Paradise (Segera Terbit)

By ohhhpiiu

2.6M 141K 5.2K

[PART MASIH LENGKAP] "Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua... More

Bab I
Bab II
Bab III
Bab IV
Bab V
Bab VI
Bab VII
Bab VIII
Bab IX
Bab X
Bab XI
Bab XII
Bab XIII
Bab XIV
Bab XV
Bab XVI
Bab XVII
Bab XVIII
Bab XIX
Bab XX
Bab XXI
Bab XXII
Bab XXIII
Bab XXIV
Bab XXV
Bab XXVI
Bab XXVII
Bab XVIII
Bab XXIX
Bab XXX
Bab XXXI
Bab XXXII
Bab XXXIII
Bab XXXV
Bab XXXVI
Bab XXXVII
Bab XXXVIII
Bab XXXIX
Bab XL
Bab XLI
Bab XLII
Bab XLIII
Bab XLIV
Bab XLV
Bab XLVI
Bab XLVII
Bab XLVIII
Bab XLIX
Additional Part 1
Additional Part 2
Additional Part 3
SEGERA TERBIT

Bab XXXIV

49.5K 2.7K 42
By ohhhpiiu

Kalau pikirannya diisi sedih terus, kapan bahagianya?

"Masuk kamar dulu, gue ambil kotak obat." Qila mencekal tangan Saka sambil menatapnya dengan bingung, ia lalu menunjuk sisa salep di ujung bibirnya dengan wajah polos.

"Kan udah di obatin sama Dion."

"Sama gue belum."

Lah? Qila cengo melihat Saka yang pergi begitu saja. Saka itu sekarang makin hari semakin aneh saja kelakuannya. Meskipun perubahannya ke arah yang lebih baik tapi tetap saja Qila selalu dibuat takjub dengan tingkahnya sekarang.

"Bi kotak obat disimpan dimana?"

"Oh sebentar bibi ambil dulu, ada di kamar bibi den."

"Tolong ambilin bi, bibir Qila lebam Saka bikin kompresan dulu."

"Luka kunaon den? Naha bisa luka." Bi Iyem menatap Saka dengan cemas. "Tuan juga lagi keluar sebentar, den. Perlu bibi telepon?"

"Berantem, bi." Saka menipiskan bibir. "Gak usah, biar ayah tahu sendiri."

"Gustii nu agung." Bi Iyem mengurut dadanya cemas. "Tunggu sebentar ya den."

"Anu ... den Saka," panggil Bi Iyem pelan. "Nanti sekalian obatin luka di punggung Neng Qila ya."

"Luka apa bi?" Saka menautkan alisnya bingung.

Bi Iyem tampak memilin lap kecil di tangannya, wajahnya yang menua ragu-ragu saat hendak bicara. Qila selalu melarang Bi Iyem mengatakan hal ini, tapi Bi Iyem sendiri tahu bahwa apa yang dilakukan sudah menyakiti tubuhnya sendiri.

"Pokoknya nanti aden liat sendiri aja, bibi gak berani bilang selama ini karena Neng Qila teh sering larang bibi."

Alis Saka menukik samar, diambilnya kotak obat dari tangan Bi Iyem dengan perasaan gamang. "Jatoh Bi?"

"Bukan, den."

"Oh ya udah nanti Saka liat."

"Tapi, den." Bi Iyem menghentikan langkah Saka, sejenak wajahnya berubah murung dan teramat terluka. "Jangan dibentak atau dimarahin ya, kasih pengertian pelan-pelan, bibi udah coba tapi emang Neng Qila gak pernah bener-bener berhenti ngelakuinnya."

"Kalau dimarahin, bibi teh takutnya malah buat Neng Qila sakit hati lagi, punten pisan bibi ke aden minta ini aja."

Melakukan apa? Kenapa Bi Iyem terlihat memohon sampai segininya?

"Iya bi," jawab Saka sekilas dengan pikiran berkecamuk. "Saka ke atas dulu, kalau ayah pulang kasih tahu nanti."

***

Saka mengetuk pintu kamar Qila tiga kali, terdengar dehaman kecil ia lantas memutar kenop pintu, Qila terlihat buru-buru menyembunyikan sebuah buku kecil sambil memasukkanya ke dalam laci meja belajar.

"Sini." Saka menepuk ruang kosong di sampingnya, di atas tempat tidur Qila.

"Beneran udah diobatin padahal sama Dion." ujar Qila yang tak di dengar Saka. "Kamu ngapain cewek tadi?"

"Gak gue apa-apain." Belum. Lanjut Saka dalam hati. Dia menempelkan kompresan ke ujung bibir Qila yang mulai lebam. "Tahan sebentar."

"Gak terlalu sakit kok," ucap Qila.

"Tetep aja luka."

"Aku udah biasa."

Saka termenung mendengarnya, meskipun tidak kaget karena sejak kecil Qila memang ceroboh, selalu saja terluka hingga bunda menyimpan plester di tas-nya juga tas milik Qila sebagai persediaan katanya.

"Kenapa bisa berantem?"

Mata Qila tampak berkilat kesal, sisa marah sebelumnya kembali keluar, bibirnya mengerucut seperti anak tupai. "Gak tau, Ka. Masa rambut aku tiba-tiba dijambak? Terus dia ngatain aku kampungan, sampai ngatain sekolahku juga siapa yang gak kesel coba digituin?"

"Mana dia bawa rombongan satu kelurahan buat ngeroyok aku, cupu banget gak sih? Dikira aku takut apa? Ya iya takut, tapi dikit." Qila menunjukkan jarinya membentuk c kecil. "Tapi aku lawan aja, habisnya dia ngatain sekolah aku, gak terima dong."

Dalam diamnya Saka mendengarkan, tangannya telaten memberikan obat pada bekas cakaran di wajah kembarannya. Terhitung ada 4 bekas cakaran dan yang paling dalam ada di dekat mata.

"Lain kali gak usah diladenin." Bukan apa-apa, Saka hanya tak ingin Qila luka lebih dari ini. Beruntung ia datang tepat waktu, "Buang-buang waktu."

"Ya maunya juga gitu, tapi aku dicegat? Lagian Asa bilang buat lawan siapapun yang remehin aku kok."

Ekspresi Saka berubah keruh, hanya mendengar satu nama saja membuat mood Saka hancur. Percuma saja usahanya selama ini menghalangi semua temannya yang ingin dekat dengan Qila.

"Mulai sekarang aku mau berubah," Qila mengepalkan tangan, tekadnya bulat. "Mau jago gelut."

Saka menggeleng sambil menurunkan tangan Qila, pasrah dengan kelakuan saudarinya. Pasti ini adalah salah satu dampak buruk Qila berteman dengan Angkasa. "Angkasa cuma ngajarin lo berantem emangnya."

"Loh enggak, dia banyak ngajarin aku." Qila menghitung setiap ucapannya dengan jari. "Dia ngajarin aku matematika, ekonomi, sejarah, geografi hmmm .... kok kayaknya dia ngajarin semua mapel ya?"

"Pokoknya walaupun tengil Angkasa baik, Ka. Dia sering pinjemin catatannya ke aku, bantu aku ngerjain pr, selalu tanya kabar aku, dia juga pernah ajarin aku kamera. Oh iya Angkasa juga selalu makan siang berdua sama aku."

"Berdua?"

Qila mengangguk. "Iya, berdua soalnya-"

"Soalnya?"

Ucapan Qila berhenti di tenggorokan, apa bisa Qila mengatakan bahwa tidak ada siapapun selain Angkasa di sekolah yang mau makan bersamanya sehingga mereka sering kali makan berdua dan menjauhi keramaian?

"Soalnya apa ya? Gak tahu juga deh hehe."

Jelas saja ucapan Qila membuat kedua mata Saka menyipit curiga, "Lo suka sama dia?"

"HAH??" Wajah Qila refleks menjauh dari tangan Saka. "Emang aku keliatan suka?"

"Ka?"

"Kok diem sih, Ka jawab, keliatan? Woi."

"Berisik." Saka menyentil kening Qila. "Sini obatin luka lainnya."

"Perasaan cuma ini deh yang luka." Tidak ada luka lain selain bekar cakaran di wajahnya, Qila memasang wajah bingung. "Luka yang mana lagi?"

"Punggung," jawab Saka. "Kata Bi Iyem."

Seperti tersambar petir di siang bolong, wajah berseri Qila kontan berubah pucat mendengar jawaban Saka. Dia segera beringsut mundur, menjauhi Saka. Melihat hal itu jelas saja membuat Saka semakin yakin bahwa ada yang disembunyikan oleh Qila.

"A- ..." Qila kehilangan kata-kata untuk membantah, otaknya bekerja untuk mencari alasan, buntu. "Gak ada luka kok."

"Ada." Saka bersikeras meminta Qila sedikit menaikkan kaos santainya. "Lo nyembunyiin apa sampe pucet gitu?"

"E-enggak nyembunyiin apa-apa." Qila menggeleng keras. "Ayah gak ada di rumah ya, Ka? Pergi ke mana?"

"Jangan alihin pembicaraan." Tatapan Saka berubah tajam. "Kalau emang gak ada luka gak usah sepanik itu."

Degupan jantung Qila bertalu keras, panas menjalari tubuh Qila, otaknya tidak mampu bekerja untuk menyusun alasan dan menolak Saka untuk melihat punggungnya.

Hal selanjutnya yang dilakukan Saka adalah langsung maju, memutar tubuh Qila dan melihat punggung saudari kembarnya. Wajah yang selalu datar itu langsung berubah begitu melihat luka di punggung Qila.

Ada banyak sekali luka dengan panjang yang rata-rata sekitar 3-5 cm. Luka akibat benda tajam yang meninggalkan bekas begitu banyak. Saka kelu dalam diamnya, butuh beberapa menit untuk dirinya memproses hal yang baru ia lihat.

"Luka apa ini, Qi?" Saka tercekat.

"Jatuh."

"JANGAN BOHONG! INI BUKAN LUKA JATUH."

Qila meremas sprei kasur dan menunduk, masih dalam posisi membelakangi Saka. "Ini luka jatuh, punggung aku kepentok meja."

"Qi, ini bukan luka benturan! Ini jelas luka sayatan!" Kotak obat yang ada di atas kasur sampai berserakan ke lantai karena Saka yang tiba-tiba berdiri, wajahnya merah sarat akan kemarahan.

"..."

"Sejak kapan? SEJAK KAPAN LO NYAKITIN DIRI SENDIRI?!"

Sejujurnya Qila tidak pernah mengharapkan hari ini datang. Ia takkan pernah berharap Saka ataupun yang lain tahu perihal luka di punggungnya. Karena bagi Qila luka ini adalah salah satu bukti bahwa hidupnya pernah sehancur itu, dulu.

Harus bagaimana dan mulai darimana Qila menjelaskannya?

"Aquila," panggil Saka, suaranya bergetar diantara geraman yang ia tahan. "Jawab gue, kenapa lo lakuin ini? Sejak kapan-"

"Sejak kamu dan yang lain pergi ninggalin aku."

Tuhan. Saka meremas kepalanya yang mendadak pening. Dadanya panas seakan darah tersendat tiba-tiba. Apa yang ia ketahui hari ini sungguh menyerang kesadarannya, sungguh membuat Saka tak bisa berpikir normal dan kehilangan kewarasannya.

"Lo nyakitin diri lo sendiri! Lo bodoh atau gimana, Qi!?"

Kedua mata Qila hanya dapat terpejam, dibalik bentakan yang Saka lontarkan ada ketakutan yang dapat Qila tangkap.

"Saka." Qila menggenggam tangan Saka, memelas. "Please jangan kasih tahu siapapun."

"Bukan itu poinnya, Qi." Saka menggeleng tak percaya. "Lo takut semua orang tahu tapi gak takut setelah nyakitin diri lo sendiri?"

"Aku udah berhenti." Bola mata Qila menunjukkan kesungguhan, nampak sangat memohon. "Aku janji gak akan lakuin itu lagi."

Kenyataan bahwa Qila sakit saja sudah menyerang sisi rasionalitas Saka, ditambah mengetahui bahwa kembaran yang selalu terlihat cerah setiap harinya memendam luka yang begitu dalam.

Saka tidak tahu harus dengan cara apalagi ia menghukum dirinya sendiri.

"Kalau ayah tahu dia bisa sedih dan marah."

"Menurut lo gue engga?"

"Aku harus apa, Ka? Aku pun gak mau lakuin itu. Gak ada yang bisa alihin rasa sakit di hati aku selain itu."

"Tetep gak bisa lo jadiin alasan buat ngelakuin hal bodoh ini, Qi." Saka mengerang frustasi.

"Aku gak punya tempat cerita, kamu tahu sendiri di SMP pun aku gak punya teman. Gak ada siapapun yang berusaha tanya kabar aku, gak ada yang bisa bikin kosong dihati aku hilang, gak ada yang bisa bikin aku nangis selain itu. Setiap kali di pukul ayah, setiap kali dada aku sesak, setiap kali aku diolok-olok orang, di setiap situasi itu gak ada yang bisa redain sakit hati aku, Ka."

"Kamu gak akan ngerti. Ini satu-satunya cara aku ngelampiasin sesak di dalam sini." Qila menepuk-nepuk dadanya sendiri. "Setiap malem aku selalu takut, kenapa aku gak bisa sepintar kamu? Kenapa ayah gak bisa bangga sama aku? Kenapa gak ada yang mau temenan sama aku, apa aku seburuk itu? Aku selalu takut, takut Ka. Tapi kamu gak ada disaat itu, kan? Kamu gak berhak hakimin aku, aku tahu semuanya salah, tapi kamu terlambat kalau bilang sekarang."

Kalimat demi kalimat yang Qila lontarkan semakin membuat perasaan bersalah Saka kian menumpuk dan terbendung. Saka tidak bisa menampik fakta yang Qila jabarkan.

"Harusnya kamu larang aku sebelum semua terjadi, harusnya kamu gak pernah ninggalin aku dan sibuk sama dunia kamu sendiri. Aku bukan gak berusaha buat cerita, aku selalu ajak kamu bicara, aku juga mau denger cerita tentang kamu, tapi gak pernah sekalipun kamu respon. Ke ayah? Bisa-bisa aku di marahin karena dianggap ngeluh dan cengeng, ke Bang Dirga? Dia aja jarang di rumah sekalipun di Rumah pasti sibuk sama tugas kuliahnya, atau ke Daniel? Dia selalu kelihatan keganggu kalau ngobrol sama aku."

Melihat Qila yang kini berkaca-kaca membuat Saka tertegun. "Gue-"

"Iya, iya aku tahu harusnya aku gak lemah. Harusnya aku bisa jaga diriku sendiri. Harusnya aku gak perlu peduliin omongan orang. Harusnya aku bisa cuek kayak yang kamu lakuin selama ini. Harusnya, kan? Tapi Ka, aku bukan kamu yang bisa abai sama semua hal yang gak kamu suka, aku bukan Daniel yang tinggal nongkrong sama temennya buat hilangin jenuh di kepala, aku bukan kalian."

Saka salah, ternyata maksud perkataan Bi Iyem adalah untuk tidak menghakimi Qila. Melihat kembarannya se-frustasi ini menjelaskan kesulitan dalam hidupnya, menampar Saka sekali lagi, ia telah gagal, dan Saka sekali lagi menjadi penyebab kesakitan di hati saudarinya.

"Maaf." Saka bergerak maju, mensejajarkan tingginya dengan Qila yang masih duduk di ujung kasur. "Maaf."

Harus berapa banyak ya kata maaf yang Saka ucapkan agar semua itu sampai di hati Qila?

"Salah gue." Satu air mata lolos jatuh mengenai tangan Qila yang sedang ia genggam. "Maaf, Qi ..."

"Gue harus apa?" Kepala Saka kian menunduk. "Gue gak tahu, Qi."

Saka tidak pernah tahu bahwa ketidakpeduliannya telah menyakiti Qila sebegitu dalam.

"Semua udah berlalu." Qila menepuk pundak Saka sekilas. "Saka, jangan nyalahin diri kamu."

Nyatanya ini memang kesalahan Saka.

"Jangan ditahan nangisnya." Qila membawa tubuh Saka untuk dipeluk, pundak itu bergetar, tidak ada yang lebih memahami Saka daripada Qila begitu juga sebaliknya. "Aku udah terima semua yang terjadi, mungkin ini emang takdir hidup aku, Ka."

Saka juga bukan Daniel yang akan meledakkan semua perasaan di dadanya. Sejak kecil Saka terbiasa menahan semuanya sendiri. Ia tidak bisa menjabarkan rasa sedihnya lewat kata-kata.

Kepala Saka tenggelam dibalik bahu Qila. Menangis sejadi-jadinya seakan dunia telah runtuh dalam sekejap. Membuat suasana kamar hanya terisi oleh tangis Saka.

Jika ditanya apakah sebenarnya Qila marah? Jelas jawabannya iya. Tapi melihat Saka yang sampai kehilangan kuasa untuk bicara, menelan semua kemarahan Qila, karena mau bagaimanapun Qila tetap menyayangi Saka.

separuh dari hidupnya.

"Tuan?" panggil Bi Iyem kebingungan melihat Akbar turun dari tangga dengan wajah pias.

"Sakit? Mau saya siapin obat?"

Akbar menggeleng dan berlalu begitu saja untuk kembali ke kamarnya. Tidak sanggup menahan kesedihan di dadanya. Tangan Akbar menarik pigura diatas nakas di dekatnya.

Disana, istri yang begitu ia cintai tengah tersenyum sambil menggendong Qila. Di sampingnya ada Saka, Dirga, dan Daniel yang terlihat bahagia. Akbar mengelus foto itu dengan tangan bergetar.

"Sayang maaf ... maaf aku sudah gagal."

***

Suara melodi piano membangunkan Akbar, suaranya datang dari satu kamar di dekat tangga, kamar yang selalu terkunci, ruang musik mendiang istrinya.

"Ayah dengarkanlah aku ... ingin berjumpa ... walau hanya dalam mimpi."

Suara yang begitu halus, kecil dan parau mengusik indera pendengaran Akbar. "Qila?" Akbar tahu bahwa suara itu milik putrinya ketika masih kecil.

Akbar membuka ruangan tersebut sambil tergesa, ternyata kamarnya tidak terkunci dan tiba-tiba saja kini dirinya sudah berada di depan piano, meski bingung dengan hal yang sedang terjadi Akbar tetap diam, melihat ke arah depan pada seorang anak kecil yang tengah menekan-nekan piano dengan jemari kecilnya.

"Untuk ... ayah tercinta ... aku ingin bernyanyi .... walau air mata dipipiku."

"Qila?" Kening Akbar mengerut, kenapa putrinya berubah menjadi sekecil ini? "Sayang?"

Namun tak ada sahutan, anak kecil itu masih asik bernyanyi sambil menekan piano. Mengabaikan semua panggilan kebingungan Akbar.

"SUDAH BERAPA KALI AYAH BILANG JANGAN MASUK KE RUANGAN INI!?"

Akbar tersentak saat pintu kamar terbuka hingga pintunya beradu dengan tembok. Keterkejutannya bertambah kala melihat tubuhnya sendiri yang kini berteriak nyalang di hadapan Qila.

"Membantah terus!"

Qila kecil yang dibentak langsung turun dari kursi piano, menundukkan kepalanya tak berani menatap wajah ayahnya.

"Pintunya kebuka, Qila kangen main piano sama bunda."

"PEMBOHONG!"

"Qila gak bohong!" Kini Qila kecil itu berteriak pada ayahnya dengan pandangan tersakiti. "Qila gak pernah bohong sama ayah."

"Sini tangan kamu!" Akbar berteriak, menyuruh putrinya mengulurkan tangan. "Kesini cepat!"

"Gak mau! Nanti ayah pukul Qila lagi!"

"Biar kamu kapok. Anak nakal memang harus dihukum." Akbar memaksa kedua tangan Qila kecil terjulur, ia lantas memukul tangan tersebut dengan lima batang sapu lidi. "Ayah sudah bilang, jangan masuk kamar ini! Jangan sentuh barang apapun disini! Bisanya membantah orang tua mau jadi apa kamu gedenya."

Tidak. Seharusnya tidak begini. Akbar menggeleng ketika menyaksikan dirinya sendiri sedang memukul tangan putrinya tanpa belas kasih. Namun suaranya tertahan, tubuhnya kaku tanpa bisa digerakkan, sekeras apapun usaha Akbar untuk menghentikan pemandangan di depannya ia hanya bisa meronta seperti di tahan sesuatu.

Jangan lakukan itu. Jangan! Jangan pukul Qila! Dia tidak salah apapun.

Kalimat tersebut hanya dapat tertelan di dalam dirinya sendiri, Akbar tersiksa dengan ketidakberdayaannya.

"Sakit ... ayah."

Kini Akbar memperhatikan Qila yang mengamati tangannya memerah akibat pukulan Akbar, "Maaf sayang .... maafin ayah."

Kenapa ia harus melihat ini?

"Gimana?" Akbar langsung menoleh saat mendengar suara seseorang yang sudah lama ia rindukan. "Kamu ingat pernah pukul Qila?"

"Nadia," panggil Akbar. "Ini benar kamu sayang? Nadia ...."

"Sudah ingat belum?"

Akbar mengerutkan alisnya bingung, "Kamu disini, aku rindu-"

"Kamu bahagia sekarang?"

"Gimana aku bisa bahagia kalau kamu aja pergi ninggalin aku, Nad? Aku kehilangan kamu, hidupku gak pernah baik-baik aja."

Wajah dan suara Nadia-istrinya-berubah samar dalam ingatan Akbar. "Sayang ..."

"Bunda!" Akbar kembali tersentak saat Qila menyela percakapannya dengan Nadia, putri kecilnya itu tengah mengenakan gaun putih yang begitu cantik. "Ayo, katanya kita mau pergi."

"Pergi?" gumam Akbar. "Pergi kemana sayang?"

"Kamu siapa?" tanya Qila polos. "Dia siapa bunda?"

Senyum di wajah Akbar langsung hilang. "Ini ... ayah, nak."

"Ayah?" Qila kecil itu memiringkan kepalanya, polos. "Ayah yang sering pukul aku?"

"Enggak ah, kamu bukan ayahku."

Qila mengamit tangan Nadia dengan senyum yang merekah, "Bunda disana ada oma sama mola juga?"

Sekeliling Akbar menjadi buram, tidak ada lagi ruangan dengan sekumpulan alat musik, semuanya berubah putih seperti ruang hampa yang hanya diisi oleh dirinya, Nadia, serta putri kecilnya.

"Ayo sayang," Nadia membawa Qila tanpa menjelaskan apapun pada Akbar.

"Nad kamu mau bawa Qila kemana?"

"Nad?"

"Jangan tinggalin aku, Nad!"

"Nad jangan bawa Qila pergi!"

"NADIA!"

Akbar terlonjak dari tidurnya dengan deru napas tak beraturan, keringat membasahi tubuhnya, ternyata ia tidur di lantai sambil memeluk pigura foto istri dan anak-anaknya.

Masih dengan sisa kesadarannya, Akbar bangkit dan berjalan tergesa menuju kamar putrinya. Ia lantas berpapasan dengan Saka yang baru saja keluar dari kamar.

"Qila?" tanya Akbar tercekat.

"Udah tidur."

Akbar mengangguk, ia mengusap peluh yang jatuh di keningnya. Tangannya yang hendak memutar kenop pintu ditahan oleh Saka.

"Mau apa? Qila udah tidur." ujar Saka penuh penekanan.

"Sebentar saja, ayah belum liat wajah Qila hari ini."

"Biasanya juga enggak," pedas Saka.

Tidak mempedulikan tatapan tajam putra bungsunya, Akbar tetap membuka pintu kamar, masuk dengan penuh kehati-hatian. Lampu kamar sudah dimatikan tergantikan lampu tidur yang menyorot temaram.

"Nak," Akbar menarik napas dalam, mendekat dan duduk di lantai samping kasur putrinya, memanggil Qila lirih agar tak menganggu tidurnya. "Maafin ayah sayang."

Deru napas Qila terdengar teratur, Akbar menyisihkan sebagian anak rambut yang jatuh. Mengamati dengan lamat-lamat wajah putrinya yang sudah beranjak dewasa.

"Ayah-" Akbar tercekat. "Hukum ayah dengan cara apapun, tapi jangan tinggalkan ayah, nak."

"Beri ayah kesempatan untuk menebus semuanya."

"Jangan tinggalkan ayah, sayang."

Akbar rela menukarkan hidupnya demi Aquila, demi kesembuhannya, keceriaannya, kebahagiaannya, dan semua sedih yang sudah Akbar berikan untuknya.

Tuhan .... bisakah kau mengambil nyawanya saja? Jangan putrinya, biarkan dia saja.

***

tulisan aquila bagian 18

maaf ya kamu gak punya masa kecil yang indah buat di kenang. Aku yang sekarang lagi berjuang buat dapat kebahagiaan. Untuk Qila kecil, untuk aku di masa lalu, maaf kalo dulu kamu sering kena bentak ayah, sering kena pukul, maaf juga dulu kita gak sempat rayain ulang tahun padahal kamu pengen banget rasain itu.

maaf sekali lagi karena dulu kamu harus rasain semuanya sendiri tanpa tempat berbagi. Gak apa-apa sekarang kita udah lewatin itu semua kok, sekarang ayah udah gak bentak kamu lagi, daniel sama saka juga udah jauh lebih baik dari sebelumnya, kalau bang dirga ... hm aku masih sering kesel karena suka tiba-tiba batalin janji.

Jangan sakitin diri kamu lagi ya qila. Kita sudah lebih jauh bahagia sekarang.





[]

Continue Reading

You'll Also Like

12K 1.3K 49
(YANG SUSAH BAPER HARAP MENDEKAT) (SEBAGIAN PART DI PRIVAT, FOLLOW DULU BARU BISA BACA) 🎐 ☄️Apa Yang Akan Terjadi, Jika Si Dingin Bertemu Dengan Te...
45.2K 6.4K 62
"𝙱𝚎𝚛𝚒𝚔𝚊𝚗 𝚊𝚔𝚞 𝚊𝚗𝚊𝚔, 𝚍𝚊𝚗 𝚔𝚒𝚝𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚎𝚜𝚊𝚒. 𝙹𝚞𝚗𝚐 𝙹𝚊𝚎𝚑𝚢𝚞𝚗!" -Jung Jaehyun & Han Seyoung- ©️2021
87.7K 8.1K 39
Highest Rank #250 of 13,6k in random [05/05/20] #336 of 39,7k in Indonesia [12/10/2021] #156 of 28k in roman [12/10/2021] #432 of 26,3k in badgirl [1...
51.8K 5.8K 38
[SEKUEL DARI HANCUR!] (FOLLOW SEBELUM MEMBACA) {Fiksi Remaja, Romansa} Memecahkan permasalahan yang terjadi di sebelumnya, serta membongkar suatu kej...