Paradise (Segera Terbit)

Galing kay ohhhpiiu

2.6M 142K 5.2K

[PART MASIH LENGKAP] "Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua... Higit pa

Bab I
Bab II
Bab III
Bab IV
Bab V
Bab VI
Bab VII
Bab VIII
Bab IX
Bab X
Bab XI
Bab XII
Bab XIII
Bab XIV
Bab XV
Bab XVI
Bab XVII
Bab XVIII
Bab XIX
Bab XX
Bab XXI
Bab XXII
Bab XXIII
Bab XXIV
Bab XXV
Bab XXVI
Bab XXVII
Bab XVIII
Bab XXIX
Bab XXX
Bab XXXI
Bab XXXII
Bab XXXIII
Bab XXXIV
Bab XXXVI
Bab XXXVII
Bab XXXVIII
Bab XXXIX
Bab XL
Bab XLI
Bab XLII
Bab XLIII
Bab XLIV
Bab XLV
Bab XLVI
Bab XLVII
Bab XLVIII
Bab XLIX
Additional Part 1
Additional Part 2
Additional Part 3
SEGERA TERBIT

Bab XXXV

48.2K 2.7K 63
Galing kay ohhhpiiu


~o0o~

Setelah kejadian kemarin, entah disadari atau tidak oleh penghuni rumah yang lain, Qila mencoba menjaga jarak dan intensitas pertemuan dengan mereka.

Sebisa mungkin Qila tidak keluar kamar jika bukan karena hal mendesak, berangkat sekolah pun sesekali ayah atau Daniel yang akan mengantar selebihnya Qila berangkat dengan supir yang sudah ayah siapkan.

Namun pagi ini, Qila hanya diam dan menurut saat ayah memintanya untuk mengantarkan Qila ke sekolah. Walaupun tidak banyak percakapan yang mereka bicarakan selama perjalanan, tapi-

"Saka udah cerita semua ke ayah."

"Oh ya?" balas Qila tidak minat, sudah ia duga, mana mungkin Saka mau menjaga rahasia itu.

"Ayah juga sudah memberi pelajaran kepada mereka."

Pelajaran?

"Siang ini beritanya pasti mencuat di media sosial dan televisi."

Lagi, kebingungan menyerang Qila, berita apa?

"Kalau masih ada yang berani menindas kamu, jangan ragu bilang ayah. Bukan masalah kecil bagi ayah membuat mereka kehilangan pekerjaannya," ujar Akbar dengan tatapan yang masih fokus pada kemudi mobil.

"Mengerti, Qila?" Seperti terkena hipnotis, Qila mengangguk tanpa membalas sepatah kata.

Pagi ini cuaca cukup cerah, matahari bersinar tidak terlalu terik, langit yang biasanya tertutup awan kini mulai menampakkan kebiruan yang cantik.

Sepanjang koridor yang Qila lalui, anak-anak banyak berkerumun menciptakan lingkarannya sendiri, membicarakan topik yang entah apa tapi Qila dapat merasakan lirikan datang menerpa wajahnya.

Lirikan yang berbeda dari terakhir kali ia dapatkan, tatapan mereka saat ini terlihat seperti .... orang yang ketakutan?

"Tuh gue bilang juga apa, dia bukan anak orang biasa, kan?"

"Mungkin aja ini karena orang tua Wenda? Gue denger orang tua Wenda cukup berpengaruh, makanya anak kelas 11 gak pada berani sama dia, kan?"

"Gue udah tanya sendiri, bukan Wenda, dia aja shock pas liat berita ini."

"Lagian lo gak liat? Yang berantem duluan kan si Qila-"

"Shhhtttt jangan kenceng-kenceng dia nengok kesini!"

"Lo gak denger rumornya? Inez pindah sekolah gara-gara bokapnya dia."

"Serius?"

"Ya lo pikir alasan Inez gak masuk sekolah apalagi kalau bukan pindah?"

Bel masuk menginterupsi pembicaraan siswa di koridor. Semuanya kontan diam saat Qila dengan terang-terangan menatap mereka, meminta penjelasan, namun nihil meski sudah bertatapan tak ada satupun dari mereka yang mau membuka mulutnya lagi.

"Qila!" Angkasa datang dan langsung merangkul bahunya. "Gue cariin taunya baru nyampe koridor, kantin yuk! Belum sarapan kan lo?"

"Udah." Qila melepas rangkulan Angkasa, menatap manik cowok itu lekat sebelum memutuskan pandangan. "Kamu aja."

"Kenapa? Takut ke kantin gara-gara tatapan mereka?" Angkasa berbisik, mendekatkan tubuhnya kembali hingga parfumnya dapat tercium jelas. "Kan gue udah bilang mulai sekarang lo bisa lawan mereka."

"Aku gak suka kantin aja." Qila tersenyum kecil. "Sana ke kantin, aku mau langsung ke kelas."

"Pelajaran pertama sampai istirahat jamkos, guru lagi rapat buat siapin akreditasi."

Bagai tak mendengar penolakan Qila sebelumnya, Angkasa justru menarik tangan Qila cepat dan membawanya menuju kantin.

"Masa udah mau hampir 3 bulan sekolah lo belum pernah makan di kantin?"

Sebenarnya dulu pernah, pertama kali masuk sekolah Qila pernah menginjakkan kakinya di kantin, tapi suasana yang menyambutnya kurang menyenangkan, dan itu meninggalkan memori buruk dalam pikirannya.

"Temenin gue makan aja kalo gitu," ujar Angkasa, lelaki itu tersenyum sekilas, tangan yang tergenggam olehnya di elus pelan, sangat pelan. "Gak usah perduliin omongan orang, kadang gak semua hal harus lo pikirin."

"Woi Angkasa!" Senyum Angkasa kian terbit begitu seseorang menyapanya saat baru memasuki kantin.

"Lo inget dia, kan?" tunjuk Angkasa pada gerombolan anak lelaki yang bajunya dikeluarkan, duduk di bangku pojok, suara tawa mereka menguar hampir memenuhi isi kantin.

Qila mengangguk sekali, sebelah tangan yang tak digenggam Angkasa meremas tali tasnya, nampak gugup karena sepertinya Angkasa akan duduk bersama gerombolan anak itu.

Bukan, Qila tidak pernah menganggap mereka jahat hanya dari penampilannya saja. Hanya saja mereka terlihat seperti siswa yang dapat menonjok siapapun yang membuat masalah dengan mereka.

"Oh Qila, kan?" Ipang, cowok dengan rambut yang kini gondrong itu menunjuk wajah Qila, tersenyum cerah. "Tumben amat lo bawa cewek lo makan disini."

"Biasanya juga gak mau di ganggu," timpal yang lain.

Angkasa hanya memberikan cengiran kecil. "Sesekali dong biar kenalan sama orang lain."

"Nah gini makan bareng, jangan berduaan mulu di bawah tangga."

Wajah Qila terasa panas mendengar ledekan dari Ipang. Ia mengeratkan genggamannya pada Angkasa.

"He udah udah nanti nangis anaknya," sergah Angkasa, "Makanan gue udah dipesenin belum?"

"Noh." Seseorang datang sambil membawa semangkok bubur ayam dan langsung memberikannya pada Angkasa.

Sadar dengan kebingungan Qila, Angkasa berdeham dan menunjuk satu persatu temannya. "Yang ini lo udah tau kan namanya Ipang?"

Qila mengangguk. "Nah yang bawain gue bubur tadi namanya Galih, kalau yang cungkring itu namanya Agung."

"Wooo kupret!" Anak yang Angkasa sebut Agung itu mendengus namun tak ayal tertawa.

"Yang itu Reska sama yang satu lagi Yoga."

Mereka yang dikenalkan oleh Angkasa tersenyum hangat menyambut tatapan Qila. Sedangkan gadis itu hanya bisa menganggukan kepala, masih memproses apa yang sebenarnya terjadi, kenapa Angkasa malah membawa Qila menemui teman-temannya seperti ini.

"Sini duduk gak usah canggung." Angkasa menepuk bangku disebelahnya, ia dengan telaten membantu Qila melepas tas dan menyimpannya di dekat tubuhnya, tentu saja perilaku itu mengundang godaan dari semua teman Angkasa.

"Anjaaayyy Angkasa bisa manis juga ternyata ke cewek wir."

"Kalah lo Ipang sama Angkasa."

Tak mempedulikan yang lain, Angkasa malah menyodorkan buburnya ke arah Qila. "Mau nyoba?"

"Enggak."

"Enak kok, kenapa? Malu ya?" Pake ditanya! Jelas siapa yang tidak malu kalau ada di posisinya sekarang? Terjebak diantara orang asing dan mati gaya seperti ini. "Tenang mereka bukan orang jahat."

"Tau."

Masalahnya kan tidak sesederhana itu. Qila tidak pernah mengenal teman Angkasa sebelumnya, jadi tentu saja dia kebingungan saat tiba-tiba berada di sekeliling anak-anak berisik ini.

Tapi ... perlu Qila akui ia tak terganggu sama sekali dengan suara keras dan lantang mereka.

Qila merasa nyaman?

"Masih perih gak lukanya?"

"Hm?" Lamunan Qila buyar, ia melirik ke arah Angkasa yang tengah fokus pada buburnya.

"Gue bawa salep, kalau masih sakit bilang ntar gue obatin di kelas."

Oh Angkasa pasti tengah membicarakan luka cakar dan lebam di wajahnya. "Gak usah, udah di obatin di rumah."

Eh, tunggu sebentar. Qila menatap wajah Angkasa dari samping, "Kamu .... tau ya?"

"Apa?"

Sejujurnya ini hanya tebakan Qila, meskipun luka diwajahnya memang mencolok meskipun sudah dilapisi bedak, tetap saja terasa aneh jika Angkasa terlihat seperti sudah menyiapkan obat untuknya.

"Soal ini?" tunjuk Angkasa pada luka di wajah Qila. "Lo gak liat berita?"

"Berita?"

"Lo anak Akbar Adhitama ya, pantes pertama kali ketemu saudara lo yang lain aura mereka cukup tajem."

Bagaimana bisa Angkasa tahu? Padahal Qila merahasiakan identitasnya sebaik mungkin. "Kamu..."

"Gue tahu dari berita, kasus lo berantem kemarin booming banget, lo gak tau?" Bubur yang Angkasa makan hampir tersisa setengah. "Dengan power keluarga sebesar itu, sebenernya bukan hal sulit kan bungkam semua orang yang udah jahatin lo selama ini?"

Benar. Bukan hal sulit memang, tapi dulu situasinya tidak seperti ini. Jika bukan karena keadaan yangberubah ayah mungkin tidak akanikut campur hingga membuat kehebohan di berita seperti ini, karena ayah sangat tidak suka dengan hal merepotkan.

Maka dari itu, sampai detik ini pun Qila enggan melaporkan hal yang sudah menimpanya. Terlalu banyak penolakan yang ia terima, melihat perubahan ayah yang tidak segan muncul di muka publik hanya karena kasus bertengkarnya kemarin, tak menggugah rasa nyaman di hatinya untuk bercerita.

Ia ... sudah terlanjur kecewa.

"Ah jadi ini yang mereka obrolin di koridor," gumam Qila. "Pantes aja tatapannya beda."

Sejak dulu Qila tahu jika identitasnya terbongkar, cepat atau lambat orang-orang akan berdatangan bagai lalat dan menempeli dia, memanfaatkan keberadaannya hanya demi keuntungan pribadi.

Ia sudah pernah merasakannya dulu, ketika tak bisa membantu apa yang mereka inginkan, imbasnya adalah pembulian. Masa SMP adalah masa terberat di hidupnya.

Masa yang lebih menakutkan dibanding SMA karena semua orang di masa itu bisa dengan bebas memperlakukan Qila, bahkan lebih parah daripada sekarang. Itulah sebabnya ketika Qila menangis dan menghampiri Saka, pertanyaan pertama yang terlontar dari bibirnya adalah 'apa kamu dirundung lagi?'

Seolah takdir bagi Qila dan menegaskan bahwa dirinya memang pantas untuk dirisak oleh siapapun.

"Keren." Tepukan singkat mendarat di pucuk kepala Qila. "Meskipun gue kurang suka kalo lo luka gini, tapi usaha lo kemarin patut diapresiasi. Lo keren bisa lawan mereka."

Pipi Qila memanas, ia kembali menunduk takut gugupnya diketahui oleh Angkasa dan teman-temannya yang meskipun sekarang sibuk dengan urusan mereka masing-masing.

Qila jarang sekali mendengar apresiasi, hampir menyentuh tidak pernah. Jadi, ketika Angkasa dengan tulusnya memuji Qila, dengan senyum hangat hingga menampilkan sedikit deretan gigi putihnya itu, perasaan Qila kian membaik.

Ah, jadi ini rasanya senang karena di apresiasi?

"Nanti sore mau ambil catatan di rumah gue dulu gak?"

"Catatan?"

"Buat ngejar ketinggalan materi lo, gue udah catet semuanya."

Wow. "Tumben? Biasanya di kelas kamu yang paling ogah nyatet."

"Ya elah lo kayak gak tau modus buaya aja, dia kan modus itu biar bisa sekalian nganterin lo balik." Galih yang sedari tadi menguping pembicaran keduanya terkekeh geli. "Turutin aja coba, takut bocahnya tantrum."

"HAHAHAHA." Tawa keras dari teman-teman Angkasa yang lain menyambut ucapan Galih. "Lo gak tau aja, semingguan kemarin dia udah kayak manusia kehilangan semangat. Cemberut mulu sepanjang pelajaran, di ajak ke kantin kagak mau, di ajak nyebat gak mau, apa-apa gak mau, Angkasa mode anak perawan emang senggol bacok."

Qila meloloskan tawa tanpa sadar dan langsung dihadiahi tatapan sinis dari Angkasa. "Apa?" tanya Qila polos, tangannya menutup mulut agar tak kelepasan tertawa lagi.

"Ck. Gak usah dengerin omongan orang gila," dengus Angkasa, meskipun ekspresi wajahnya terlihat biasa tapi telinganya memerah.

"Telinga kam-"

"Ah gerah! Kapan sih kantin ini punya kipas atau AC? Gerah banget buset!" Angkasa berteriak sambil mengibas seragam sekolahnya dan sesekali mengusap-usap telinganya yang memerah.

"Ck ck ck malu dia," bisik Agung yang kebetulan duduk tak jauh dari Qila. "Agak lain emang kalua lagi salting, maklumin aja gua juga angkat tangan, bocahnya gengsian."

"Iya, lucu tapi," timpal Qila sembari tertawa kecil.

Berbeda dengan situasi di meja Angkasa, beberapa orang yang berada di kantin mencuri pandang penasaran pada Qila yang kini duduk diantara mereka. Terlebih bersama komplotan Ipang, pentolan sekolah.

"Woi! Ngapain lo ngeliatin kesini!?" sentak Ipang, membuat semua orang terkesiap dan segera mengalihkan pandangan. "Mau gue colok mata lo semua ha!"

Qila mengerjap dan melirik Angkasa yang kini tertawa kecil. "Udah gue bilang, kan? Mulai sekarang lo gak perlu takut lagi."

Jadi maksud Angkasa adalah ini? Angkasa mengenalkan Qila pada teman-temannya agar semua orang tahu bahwa Qila berada pada radar yang bisa membuat siapapun enggan bermasalah dengannya?

Perasaan menggelitik yang sulit dijelaskan muncul di perutnya, membuat dadanya dilingkupi benda aneh, panas yang semula terasa di pipi kini menjalar ke seluruh tubuh.

"Mau bubur?" tawar Angkasa kesekian kali yang kini dia lontarkan dengan nada menggoda. "Kalau gak mau gak usah merah gitu dong pipinya, bikin gue pengen gigit."

"Mending kamu kondisiin telinga kamu dulu tuh, merah juga."

***

Sesuai ucapan Angkasa di Kantin pagi tadi, setelah memastikan pesan agar tidak perlu dijemput pada supir yang telah ayah siapkan terkirim, Qila menghampiri Angkasa yang sudah duduk di motor dan menunggunya di parkiran.

"Udah?" tanya Angkasa memastikan yang dijawab anggukan kecil. "Ini pake jaketnya dulu."

"Jaket kamu yang kemarin aja masih di aku, masih aku cuci." Qila tampak enggan menerima jaket dari Angkasa. "Bisa-bisa semua jaket kamu abis di pake aku."

"Udah sini pake aja, gue punya jaket segunung jadi gak bakal abis." Angkasa menarik tangan Qila agar lebih mendekat padanya. "Pake jaketnya dulu gue pakein lo helm."

"Jaketnya kamu pakein parfum ya?" tebak Qila.

"Iya biar lo hapal wangi gue." Angkasa tersenyum singkat dan menepuk pelan kepala Qila yang sudah dipasangi helm. "Dah! Yuk berangkat."

Rupanya rumah jarak rumah Angkasa dengan sekolah tidak terlalu jauh tapi kenapa cowok ini sering kali bolos dengan alasan kesiangan dan macet dijalan?

"Mau tunggu disini atau masuk ke dalem?"

"Disini aja," tunjuk Qila pada gazebo rumah yang cukup luas dengan kolam ikan dibawahnya. "Rumah kamu adem banget."

"Hahaha thanks bentar gue ambil bukunya dulu."

Tak lama setelah Angkasa masuk ke dalam rumah, suara deru mobil terdengar memasuki pekarangan. Tubuh Qila menegap dan memperhatikan siapa yang turun dari mobil dengan wajah canggung. "Loh abang ada temennya kok gak di suruh masuk gini."

"Eh?" Keduanya kontan terkejut bersamaan.

"Dokter Arini?" Qila menyerukan nama wanita di depannya. "Jadi anak yang dokter ceritain waktu itu." Angkasa. Qila menutup mulutnya kaget dengan informasi yang baru saja ia sadari.

Dokter Arini berjalan pelan menghampiri Qila, senyumnya mengukir halus persis seperti yang selalu ia lihat. "Dunia sempit banget ya gak nyangka ternyata ini gadis yang sering Abang Asa ceritain setiap pulang sekolah."

Qila mengangguk sopan meski tak memahami apa yang Dokter Arini ucapkan. "Ayo masuk dulu, kenapa nunggu diluar gini, Qila haus? Tante bikinin minum yuk."

"Makasih banyak dokter aku cuma sebentar disini, mau ambil catatan dari Asa aja."

"Beneran?" Arini mengusap lengan kiri Qila lembut. "Gimana kondisi kamu hari ini?"

"Baik dokter."

"Panggilnya tante aja kalau diluar ya," ujarnya lagi sambil menjawil hidung mungil Qila. "Ayah sudah kasih tahu kapan jadwal kemo Qila, kan?"

"Iya," cicit Qila. "Besok."

Arini bisa merasakan tatapan Qila yang berubah sendu. "Gak apa-apa sayang, tante akan bantu kamu sembuh kita lewatin semua ini dengan optimis oke?"

Siapa yang menduga bahwa anak yang sering Dokter Arini ceritakan saat jadwal check up rutin Qila adalah Angkasa? Pantas saja meskipun terlihat tidak serius dalam mendengarkan pelajaran Angkasa termasuk ke dalam golongan siswa yang punya daya tangkap tinggi.

"Qila semangat, kan buat kemo besok? Mau tante bilang ke Asa buat nemenin Qila besok?"

"Eum tante," panggil Qila ragu untuk mengatakan sesuatu. "Boleh jangan kasih tahu Asa?"

"Perihal penyakit kamu?" Arini tersenyum lembut. "Oke, tante gak akan bilang tenang aja ya sayang."

Arini bukan bermaksud lain sebelumnya, melihat betapa antusiasnya Angkasa ketika menceritakan suatu hal tentang gadis yang tengah ia sukai, Arini kira putranya itu juga sudah mengetahui perihal penyakit yang Qila rasakan saat ini.

"Makasih banyak tante."

Membayangkan akan sesedih apa Angkasa jika tahu Qila mengidap penyakit kanker membuat Arini turut bersedih. Anak semata wayangnya itu jarang sekali membicarakan gadis yang tengah ia sukai, sejak dulu Angkasa kurang suka bersosialisasi dengan perempuan. Angkasa pernah mendapat terror di bangku SMP yang membuatnya agak membatasi diri berteman dengan perempuan.

"Loh Ibun? Kok udah pulang?"

"Kamu ini ada temennya main kok malah ditinggalin diluar bukanya diajak masuk, gak dibuatin minuman pula." Arini berkacak pinggang menatap putra tunggalnya. "Untung Ibun pulang kalau enggak Qila bisa kesepian ngobrol sama ikan mas Yayah."

"Asa udah ajak masuk kok." keluh Angkasa. "Ya, kan La?"

"Iya," jawab Qila sambil meringis. "Qila yang nolak kok tante, tadi Angkasa udah nawarin Qila buat masuk."

"Ibun kok kayak yang udah akrab gitu sih sama Qila," Mata Angkasa memicing. "Ibun gak cerita aneh-aneh kan???"

"Aneh-aneh gimana sih, Ibun belum cerita kok kalau dulu kamu berhenti ngompol kelas 5 SD."

"IBUN AH!" pekik Angkasa yang langsung berlari menutupi mulut Bundanya, wajahnya panik dan memerah. Qila tertawa melihat seberapa dekat Angkasa dengan Bundanya sedikit memantik rasa haru di hatinya.

Sosok Angkasa yang selalu terlihat sangar di sekolah berubah menjadi begitu manja di depan bundanya, satu hal lain yang tanpa sadar membuat pandangan Qila untuk lelaki itu agak berbeda dari sebelumnya. Bagaimana ya jika suatu hari nanti Angkasa tahu tentang penyakitnya ini? Apakah Angkasa akan menatap Qila dengan pandangan kasihan juga? Persis seperti keluarganya yang lain.

Qila sudah cukup muak dengan tatapan itu, ia tak ingin Angkasa berubah hanya karena tahu bahwa saat ini Qila menderita kanker. Atau justru Angkasa akan kecewa karena Qila menyembunyikan hal ini terlebih dokter yang menangani penyakitnya adalah bundanya sendiri?

"Ayo Qila ikut tante aja masuk, kita minum-minum sebentar sambil gosipin Asa." Arini menarik tangan Qila dan melempar senyum hangat. "Angkasa itu luarnya aja yang kayak preman dalemnya hello kitty banget."

"IBUNNNNNNN!!!!"

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

1.6M 38.6K 17
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
143K 4.2K 50
-SCHOOL SERIES (1)- -COMPLETED- Please ya guise... Vote adalah bentuk apresiasi untuk penulis. . "Satu-satu aku sayang Alano..." "Dua-dua juga sayan...
164K 20.6K 43
Bagaimana perasaanmu jika tinggal bersama lima orang cowok dalam satu rumah, dan kamu adalah cewek satu-satunya? Takut? Sedih? Atau malah bahagia kar...
46.4K 1.6K 47
Kaira adalah seorang bad girl dengan rupa seorang gadis yang berwajah polos. Tapi, sifatnya tidak sepolos wajahnya. Kaira adalah seorang bucinlovers...