Ada lah," Fajri segera menghentikan omongannya. Wawan curiga bahwa Fajri berbohong.

"Lagian juga ya," Fajri lekas melanjutkan; "Kita tuh terkenal loh, sis. Udah masuk tipi berkali-kali. Udah masuk Merah-Hitam lah, On the Tops lah, sampe terakhir, apa tuh?"

"Akhirnya Pergi Juga," sahut Sharla.

"Ah, iya," Fajri mengangguk; "Gampang lah. Gua ada kontak banyak orang di entertainment gara-gara pamor kita. Ngobrol dikit udah bakal bisa masukin kalian semua ke iklan sabun cuci piring, ato iklan shampo—noh rambut Sharla kan bagus tuh."

Herman melirik Sharla dan mendapatkan Sharla mendongak dengan sombongnya. Fajri melanjutkan, "Intinya, kita udah ada modal duit sama modal pamor. Tinggal kita gunain. Lagian juga, Wawan bisa ngobrol lagi sama Pak Rahmat ato Pak Agung. Siapa tau mereka punya kenalan artis, kan? Orang-orang kayak mereka pasti ada lah kenalan."

Herman bergumam, "Lucunya kita belum ada kenalan orang pinter. Siapa kek, dosen lah, professor lah. Kalo kita ada kenalan dari dunia gitu, bakalan bisa ngebantu banget."

Fajri menggeleng-geleng, "Elah, Man. Lu lulusan Jerman! Lu jual lah yang kayak begitu. Gua yakin dapet kenalan dari dunia akademisi. Lagian kalo butuh modal, lu bisa kontak-kontakan sama dosenlu di Jerman, kan?"

"Iya sih," Herman baru sadar.

"Jangan bilang aja kalo kamu pulang-pulang ke Indo malah buka kafe," ujar Sharla tiba-tiba.

"Goblok," Herman merasa dihina.

"Lagian, tolol!" Sharla merayu.

"Oke, oke! Jadi kapan kita mulai?" Herman membanting topik.

"Yah, sekelarnya gua nulisin naskah buatlu," Fajri menghela asap.

"Cepet nggak tuh?" tantang Herman, mengetahui bahwa kawannya yang satu ini biasanya besar di mulut belaka.

"Ya, mohon maaf ya, gua banyak kerjaan. Gini-gini gua masih psikiater," Fajri memutar mata.

"Si bangsat," Herman mengonfirmasi kecurigaannya; "Jangan sampe lu tunda sampe bulan depan, ya. Udah bakalan basi duluan."

"Oh, nggak dong. Yang tau sampe saat ini kan kita doang. Kita viralin taun depan juga masih bisa," Fajri membela diri.

"Ya nggak taun depan juga lah, Jri," Herman mulai merengek.

Fajri tertawa, "Iya, iya, sis. Minggu depan lah ya. Lu sama Wawan hura-hura dulu aja. Baru pulang kan, kalian? Rendangnya belum abis."

"Banyak banget, Bang," Wawan terkekeh.

"Ngapain juga lu borong rendang sebanyak itu, Wan?" gerutu Herman.

"Ya maaf, Bang. Daripada bawa pulang Rumah Gadang," sengir Wawan. Herman hanya bergumam sambil memutar mata.

"Gua kerjain urusan pemburuan hantu yang udah numpuk aja deh. Wan, bantuin ya," ujar Herman; "Udah numpuk berapa banyak, Jri?"

Tanpa memedulikan isak tangis hati Wawan yang terlihat jelas di wajahnya, Fajri menjawab Herman, "Banyak banget sih. Tapi gua pilihin yang bakalan kelar seminggu ini aja. Kliennya dari Jakarta Selatan kok."

"Oh, masalahnya apa?" senyum Herman yang ikut tidak memedulikan rontaan jiwa Wawan.

"Masalah kesurupan. Rutin katanya, minimal sehari sekali," Fajri mengecek gawainya.

Herman bertanya, "Yang kesurupan sadar nggak, kalo dia kesurupan?"

"Justru yang ngirim emailnya ya si mbak-mbak yang suka kesurupan itu," ujar Fajri sambil membaca surel dari klien Herman.

"Lah, kok?" Sharla bingung.

"Bilangnya gimana?" Herman ikut bingung.

"Katanya sih, tiap kali kesurupan, dia ngerasa badannya berat. Seakan-akan si setan lagi berusaha masuk ke dalem. Jadi tiap kali dia ngerasa lagi didatengin setan, dia baca doa sampe napasnya abis. Katanya baca doanya empot-empotan banget, seakan-akan si setan ngerti dia lagi diusir. Jadi si mbaknya susah banget napas pas lagi sesi kesurupan."

Setelah mendengar penjelasan Fajri, Wawan kebingungan, "Kesurupan kok gitu amet? Asma kali, Bang."

Herman tersenyum, "Gua mikirnya juga gitu sih. Kayaknya emang nggak tau."

"Biasanya yang kayak gitu gara-gara keluarganya percaya dukun ketimbang dokter," sambut Sharla.

"Gampang lah ya. Itu seminggu kelar. Tinggal pinter-pinternya Sharla ngomong aja," ujar Herman.

Sharla tak menggerutu karena ucapan Herman yang seakan-akan melontarkan tanggung jawab perburuan hantu kepadanya. Namun ia tetap berkomentar, "Enak banget ya, diagnosisnya di depan psikolog banget."

"Tapi emang bener kan, asma?" senyum Herman.

"Tau!" gerutu Sharla.

"Ya udah lah ya, pertengkarang rumah tangganya ditunda dulu sisters. Gua siapin pidatonya Herman, kalian have fun lah berburu setan," Fajri menghabiskan rokoknya, kemudian kopinya.

*****

Herman menyaksikan dirinya sendiri pada cuplikan video yang sudah ditonton dua juta kali. Ia terpana.

"Baru dua minggu loh," Fajri tersenyum; "Udah dapet view sebanyak itu."

"Lu pake jampi-jampi apaan bisa dapet view sebanyak itu di Instakilogram?!" seru Herman setelah menyeduh kopinya.

"Rahasia dong, sis. Intinya kenal orang yang tepat aja," Fajri lanjut menyeduh kopi.

Di lantai dua ruko itu masih hanya ada Herman dan Fajri. Sharla sedang mengunjungi orangtuanya di Jakarta Utara, sedangkan Wawan masih disibukkan dengan pelanggan-pelanggan di lantai satu.

"Si Wawan udah ngasih tau?" lanjut Herman.

"Apaan?" Herman masih asyik memandangi dirinya di layar gawai Fajri.

Fajri memandang Herman keheranan, lebih lagi memikirkan apakah Herman belum tahu karena Wawan tidak memberi tahu atau Herman sendiri yang tak peduli. Ia menghembuskan napas, "Si Warko Joan. Ada kok di list orang yang nge-like videolu. Kenal?"

"Yang kemaren buat film Setan Pengap di Tanah Abang?" Herman mencoba mengingat-ingat.

"Iya, sis. Film horor lah intinya. Kemaren si Wawan dapet kontak si Mas Joan. Ngobrol-ngobrol lah mereka. Mas Joan katanya sih, terinspirasi banget lah ya, sampe itu obrolan dibawa ke produser. Rencananya bulan depan mau mulai produksi film."

Herman memandang Fajri lama, "Serius lu?"

"Dua-rius, sis. Mau liat proposalnya? Ada tuh di hape gua screenshot-annya," Fajri menyengir lalu merebut kembali gawainya dari tangan Herman untuk mencari foto proposal.

Setelah melihat proposal, Herman terbelalak, "Gila. Gimana ceritanya kalian bisa sampe bisa kayak gitu?"

"Makanya, Man, jadi orang jangan asosial. Punya banyak kenalan tuh enak. Lu sendiri gimana? Udah ngubungin dosenlu di Jerman?" tantang Fajri.

"Belum sih."

"Si bego, dasar. Hubungin lah, sis. Kita pengen punya kredibilitas kan? Ada kenalan ya jangan disia-siain."

"Ya, sorry Jri. Lu tau kan gua lagi ngurusin klien berturut-turut. Ini aja yang terakhir belum selesai banget."

"Sembari lah, Man. Udah kafe diurusin Wawan, sekarang harus Wawan juga yang ngubungin dosenlu? Perlu emang Pak Sena ngedanain kita buat terbang ke Jerman?"

Herman menghembuskan napas, "Iye, Jri. Iye. Ya udah, gua hubungin entar."

"Sekarang lah! Jerman masih siang, kan? Sebelum dosenlu tidur, lu hubungin biar nggak lupa."

"Iye, iye," gerutu Herman.

Fajri menyelesaikan gelas kopinya, "Asal lu tau ya, sis. Videolu udah viral. Udah banyak seleb medsos yang ngebicarain. Kemaren gua juga udah cek; udah ada satu-dua orang yang mulai nyari ribut sama seleb-seleb ini nih, bilangin kalo videolu pup kebo. Justru sekarang ini kita harus muncul lagi di sosmed, buat ngelurusin videolu make penjelasan ilmiah."

"Oh, udah ada yang ngebantah?"

"Iya lah, sis. Yang seviral ini pasti nimbulin keributan. Kalo kita nggak cepet-cepet nimbrung lagi, yang ada entar basi. Setaun-dua taun dari sekarang, kalo film si Mas Joan udah keluar, entar panas lagi pasti. Pas udah panas lagi, kita nimbrung lagi. Biar perkara kita nggak abis sebulan doang."

Herman terdiam memikirkan ucapan Fajri. Ia ikut menyelesaikan kopinya, dan masih terdiam.

Fajri melanjutkan, "Entar tiap bulannya, kita bakal update terus soal perkara Danau Maninjau. Kalo bisa kita tambahin percikan apinya. Ajaklah dukun mana, orang pinter mana, buat ikut komentar. Pasti mau mereka. Minimal kita nggak boleh ngebiarin orang lupa sama 'Teror Penunggu Danau Maninjau'. Gua yakin pasti bakal die down; yang nonton kita taun depan palingan cuma segelintir. Cuma, kita harus mastiin kita ditonton terus."

Herman masih mendengarkan. Fajri diam sebentar untuk mengumpulkan napas, "Nah. Kan lu udah naroh tampanglu buat mercik keributan. Entar, biar si Wawan yang ngelurusin. Dia yang ngejelasin yang ilmiah-ilmiah, lu yang mistis-mistis. Kita buat seakan-akan kalian berdua berantem."

"Lah, kok gitu?" Herman keheranan.

"Udah terlanjur, sis. Lu lebih terkenal dari si Wawan. Tapi, lu terkenalnya sebagai orang pinter yang bisa basmi hantu. Mau lu udah pamerin alat-alatlu di layar kaca, orang tetep mikir lu tuh dukun. Nah, Wawan kan belum bener-bener muncul di benak orang. Kita bisa gunain Wawan buat nge-counter argumenlu. Kita buat awalnya Wawan ngejeklu, bilang kalo lu cuma nimbulin keresahan. Pelan-pelan, kita buat Wawan seakan-akan sadar. Dari data-datalu—yang entar dikonfirmasi sama dosenlu dari Jerman—si Wawan bakal bilang kalo ternyata emang ada sesuatu di Danau Maninjau. Tapi kita tetep buat seakan-akan kalian berantem. Kalo lu soal hantu-hantuan, si Wawan nanti bakal bilang kalo lu bener, tapi lu sesat."

Herman mengangguk. Namun, ia tetap merasakan sesuatu yang mengganjal. Ia memandang Fajri, "Tapi, Jri, orang-orang apa nggak bakal sadar kalo ini tuh drama yang dibuat-buat?"

Fajri bersender pada kursi, "Adalah, pasti, orang yang sadar. Tapi mereka nggak penting. Orang Indo senengnya drama, kan? Lagian kalo ada yang nyadar si Wawan itu orangnya lu, kita bisa buat seakan-akan si Wawan tuh 'keluar' dari pemburu hantu karena lu nggak jelas. Buat aja seakan-akan kalo Wawan expect-nya lu tuh ilmiah, dan ternyata lu akhir-akhirnya tetep dukun. Drama banget nggak tuh?"

Herman tidak mengerti, namun mengangguk. Dadanya tetap berat, "Aneh nggak sih? Kita koar-koar, mercik keributan, tapi kubunya dua-duanya dari kita juga?"

Fajri memutar matanya, "Oh my gosh, sis. Lu naif banget. Ini taktik udah dari kapan tau dipake sama politikus, sama selebriti, tapi lu lagaknya kayak nggak tau. Lu kata kalo ada seleb berantem, mereka beneren berantem? Nggak, sis! Mereka kerja sama! Keributan yang muncul bakal ngangkat pamor mereka berdua. Orang-orang bakal kenal mereka. Kalo mereka damai, yakinlah ama gua kalo setaun kemudian orang-orang bakal lupa ama mereka."

Herman memerhatikan Fajri dengan saksama. Fajri melanjutkan, "Kalo politikus, sis, lu bisa liat juga. Anggep lu gubernur Jakarta. Lu bisa bilang kalo lu nggak seneng sama konglomerat yang mau gusur orang miskin, tapi lu tetep bisa dapet kontrak duit ama mereka. Mau lu jelek-jelekin mereka di depan umum, itu konglomerat tetep bakal ngasih lu duit. Mulutlu nggak bakal ngebuat konglomerat mutusin kontrak sama lu, selama lu sendiri nggak mutusin kontrak. Konglomerat nggak bakal peduli; duit lebih kuat dari opini. Dan lu sendiri? Lu dapet pamor. Orang-orang bakal seneng sama lu karena opinilu. Nggak bakal ada yang peduli kalo di belakang layar, lu temenen sama konglomerat berduit ini."

Kepala Herman panas. Ia tidak siap mendengarkan ilmu asing bernama taktik politik. Yang ia tahu hanya ilmu mesin.

Fajri tersenyum, "Intinya, sis. Ini taktik. Lu tinggal polarisasi orang-orang, entar lu tetep dapet pamor. Orang nggak bakal peduli kenyataan di belakang layar; mereka cuma mau konten keributan doang."

Herman menghela napas lelah, "Oke. Anggep aja gua ngerti, Jri. Gua ikut rencanalu aja."

Fajri tersenyum mengangguk, "Ya, tapi sorry aja nih, sis, pamorlu bakal rada jelek di depan netizen yang ilmiah. Wawan yang bakal disenengin sama mereka. Tapi itu juga siasat gua, sis. Biar entar klienlu bukan orang-orang ilmiah, tapi orang-orang yang percaya takhayul."

"Maksudlu?" Herman memasang wajah bingung. Fajri melihat Herman sebagaimana Herman melihat Wawan, lalu tertawa.

"Ya biar gampang lah, kerjaanlu! Nggak kayak waktu sama Pak Rahmat sama Pak Agung. Biar nggak tiba-tiba berurusan sama dunia narkoba, ato tiba-tiba nemuin benteng peninggalan Jepang. Lebih manageable lah ya, kalo klienlu cuma orang asma yang ngerasa dirinya kesurupan. Toh, duitnya sama-sama gede."

Herman mengerti dan mengangguk, "Oh, ya udah. Thank you, Jri."

Beberapa saat kemudian, gawai Herman berdering. Ketika ia memeriksa, ternyata dosennya dari Jerman telah membalas pesannya. Sejenak, Herman tersenyum karena ternyata dosennya merindukan sosok mahasiswa asing yang punya prestasi besar di Berlin.

"Siapa? Dosenlu?" tanya Fajri.

"Iya," Herman tersenyum.

"Gimana?"

"Ya, ini baru nge-chat. Masih salam-salaman."

"Oh, ya udah, sis. Undang ke Indo aja."

"Gimana?"

"Kita ada duit, kan? Dari Pak Sena? Gunain aja, Man. Undang dosenlu, segudang. Ajak jalan-jalan ke Jakarta. Ngobrol lah kalian. Siapa tau mereka bisa bantu-bantu soal Danau Maninjau."

Herman memandang Fajri, lalu tersenyum, "Oh, iya. Duitnya ada ya, buat ngundang mereka."

"Gunain lah Pak Sena sebaik-baiknya, sis."

Herman menggeleng, "Nggak usah. Gua udah banyak duit. Pake duit gua aja."

Fajri tersenyum, "Cie, kangen-kangenan. Bakalan kaget nggak tuh, mereka? Dateng-dateng ke Indo, ternyata alumninya malah buka kafe."

"Bacot," rewel Herman. Fajri tertawa mengejek.

[]


Pokračovať v čítaní

You'll Also Like

14.5K 1K 45
Seorang anak yang diyakini memiliki kemampuan atau sifat yang spesial, tidak biasa, dan bahkan supranatural. "semoga dengan cerita saya ini dapat men...
Bayi Milik Suami Duda Od Di_evil

Všeobecná beletria

445K 21.7K 36
[Follow dulu untuk bisa membaca part yang lengkap] Tarima Sarasvati kira akan mudah baginya menjadi istri bayaran Sadha Putra Panca. Hanya perlu mela...
664K 24.3K 32
[KAWASAN BUCIN TINGKAT TINGGI 🚫] "Lo cuma milik gue." Reagan Kanziro Adler seorang ketua dari komplotan geng besar yang menjunjung tinggi kekuasaan...
13.5K 923 10
EG Group rupanya tidak bisa berlama - lama tenang dari kasus yang baru saja mereka selesaikan, karena si detektif bawah tanah yang merupakan "anggota...