The Future Diaries Of Audrey

By Chocomellow26

1.5K 80 0

Audrey sangat mencintai romantisme. Dia penulis. Dan impiannya adalah mendapatkan kesempatan merasakan romant... More

Bab Dua
Bab Tiga
Bab Empat
Bab Lima
Bab Enam
Bab Tujuh
Bab Delapan
Bab Sembilan
Bab Sepuluh
Bab Sebelas
Bab Dua Belas
Bab Tiga Belas
Bab Empat Belas
Bab Lima Belas
Bab Enam Belas
Bab Tujuh Belas
Bab Delapan Belas
Bab Sembilan Belas
Bab Dua Puluh
Bab Dua Puluh Satu
Bab Dua Puluh Dua
Bab Dua Puluh Tiga
Bab Dua Puluh Empat
Bab Dua Puluh Lima
Bab Dua Puluh Enam - END

Bab Satu

212 13 0
By Chocomellow26

Ini cerita keduaku 

Semoga suka, jangan lupa follow akun Chocomellow. 

Salam, Chocomellow

###

Audrey

Tenang, hidup itu perjalanan. Ada susahnya, ada sedihnya. Ada bahagianya, ada dukanya. Ada konyolnya, ada kikuknya. Semua itu penuh warna. Tapi ingat dalam setiap perjalanan jangan lupa bawa peta dan kompas, kalau kalau kau tersesat.

***

"Apa aku salah dengar?" Anjani menarik kursi dari meja kerja Audrey dan menyeretnya kedepan Audrey. Ia datang ke apartemen Audrey yang berada di daerah Pademangan Timur, Jakarta Utara hanya untuk mendengar kabar ini. Audrey yakin, wanita yang mendekati akhir 20-an itu tak bisa tenang setelah mendengar kabar bahwa Audrey, penulis yang di naunginya, disayang dan dimanjanya 'membatalkan' novel romance yang sedang ia garap. Audrey paham, Anjani sangat menginginkan novel romance itu terbit, dia sangat menyukainya –seakan itu pengalam nyata- dan nyatanya, hampir seluruh tulisannya dalam novel itu kenyataan yang Audrey alami. Jadi Anjani sangat yakin novel ini bakal sukses di pasaran.

"Tidak, kau tak salah dengar. Aku sudah memutuskan untuk berhenti menulisnya. Romance memang bukan hidupku," jawab Audrey, ia kembali membenamkan diri di atas kasur. Merasa bodoh dengan dirinya sendiri. Semua orang yang mengenalnya pasti tahu bahwa Audrey sangat menyukai romance. Dia terlalu percaya dengan akhir bahagia selamanya. Seperti putri dalam negeri dongeng. Layaknya pemeran utama dalam novel. Atau kisah drama korea yang hampir semuanya ditulis oleh penulis perempuan. Yang artinya, ia hanya salah satu dari penulis yang berfikiran sama. Terlalu banyak berangan-angan, terlalu mendramatisasi segala hal.

Mendengarnya mengatakan bahwa romance bukan hidupnya terdengar aneh. Anjani pasti juga merasa seperti itu. Dia bisa melihat keterkejutan di mata Anjani, tapi Audrey tak berniat menghiburnya dengan kata-kata 'aku hanya tidak memiliki ide' dan menambahkan sejumput harapan lagi pada editornya. Audrey merasa ia bersikap kekanak-kanakan, tapi ini tak bisa dihindari. Ia telah memenjarakan dirinya dalam kebohongan sepanjang minggu ini setiap kali Anjani menagih ending novelnya. Audrey kembali menyibukkan diri melipat baju dan menyusunnya di koper, memberikan waktu pada wanita didepannya untuk menerima keadaan. Dengan sifat Anjani, berita ini pasti akan membuatnya memijit pelipis dan menekan dadanya sedemikian rupa untuk menghilangkan kekesalannya. Pastinya.

"Kau menyukai romance," suara Anjani terdengar tak yakin. Tak yakin dengan yang dia dengar sebelumnya. Seolah ia berbicara dengan orang yang berbeda. Dengan Audrey yang lain, yang tak ia kenal.

"Ya, aku menyukai romance, meski aku tak tahu aku bisa menyukai kata itu sebanyak dulu."

Itu seperti kata kunci dalam hidup Audrey. Sekarang ia tak yakin kata itu menjadi kata favoritnya lagi. Dulu, apapun yang dialakukan, ia selalu mendewakan segala sesuatu yang romantis. Mengingatkannya akan kehidupan asmaranya yang kering dan gersang. Mungkin sedikit kenakalan akan membuat hidupya lebih menyenangkan. Namun sayangnya, ia lebih memilih menjadi gadis baik yang penurut.

Audrey sadar ia terlalu lama tinggal dalam zona nyaman yang ia bentuk sendiri. Dengan alasan melindungi diri atau apapun itu yang selalu di setujui oleh kakaknya. Semua itu semakin diperparah karena ia tipe gadis pemalu.

Audrey bertanya-tanya apa dia memang tipe pemalu dari awal.

Tidak.

Dia introvert. Tapi dia gadis yang ramah. Hanya pada tiga golongan yang masuk dalam daftar: golongan yang tidak dihindari Audrey. Yaitu wanita, anak-anak dan orang tua. Jenis yang selalu ia ajak mengobrol dimanapun ia berada. Meski dia bisa beramah tamah dengan orang lain, dia bukan tipe orang yang mudah dekat. Butuh waktu untuknya dekat dengan seseorang. Sayangnya, dia bukan tipe yang mudah ramah bahkan dekat dengan satu spesies di bumi.

Laki-laki.

Entah itu karena dia takut, atau karena trauma masa lalunya. Audrey tak ingat penyebab ia begitu menjauhi laki-laki. Ia merasa mengobrol dan bersosialisasi dengan laki-laki seakan menghabiskan energinya. Dia merasa kikuk di depan laki-laki. Dia menyadari bahwa dia bisa menjadi orang yang berbeda jika bersama laki-laki. Dan dia tak menyukainya. Sebagian karena ia terlalu waspada dan menjaga diri di depan mereka. Menjaga agar tidak mempermalukan diri. Menjaga agar mereka tidak berfikir macam-macam, menjaga agar dia tidak terlihat aneh. Menjaga dari rasa takutnya yang ia dapat dari ayahnya.

Dia ingin terlihat biasa, standar wanita pada umumnya, dia tak ingin menjadi pusat perhatian, ia ingin mengecil. Sayangnya, ia tumbuh lebih tinggi dibandingkan teman-temannya. 167, tinggi yang membuatnya menonjol kemanapun ia pergi. Waktu kecil Audrey lebih memilih menghilang dan tak terlihat. Dan dia yakin itu yang dialakukan hingga sekarang. Kemampuan bicaranya seolah hilang saat ia bersama laki-laki. Audrey membisu, tak dapat mengeluarkan sepatah katapun. Lebih seringnya ia diam, membuat sebagian teman mengobrolnya putus asa dan frustasi. Sangat jarang ia bisa mengobrol dengan layak bersama laki-laki. Apalagi seseorang yang baru dikenalnya.

Audrey melirik jendela kamarnya, ia selalu memiliki angan-angan untuk tinggal di unit apartement yang memiliki taman. Dan itu tercapai, dia menyukai taman apartemen ini. Dia bisa berolah raga di taman, menikmati alam, dan mengobrol dengan tetangganya yang ramah. Mendengar suara tawa anak-anak yang bermain, menonton pasangan kekasih yang berolahraga atau pasangan lansia yang sedang menikmati senja. Semua itu seolah menghiburnya saat ia merasa terkurung dalam apartemen untuk mengerjakan bukunya. Dia terbiasa melalui aktivitas itu setiap hari. Tapi belakangan ini, dia merasa sendirian. Sejak ia keluar dari rumah Arkan, dia meraskan kesepian. Dia terbiasa sendiri, tapi sekarang sendiri terasa semakin mencekik.

Audrey bisa merasakan panas sore yang hangat dan menentramkan. Panas sore yang terlihat menggoda, jika ia bisa piknik dengan kekasih, membaca buku dibawah pohon sambil berbincang dan saling bercanda ditemani secangkir teh dengan macaron atau cup cake sebagai pendamping. Namun itu hanya khayalan karena ia tak pernah melakukannya. Isi otaknya tak dapat di prediksi oleh orang lain. Mengingat ia terlihat santai dan menikmati kehidupannya. Tapi sebenarnya, Audrey mulai resah. Dia ingin mencoba jatuh cinta. Seperti yang dialami orang lain, seperti yang dialami Anjani, seperti Cecil, atau Joe, kakaknya. Dia takut ditinggal sendirian saat yang lain mulai memilih hidup dengan pasangan masing-masing.

Saat dia kembali diam, Audrey bisa melihat Anjani yang semakin resah.

"Kau yakin?" Anjani memperbaiki posisi duduknya setelah menaik-turunkan kakinya berulang kali, gelisah. "Yakin," jawab Audrey. Tidak, dia masih ragu. Hingga saat ini dia selalu bertanya langkah mana yang membuatnya berujung seperti ini.

Anjani terdiam, memeriksa jawaban Audrey. Menatapnya, mencoba memastikan perkataannya. Anjani mendesah, "baiklah, aku tak akan memintamu menyelesaikannya lagi." Kata Anjani, dia melirik koper di depannya, "romance memang bukan hidupmu. Itu tak memberimu kebahagiaan seperti yang kau inginkan Au, mungkin genre misteri atau adventure lah hidupmu."

Romance. Ya itu awal mula semua ini. Andai ia tahu jatuh cinta itu sesakit ini, ia akan menyempatkan diri belajar terjun payung, atau setidaknya menelepon pemadam kebakaran dan berharap mereka siap siaga dengan trampoline, agar ia bisa melompat dan mendarat dengan selamat. Satu sisi di hatinya memberi semangat, bahwa setidaknya hidupnya tidak lagi hitam-putih. Setidaknya ia merasakan jatuh cinta. Setidaknya ia punya pengalaman, setidaknya ia punya kenangan, bukan lagi kertas kosong.

Audrey menarik nafas, merasa sesak. Dia melirik naskah novel di atas kasur. Bundelan kertas itu lecek dan penuh dengan corat coret dan stiker. Tentu saja itu ulah Anjani. Bukti bahwa wanita itu sering membaca novelnya. Novel yang ia garap, dan sekarang membuatnya dilema.

Melalui novel itu, ia mendapatkan banyak hal. Pengalaman yang tak terduga. Dari akumulasi hobi dan angan-angannya yang terlampau tinggi. Sejak ia mulai menulis 5 tahun lalu, ia tak pernah merasa buntu seperti ini. Seakan otaknya terinfeksi sesuatu, membuatnya tak dapat berfikir dengan jelas.

Audrey merasa ia mengecewakan Anjani.

Kepercaya diri, semangat, optismisme yang tinggi, semua itulah yang membuat Anjani menyayanginya. Sebagai agent, ia selalu memastikan bahwa Audrey nyaman dan akan terus membakar semangat dan optimisme itu guna melahirkan karya baru.

Tapi saat ini, Audrey tak memiliki sejumput pun dari tiga aspek yang selalu menggebu-gebu dimatanya.

Audrey terlihat hitam.

Tenggelam.

Hilang arah di lubang tak berdasar.

"Harusnya aku tidak memulainya," lirih Audrey yang menutup kopernya, menarik resletingnya dan mendorong benda hitam itu ke sudut kamar. Bergabung dengan tas tangan yang selalu dia gunakan dan sepatu converse putih yang sudah tertata rapi.

Siap pergi, dan jauh dari tempat ini. Mungkin tak selamanya, karena ia terikat kontrak dengan Anjani, dan berjanji akan pulang setelah puas menata pikirannya yang kusut. Rencana yang ia buat tergesa-gesa. Ia akan kembali ke kampungnya. Membantu pernikahan Cecil dan menyibukan diri dengan kue pernikahan dan tetek bengek pernikahan lainnya. Audrey butuh kesibukan, dan Cecil menawarkan semua itu.

"Maaf aku mengecewakanmu," ia kembali bersuara dan menatap Anjani didepannya yang terdiam tak tahu harus berbuat apa. "Sekarang aku tahu sikap optimisku bisa menghancurkanku. Dan merugikanmu."

"Aku suka sikapmu yang satu itu," Anjani melirik Audrey. "Karena itu yang membuatmu berbeda dari penulisku yang lain. Dan optimisme tidak salah sama sekali dalam hal ini. Kita yang tidak siap, dan gagal memprediksi ini akan terjadi."

Anjani tak ingin Audrey merasa bersalah padanya. Ia tahu, Audrey tipe orang yang terencana. Ia menetapkan target untuk dirinya. Mengatur waktu dan dirinya. Memastikan jalan cerita sesuai dengan watak dan sifat tokoh. Dia punya program untuk setiap tulisannya. Awalnya Anjani mengira, mungkin karena Audrey baru mulai menulis novel romance. Genre yang baru ia coba. Wajar jika wanita itu kesulitan mendapatkan ide. Karena ia terbiasa menulis novel misteri atau adventure. Sekarang Anjani sadar, bukan kreatifitasnya yang bermasalah, tapi karena masalah yang baru-baru ini menyebabkan ia seperti tak memiliki sedikitpun ide di kepalanya.

"Seharusnya aku tak menyerahkanmu kesana. Aku juga turut bersalah dengan semua kondisi sekarang. Siapa sangka kita berdua akan berakhir seperti ini," tutur Anjani.

Audrey menggeleng lemah, dia yang salah. Dia yang harusnya tak terhanyut dan tak berangan-angan. Sewaktu Joe mengingatknya, semua yang berakhir bahagia itu tak ada, harusnya dia berhenti bermimpi. Harusnya saat Deo mengatakan dia laki-laki yang sulit, dia dapat menjaga jarak aman dengannya. Seharusnya saat Anjani menyarankannya untuk pergi dari rumah itu, dia melakukannya.

Audrey lelah. Secara fisik dan emosional. Tenaganya terkuras, dan tulangnya melemah. Dia seperti hewan avertebrata. Audrey hanya ingin menyerah. Menyerah dari semuanya. Biar keadaan membaik dengan sendirinya. Dia yakin dia bisa melalui ini dengan menjauh dari tempat ini untuk sementara waktu.

***

Tiga Bulan Sebelumnya

Saat itu siang yang cerah. Awan putih menutupi langit, semburat kebiruan muncul menghiasi dengan penuh warna. Tak terlalu panas, sejuk. Semilar angin terasa karena sekarang musim hujan. Ini Agustus, sebentar lagi perayaan kemerdekaan, bendera, pernak pernik 17 Agustusan, serta papan iklan penuh semangat perjuangan. Audrey melangkah ke gedung di depannya setelah turun dari Transjakarta dan menuruni serangkaian anak tangga dan belokan jembatan penyebrangan jalan. Audrey melangkah dengan senyum, berhasil mengalahkan kemalasan dan rasa kantuknya untuk menyelesaikan draf novel yang di tentengnya dengan segenap hati.

Perasaan yang selalu dirasakannya kala menyelesaikan draf novelnya.

Senang

Bangga

Dan bersemangat.

Tak ada yang mengalahkan semangat Audrey yang melangkah terlalu ringan dan senyum yang terlalu lebar. Bahkan meskipun seseorang menyipratkan air kotor ke bajunya saat berkendara, karena semalam hujan, wajahnya akan tetap tersenyum dan membiarkan pengendara itu lewat. Atau jika seseorang menumpahkan kopi atau menarik rambutnya dari belakang, dia masih akan tetap menempelkan senyum menawan itu diwajahnya. Ini hari bahagiannya.

Begitu melangkah masuk lift, ia mekan tombol menuju area kantor. Mengabaikan dorongan untuk mampir ke toko buku yang di huni lantai satu gedung itu. Aroma roti yang sedang di panggang tercium dari jaraknya. Ia melirik pegawai toko yang sedang mengeluarkan roti-roti itu dari oven, siap di jejalkan di etalase. Toko buku dengan konsep café in library, Hamura menawarkan konsep yang nyaman untuk pelanggannya. Audrey memperhatikan sebagian karyawan yang bergegas masuk di lantai dua. Yah, waktu makan siang habis, dan mereka akan terlambat jika tak segera melangkah sekarang.

Audrey melirik name card yang tergantung di leher sebagian karywan. Hamura. Mereka semua karyawan di Hamura, yang terdiri dari dua bagian. Bagian Hamura Webtoon dan Hamura Publishing. Gedung ini berada di Tomang, Grogol, Jakarta Barat. Audrey mengenal sebagian dari mereka yang berada di Hamura Publishing, karena tempat itulah yang akan dikunjunginnya.

Dia menyapa beberapa wanita, dan berbincang sebentar mengenai cuaca yang mulai dingin dan kemacetan yang semakin parah. Begitu sampai di lantai empat, Audrey turun. Melangkah kearah dalam gedung dan disambut karyawan yang sibuk memulai kembali tugas mereka. Ini Jumat, dan besok libur. Jadi mereka berusaha keras menyelesaikannya dan menyambut weekend yang damai.

Lola dan Ika melirik Audrey yang masuk, ia melangkah ke arah kedua wanita itu. Lola menyuarakan undangan pernikahannya pada Audrey. Pernikahan yang akan dilaksanakan awal bulan September. Ia mengatakan akan menyerahkan undangan resmi begitu undangan itu selesai dicetak. Audrey mengucapkan selamat, dan Lola sibuk membicarakan betapa lelahnya dia mengurus semua remeh temeh acara pernikahannya.

"Kau menemui Anjani?" tanya Ika begitu dia melirik draf novel di tangan Audrey. "Yah, apa kalian melihat Mbak Anjani. Aku punya janji dengannya siang ini." Jawab Audrey mengedarkan padangannnya ke area lantai 4 tetapi tidak mememukan perempuan berambut coklat itu.

"Dia di ruang 'Colleen Hoover', rapat tim untuk perkembangan bulan ini. Kau menyelesaikan novel lainnya? Anjani pasti senang. Dia kewalahan beberapa hari ini karena Kak Dara belum juga menyelesaikan tulisannya. Kemungkinan dia mengalami written block lagi. Dan kali ini semakin parah." Audrey mendengakan dengan ekspresi simpatik apa yang dikatakan Ika.

Audrey melangkah setelah berbasa basi dengan Ika serta Lola, ia mencari meeting room yang bisa dia tempati. Audrey melirik meeting rooms yang ada di lantai 4. Sekitar 7 meeting rooms. Dan sebagian terisi. Audrey sempat melirik Anjani di salah satu meeting room melalui pintu geser transparan. Setelah mengangguk sedikit, ia berlalu dan memilih masuk ke 'Jane Austine' meeting room. Semua meeting room di lantai ini berdinding kaca. Partisi kacanya menggunakan bahan kaca buram memakai bingkai aluminium, model SN103 dengan lapisan kaca ganda.

Membiarkan pintu gesernya terbuka lebar, Audrey bisa melihat Jono menghapiri, membawa segelas kopi panas pesanannya. Jono yang mengenakan seragam OB yang terlihat bersih, membawa nampan dan melangkah masuk ke ruangan.

"Mbak Audrey, ini kopinya. Jangan langsung di teguk, masih panas," canda Jono dengan nada ramah dan senyum sopan. "Terima kasih pak, kopinya Pak Jono memang tak ada duanya, aromanya saja sudah harum, apa lagi rasanya." Jono terkekeh dengan godaan Audrey, ia menyeruput sedikit demi sedikit kopi hitam di gelasnya dan melirk sekitaran ruangan.

Merasa Anjani akan lama, ia memilih membaca buku yang terusun rapi di rak sudut meeting room. Mengambil novel roomance karya Evelyn Hugo. Dua bab berlanjut dan akhirnya ia merasakan kehadiran Anjani yang melangkah kearahnya.

Ia melirik Anjani yang seolah terseok-seok di setiap langkahnya. Dengan rambut dicepol keatas namun anak rambutnya mencuat dimana-mana, kaca mata di jembatan hidungnya turun beberapa senti, kantung mata yang menghitam. Dilengkapi baju kaos kedodoran, kaki yang diselimuti celana tranining, dan kaus kaki yang terpasang sendal jepit. Dia bukan pemulung atau pengemis di jalan, tapi editor Audrey yang malang.

"Kau habis rapat? Dengan gaya seperti ini? Yang benar saja, mbak," Audrey melirik Anjani yang masuk dan mehempaskan badannya begitu melihat sofa. Meletakan tablet, dokumen dan catatannya di meja. "Mbak, Kau habis mulung dimana dengan gaya seperti ini? Setidaknya pakai bedak dan lipstik, wajahnya mu seperti mayat di sirami formalin. Apa kau mendengarku?"

Audrey menatap Anjani yang membalas dengan erangan lemah, wanita itu merebahkan kepalanya di sandaran sofa dengan mata merah terbuka lebar. Anjani tak bergerak, nyawanya melayang entah kemana. "Aku tak percaya aku memilihmu sebagai editorku..." Audrey memperhatikan Anjani masih tak bergerak dari posisinya. "Apa menurutmu teman kencanmu akan bertahan denganmu jika kamu terus seperti ini?"

"Jangan menggangguku, aku sekarat, benar-benar sekarat kali ini. Aku bahkan tidur 4 jam hari ini. Di rapat aku jadi sasaran Pak Anwar," Erangnya memijit pangkal hidung.

"Kenapa? Karena masalah Mbak Dara lagi?"

"Dari mana kau tahu?"

"Tadi Mbak Ika membiacarakan betapa kacaunya dirimu karena Mbak Dara. Apa separah itu? Apa dia benar-benar tak bisa melanjutkan lagi? Apa masalahnya kali ini?" kata Audrey, "Dan ini draf novel terbaruku," Senyum bangga terukir dibibir Audrey, ia menyerahkan draf novelnya pada Anjani. Dan seketika matanya terbelalak dan penuh energi hidup.

"Kau menyelesaikannya? Aku bersyukur berkatmu Au, kau yang terbaik." Anjani mengambil draf novel itu, membacanya dan kemudian menatap Audrey,"Aku tak yakin, terakhir kali Dara sempat cerita bahwa mertuanya selalu menghalanginya untuk menulis. Mereka sempat adu mulut. Menurut mertuanya menulis bukan pekerjaan, itu hanya hobi. Dia tipe orang tua yang konvensional, berfikir bahwa bekerja itu harus dikantor, bukan dirumah. Sekarang aku tak tahu pasti bagaimana keadaan Dara. Yang jelas semua itu berpengaruh pada tulisannya." Jelas Anjani dan kembali membaca draf ditangannya.

"Akan sangat sulit untuk dia memenuhi tuntutan mertuanya, dia sangat menyukai menulis. Dia salah satu penulis senior di Hamura. Mbak Dara menghasilkan cukup uang untuk dirinya dan keluarganya. Tapi aku bisa melihat dia sangat tertekan dan merasa kalut." Anjani mendesah frustasi karena turut merasakan kekalutan Dara, tapi dia tak berkata apa-apa, dan hanya menyelam dalam kata kata yang tertuang dalam draf Audrey. Dia sibuk, matanya bergerak dengan irama, membaca setiap kalimatnya. Audrey diam, menyesap kembali kopinya dan kembali membaca novel ditangannya.

"Ini menarik!" kata Anjani. Sepertinya draf Audrey sudah mengembalikannya pada hidupnya yang penuh semangat. "Hanya menarik? Tak ada komentar yang lain?" tanya Audrey dengan penuh penasaran. "Kau membuat pertualangan yang berbeda kali ini. Penuh hal mistis. Aku tak tahu kau bisa menggabungkan keduanya dan merangkainya semenarik ini. Aku akan membaca sisanya, jadi review lengkapnya akan aku kirim via email." Anjani menatap Audrey, dahinya berkerut begitu melihat gelas kopi ditangan Audrey. "Apa kau sudah makan siang?" tanya Anjani melihat Audrey yang menyesap kopinya seperti meminum air putih.

"Brunch. Aku butuh kafein saat ini. Karena semalam aku tak tidur cukup. Tapi apa yang akan kau lakukan pada Mbak Dara?" Audrey mengajukan pertanyaan, lalu meneguk lagi kopinya.

Anjani terlihat frustasi. "Aku masih belum tahu, saat ini aku ingin dia tenang dulu. Mungkin aku akan mengunjunginya lagi minggu depan. Oh, dan ini anggaran untuk penerbitan novel kau dua bulan lalu, bagian estimator harga juga sudah ACC," Anjani menarik salah satu map dari tumpukan dokumen yang tadi dibawanya. Lalu menyerahkannya pada Audrey. Audrey menutup novel ditangannya, ia bergerak ke arah rak buku dan menyusunnya di sana.

"Bagian Packaging Design sudah menyelesaikan design sampulnya juga, kau bisa cek di bagian akhir. Kita akan diskusikan sampul mana yang akan digunakan. Untuk saat ini estimasi harga dan jumlah cetakan pertama mungkin akan dibuat sebanyak 8.000 eksemplar. Pak Anwar sudah setuju dengan itu." Jelas Anjani dan meletakan draf novel tadi bersama dokumen lainnya. "Apa kau mau makan siang denganku?" Audrey menggeleng, meneguk habis kopinya lalu meletakkan gelas kopi yang kosong kembali ke meja.

"Tidak, tapi terima kasih atas tawarannya. Aku ingin pulang, tidur..." Audrey beralih membolak-balik setiap halaman dokumen di tangannya dengan wajah bahagia. "Wow, aku tak menyangka akan meraup untung sebanyak ini, kalkulator di kepalaku langsung mendentingkan banyaknya angka nol. Sepertinya aku akan jadi kaya, Mbak...mau ku traktir sesuatu sebelum habis buat bayar pajak." Komentarnya, mengingat pajak penghasilannya tahun lalu membuat dia mati berdiri melaporkannya.

"Kau bisa mentraktirku dengan sup ayammu, atau brownis kukus mu." Anjani menjawab dengan nada mengantuk. Ia merebahkan badannya dan menutup mata lelah. "Oke, deal. Nah, sebelum aku pulang dan kau mulai tertidur disini, aku ingin berbicara denganmu." Audrey mengembalikan dokumen itu pada Anjani, dan menggeser posisinya. Menatap Anjani dengan serius, karena ini berita penting baginya.

"Aku ingin buat novel romance," dan yah kata itu keluar. Bagi Audrey mimpinya adalah membuat novel romance. Karena begitu banyak kisah romantis yang ingin dijalaninya. Tapi tak satupun dia terima di dalam dunia nyata.

***

Semoga pembaca semua suka.

Mohon kirimkan kritik dan saran yang mendukung untuk kelanjutan penulisan. Jangan lupa like, dan commentnya juga ya.

Terima kasih atas kontribusi pembaca sekalian.

Continue Reading

You'll Also Like

17.5K 323 35
Hacker adalah orang yang mempelajari, menganalisis, memodifikasi, menerobos masuk ke dalam komputer dan jaringan komputer, baik untuk keuntungan atau...
3.3K 228 13
Tanpa Ilmu Tidak Akan Mungkin Wanita Menjadi Sholihah As Syaikh Muhammad bin Sholih Al ustmainin رحمه الله berkata "Hendaklah semua wanita mengetahui...
1.2K 105 19
"Kamu tahu, tidak, Ellena, di sini berkembang mitos tentang daun maple." "Apa?" "Katanya, kalau sepasang pria dan wanita kejatuhan daun ini saat musi...
89.2K 4.9K 39
Ini tentang seorang gadis penyuka Fisika namun tidak suka dengan Bhs. Inggris. dia adalah Aileen Aurelia Griselda. Ini tentang Cakra Aryasatya Sapu...