Paradise (Segera Terbit)

By ohhhpiiu

2.6M 141K 5.2K

[PART MASIH LENGKAP] "Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua... More

Bab I
Bab II
Bab III
Bab IV
Bab V
Bab VI
Bab VII
Bab VIII
Bab IX
Bab X
Bab XI
Bab XII
Bab XIII
Bab XIV
Bab XV
Bab XVI
Bab XVII
Bab XVIII
Bab XIX
Bab XX
Bab XXI
Bab XXII
Bab XXIII
Bab XXIV
Bab XXV
Bab XXVI
Bab XXVII
Bab XVIII
Bab XXIX
Bab XXX
Bab XXXI
Bab XXXII
Bab XXXIV
Bab XXXV
Bab XXXVI
Bab XXXVII
Bab XXXVIII
Bab XXXIX
Bab XL
Bab XLI
Bab XLII
Bab XLIII
Bab XLIV
Bab XLV
Bab XLVI
Bab XLVII
Bab XLVIII
Bab XLIX
Additional Part 1
Additional Part 2
Additional Part 3
SEGERA TERBIT

Bab XXXIII

48.8K 3K 221
By ohhhpiiu

Memaafkan itu satu hal, melupakan adalah hal yang lain.

***

Adhitama's International School. Qila tersenyum saat membaca alamat yang Vega berikan. Siapa yang menyangka bahwa pembina teater sekolahnya adalah mantan guru di sekolah Saka dan Daniel sekarang? Syukurlah setidaknya Qila tidak harus pergi ke tempat asing seorang diri pun dengan begini Qila bisa ikut pulang bersama mereka. Beberapa pesan dari Dirga terus berdatangan dan tak ada niatan sedikitpun untuk membalasnya. "Siapa suruh ingkar janji terus."

"Siapa yang ingkar janji?" Angkasa datang dan duduk di sebelah Qila setelah menepuk pucuk kepalanya. "Masih badmood?"

"Bukan siapa-siapa."

"Masih badmood gak?" tanya Angkasa lagi, kini ia mulai membuka bungkus makanan yang baru ia beli dari kantin.

"Enggak badmood kok," sahut Qila.

"Nih makan dulu." Angkasa menyerahkan roti rasa keju pisang. "Tadi lo bilang mual, kan? Dicoba makan ini dulu nanti kalau masih belum baikan gue anter pulang aja."

"Makasih.." Qila menerima roti pemberian Angkasa, memakannya dengan pelan sambil mencuri pandang ke arah lelaki di sampingnya. "Kamu gak makan?"

"Nanti."

Sepoi angin menerpa wajah mereka yang kini saling terdiam dengan pikiran masing-masing. "Kalau gue kasih bunga anyelir lo suka?"

"Tiba-tiba bunga anyelir?" bingung Qila, krim keju yang tersisa di ujung bibirnya membuat Angkasa tersenyum tipis.

"Iya," jawab Angkasa sambil menyerahkan tisu. "Makannya belepotan kayak bayi."

Meskipun malu karena diejek begitu Qila tetap menerima uluran tisu sambil berdecak pelan. "Kok tiba-tiba pengen kasih aku bunga anyelir?"

"Soalnya lo pernah bilang kalo gak suka bunga."

Kernyitan di dahi Qila membuat Angkasa kembali mengulas senyum. Sungguh, siapapun yang dapat memperhatikan wajah Qila dari sedekat ini pasti akan suka dengan beragam ekspresi yang gadis ini keluarkan dengan begitu jujur.

"Barangkali kalau gue yang kasih bunganya lo jadi suka."

Bola mata Qila memutar malas. "Mulai deh narsisnya."

"Liat aja nanti," tantang Angkasa semakin percaya diri.

"Kenapa harus anyelir?"

"Gak ada alasan khusus sih, kenapa emangnya? Mau nolak dari sekarang?"

"Ya enggak, aneh aja kenapa harus tanya dulu?"

"Biar lo penasaran bunga anyelir apa yang bakal gue kasih nantinya, kalau lo penasaran pasti bakalan nunggu, soalnya gue gak akan kasih bunga itu sekarang. Jadi lo bakalan nebak kapan gue kasih bunga anyelirnya."

"Kenapa harus gitu?" Qila mengerjap heran, ada ya orang mau memberikan bunga saja ribetnya seperti ini?

"Anggep aja sebagai salah satu hal yang bisa lo jadiin alasan buat tetap hidup. Makanya apapun yang terjadi sekarang lo gak boleh nyerah gitu aja, lo harus nungguin gue kasih bunga dan hadiah-hadiah lain, lo harus punya alasan biar tetap semangat jalanin hidup meski alasannya sederhana."

Manisnya krim keju yang tersisa dari roti kini terasa hambar begitu mendengar kalimat yang Angkasa ucapkan. Ternyata ada juga yang mau memberikan Qila alasan lain untuk bertahan sekarang selain keluarganya. Dan orang itu adalah Angkasa. Lidah Qila kaku untuk sekedar membalas kalimat Angkasa.

"Mukanya gak usah merah gitu dong, salting ya? Nungguin banget bunga dari gue?"

"Ih apa sih!" Qila mendorong pundak Angkasa menjauh guna mengusir rasa canggung yang tiba-tiba datang. "Siapa yang salting!?"

"Kalo ngegas gini berarti tebakan gue bener."

"Tau ah!" Qila melengos malu karena tidak dapat menyembunyikan rasa hangat yang menjalar di pipi.

"Ululululu malu yaaaa hehehehe." Angkasa berusaha menjawil hidung Qila yang kini sudah bangkit dari duduknya.

Hangatnya sapuan matahari siang kala itu menjadi jeda sekaligus napas baru bagi Qila yang kini mulai menghirup kembali sesuatu bernama 'bahagia'. Angkasa yang selalu ada menemani Qila makan siang di antara anakan tangga gedung sekolah, Angkasa yang tak pernah menolak saat Qila minta diajarkan materi pelajaran, Angkasa yang selalu mencoba membuat lelucon saat sedih menghampiri Qila, Angkasa yang dapat tiba-tiba datang saat Qila kesepian, dan masih banyak hal lain yang selalu Angkasa lakukan untuknya...

Untuk Qila.

***

"Gak usah pulang duluan tunggu gue jemput disana."

"Aku ada urusan ke sekolah kamu kok sore ini, jadi pulang barengnya sekalian dari sekolah kamu aja."

"Urusan apa?" Suara dari seberang terdengar kesal. "Lo harus banyak istirahat, nurut bisa? Abis ini gue jemput ya."

"Ih Saka!" Qila mencebik membuat Angkasa yang disampingnya terkekeh, lucu pikirnya melihat Qila yang merajuk seperti itu. "Aku ditunjuk buat wakilin ekskul aku studi banding ke sekolah kamu."

"Lo masih sakit, Qi." Saka terdengar gusar. "Gak ada anak lain yang bisa selain elo?"

"Ada. Tapi aku ditunjuk langsung."

"Ck." Decakan Saka membuat Qila was-was. "Terus kesininya sama siapa? Gue jemput ya."

"Gak usaahh, aku sama temen dia juga sekalian pulang katanya. Kalo kamu yang jemput nanti jadi bolak-balik."

"Cewek atau cowok?"

"Apanya?"

"Yang anterin lo kesini, Aquila." Saka gregetan sendiri karena lawan bicaranya sangat lemot. "Jangan bilang lo dianterin cowok yang ketemu gue di pantai itu?"

"Ya...," Qila bingung harus merepon bagaimana, habisnya teman Qila memang cuma Angkasa jadi mau bagaimana lagi? Di tambah Angkasa yang kini ada di sampingnya sudah siap dengan motor dan jaket yang kini diberikan untuk Qila pakai. "Dia sekalian-"

"Gue jemput,"

Qila meringis saat nada bicara Saka berubah sangat serius. Sepertinya Saka sangat tidak menyukai Angkasa bahkan baru mendengar namanya saja langsung berubah ketus begini.

"Udah ya Saka kalau nunggu kamu jemput bisa-bisa aku telat, lagian kamu masih ada jadwal latihan basket 30 menit lagi, kan? Gak mungkin bisa jemput aku sekarang."

"Dirga tai." Terdengar nada mengeluh dari Saka. "Kalau bukan karena dia lo pasti gak perlu dianter sama temen lo."

Jujur saja Qila kaget mendengar umpatan dari Saka yang biasanya selalu dapat menahan emosi di segala situasi. Bahkan waktu kecil Saka tidak pernah menangis setelah jatuh dari sepeda padahal luka di kepalanya sampai menyebabkan dia mendapat 3 jahitan. Saka akan tetap diam, memasang wajah tanpa ekspresi, tak mengeluh sedikitpun justru Qila yang menangisi luka Saka saat itu.

"Marah?"

"Gue marah sama Dirga yang seenaknya batalin janji. Mulai sekarang gak usah lah dengerin omongan dia, bullshit semua."

Mendengar Saka yang misuh-misuh seperti sekarang persis sekali seakan melihat duplikat Daniel tapi dalam versi yang lebih kalem dan menusuk. "Kamu malah kayak Daniel kalau ngomel gini."

"Bodo." Senyum Qila terbit. "Kabarin gue kalau udah sampai, nanti dijemput di gerbang depan."

"Iyaaaaa," jawab Qila sebelum akhirnya sambungan terputus.

"Bawel ya kayak Bu Pipit kalau marah di kelas," komen Angkasa melihat Qila yang menghela napas.

"Biasanya gak gini," keluh Qila. "Ternyata lebih capek denger cerocosan Saka daripada berantem sama Daniel."

"Rumah lo selalu rame ya punya saudara banyak kayak gitu."

Qila tersenyum kecil. "Ayo berangkat sekarang, aku gak mau kena masalah karena terlambat."

"La."

"Ya?" Kepala Qila miring sedikit saat Angkasa mulai menyalakan mesin motor.

"Lo gak boleh diem aja kalau mereka nindas lo." Qila tahu kata mereka yang Angkasa bilang merujuk pada siapa.

"Enggak kok, mulai sekarang aku gak akan biarin mereka seenaknya lagi sama aku."

"Keren," puji Angkasa yang ikut menolehkan kepalanya. "Gak usah takut buat lawan mereka, lo inget Ipang, kan?"

"Temen kamu yang dibelakang sekolah waktu bolos itu?"

"Iya," jawab Angkasa. "Kalau mereka macem-macem sama lo, gue bisa bawa rombongan Ipang buat habisin mereka biar gak berani lagi sama lo. Selama ini gue nahan-nahan karena gue tau suatu saat lo pasti bisa lawan orang yang udah jahatin lo."

"Iya. Makasih ya." Qila membalas Angkasa dengan senyuman yang begitu cerah. "Makasih karena udah percaya disaat gak ada siapapun yang bisa percaya aku di sekolah."

Angkasa mengamati senyum Qila dari balik spion motor. "Pegangan yang kenceng."

Sekali lagi, Angkasa menjadi salah satu alasan mengapa keberanian kini muncul dari dasar hatinya.

***

Ternyata begini rasanya saat bisa membela diri sendiri?

"Sialan! Ngapain senyum lo jalang!" Jambakan di rambut Qila semakin kencang hingga cakaran dari kuku panjang itu mungkin sudah melukai kepalanya sekarang. "Bitch!"

"Lo itu cuma anak sekolah negeri!" Baiklah kalimat tersebut Qila akui cukup mampu menyulut emosinya. "Sok-sokan dateng ke sekolah ini dasar kampungan."

Memang apa salahnya sekolah negeri? "Otak kosongan kayak kamu yang tahunya cuma tentang make up gak usah sok-sokan ngatain orang deh," balas Qila tak kalah pedas dan menguatkan tarikannya pada lawan bicaranya juga.

"Argh."

Pertengakaran itu kian panas tanpa siapapun mau melerai.

"Argh lepasin gue!" Serena mengerang kencang karena Qila melawan balik. "LEPASIN GUE JALANG!?"

Oke. Mari kita jelaskan secara singkat dan cepat situasi apa yang tengah terjadi sekarang. Awalnya semua berjalan baik selama kegiatan studi banding berlangsung. Qila sempat diantar oleh Saka menuju ruangan pertemuan dan tak sengaja berpapasan dengan Serena, waktu itu Qila akui bahwa tindakannya yang impulsif menjadi penyebab pergulatan dia dengan Serena sekarang.

Qila dengan sengaja memeluk tangan Saka dan menempelkan kepalanya sambil tersenyum mengejek, dia ingat betul wajah Serena setelah kejadian di toko roti sehingga sengaja mengonfrontasi Serena karena tahu bahwa dia tengah mengincar saudara kembarnya, dengan genit!

Lalu ketika acara selesai dan Qila pergi ke toilet tak jauh dari ruan pertemuan, ia malah bertemu lagi dengan Serena sambil membawa sekumpulan orang yang saat ini mengepung pergerakannya. Jangan tanya Vega dan Wenda di mana, karena dua orang itu sejak tadi hanya diam tanpa mau menolong dan terlihat tak ada niatan sama sekali.

"Makanya gak usah belagu di sekolah orang! Jadi cewek gak usah murahan juga lenjeh sama cowok orang."

Boleh tidak jika Qila tertawa saat ini? Apa katanya barusan? Cowok orang? Maksudnya Saka itu pacarnya, kan? Lucu sekali sampai ingin Qila rekam bagaimana ekspresi bodoh Serena saat mengucapkan itu. Selera Saka tidak mungkin turun drastis hingga suka dengan cewek seperti Serena.

Ingatkan Qila untuk membuat ritual kembang tujuh rupa agar Saka terbebas dari gadis yang sudah gila ini.

"Siapa yang kamu bilang cowok orang?" Qila mendorong badan Serena paksa dengan sisa kekuatannya, perih dan asin terasa dari ujung bibir yang sepertinya sobek. "Ewh amit-amit Saka punya pacar gila kayak gini."

Malu sebenarnya karena bertengkar di sekolah orang terlebih lagi dengan Serena yang tak Qila kenal, tapi Qila yang diserang lebih dulu hanya menjalankan apa yang Angkasa suruh sebelumnya. Lawan semua yang mencoba menindas dirinya, kan? Jadi meskipun malu disaksikan banyak orang harus Qila akui ia cukup puas ketika melihat kondisi Serena jauh lebih buruk daripada dirinya.

"Sadar diri tempat lo dimana, dasar anak kampung."

"Gila siapa itu berani banget ngelawan Serena."

"Dia siswi sekolah lain, kan? Katanya dari SMA negeri pantes lah gak punya malu gitu."

"Kacau banget sekolah ini mau studi banding sama sekolah level rendah punya mereka."

"Kalau dia tahu Serena anak siapa bisa abis sih dia, bapaknya Serena pejabat, kan? Gak yakin masalahnya kelar sampai sini."

Bisikan orang-orang yang bergerumul sedari tadi tak menciutkan Qila sama sekali. Tidak ada rasa takut meskipun Serena anak pejabat tersohor sekalipun!

"Ga cepet tarik Qila! Lo mau dia bikin malu sekolah kita!" Wenda mengeluh keras, kesal karena Vega hanya diam sedari tadi. "Mau taro dimana muka kita kalau kayak gini, banyak dari sekolah lain yang liat, Ga."

"Biarin." Vega mencegah Wenda yang hendak maju. "Gue lebih gak suka sekolah gue dikatain daripada denger berita buruk karena pertengkaran ini."

"Maksud lo apa sih, Ga! Lo kira sekolah bakal diem aja? Kalau dibiarin kita semua yang kena nantinya."

Vega nampak berpikir sejenak sebelum pada akhirnya memutuskan maju, berhimpitan dengan beberapa anak yang mencoba menghalangi jalan. Namun, bukannya menarik Qila dari sana, Vega malah menampar wajah Serena dan menjambak rambut gadis itu lebih kencang daripada yang telah Qila lakukan.

Wenda menjerit. "Vega! Lo gila!"

"Weh anjing bilang apa lo barusan? Gue gak ngurus ya lo punya masalah apa sama dia," tunjuk Vega pada Qila yang sama terkejutnya. "Tapi lo udah ngata-ngatain sekolah gue, jadi urusan lo bukan lagi sama dia."

"Lo siapa lagi anjing!" umpat Serena. "Lepas gak!?"

"LEPAS ARGH."

"Mana congor lo yang ngatain sekolah gue barusan? Baru gue jambak segini aja badan lo udah geter." Tangan Vega menarik kepala Serena ke kanan dan kiri. "Sekolah elit etika sulit, cuih."

"Nih buat lo semua yang udah remehin sekolah gue, jangan mentang-mentang sekolah lo bergelar Internasional ya tai. Gelut lo sama gue sini."

Suasana makin tidak kondusif begitu teman-teman Serena juga ikut menjambak Vega yang kini ditemani Wenda dan Qila. Mereka bertiga melawan tak kalah beringas hingga menarik semakin banyak perhatian.

"QILA!"

Rupanya Saka datang disaat yang tepat, masih dengan pakaian basket dan peluh di wajahnya ia datang menghampiri Qila. Wajahnya merah padam, matanya menyorot tajam menyaksikan penampilan saudari perempuannya sudah kacau dengan darah di ujung bibir dan beberapa luka cakaran di wajah.

"Yon bawa Qila ke UKS." Saka berujar dengan datar setelah memisahkan Qila. "Sekalian sama temennya juga."

"Saka," panggil Serena dengan wajah memelas.

"Lo diem ya." Saka menunjuk wajah Serena ketika gadis itu hendak menghampirinya. "Lo bikin Kakak gue luka."

Kakak? Semua menatap kaget ke arah Saka yang sedang menahan marah.

Seumur hidup Saka tidak pernah semalu ini berhadapan dengan gadis seperti Serena. Saka tidak pernah memberikan atensi sedikitpun pada kakak kelasnya itu meski sejak awal semester Serena gencar mendekatinya dengan segala cara. Saka masih bisa mengabaikan semua perilaku minus Serena tapi tidak dengan sekarang.

"Gue pastiin lo bakal terima harga yang setimpal." ancam Saka. Membuat semua orang terdiam, takut. "Bokap lo anggota DPR, kan? Mulai besok dia gak akan lagi punya jabatan apapun, gue jamin itu."

Biar Saka contohkan bagaimana kekuasaan itu bekerja sesungguhnya.

***

"Sakit?" tanya Dion, fokus membersihkan luka diujung bibir Qila.

"Sedikit."

Dion menghela napas. "Gak berubah ya? Dari SMP selalu aja bikin luka di badan sendiri."

"Kamu juga gak berubah masih sama baiknya kayak dulu," kekeh Qila tapi pada akhirnya dia meringis karena luka.

"Jangan ketawa dulu, duh ini pasti bakal lebam parah," dumel Dion. Tidak ada canggung meski sudah tak berinteraksi sekian lama, bagi Dion bercakap dengan Qila akan selalu menjadi kesenangan untuknya sejak dulu. "Kok bisa berantem sih, Qi. Saka pasti lagi ngamuk sekarang."

"Aku di jambak duluan, ya aku jambak balik." Qila meringis saat Dion mengoleskan salep. "Saka emang bisa ngamuk?"

"Lo gak tahu aja se-sinis apa Saka tiap kali ada anak-anak nanyain kabar lo, apalagi yang jelas-jelas bikin lo luka gini mana mungkin Saka diem aja, bisa abis mereka semua."

"Gitu ya?"

"Makanya gak ada yang berani deketin lo pas SMP ya karena pawangnya macan gitu," jelas Dion membuat Qila kembali tertawa kecil. "Gue juga sih."

"Hm?"

"Enggak-enggak," kilah Dion. "Eh itu temen lo mau diobatin juga?"

Qila mengikuti arah tunjuk Dion. "Oh iya." Sadar ternyata di UKS ini bukan hanya mereka berdua.

"Lo istirahat dulu deh gak lama lagi Saka kesini. Gue sekalian obatin mereka juga." Dion menepuk sekilas kepala Qila.

"Itu-"

"QILA!?!!"

Semua terlonjak kaget begitu pintu UKS didobrak kencang dari luar. "Mana yang sakit? Astaga sampe memar gini bibir lo? Ini juga luka cakaran deket mata! UNTUNG GAK KENA MATA! Astaga."

"Kalem Niel itu Qila kaget denger lo teriak gitu," Rena yang mengikuti Daniel di belakang menepuk sekilas punggungnya sebelum melemparkan senyum untuk Qila. "Hai Qi lama ya gak ketemu."

"H-hai Kak."

"HAH!? ANJING EMANG. Gue abisin orang yang namanya Serena itu. Kelas mana dia? Gue buat perhitungan awas aja babik." Daniel mengumpat begitu mengamati keadaan Qila yang jauh dari kata baik. "Lo luka gini astaga."

"Niel..,"

"Adek gue luka, Ren, yakali gue bisa tenang. Dia aja baru keluar dari Rumah Sakit."

"Iya iya," Rena mengangguk paham dan tersenyum maklum. Kalau tidak meledak-ledak bukan Daniel namanya.

Daniel kemudian tersadar saat melihat Dion yang masih melongo dengan tangan berada diatas kepala Qila. "Lo mau nyingkir atau gue patahin tangan lo?"

Lantas Dion menarik dengan cepat tangannya dan langsung bangun dari kursi sebelah ranjang UKS. "Ampun Bang."

"Sono lo cabut!"

"Daniel!" peringat Rena lagi. "Dia udah obatin luka Qila main lo usir gitu aja! Makasih dikit kek."

"Makasih," ujar Daniel sinis bercampur tak ikhlas.

"Sama-sama Bang."

Qila meringis melihat wajah Dion yang kicep di hadapan Daniel. "Niel kamu keterlaluan."

"CK."

"Makasih Dion temennya Saka udah obatin adek gue, tapi gak perlu pake ngelus kepalanya juga ya laen kali. Udah, puas?"

"Terserah deh," pasrah Qila. "Kak Rena betah banget sama Daniel."

"Terpaksa sih sebenernya."

"HEH?!" Daniel misuh-misuh mendengarnya.

Seperti ucapan Dion sebelumnya, tak lama Saka muncul dan langsung disambut kata-kata mutiara Daniel yang tentu saja tak diindahkan sedikitpun oleh Saka.

"Thanks gue seneng Qila ternyata punya temen sebaik kalian." Saka justru menghampiri Vega dan Wenda yang berdiri agak jauh.

"Eh?" kaget Qila.

Wajar jika Saka menganggapnya begitu, dari sudut pandangnya Saka pasti menganggap bahwa keterlibatan Vega dan Wenda karena membela Qila sehingga membuat mereka berdua ikut terseret. Sedangkan realitanya baik Vega maupun Wenda tak bermaksud demikian, apalagi Vega yang memang tersulut emosi karena sekolahnya diejek oleh anak sekolah lain.

"Thanks ya," Daniel ikut memberikan kalimat terima kasihnya.

"Ng... iya." Wenda menjawab dengan gumaman.

"Kalian balik naik apa?" tanya Daniel lagi.

"Mobil kak," cicit Wenda.

"Tuh lo nanya gitu aja anak orang sawan, Niel." cecar Rena sambil menggelengkan kepala.

Daniel melemparkan tatapan kesal ke arah Rena. "Salah mulu gue."

Melihat perlakuan baik yang di dapat dari dua saudara Qila justru menampar Vega hingga mengenai harga dirinya yang semula berdiri kokoh. Vega sadar bahwa dirinya tidak pantas menerima ucapan ini karena memang bukan niatnya membantu Qila, terlebih jika mengingat perlakuannya untuk Qila selama ini.

... Vega tambah sadar akan satu hal, bahwa Qila tak pernah menceritakan keburukan semua orang di sekolah selama ini bahkan pada saudaranya sendiri.

"Ah iya," Qila baru membuka suara. "Mereka temen ekskul teater aku."

"Oh lagi ikut stuba ya?" tanya Rena ramah pada Vega dan Wenda. "Gue dulu juga ketua ekskul teater disini, kalau butuh apa-apa feel free buat tanya gue, temennya Qila temen gue juga kok."

Lagi, entah kenapa Vega dan Wenda merasa malu dengan diri sendiri.

"K-kalau gitu kita pamit duluan ya Kak dan.. Qi." Meski memelankan ucpannya di akhir kalimat, Qila yang mendengar itu keluar dari mulut Wenda tak kuasa menahan senyum.

"Hati-hati."

"Lo ... juga." Wenda mengangguk sekilas sebelum menarik tangan Vega yang diam sejak awal masuk UKS.

"Lo balik sama Saka ya, gue masih ada urusan disini."

"Urusan apa?"

"Urusan ini," tunjuk Daniel pada luka di wajah Qila. "Udah lo kabarin yang lain kan, Ren?"

Rena membalas dengan senyuman lebar. "Aman tinggal eksekusi aja."

Qila menatap Daniel dengan horor. "Niel."

"Lo tenang aja." Di tenangkan seperti ini oleh Daniel malah semakin membuat Qila was-was, namun apa daya? Jangankan Serena, ayah saja mampu Daniel hajar tanpa pikir panjang.

"Ayo ayah udah nanyain kenapa belum sampe rumah." Saka maju mengambil tas Qila dipangkuan Dion. "Thanks, Yon."

"Gak usah bilang ini ya." Qila bergumam pelan sambil menerima uluran tangan Saka.

Saka melirik malas. "Kecuali mata ayah buta, dia gak akan sadar sama lebam di ujung bibir lo."

Melihat kecemasan terpancar dari manik mata kembarannya Saka menghela napas pelan. "Tenang aja, ayah gak akan marah." Karena ini salahnya, Saka yang sudah lalai menjaga Qila.

"Ini jaket siapa?" intrupsi Daniel tidak familier dengan jaket yang Qila kenakan saat ini.

"Asa."

"Asa siapa lagi?"

"Temen aku disekolah."

"Cowok?"

"Iya."

"Cowok?" tanya Dion memastikan.

"Iya cowok."

"Nih apa lagi kunyuk pake ikut nanya-nanya." Daniel melempar tatapan tajamnya. "Lo diem ya gak ada yang nyuruh lo nimbrung!"

Lihat saja cepat atau lambat Daniel harus melihat siapa Asa-Asa itu dengan mata kepalanya sendiri! Seperti apa lelaki yang berani memberikan jaket pada Qila ini?

"Hati-hati Ka bawa motornya."

"Ya." Saka hanya mengangguk sekilas, ia mengeluarkan jaket hitam miliknya yang segera ia ulurkan pada Qila.

"Aku udah pake jaket."

"Pake yang ini."

Qila mengernyit. "Kenapa, Ka?"

"Punya gue lebih bagus."

Ya terus???? Qila hampir saja mengucapkan kalimat tersebut kalau tidak melihat ekspresi serius Saka saat menyerahkan jaketnya. "Ya udah iya."

"Sini jaket yang itu biar gue yang pake." Daniel menyodorkan tangannya meminta jaket Angkasa. "Sini."

"Ngapain?" Mata Qila memicing. "Nggak ya, bisa-bisa jaket ini gak balik lagi kalo kamu yang pake."

"Kasih aja, dia kedinginan." Saka memberikan kode agar Qila menyerahkan jaket dengan kepalanya.

Dilihat dari sudut manapun Daniel sama sekali tidak terlihat seperti orang yang kedinginan???

"Nah bener kata Saka, siniin gue kayaknya meriang."

"Padahal mukanya kayak orang bener," keluh Rena melihat aksi Saka ditambah lelah melihat kelakukan Daniel. "Sama sama stres dua-duanya."









anyway thank youuu buat yang udah dm dan tag cerita ini di instagram aku <3 terharu sekali baca dm yang masuk. i love youu sm.

Continue Reading

You'll Also Like

45.2K 6.4K 62
"๐™ฑ๐šŽ๐š›๐š’๐š”๐šŠ๐š— ๐šŠ๐š”๐šž ๐šŠ๐š—๐šŠ๐š”, ๐š๐šŠ๐š— ๐š”๐š’๐š๐šŠ ๐šœ๐šŽ๐š•๐šŽ๐šœ๐šŠ๐š’. ๐™น๐šž๐š—๐š ๐™น๐šŠ๐šŽ๐š‘๐šข๐šž๐š—!" -Jung Jaehyun & Han Seyoung- ยฉ๏ธ2021
8.7K 1.5K 41
Azanna Salsabila telah memendam perasaannya pada Evan Aditama selama satu tahun. Cowok dingin yang irit ngomong dan nggak suka tertawa. Tapi di balik...
136K 5.3K 83
{FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA} "Karel, kamu sudah makan? "Peduli banget gue udah makan apa enggak," "Eh ... Dengar iya ... Lo di sini bukan berarti lo...
51.3K 12.9K 68
[ JANGAN LUPA FOLLOW, VOTE DAN COMMENT ] [UDAH SELESAI] Hanya cerita singkat tentang satu insan manusia rapuh, namun berkedok dengan keras dan tidak...