Into The Beneath

By DrReno

3.7K 302 36

(Segera diterbitkan oleh Bhuana Ilmu Populer, telah dihapus untuk kepentingan penerbitan) Rio hanyalah sarjan... More

Prolog
Chapter 2
Chapter 3

Chapter 1

356 75 10
By DrReno

Rio merasa agak cemas saat melihat layar ponselnya. Jempol sudah tepat di atas tombol hijau, tetapi ada sesuatu yang seakan menahan untuk menggeser jarinya ke atas. Padahal sudah panggilan ketiga, sampai bulir-bulir keringat mulai bercucuran dari wajahnya. Pria muda itu pada akhirnya hanya mendesau setelah dering selesai. Lalu terbesit di kepalanya untuk mengaktifkan mode pesawat, karena yakin dia akan mendapatkan panggilan yang sama beberapa detik lagi.

Jelaskan saja kalau tadi kau di dalam ruangan yang susah jaringan, bisik hati kecilnya. Memang nyatanya dia ada di tempat yang minim jaringan. Hari ini jadwal Rio sebagai asisten untuk peserta dari mata kuliah Koralogi, dan di dalam laboratorium akses komunikasi begitu sulit. Untuk menelpon seseorang atau bahkan sekedar menggunakan aplikasi chatting juga susah.

Padahal masuk sepuluh besar kampus terbaik, tetapi pasang router Wi-Fi kok susah? Sempat Rio dan sahabatnya menanyakan itu. Lalu dalam beberapa bulan kemudian mereka bersorak gembira karena pemancar jaringan itu akhirnya dipasang. Sampai dosen pengampu yang bertanggung jawab tak memberikan kata sandinya.

"Oke semua. Waktu lab udah selesai. Asistensi laporan bisa di mulai dari hari Senin." Kalimat Rio disusul dengan para praktikan berdiri bersamaan, menyerahkan kertas sketch book mereka yang telah menggambar bagian polip karang. Asisten perempuan lain yang bersama Rio membantu mengumpulkan, untuk beberapa gambar dia berusaha menahan tawa, tetapi praktikan terlihat sama sekali tidak peduli. Pikir mereka yang penting sudah selesai. Jurusannya bukan seni, tetapi kerja lapangan. Sampai sekarang pun beberapa juga bingung kenapa harus disuruh menggambar, bukannya menyelam.

Lima menit setelah semua peserta keluar, tiga orang asisten di dalam juga menyusul. Rio hanya menutup pintu dan pagarnya, urusan mengunci ruangan akan diserahkan pada pegawai kampus. Mungkin sejam lagi akan datang.

Seseorang menepuk bahunya sebelum Rio benar-benar pergi. "Nanda? Kenapa?"

Dia berbalik dan menemukan seorang gadis. Itu asisten perempuan yang tadi mengumpulkan lembar kerja peserta lab. "Kak Rio udah makan?"

"Uh ... belum, tapi—"

"Mau makan bareng di kantin, kak? Sekalian aku juga mau minta tolong, ini soal penelitianku. Aku masih bingung buat nyusun bagian—"

Seramah mungkin Rio menaikkan tangannya, menghentikan gadis itu berbicara, untuk tambahan dia menaruh senyuman yang sudah khas. "Aku lagi sibuk, jadi, sorry. Lagian kamu juga tau, kan, kalau penelitianku kemarin itu soal karang, bukan pencemaran laut."

Kaki Rio mundur selangkah, dan melambai pelan. "Semangat ... sampai ketemu besok lusa." Lalu akhirnya meninggalkan Nanda. Gadis itu tampak berusaha membuat senyum, sebelum kemudian berbalik untuk menuju ke kantin. Namun, seketika dikejutkan dengan kemunculan seorang laki-laki tepat di hadapannya.

"Lian! Kamu di situ dari tadi?!"

Bukannya menjawab, laki-laki itu malah menyeringai ke arahnya, membuat Nanda jadi was-was sendiri. "'Kak Rio udah makan? Mau makan bareng di kantin, kak? Sekalian aku juga mau minta tolong soal penelitianku.'," ejek Lian membuat mimik seperti Nanda, yang segera membuatnya kesal dan langsung menginjak kaki cowok itu.

"Hei ... aku cuman bercanda," sambungnya sembari meringis dan melompat-lompat. Lian adalah asisten, walaupun laki-laki itu lebih sibuk memainkan game offline di ponselnya tadi. Padahal dia juga yang biasa marah-marah kalau ada praktikan yang main ponsel. Nanda sendiri juga bingung kenapa orang itu bisa lolos jadi asisten lab.

"Jadi ... sejak kapan?" Lian melanjutkan. Nanda sudah paham ke mana arah pertanyaan itu. Ingin saja dia berdecak kesal, tetapi tidak lama malah berpikir apa salahnya curhat sama Lian?

"Semester tiga."

"Semester tiga?! Hei, di situ kan Kak Rio udah pacaran sama—"

"Iya, aku tau. Cuman sekarang kan dia udah ... itu." Nanda mulai kesulitan untuk membuat kata, dan mulai muncul rasa iba dari Lian. Dia juga mengenal baik seniornya itu. Sempat dikira jadi pasangan serasi, tapi setahun kemarin ada kabar kalau mantannya sudah dilamar. Siapa yang tidak akan sakit hati?

Lian menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Antara Rio yang masih berusaha move on, atau Nanda yang bingung harus apa, Lian hampir tak bisa berkata-kata.

"Jadi ... aku mau makan juga. Kalau misalnya kamu jadi ke kantin, kamu tau aku duduk di mana." Lalu keputusannya adalah pergi. Membiarkan gadis itu dan seniornya dalam urusan masing-masing. Lian tidak ingin jadi orang yang sok tahu atau pahlawan kesiangan. Urusannya sendiri juga masih banyak. Dibandingkan Nanda, jurnal penelitian Lian malah belum ada apa-apanya.

Sementara di depan, keluar dari gedung pertama, Rio disambut dengan pemandangan yang sama seperti seminggu lalu. Hiasan bunga indah, tetapi memiliki tulisan dengan makna yang muram. Sebuah ucapan bela sungkawa untuk seorang dosen.

Rio terdiam sejenak di tempatnya, walaupun selalu karang tersebut setiap akan meninggalkan fakultas, sekali lagi dia masih mau membacanya. Kabar kematian dari dosen itu sangat mengejutkan, khususnya mahasiswa Ilmu Kelautan, tetapi rasa sedih Rio sepertinya paling mendalam di antara yang lain. Dosen tersebut yang membantunya selesai sebagai mahasiswa, bukan hanya sebagai pembimbing, dosen itu ada turut hadir dalam penelitian skripsi-nya.

Lebih tepatnya, Rio diajak ke dalam sebuah proyek penelitian. Pergi ke pulau terpencil untuk mengukur tingkat pencemaran perairan, dan walaupun Rio sendiri akan meneliti karang di perairan dalam, tetapi dosen itu dan beberapa rekannya sangat membantu dalam pengambilan data. Hasilnya, Rio bisa lulus dan mendapatkan gelarnya dalam proses yang cukup mudah.

Kembali ke dunia nyatanya, Rio melanjutkan langkah. Mengambil dompet untuk mengecek sisa tabungannya, dan juga ponselnya untuk memesan ojek online. Masih cukup, Rio bernapas lega, walau sebenarnya dia bisa saja menggunakan uangnya untuk makan.

Rio bukanlah pribadi boros dan manja, dia tidak akan menggunakan transportasi umum kecuali memang dibutuhkan. Lalu sekarang adalah saatnya, ban motornya bocor pagi ini sebelum dia ke kampus.

Dalam beberapa detik pesanannya diterima, tukang ojek akan datang dalam jarak tiga menit. Tak ada yang Rio lakukan selain berdiri dan membalas ramah sapaan dari junior-juniornya. Sejenak Rio jadi teringat saat dia masih menjadi mahasiswa. Bertemu dengan senior secara otomatis wajah akan membentuk senyuman, walaupun hanya sekedar tahu dia adalah mahasiswa kelautan, tetapi tidak ingat siapa namanya.

Pria jaket hijau akhirnya datang. Menyebut nama Rio begitu dia mendekat, begitupun Rio mengucapkan nama pria itu. Sama seperti rata-rata mahasiswa lain, Rio tinggal di sebuah kos-kosan. Jaraknya agak jauh dari kampus, tetapi cukup strategis.

Dalam kosnya juga cukup luas. Muat baginya untuk menaruh kasur, kompor, lemari, dan fasilitas kamar mandi. Biasanya sepulang kampus Rio akan langsung istirahat saja, dan memasaknya nanti malam. Namun, kali ini dia langsung membuka laptop untuk mengecek sesuatu. Dibantu dengan hotspot dari Android-nya. Rio akhirnya terhubung dengan perpesanan e-mail.

Dua iris hitamnya memantulkan layar yang bergulir selama beberapa detik. Sebelum lagi-lagi mendesau lemah, tetapi kali ini ada rasa kesal. "Setidaknya balas e-mailku. Biar tau kalau aku nggak diterima," ucapnya.

Rio menyiuk lalu berbaring, menumpu laptop di kedua pahanya sembari menatap langit-langit begitu lemas. Sekarang apa? Rio sangat senang bisa menjadi sarjana, tetapi kini dirinya dalam masalah yang selalu menjadi momok bagi semua alumni. Rio menganggur.

Sudah terhitung tiga bulan lamanya Rio mengajukan lamaran pekerjaan di tiga instansi yang berbeda. Semuanya bergerak di bidang yang sesuai dengan jurusan Rio. Namun, dua lamarannya sudah ditolak, lalu yang satunya bagi Rio sudah tidak ada harapan. Menerima tawaran sebagai asisten lab pun tidak bisa disebut sebagai pekerjaan, melainkan hanya membantu.

Asisten juga wajarnya adalah mereka yang masih berstatus mahasiswa, atau alumni yang sedang melanjutkan pendidikan magister. Entah apa yang ada di pikiran dosen hingga mengajak Rio jadi asisten.

Dalam lamunannya, dia teringat masa-masa saat masih mahasiswa kemarin. Sebagai perantau, Rio pastinya berharap akan mendapatkan banyak teman, dan memang benar, daftar kontaknya bertambah banyak. Pengalaman seru juga sangat banyak didapatkan. Sejak dinyatakan masuk kampus, dia selalu bermimpi untuk menyelam dan melihat biota-biota cantik yang hidup di lautan, dan mimpi itu terkabul.

Rio juga teringat saat dulu akan meninggalkan rumah. Selain mamanya, ada papanya yang lebih diam, lalu Rio merasa senang karena akhirnya bisa meninggalkan kedua adiknya dengan yang laki-laki selalu membuatnya jengkel setiap saat. Setidaknya dia mengatakan sesuatu yang berkesan sebelum Rio pergi, katanya mau diajari menyelam. Kemudian kali pertama menggunakan pesawat. Rio langsung tertawa saat membayangkannya, karena dia takut ketinggian.

Sejenak kepalanya jadi begitu jernih, hingga kemudian ponsel Rio berdering dengan kuat. Astaga! Aku lupa! Rio buru-buru bangkit dan langsung mengecek ponselnya yang ada di dalam kantung tas. Sesuai dugaan, mamanya kembali menelpon.

Rio tak bisa lagi menolak seperti sebelumnya, walaupun masih tidak bisa menjawab, tetapi Rio terpaksa atau bisa-bisa malah kena marah nanti.

"Halo, Ma."

"Rio! Kamu darimana aja!? Dari tadi Mama udah telpon kamu tapi nggak dijawab!" Celotehan mamanya berlanjut hingga membuat Rio mengusap wajah berkali-kali, sambil menjelaskan alasan "susah jaringan" yang sudah disiapkan sejak awal.

"Oke, Ma, tapi Mama kenapa nelpon?"

"Kapan kamu mau balik kampung? Kamu di sana cuman nganggur. Mama udah bilang kalau di sini Om kamu udah nyiapin tempat jadi teller bank."

Rio mulai memutar bola matanya. "Ma, untuk kesekian kalinya aku sarjana kelautan, bukan ekonomi. Aku nggak mau kerja jadi teller bank!"

"Terus kamu mau nganggur terus di sana?! Mama udah nggak bisa biayain kamu terus, Nak."

"Ma, aku udah kerja di sini!" Rio langsung menutup mulutnya. Bodoh! Hatinya seakan berteriak murka pada dirinya sendiri karena mampu berkata demikian.

"Kerja apa? Jadi asisten lab itu?"

"Bukan, Ma!" Lagi-lagi kebohongan. Rio mulai merutuki dirinya sendiri karena kali ini mamanya terdiam. Beliau pasti percaya kalau anaknya benar-benar telah mendapatkan pekerjaan. "Ini ... aku baru dapat balasan e-mail dari pelabuhan yang kemarin aku bilang. Aku lolos dan udah bisa kerja bulan depan."

"Beneran?! Wah ...." Selanjutnya yang terdengar di sebelah adalah suara riang, bahkan terpanggil nama adik-adiknya untuk mengabarkan kebohongan itu. Membuat Rio hanya bisa tersenyum, tetapi begitu palsu dan pahit. Ingin rasanya Rio berteriak 'tapi boong, Ma'. Namun, anak macam apa dia kalau sampai sedurhaka itu. Nyatanya Rio sudah jadi durhaka karena telah berbohong.

"Iya ... Mama bisa kirim tabungan lain buat bulan ini, tapi buat bulan depan nggak usah lagi. Aku bakalan pake uang gaji."

"Iya, Nak. Nanti gaji pertama jangan boros yah, nggak usah traktir temanmu, apalagi pacarmu. Intinya simpan baik-baik biar kamu bisa hemat."

Selain balasan 'iya, Ma', yang ada di pikiran Rio adalah terus berharap agar panggilan itu bisa segera berakhir. Butuh lima menit hingga permintaannya dikabulkan. Tepat setelahnya Rio langsung menarik bantal untuk membenamkan kepalanya. Lalu berteriak sekencang-kencangnya dalam suara yang teredam.

"KAMU BODOH BANGET, RIO!"

Napasnya kembali megap-megap saat mengangkat kepala. Sekarang Rio benar-benar bingung dengan apa yang akan terjadi. Jika dalam sebulan dirinya tak mendapatkan pekerjaan, maka tamatlah riwayatnya.

Rio bersandar di dinding, menekuk lutut dan memeluk kakinya. Mungkin memang aku harus membuang gengsi. Rio berpikir lebih baik mengambil pekerjaan di luar jurusannya saja jika memang tidak bisa mendapatkan di bidangnya. Setidaknya dia punya pendapatan untuk pemenuhan kebutuhan lalu kemudian mencari pekerjaan yang sesuai.

Namun, fokusnya benar-benar terpecah sekarang. Antara mencari pekerjaan, atau kapan harus berkata jujur pada Mamanya. Jadi sisa sore dihabiskan hanya dengan itu, sebelum kemudian Rio terlelap dengan sendirinya.

Continue Reading

You'll Also Like

KANAGARA [END] By isma_rh

Mystery / Thriller

7.6M 552K 93
[Telah Terbit di Penerbit Galaxy Media] "Dia berdarah, lo mati." Cerita tawuran antar geng murid SMA satu tahun lalu sempat beredar hingga gempar, me...
158K 15.6K 10
© cover by just-anny TheWattys2016 Edisi Kolektor Rank #10 Cerita Pendek - Rabu, 13 Januari 2016 Diga mengerti apa yang membuat Anny sebal, apa...
239 70 6
Gelapnya malam. Ramainya kembang. Di tengah hutan. Manusia bisa berharap, tetapi iblis bisa mencuri harapan mereka. Bersama harapan Kafiera dan Bonan...
18.5K 2.6K 29
Sasha punya teori tentang semesta: ia bekerja sedemikian rupa untuk kebaikan seluruh umat manusia. Revan punya teori lain: semesta bekerja sedemikian...