Jatuh Cinta Itu Sia-Sia

De Stephn_

28.9K 4.9K 564

"Tahu apa yang paling nggak pasti di dunia ini?" "Perasaan manusia." • Ini kisah tentang aku; alunan musik bl... Mai multe

Jatuh Cinta Itu Sia-Sia
Prolog
Satu; Dongeng Masa Kecil
Tiga; Permen Karet Dan Celana Sobek
Empat; Terlahir Tak Disukai
Lima; Perasaan Manusia
Enam; Hujan Beserta Ingatan Yang Ditinggalkan
Tujuh; Berteman Dengan Kekalahan
Delapan; Persoalan Yang Tak Terselesaikan
Sembilan; Rumahnya Telah Hilang
Sepuluh; Ikatan Yang Rusak
Sebelas; Seorang Pengecut
Dua Belas; Hidup Sebaik-baiknya

Dua; Semangkuk Bubur Ayam

2.1K 409 40
De Stephn_

Hanyut di dalam duniaku
Binasa seram kelam redup
Perlahan menjerit atas yang kuterima
Dari orang-orang yang tak paham

; Usik, Feby Putri

•••

Semua orang akan pergi, entah karena takdir atau sudah waktunya, direncana maupun yang tak terhindarkan; kematian.

Bagiku, kata pergi bukanlah sesuatu yang tabu. Telingaku sudah sangat akrab mendengar kata itu. Saking akrabnya, dalam setiap pertemuan, aku selalu menganalisa sampai kapan seseorang itu akan tinggal. Apakah satu minggu, satu bulan, atau satu tahun?

Semua orang akan kembali sendirian, entah karena meninggalkan atau ditinggalkan.

Pergi identik dengan sebuah perpisahan. Melahirkan pertanyaan siapa yang lebih dulu meninggalkan. Dalam kasus hidupku, meninggalkan bukan pilihan yang aku miliki. Karena sejak awal, aku tidak pernah memulai sebuah pertemuan. Selalu orang lain yang mengetuk pintuku lebih dulu.

Untuk saling mengenal, untuk menjadi lebih akrab, untuk symbiosis mutualisme, dan untuk ditinggalkan.

Selain tidak pernah memulai sebuah pertemuan, aku juga tidak pernah menahan sebuah kepergian. Aku selalu siap kapan pun seseorang tidak lagi bersedia berjalan bersisian denganku. Selalu siap jika suatu hari nanti... aku kembali sendirian.

Semua orang akan terbiasa, entah karena melupakan atau dilupakan.

Selama dua puluh satu tahun tinggal di bumi, tidak terhitung berapa banyak nama yang tersimpan di memori ingatanku. Tidak terhitung pula berapa banyak nama yang telah melupakanku dengan begitu mudah.

Ada satu fakta menyebalkan dari seseorang yang ditinggalkan; mereka cenderung lebih sulit melupakan. Alasannya sederhana, orang yang meninggalkan telah menyusun rencana untuk pergi. Sedangkan orang yang ditinggalkan tidak pernah atau bahkan tidak berani membayangkan suatu saat dirinya harus menghadapi sebuah kepergian.

Seperti halnya aku yang masih mengingat jelas kenanganku dengan Vinda teman pertamaku di kampus, Mario satu-satunya cowok yang pernah memberiku setangkai bunga mawar di hari kasih sayang, dan Gio anak teknik sipil yang setiap malam minggu mengajakku kuliner.

Aku menyebutnya kenangan. Sebab, kejadian itu sudah lama berlalu. Sekarang Vinda telah menemukan circle pertemanan baru yang lebih keren dan populer, Mario bertemu dengan cewek cantik yang lebih pantas menerima sebuket bunga mawar, dan Gio yang menghilang tanpa kabar. Belakangan aku baru mendapat informasi bahwa Gio berhenti kuliner karena waktu malam minggunya habis untuk menemani kekasihnya jalan-jalan di mall. Padahal saat kami masih akrab dulu, Gio mengaku sangat benci bangunan bertingkat itu.

Singkat cerita, semua orang pergi dan aku menjadi pihak yang ditinggalkan, yang terlupakan. Akhirnya, aku kembali sendirian. Selalu sendirian.

"Bubur ayam spesial pake telur."

Suara Mbah Sri menyeretku dari lamunan. Di meja sudah ada semangkuk bubur ayam hangat yang uapnya masih mengepul di udara dan secangkir teh manis. Comfort food yang hampir setiap pagi menjadi menu sarapanku sebelum menghadapi hari yang panjang.

"Makasih Mbah Sri," ucapku.

Mungkin ini akan terdengar seperti pembelaan, tetapi aku tidak berbohong saat mengatakan aku lebih suka sendirian. Sendiri membuatku bebas. Aku tidak perlu memusingkan perasaan orang lain, meredam ego demi menjadi pendengar yang baik, dan menulis skenario palsu hanya untuk disukai.

Aku menyesap pelan teh manisku sembari diam-diam memerhatikan Mbah Sri yang sedang sibuk meracik semangkuk bubur. Mbah Sri adalah salah satu faktor yang membuatku semakin yakin sendiri tidak selalu berarti buruk.

Tahun ini Mbah Sri genap berusia enam puluh tujuh. Beliau hidup seorang diri tanpa pasangan, anak, maupun sanak saudara. Meskipun sendirian, Mbah Sri terlihat baik-baik saja. Sangat baik, bahkan.

Setiap hari, kesibukan Mbah Sri hanya meracik semangkuk bubur, berkomunikasi dengan pembeli yang datang dan pergi, kemudian kembali pulang ke rumah tepat pukul satu siang.

Meskipun kegiatan Mbah Sri konstan, bukan berarti hidupnya terhindar dari masalah. Pernah suatu waktu aku menemukan Mbah Sri sedang mengeluh karena buburnya terlalu encer. Aku juga pernah mendengar Mbah Sri menghela napas berat mendapati satenya rugi dua tusuk karena ada pembeli yang tidak bertanggung jawab mengambil tanpa membayar.

Namun, masalah-masalah itu memiliki solusi yang pasti. Mbah Sri cukup mengurangi takaran air agar tekstur buburnya tidak terlalu encer. Mbah Sri juga dapat menerapkan peraturan membayar di muka untuk meminimalisir kerugian dari pembeli yang tidak jujur. Akan berbeda cerita jika Mbah Sri tidak memutuskan hidup sendirian. Masalah yang dihadapinya pasti jauh lebih kompleks dibandingkan semangkuk bubur dengan suiran daging ayam, kacang, cakwe, daun bawang, dan kerupuk.

Aku tidak suka sesuatu yang lebih kompleks dari semangkuk bubur ayam. Karenanya, aku enggan menambahkan bahan lain yang kelak hanya akan membuatku kehilangan selera.

***

Prediksi Adam tepat sasaran.

Pagi ini, banyak sekali panitia yang datang terlambat dari jam absensi yang telah disepakati semalam. Ada yang terlambat lima menit, sepuluh menit, dua puluh lima menit, bahkan nyaris satu jam—oknum terakhir ini adalah Piter.

Alasan mereka pun beragam. Mulai dari alasan paling umum; jalan macet, sarapan, sakit perut, barang ketinggalan, motor mogok, sampai halnya alasan yang di luar akal sehat; membantu anjing peliharaan tetangga yang tiba-tiba melahirkan—oknum terakhir ini lagi-lagi adalah Piter.

Tadinya Adam hendak memberikan sanksi pada Piter atas keterlambatan dan alasannya yang tidak masuk akal itu. Tetapi Piter bersikeras membuktikan ucapannya bukan omong kosong dengan menunjukan kantung jas almamaternya yang bernoda merah.

Siapa pun tahu noda itu bukan berasal dari darah, melainkan pulpen merah yang telah lama mengendap di kantung jas almamater Piter. Namun, setelah perdebatan panjang, akhirnya Adam memutuskan untuk mengampuni kesalahan Piter. Entah karena percaya pada cerita laki-laki itu atau malah sudah cukup muak mendengarkan bualannya.

"Padahal kemarin Piter yang koar-koar panitia harus jadi teladan buat mahasiswa baru. Eh, dia sendiri telat," gerutu Bella di tengah-tengah kesibukannya mengepang rambut Selena.

Selena mendengus sinis. "Tuh, pentol korek ikut organisasi tujuannya memang cuma mau ngecengin dedek-dedek gemes."

"Piter bukannya anggota lo, Lun?"

Pertanyaan Bella mengganggu kesibukanku mengamati calon mahasiwa baru—a.k.a calon bual-bualanku satu minggu ke depan—di lobi. "Iya," jawabku seadanya.

"Kalau ada tugas berat kasih ke Piter aja. Biar dia ikutan kerja," usul Selena. "Adam kalau sama Piter agak lembek soalnya. Cuma lo satu-satunya orang yang punya kesempatan buat kasih dia pelajaran."

Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan Selena. Sebenarnya tanpa perlu diminta, aku pasti tidak akan membiarkan Piter maupun seluruh anggotaku memperoleh poin keaktifan mahasiswa secara cuma-cuma.

"Lun, udah sarapan belum?" Rhea menyodorkan kotak bekal berisi dua potong roti tawar dengan selai cokelat padaku. "Mau nggak?"

"Thank's, tapi gue masih kenyang," jawabku

"Memangnya lo udah sarapan?" tanya Rhea.

"Udah tadi makan bubur ayam Mbah Sri."

"Gila, lo berangkat dari rumah pagi banget dong?" Rhea menggelengkan kepala. "Padahal tadi gue denger dari Adam, lo panitia yang dateng pertama. Bahkan sebelum jam absensi."

"Nggak pagi banget," koreksiku. "Berangkat dari rumah sekitar jam enam, terus sarapan bentar, sampe kampus kayaknya jam tujuh kurang lima belas menit."

Rhea menatap tak percaya. "Jam enam gue baru bangun, Lun. Itu juga masih guling-guling dulu di kasur, main handphone sebentar, baru deh mandi."

"Yaelah, kayak kau nggak kenal Luna aja. Hari-hari biasa juga ini cewek selalu dateng pagi. Nggak peduli kelasnya siang atau sore," Fadil berdiri menyempil di antara Rhea dan aku. Lalu, laki-laki itu mencomot roti di dalam kotak bekal Rhea dengan ekspresi tanpa dosa. "Udah kubilang dari awal, dia kayaknya tertarik daftar jadi satpam kampus nemenin Pak Joko."

Sindiran Fadil sukses memecah tawaku. Bukan sebatas lelucon, hampir setiap hari aku memang selalu datang ke kampus saat pagi buta, tidak peduli jadwal kelasnya siang atau sore. Terkadang, aku juga tinggal di kampus hingga petang jika ada kegiatan organisasi atau kerja kelompok. Tidak heran kalau Fadil sering menjuluki aku sebagai satpam kampus. Karena bagiku, kampus sudah seperti rumah kedua.

"Iya, tapi gue masih nggak nyangka aja. Lagian..." Rhea mengacungkan jari telunjuknya ke arah roti yang separuhnya telah dilahap habis oleh Fadil. "Siapa yang bolehin lo makan bekal gue?"

"Tadi bukannya kau sendiri yang nawarin?" Tanya Fadil, mulutnya tidak berhenti mengunyah.

"Gue nawarin Luna bukan lo!" geram Rhea.

"Dih, pilih kasih," Fadil mencibir. "Udah terlanjur juga. Ikhlasin aja."

Aku tidak lagi menyimak perdebatan di antara Rhea dan Fadil. Pandanganku kembali fokus mengamati sekelompok mahasiswa yang sedang duduk di selasar sepanjang koridor dan lobi kampus. Beberapa di antara mereka ada yang sudah berbaur dengan teman baru, membentuk lingkaran kecil untuk bertukar cerita atau sekadar berbincang ringan.

Tetapi, ada juga sebagian mahasiswa yang masih memilih menyendiri. Menjauh dari kerumunan sembari berlagak sibuk dengan ponselnya. Meskipun tidak melihat secara langsung, Kaluna yakin tidak ada hal penting di sana. Mereka hanya sedang berpura-pura. Entah agar tidak dipandang menyedihkan, atau memang sengaja menarik diri.

Tanpa sadar seulas senyuman terukir di bibirku. Menurutku, tidak ada yang lebih menyegarkan dibandingkan hari pertama penerimaan mahasiswa baru. Melihat wajah-wajah asing yang masih berseri-seri tanpa beban, rambut warna-warni seperti itik di pasar, kerah kemeja yang masih kaku menandakan baru dibeli, dan yang paling penting... mereka tak berdaya.

"Pengumuman, semua calon mahasiswa baru dimohon segera berkumpul di aula."

Suara Adam yang terdengar dari pengeras suara menyita perhatianku dan beberapa panitia yang masih berada di gazebo. Kami refleks melirik jam, memastikan Adam tidak terlalu cepat memulai acara.

"Saya ulang sekali lagi. Semua calon mahasiswa baru dimohon segera berkumpul di aula." Suara Adam kembali terdengar.

"Ayo." Rhea menggamit lenganku.

"Bentar," aku meraih jas almamaterku yang menggantung di punggung kursi. "Name tag lo udah?"

Rhea menunjuk saku almamaternya. "Nanti aja pasangnya. Fadil, Bella, sama Selena juga belum, kok."

Aku mengangguk seraya berjalan bersisian dengan Rhea masuk ke dalam aula, menyusul panitia lain yang sudah berbaris rapi di depan, siap menyambut calon mahasiswa baru.

Sama seperti sebelumnya, mataku bergerak teliti. Memindai satu-persatu wajah mahasiswa baru sambil menduga-duga siapa pembuat onar yang akan lebih sering berhadapan denganku.

Rhea menyikut pelan lengan Kaluna. "Biasa aja kali lihatinnya."

"Gue biasa aja."

"Biasa aja tapi dikit lagi bola mata kau keluar dari rongga," Fadil berdecak. "Kau sengaja mau bikin mereka kabur di hari pertama?"

Aku mengedikkan bahu. "Kampus hukum nggak butuh mahasiswa mental tempe."

Fadil dan Rhea sontak saling melirik. Sedetik kemudian, keduanya kompak menggelengkan kepala.

"Bener kata Adam. Kayaknya lo bakal dapet vote terbanyak kategori panitia tergalak lagi tahun ini," ujar Rhea.

"Kau nggak tertarik ubah nasib, Lun?" Fadil mengedikkan dagu. "Coba kau tengok Felicia. Baru hari pertama udah banyak kali fansnya."

Aku dan Rhea refleks mengikuti ke mana arah pandangan Fadil pergi.

Di baris kelima kelompok mahasiswa, terlihat sosok Felicia sedang membagikan buku saku bertuliskan Inisiasi Fakultas Hukum Universitas Gama Jaya Angkatan 2016. Felicia membagikan buku tersebut dengan senyuman secerah matahari terbit. Memamerkan lesung pipinya yang sangat populer di kalangan kakak tingkat—sekarang mahasiswa baru juga.

Jika dibandingkan dengan Felicia, aku memang tidak ada apa-apanya. Dari segi penampilan, kami memiliki perbedaan yang sangat kontras. Felicia adalah tipe tokoh utama dalam sebuah cerita. Wajahnya cantik seperti boneka, langsing, tubuh mungil, kulit seputih persolen, rambut panjang bergelombang yang diwarna cokelat terang, dan mempunyai selera fashion yang bagus.

Sedangkan aku adalah tipe tokoh pendamping yang tidak mencolok. Aku tidak terlalu cantik—setidaknya, ini keyakinanku sendiri. Wajahku tirus berbentuk hati dengan tulang pipi tinggi, hidung terlalu mancung, mata sipit namun selalu menyorot tajam, bibir tipis yang tidak pernah absen menyunggingkan senyuman sinis, dan kulit kuning langsat. Tubuhku langsing nyaris kurus, dan tinggi badanku di atas rata-rata cewek sepantaranku.

Selain itu, aku tidak tertarik dengan perkembangan fashion dari masa ke masa. Sejak masih duduk di bangku SMP sampai sekarang kuliah semester lima, aku tidak pernah mengubah model rambutku. Tetap panjang, hitam, lurus, dan datar. Gaya busanaku pun tidak jauh-jauh dari kemeja, kaus, dan celana jeans.

Terlepas dari penampilan maupun selera fashion, aku dan Felicia memiliki karakter yang sangat bertolak belakang. Aku dikenal jutek, dingin, dan galak. Sedangkan Felicia dikenal ramah, hangat, dan penyabar.

Gadis musim dingin versus gadis musim semi. Begitulah cara orang-orang menjuluki kami.

"Bagak hian..." puji Fadil, masih menatap lekat Felicia. Bibirnya menyunggingkan senyuman bodoh, percis seperti ekspresi yang ditampilkan oleh hampir tujuh puluh lima persen kaum adam di ruangan ini.

Melihat Fadil, aku tergerak ingin menggoda. Tetapi, saat mendengar suara Selena memanggil namaku melalui handy talky, aku mengurungkan niat.

"Kenapa, Sel?" tanyaku.

"Tolong bantu gue," pinta Selena dari seberang. "Kelompok sepuluh agak rusuh."

Sebagai ketua divisi keamanan, mahasiswa rusuh memang sudah menjadi santapan empuk untukku. Selain menjaga ketertiban, divisiku juga bertugas untuk membuat para mahasiswa baru menghormati panitia. Bukan bermaksud senioritas, semuanya kembali pada pelajaran dasar etika sopan santun.

Aku mendekatkan bibirku ke handy talky. "Oke, gue ke sana sekarang."

***

"Bisa diem nggak?!"

Suasana yang semula riuh mendadak senyap. Bukan hanya anggota kelompok sepuluh yang dibuat terkejut, hampir semua mata kini tertuju padaku. Pekikanku barusan nyaris sebanding dengan pengeras suara, membuat Adam selaku ketua panitia inisiasi—yang semula sedang menyampaikan penjelasan terkait materi dalam buku saku—seketika menghentikan aktivitasnya.

Aku menatap tajam kelompok mahasiswa yang berbaris di hadapanku. "Cuma panitia yang boleh bicara di sini. Paham?"

Masih hening.

"Paham nggak?!" Nada suaraku meninggi.

"Paham, Kak!" ucap anggota kelompok sepuluh nyaris serempak.

Memastikan keadaan telah membaik, aku menghampiri Selena. "Nanti gue minta Robin jaga di sini. Kalau ada apa-apa langsung lapor ke dia aja."

Selena menghela napas lega. "Makasih Kaluna."

Aku menepuk sekilas lengan Selena sebelum kembali ke tempatku seharusnya berada. Dalam perjalanan pandanganku tidak sengaja bertemu mata dengan Adam. Meskipun samar, aku dapat melihat jelas laki-laki  yang sedang berada di atas podium itu menyunggingkan senyuman tipis. Seolah ingin berterima kasih karena aku telah membantunya menertibkan mahasiswa.

Aku hanya mengangguk singkat sebagai balasan.

"Makin kenceng aja suara lo," puji Bella di tengah kesibukannya mengedarkan buku absen.

"Nggak sekenceng suara ketawanya Piter." Aku menatap malas Piter. Anggotaku yang satu itu bukannya menjaga keamanan malah asik bergurau dengan mahasiswi baru. Kalau bukan karena Adam yang menentukan, mana mungkin aku bersedia mendapatkan anggota tidak berguna seperti laki-laki itu.

Tapi kalau dipikir-pikir kembali, bukan hanya Piter saja yang menyimpan maksud terselubung. Beberapa atau bahkan, banyak panitia yang berlomba-lomba mendaftar panitia inisiasi hanya untuk tebar pesona dengan calon mahasiswa baru. Acara sakral ini entah sejak kapan telah disulap menjadi ajang pencarian jodoh. Terutama di kalangan mahasiswa semester tua yang masih belum memiliki pacar. Kebanyakan dari mereka takut menyandang predikat STMJ; Semester Tujuh Masih Jomlo.

Aku menekan tombol hijau di handy talky. "Piter, jaga kelompok sepuluh."

Terdengar keluhan dari seberang. "Udah ada Robin. Nanti rame banget kalau gue ikutan jaga di sana."

"Yaudah, kalau gitu lo jaga luar aja."

"Eh, boleh?" Suara Piter berubah bersemangat.

"Boleh," balasku. "Entar sekalian nama lo gue keluarin dari daftar anggota."

Jawabanku membuat beberapa panitia—yang sejak tadi menyimak perdebatan mereka melalui handy talky—menahan tawa. Sementara Piter langsung menampilkan ekspresi masam.

Piter menghela napas berat. "Gue jagain Robin."

Aku tersenyum puas melihat Piter berjalan gontai menghampiri Robin. Sebagai ketua, aku selalu memastikan tidak ada anggotaku yang menjadi benalu demi poin keaktifan mahasiswa. Mungkin karena alasan itulah aku dipercaya menjabat sebagai ketua divisi keamanan selama dua periode berturut-turut.

"Lun, gue punya sesuatu buat lo," Bella menyodorkan buku absen padaku. "Pasti lo suka."

Aku mengambil alih buku tersebut. "Suka apa?"

"Lihat aja sendiri."

Mulanya aku tidak mengerti maksud Bella. Tidak ada yang aneh di dalamnya, hanya berisi tabel nama dan tanda tangan mahasiswa. Sampai akhirnya aku membalik lembaran kedua. Pandanganku langsung terjatuh pada kolom terakhir. Kolom tersebut cukup mencolok, karena di antara kolom yang lain, hanya kolom itu yang masih kosong tanpa tanda tangan dari pemiliknya.

Bella menyeringai jahil. "Nggak dateng di hari pertama inisiasi. Kira-kira enaknya diapain, ya?"

Kerutan di keningku seketika sirna. Ujung bibirku tertarik ke atas, melukis seringaian yang tak kalah jahil dengan milik Bella—sedikit lebih menyeramkan milikku, bahkan. Aku segera meraih notes dan pulpen dari saku jas almamater. Tanpa ragu menyalin nama pemilik kolom yang masih kosong itu ke dalam daftar hitamku.

Kenan Sadajiwa.

***

Terima kasih sudah bersedia mampir. Jika suka boleh tinggalkan jejak bintang atau komentar untuk penyemangatku 🥰⭐️

Terima kasih juga yang sudah meluangkan waktu untuk membaca cerita ini meski tidak bersuara sama sekali

I love you pake banget diulang tiga kali ♥️

Continuă lectura

O să-ți placă și

2.6M 39.7K 51
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
100K 18.1K 46
Saat pertama kali aku melihatnya, ia sedang berdiri di lapangan terbuka, bermandikan cahaya senja. Kepala yang mendongak menatap langit, dan bibir ya...
17M 766K 44
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
4.8K 1.1K 33
"Aku tidak suka gadis bodoh." Adam dan Naira yang kini beranjak dewasa dan memasuki masa-masa indah selama di SMA. Menjalani kehidupan dari masa rema...