Paradise (Segera Terbit)

Par ohhhpiiu

2.6M 139K 5.2K

[PART MASIH LENGKAP] "Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua... Plus

Bab I
Bab II
Bab III
Bab IV
Bab V
Bab VI
Bab VII
Bab VIII
Bab IX
Bab X
Bab XI
Bab XII
Bab XIII
Bab XIV
Bab XV
Bab XVI
Bab XVII
Bab XVIII
Bab XIX
Bab XX
Bab XXI
Bab XXII
Bab XXIII
Bab XXIV
Bab XXV
Bab XXVI
Bab XXVII
Bab XVIII
Bab XXIX
Bab XXX
Bab XXXI
Bab XXXII
Bab XXXIII
Bab XXXIV
Bab XXXV
Bab XXXVII
Bab XXXVIII
Bab XXXIX
Bab XL
Bab XLI
Bab XLII
Bab XLIII
Bab XLIV
Bab XLV
Bab XLVI
Bab XLVII
Bab XLVIII
Bab XLIX
Additional Part 1
Additional Part 2
Additional Part 3
SEGERA TERBIT

Bab XXXVI

44.4K 2.4K 49
Par ohhhpiiu

Terlalu banyak kata maaf.

...

Sabtu pagi biasanya rumah selalu sepi, semua sibuk dengan urusannya masing-masing. Namun pagi ini berbeda, Qila berdiri diatas anak tangga pertama, memperhatikan ke bawah tepatnya pada meja makan dimana ayah dan dua saudaranya tengah duduk canggung tanpa percakapan.

Aneh sekali, akan tetapi tak urung membuat bibirnya sedikit berkedut menyaksikan betapa enggannya masing-masing dari mereka untuk membuka percakapan.

"Pagi," sapa Qila begitu sampai dibawah.

Semua kontan menoleh, memerhatikan Qila dengan balutan sweater pink kontras dengan kulitnya yang pucat. Akbar langsung bangkit dari duduknya dan menghampiri Qila, mengelus pelan puncak kepala Qila dan tersenyum tipis.

"Sudah siap?"

Sebenarnya tidak. Dan sejujurnya sekarang Qila sangat takut.

"Eum," gumam Qila, kepalanya melongok sedikit ke belakang tubuh Akbar, hanya ada Daniel dan Saka, keluarganya kurang satu.

Peka dengan apa yang tengah Qila pikirkan, Daniel beringsut maju dan merangkul bahu Qila. "Gak usah cari yang gak ada."

"Hari ini kalau lo semangat jalanin kemo-nya gue punya hadiah buat lo."

"Apa?"

Daniel mengacak rambut Qila, "Kejutan dong, gak asik banget kalau dikasih tau sekarang."

Akbar melihat jam yang melingkar di tangannya, "Ayo kita berangkat sekarang supaya tidak terkena macet."

Tangan Qila berubah dingin, saat ini ia sangat amat gugup, terlebih semalam ia habiskan untuk browsing mengenai efek samping dari kemo-semakin membuat dirinya takut.

"Tenang, Qi. Semua bakalan baik-baik aja." Daniel menyatukan kepalanya dan Qila dari samping, rengkuhan tangannya mengerat, berusaha menenangkan meskipun Daniel sendiri tak menampik bahwa ia ketakutan.

Sementara Akbar duduk di bangku samping kemudi, Daniel-Qila-Saka duduk di bangku tengah. Semenjak perkara 'luka' pada punggungnya diketahui Saka, ia belum lagi berkomunikasi dengan saudara kembarnya itu.

Belum ada sepuluh menit perjalanan, Qila sudah menguap, matanya memberat akibat kelelahan bergadang semalaman. Sesekali ia coba memejamkan mata, berusaha nyaman dan tenang meski skenario buruk selalu terbayang di otaknya.

"Tidur aja." Saka membawa kepala Qila untuk bersandar pada pundaknya. "Nanti dibangunin."

Qila sempat tersentak karena Saka mengusap pelan kepalanya, bisikan hangat itu pun datang tiba-tiba, tak urung membuatnya menerbitkan senyum.

Tangan kiri Qila digenggam oleh Daniel yang sedari tadi fokus melihat jalan, tidak ada percakapan, ataupun suara musik, hanya kesunyian yang menemani mereka, sebab semua tengah bergelung melepaskan risau dan cemas dibalik wajah 'baik-baik' mereka.

"Bang Dirga ... kemana?"

Daniel menoleh, memastikan bisikan pelan tersebut memang datang dari mulut Qila, "Gak tahu nomornya gak bisa dihubungin."

"Gak usah dipikirin." Saka menutup mata Qila dengan telapak tangannya, lalu tak lama mengelus kening gadis itu agar cepat terlelap.

"Marah sama aku?" tanya Qila lagi.

Daniel mendengkus, "Yang harusnya marah itu elo bukan dia."

Sengaja menegaskan dan mengingatkan pada Qila perkara janji yang Dirga ingkari beberapa waktu lalu. Jika tidak ditahan Saka, mungkin Daniel akan meninju wajah Dirga dan mendatangi apartemennya saat itu juga.

Semua tidak tahu bagaimana cara berpikir Dirga saat ini. Dulu, diantara orang rumah yang memilih tak acuh pada Qila hanya Dirga yang masih menunjukkan rasa peduli, terkadang Dirga juga lah yang membela Qila saat dimarahi Akbar.

... Kenapa rasanya Dirga semakin jauh dari Qila?

Pegal di pundaknya membuat Qila mengeluh pelan. Saka menggeser tubuhnya agar lebih berdempet dengan pintu mobil, begitupun Daniel.

"Sini." Saka menepuk pahanya, membaringkan kepala Qila agar lebih bisa nyaman tidur.

Daniel tahu sejak semalam Qila tidak bisa tidur, lampu kamarnya menyala dan baru padam pukul 5 pagi tadi. Lagipula siapa yang bisa terlelap tidur semalam? Semua dilanda cemas, ah, mungkin ada satu orang.

Akbar melirik pada spion tengah mobil, memperhatikan dan mendengarkan percakapan putra-putrinya tanpa berusaha masuk ke dalamnya. Sudahlah, Akbar tidak ingin membuat suasana menjadi buruk karena sikap 'sok asik' miliknya.

Daniel melepas jaket yang dikenakannya dan menyampirkan pada tubuh Qila, ia lalu melihat Saka sedang mengamati wajah Qila.

"Kenapa?"

Saka menggeleng, ia sudah berjanji untuk tidak mengungkit perihal luka di punggung Qila, saat ini mungkin masih bisa Saka tahan, ia akan percaya bahwa Qila sudah tidak lagi menyakiti tubuhnya.

"Lo gak masalah bolos basket hari ini?"

"Hm." Saka bergumam. "Lo gak ikut pengayaan?"

"Kalau jadwal pengayaan gue bentrok sama kemo gue bisa minta jadwal pengganti ke guru piket."

Lalu setelah itu hening.

Semua kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Bergelung dengan pemikiran jahat dan kemungkinan terburuk yang akan mereka hadapi setelah ini.

"Qila pasti sembuh." Akbar memecah lamunan Daniel dan Saka yang tersentak dibelakang. "Meskipun terlambat tapi ayah akan selalu berusaha untuk mencari pengobatan terbaik buat Qila."

***

Qila merasa dunianya seolah berputar cepat. Perutnya seakan terkocok dan minta untuk segera dikeluarkan. Tapi karena matanya terlalu berat untuk dibuka ia memilih untuk kembali tidur dengan peluh dingin yang mulai melingkupi wajahnya.

Dokter Arini masuk ke dalam ruang inap Qila, ia tersenyum menenangkan dan menatap satu persatu orang yang ada di ruangan.

"Qila nya dibiarkan istirahat dulu ya, jangan dibangunkan karena obat kemoterapi memerlukan waktu kurang lebih 48 jam di dalam tubuh agar bisa bereaksi," ujar Dokter Arini.

"Ada hal lain yang perlu diperhatikan, dok?"

"Mungkin saat ini itu saja ya, nanti akan wajar kalau Qila merasa mual dan pusing, karena biasanya pasien akan muntah sebagai respon tubuh. Lalu tolong diperhatikan untuk tidak melakukan kontak langsung apalagi ketika kamar mandi habis digunakan Qila ya, obat kemo biasanya dikeluarkan melalui cairan tubuh, cuci tangan dengan baik setelah menggunakan toilet."

Semua mendengarkan dengan seksama penjelasan Dokter Arini.

"Kalau Qila muntah-muntah bagaimana dok?" Daniel bertanya pelan, ingatannya melayang pada saat ia menemani bunda kemo dulu.

"Efek kemoterapi pertama muncul ketika sel-sel normal dalam tubuh rusak akibat bahan kimia dari kemo itu sendiri. Sebenarnya tidak semua pasien akan memiliki gejala seperti itu, namun untuk jaga-jaga silahkan langsung panggil saya bila terjadi ya."

"Terima kasih, dokter."

"Sama-sama." Dokter Arini kembali mengulas senyum. "Saat ini yang paling dibutuhkan Qila adalah dukungan dan doa, karena kita semua tidak tahu kapan keajaiban Tuhan bekerja."

"Kalau begitu saya pamit dulu, selamat siang."

Akbar mengangguk dan ikut keluar mengantar Dokter Arini, masih ada beberapa hal yang perlu ia konsultasikan secara pribadi.

Rasa mual dan pusing yang hebat membuat Qila mengeluh, tubuhnya lemas tak bisa digerakkan tapi mulutnya tak lagi bisa menahan mual.

Daniel dan Saka segera mendekat, Daniel mengangkat pelan kepala Qila agar bisa bersandar pada kasur dan Saka yang langsung memberikan kantong khusus agar Qila bisa lebih mudah mengeluarkan isi perut.

Ditengah perjuangannya memuntahkan semua isi perut, Qila menangis, kedua tangannya mencekram kaos yang dipakai Daniel, tangisan tanpa suara.

Tidak tega melihat pemandangan tersebut membuat Daniel memalingkan wajah, ia membawa kepala Qila ke dadanya begitu adiknya selesai mengeluarkan isi perut.

Saka mengambil tisu di atas nakas dan mengusap bibir Qila. Ingin sekali ia menyerukan bahwa Qila adalah orang terkuat saat ini, namun Saka terlalu kelu, melihat wajah kesakitan itu saja sudah meremas perasaan Saka.

Tak lama Akbar masuk dan langsung menghampiri mereka. Ia mengambil alih Qila lalu menyuruh Daniel untuk memanggil Dokter Arini, sedangkan Saka menurut saat Akbar menyuruh dia untuk berganti pakaian yang kotor akibat Qila.

"Maaf." Qila menangis dalam pelukan Akbar. "Sakit ayah."

"Masih mau muntah?"

Qila menggeleng, ia menerima uluran minum dari ayahnya dan menegaknya sedikit. "Bi Iyem mana."

"Sebentar lagi sampai ke sini." Akbar mencium puncak kepala Qila. "Mau tidurin aja biar pusingnya mendingan?"

"Tambah pusing ayah." Qila mengeluh, air mata berkumpul namun coba Qila tahan, ia tidak boleh cengeng sekarang.

"Qila pusing, sayang?" Dokter Arini masuk disusul Daniel dibelakangnya. "Sudah muntah?"

Qila mengangguk lemah, matanya masih terpejam untuk menetralisir pusing yang di dera, namun ia tahu suara itu milik Tante Arini-Buna Angkasa.

"Qila kuat sekali." Dokter Arini menepuk pelan tangan Qila begitu selesai mengecek kondisi tubuhnya, "Nanti kalau mau pipis jangan ditahan ya, biar obatnya keluar dengan baik."

Dokter Arini berdeham sedikit. "Ini wajar ya Pak Akbar, sebagian pasien bisa saja mual sebagai efek kemoterapi dan biasanya bisa sampai 1 atau 3 hari setelah pengobatan. Lalu ada efek samping lain seperti rontok, lemas, dan diare biasanya paling cepat 10 hari setelah kemoterapi pertama, tapi tidak semua pasien seperti itu jadi tidak terlalu dikawatirkan. Kemudian setelah dua minggu, biasanya sebagian pasien sudah tidak merasakan efek apa-apa. Qila juga kemungkinan bisa beraktivitas normal kembali."

"Jadi memang karena ini pertama kali, perlu ada pemantauan lebih." Dokter Arini menjelaskan dengan tenang, tahu bahwa semua orang yang mendengarkan nampak susah payah menyembunyikan cemas. "Untuk sekarang hindari hal yang bisa memicu mual untuk Qila ya, misalnya makanan yang terlalu beraroma kuat dan sejenisnya."

"Qila juga jangan dibawa pikiran ya, kondisi tubuh Qila akan mengikuti apa yang Qila pikirkan. Mulai dengan sugesti baik agar obatnya juga bekerja maksimal, okay sayang?"

"Iya dokter." jawab Qila parau. Pusingnya sudah tidak terlalu, meski saat membuka mata kadang urat di kepalanya seakan berkedut.

Lalu setelahnya Dokter Arini pergi, Qila meringis saat Akbar mengelus kepalanya. "Sakit?" tanya Akbar cemas.

"Eum."

"Mau tidurin sekarang?" Yang dibalas anggukan kecil.

Daniel segera mendekat dan merapihkan bantal serta selimut Qila, memperhatikan wajah adiknya yang nampak lebih pucat daripada pagi tadi. Daniel mengambil tangan Qila, menggenggamnya erat, mencoba menyalurkan kekuatan.

"Ayah beli makan siang buat kita dulu. Daniel mau titip apa?"

"Apa aja."

"Ya sudah, kalau begitu ayah titip Qila dulu ya." Akbar meremas pundak Daniel sekilas.

Sebenarnya mencari makan siang adalah alasan yang kesekian, Akbar tak kuasa melihat wajah kesakitan Qila, wajah yang mencoba menahan tangis dan sakit disaat yang bersamaan, menguras memori kelamnya di masa lampau.

Ia menghapus jejak air mata, melangkah menjauhi kamar Qila untuk membeli makan ke kantin terdekat. "Anak ayah pasti kuat."

***

"Ayah kemana?" tanya Saka begitu selesai berganti baju.

"Cari makan siang buat kita." Saka mengangguk mengerti, pandangannya beralih pada Qila yang bengong sambil menatap langit-langit kamar rumah sakit.

"Mual?" Saka mendekat dan mengelus singkat kening Qila yang sedikit mengkerut. "Pusing?"

"Sekarang udah gak terlalu."

Saka menarik kursi di samping kasur Qila dan merebahkan kepalanya kemudian memejamkan mata. Jantungnya tak berhenti merasa cemas sejak tadi, Saka takut, tapi ia tak boleh menampilkan hal itu karena mau bagaimanapun Qila pasti jauh lebih takut daripada dirinya.

Melihat Saka terpejam tenang disisinya, tangan Qila terangkat mengelus rambut Saka yang lembut. Tangannya masih lemas, dan tubuhnya seakan tak bertenaga. Sementara Daniel sudah terlelap lebih dulu di sofa yang tak jauh dari kasur Qila dengan remot tv di atas wajahnya.

"Ka," panggil Qila pelan. "Saka."

"Ya?" Mata Saka mengerjap beberapa kali. "Kenapa?"

"Mau pipis," cicit Qila.

Saka mengangguk mengerti dan menyibak selimut. "Masih lemes?"

"Iya," Qila merasa tidak enak karena terlalu merepotkan Saka.

"Ayo." Saka mengangkat pelan tubuh Qila dengan begitu mudah. "Kalau udah selesai ketok pintunya, ya."

"Makasih." Qila tersenyum kecil yang dibalas senyuman singkat dan elusan di kepala oleh Saka.

Begitu keluar dari kamar mandi, Daniel ternyata sudah bangun dan terduduk di sofa dengan pandangan khawatir. "Kenapa, Ka? Muntah lagi?"

"Pipis."

Wajah Daniel langsung rileks dan berucap syukur mendengarnya. "Gue kira muntah lagi."

"Ka."

Alis Saka naik membalas panggilan dari Daniel. "Lo ... gak takut?"

"Apa?"

"Qila-"

"-Dia bukan orang lemah, Niel." pungkas Saka. "Gue tahu Qila lebih kuat dari ini."

***

Mengikuti saran dari Dokter Arini, Akbar dan Saka memilih untuk makan diluar terlebih dahulu agar dapat bergantian dengan Daniel setelahnya. Meskipun Akbar tidak memilih makanan yang menyengat ia tetap berjaga-jaga demi kebaikan Qila.

"Sini tangan lo," pinta Daniel, ia duduk di kursi yang di duduki Saka sebelumnya. "Sambil tutup mata."

Kondisi tubuh Qila jauh lebih mendingan dari sebelumnya, kini ia sudah bisa duduk bersandar pada ranjang rumah sakit dan mengobrol seperti biasa.

"Gak mau," tolak Qila. "Nanti malah digigit."

Daniel tertawa melihat Qila menutupi kedua pipinya. "Gak akan elah, sini buruan mau hadiah gak."

"Beneran ya? Awas aja kalau sampe digigit kayak waktu itu."

"Iya-iya, janji."

Qila menurut dan menutup matanya sambil mengulurkan tangan. Ada sensasi dingin begitu sebuah benda menyentuh telapak tangannya.

"Nah sekarang boleh buka matanya."

"Ini ...."

"Gimana? Suka gak? Gue pilih modelnya sampe nanya ke semua temen tongkrongan." Daniel berucap bangga sambil sedikit membusungkan dadanya. "Liontin burung yang lo minta."

Kilau mata Qila berbinar melihat kalung yang Daniel berikan. Cantik sekali. Ia sangat menyukainya.

"Suka!" Qila tersenyum senang dan memeluk Daniel. "Makasih ya kalungnya."

"Abangnya mana?"

"Makasih Abang kalungnya," ujar Qila begitu tulus lalu mencium pipi Daniel sekilas. "Pakein dong sekarang."

Daniel terkekeh gemas melihat Qila yang sudah kembali ceria, "Awas aja kalau sampe kalungnya di jual, gue obrak abrik kamar lo nanti."

"Hahaha iya iya gak mungkin Qila jual." Qila tertawa menanggapi celoteh asal Daniel. "Cantik banget kalungnya."

"Semangat kemo-nya gue pasti bawain semua hal yang lo pengen."

"Beneran?"

"Iya dong." Daniel menepuk dadanya sombong. "Lo minta apa aja bisa gue kasih."

"Minta Pulau Amerika juga bisa?"

"Bangke." Daniel menjitak pelan kening Qila. "Gak sekalian aja lo minta gue bangunin candi kayak Roro Jonggrang."

"Wah boleh tuh." Qila semakin berbinar mendengarnya, "Hahahaha ampun iya jangan di gelitikin."

"Nih rasain jurus gelitikan gue dulu baru minta candi."

Rasa sakitnya di tubuhnya menguap menjadi kebahagiaan dalam sekejap. Namun secepat kebahagiaan datang maka Qila semakin takut secepat itu juga kesedihan akan hadir.

Hanya saja untuk sekarang ia akan mencoba berpikir positif, Qila akan membuat kebahagiaannya sendiri bahkan jika itu adalah kumpulan dari kesedihan-kesedihannya di masa yang akan datang.

















...

the necklace;

Continuer la Lecture

Vous Aimerez Aussi

Hai, Bubu! (END) Par Lunn

Roman pour Adolescents

732K 72.3K 53
Kamu sama Matematika itu sama-sama nyusahin, kalo Matematika susah di pelajari kalo kamu susah di miliki," Adelin Aluna. Highest rank: •3 in Komedi r...
8.1K 2K 43
Alana adalah seorang gadis yang ceria tetapi orang-orang tidak tahu bahwa Alana mempunyai penyakit yang berhubungan dengan jiwanya dan memiliki traum...
517K 40.8K 39
SERIES #2 [Sequel of Annoying girl] Highest Rank #1 of 2,6k in Sister [05/06/2019] #48 of 36,5k in Indonesia [16/1/2021] #81 of 53,1k in Teen [16/1/2...
1.4M 149K 30
"Bang, tau gak, gue sebel banget masa, tadi gue di omongin dari belakang sama Clara! temen baik gue sendiri!" "Ah, Lo yang salah kali. Gak mungkin Lo...