ABOUT FEELINGS [END]

De papeda_

103K 5.8K 625

PART MASIH LENGKAP! JANGAN LUPA FOLLOW SEBELUM MEMBACA⚠️ *** Auva Ileana, seorang gadis cantik yang mengagumi... Mais

00 - AF
01 - AF
02 - AF
03 - AF
04 - AF
05 - AF
06 - AF
07 - AF
08 - AF
09 - AF
10 - AF
11 - AF
12 - AF
13 - AF
14 - AF
15 - AF
16 - AF
17 - AF
18 - AF
19 - AF
20 - AF
21 - AF
22 - AF
23 - AF
24 - AF
25 - AF
26 - AF
27 - AF
28 - AF
29 - AF
30 - AF
31 - AF
32 - AF
33 - AF
34 - AF
35 - AF
36 - AF
37 - AF
38 - AF
39 - AF
40 - AF
41 - AF
42 - AF
43 - AF
44 - AF
45 - AF
46 - AF
47 - AF
49 - AF
50 - AF
51 - AF
52 - AF
53 - AF
54 - AF
55 - AF
ANNOUNCEMENT

48 - AF

919 65 10
De papeda_

Seorang pria dewasa dengan wajah yang penuh dengan amarah memasuki rumahnya. Satrio merasa gelisah dan khawatir terhadap putri pertamanya yang tiba-tiba hilang begitu saja. Perasaannya semakin kacau ketika pintu kamar sang anak terbuka.

Dengan tergesa, Satrio melangkahkan kakinya menuju ruang kerja pribadinya, diikuti oleh delapan orang remaja lainnya. Saat sampai di ruang kerja, Satrio menyuruh mereka semua untuk berdiri secara sejajar. Kini Satrio tengah berhadapan dengan mereka, berdiri dengan berkacak pinggang sambil menatap satu persatu wajahnya.

Plak!

Semua orang yang mendengar itu lantas terdiam, matanya membulat ketika mereka mengetahui bahwa Satrio baru saja menampar Alvan di hadapan mereka. Suara tamparan menciptakan keheningan tegang di ruangan.

"Saya sudah berusaha percaya dengan kamu, Alvan. Tapi mengapa anak saya bisa hilang diculik, padahal dia masih bersama kalian!" Satrio mengeluarkan kata-kata penuh dengan kekecewaan, suaranya bergema di ruang kerja yang tegang.

Alvan yang mendapat tamparan itu hanya bisa diam, pipinya memang perih, tetapi tidak sebanding dengan rasa takut pada diri Satrio yang kehilangan putrinya. Wajahnya mencerminkan penyesalan, dan matanya yang penuh dengan ketidakpastian.

"Ayah.. tenang dulu." Satrio yang mendengar itu langsung memundurkan langkahnya, menatap remeh pada segerombolan remaja tersebut. Wajahnya terpancar amarah yang mendalam.

"Kamu kenal saya itu bukan sebulan dua bulan, Arjun, seharusnya kamu tau watak saya seperti apa!" tegur Satrio dengan nada tegas, menciptakan aura ketegangan di ruangan.

Arjun mendengar itu mendadak diam, dirinya tahu betul bahwasanya sifat Satrio itu arogan. Hanya pada keluarganya Satrio akan bersikap hangat, berbeda ketika Satrio sudah keluar dari rumah dirinya akan menjadi seperti ini.

Auva, yang bahkan notabenya anak kandung Satrio, tidak mengetahui bahwa sang ayah mempunyai sikap yang arogan dan tidak suka dibantah. Mengapa Satrio bisa berbicara seperti itu kepada Arjun? Karena pada saat Satrio mencoba untuk melumpuhkan lawan bisnisnya, tidak sengaja Arjun mengetahuinya. Rasa penasaran dan keingintahuannya membuatnya terjerat dalam situasi yang rumit.

Bukannya merasa takut karena kepergok oleh sang ponakan, Satrio malah tersenyum dan merangkul Arjun. Bahkan, dia memiliki ruang eksekusi sendiri bagi siapa pun yang membuat kesalahan dengannya. Suasana menjadi tegang dengan senyum yang lebih mirip ancaman.

Jelas saja, hal ini membuat Arjun semakin takut pada sosok pamannya itu. Dari situ, ia merasa sedikit gentar ketika bertemu Satrio di luar kawasan rumah.

"Kenapa diam? Baru menyadari itu?" Satrio menyeringai, lalu duduk di kursi kerja sembari menatap tajam mereka, menciptakan ketegangan di ruangan.

Satrio merasa sedikit tenang ketika mengetahui sang istri kini berada di rumah sang mertua. Dirinya bisa leluasa menampilkan sisi gelapnya tanpa membuat sang istri takut. Keberadaan istri di rumah orang tua memberinya kebebasan untuk menunjukkan wajahnya yang lebih tegas dan tanpa ampun.

"Sekarang, saya tugaskan kepada kalian semua untuk membawa putri saya kembali. Terserah bagaimana cara yang kalian pakai, saya tidak akan peduli." Satrio tersenyum tipis melihat mereka dengan tatapan serius.

"Saya hanya ingin Auva kembali ke dalam dekapan saya. Jika, kalian semua gagal membawa Auva pulang, maka bersiaplah dengan konsekuensi yang akan saya berikan." Lanjut Satrio, mendengar itu, Liam menganggukan kepalanya dengan serius.

"Kami semua akan terima konsekuensinya apa pun dari om, kami akan siap jika memang kami tidak berhasil menemukan Auva." Satrio mengangguk, mengapresiasi ketegasan Liam.

"Bagus, saya akan dengan senang hati mempersiapkan ruang eksekusi sekarang juga. Bila mana nanti, kalian gagal menemukan Auva." Arjun yang mendengar itu membulatkan matanya, dia tahu betul tempat itu. Tempat di mana Satrio melakukan aksinya, menciptakan ketidakpastian di antara mereka.

"Dan untukmu, Alvan, jika kali ini kamu gagal ... saya akan menarik restu untukmu dan melarangmu untuk berhubungan dengan putri saya. Bahkan, saya tidak akan segan membawanya pergi dari hidupmu." Lanjutnya, sembari tersenyum puas ke arah Alvan yang kini menatap datar pada dirinya.

"Kali ini saya tidak akan berjanji apa pun pada om, tapi saya akan langsung membuktikan bahwa kami semua akan membawa Auva kembali di hadapan om Satrio." Alvan menyampaikan dengan mantap, dan Satrio tersenyum miring, lalu mengangguki ucapan dari Alvan.

"Saya pegang omonganmu, Alvan." Alvan dengan cepat menjawab iya, lalu berpamitan untuk menuju markas. Kini, ruangan kerja milik Satrio tersisa Arjun saja.

Arjun mengambil posisi duduk di sofa yang tersedia di ruangan itu. Dia mencoba mengabari teman tongkrongannya untuk membantu mencari keberadaan Auva. Suasana tegang dan kekhawatiran masih terasa di udara.

Satrio, kini tenggelam dalam urusannya dengan laptop, terlihat sepenuhnya terfokus, entah itu masalah pekerjaan atau hal lain yang tak diketahui Arjun. Aura intimidasi dari Satrio membuat Arjun merasa tidak betah disana berlama-lama.

Dengan cepat, Arjun bangkit dari duduknya dan berpamitan pada Satrio. Melihat itu, Satrio tersenyum miring dan melanjutkan pekerjaannya tanpa mengalihkan perhatiannya.

Di sisi lain, mereka semua memasuki markas dengan perasaan campur aduk. Alvan bergegas memasuki ruangannya dengan gesekan pintu yang keras, membuat semua anggota terkejut.

Tak seperti biasanya, Alvan membanting pintu dengan kekuatan yang luar biasa, dan aura kemarahan terasa sekali saat ia melangkah menaiki anak tangga. Suasana tegang dan misterius menyelimuti markas mereka.

"Bang Alvan kenapa dah, kayak emosi gitu?" Pertanyaan dari seorang pemuda berkulit eksotis itu lantas diangguki oleh yang lain, ekspresi penasaran melingkupi wajah mereka.

Mereka juga bertanya-tanya mengapa Alvan terlihat sangat marah? Akan tetapi, bukannya jawaban yang mereka dapat, justru malah sebuah pertanyaan dari Abyaz yang mereka dengar.

"Lo pada di sini mau nginep? Kagak pulang kayak biasa?"

"Si alien malah balik nanya," cibir pemuda itu, menciptakan atmosfer kebingungan dan kejutan di antara mereka.

Lalu, dari arah dapur datang pemuda tinggi membawa sebuah nampan dengan mie instan yang cukup banyak. Pemuda itu tersenyum seperti biasa.

"Oy, udah balik lo. Sini makan dulu, gua buat mie indomie sebaskom nih."

Para anggota inti Bradiz hanya bisa mengikuti ucapan pemuda yang bernama Tio itu. Mereka semua kini sudah bersiap untuk menyantap hidangan itu. Meski mie instan, tetapi dimakan beramai-ramai itu lebih seru, karena siapa cepat dia paling banyak makannya.

"Muka kalian pulang dari wahana kaya tinggal raga doang, udah pucet, kagak ada suara kayak biasa." Pemuda berkulit eksotis itu memulai obrolan, merasa heran mengapa teman-temannya ini seperti mayat. Suasana santai mulai tercipta di antara mereka.

"Haikal, lo itu gak boleh kaya gitu, meski ucapan lo bener." Mendengar itu, para anggota inti menatap mie tanpa minat, terlebih lagi Naka, yang bahkan tidak menyentuh alat makannya sama sekali.

"Paling nyawanya ketinggalan, noh Naka ampe bengong gitu."

Mereka semua sontak memandang Naka yang kini diam. Namun, mereka tahu sorot mata Naka memancar kesedihan, membuat suasana menjadi hening. Dari lantai dua, Alvan turun dengan tergesa-gesa, bahkan dirinya sudah berganti pakaian.

Mereka sempat melihat kulit Alvan yang memerah pada bagian pipi kirinya, sangat kontras dengan kulit Alvan yang putih itu. Saat sampai di lantai bawah, Alvan menatap mereka dengan pandangan yang sangat dingin.

"Bagus setidaknya kalian masih bisa makan." Sontak membuat mereka semua terdiam, ada apa dengan Alvan? Itu yang ada dalam benak anggota lain.

"Lo mau ke mana Al, malem-malem gini?"

Mendengar pertanyaan dari anggota lain membuat Alvan berhenti melangkah, lalu dirinya berbalik badan dan tersenyum miring.

"Nganterin ajal gua, kenapa mau ikut?" Alvan menjawab dengan nada santai. Namun, ada kesan serius dalam kata-katanya.

Liam yang mendengar itu lantas bangkit dari duduknya, menatap Alvan dengan pandangan tak percayanya itu.

"Lo malem-malem gini mau nyamperin kandang macan sendirian?" Alvan dengan santai mengangguk.

"Mending lo pada makan dah, gua cabut." Namun, belum sempat melangkah, Alvan kembali membalikan badannya dan menatap Ezra.

"Oh iya satu lagi, iPad lo enggak sengaja gua pecahin. Gua ganti nanti, gua pergi." Tanpa menghiraukan panggilan dari teman-temannya, Alvan bergegas meninggalkan markas menggunakan motor. Anggota Bradiz yang tersisa hanya bisa memandang kepergian Alvan dengan rasa bingung dan keheranan.

Liam berusaha ingin mengejar Alvan. Akan tetapi karena pertanyaan dari yang lain membuat kunci motonya yang diambil alih oleh Tio, Liam menjadi kesal karena tidak bisa mengejar motor Alvan.

"Lo pada ngapain sih anjir?! Gua jadi enggak bisa ngejer Alvan." Liam kesal karena kunci motornya berada di tangan Tio, sedangkan yang lain berusaha menenangkan Naka yang tiba-tiba mengamuk.

"Ya lo jelasin dulu apa yang udah terjadi, gua dan yang lain gak ngerti kenapa lo pada dateng-dateng udah kayak orang musuhan," ucap Tio secara menggebu-gebu. Mendengar itu, Liam mengacak-ngacak rambutnya.

"Oke gua jelasin, tapi balikin kunci motor gua." Tio dengan cepat menyerahkan kunci motor tersebut, lalu Liam mengajak mereka semua untuk masuk dan menjelaskan kejadian yang sudah terjadi. Anggota Bradiz yang lain duduk dengan serius, mencoba memahami situasi yang sedang terjadi.

Akhirnya, mereka semua duduk menunggu penjelasan dari sang ketua, suasana tampak tegang, terlebih lagi Naka sejak tadi diam tanpa berucap satu kata.

"Gua jelasin yang pentingnya aja, intinya sekarang Auva hilang. Dia kemungkinan diculik entah sama siapa, dan itu membuat Alvan emosi. Sekarang kemungkinan Alvan bakal nyari keberadaan Katian di luar sana. Makanya gua mau ngejer, tapi brengseknya si Tio malah ngambil kunci motor gua." Penjelasan singkat itu membuat ruangan ricuh, terlebih lagi Haikal.

"Kok bisa, woi?!"

"Auva? Ilang, diculik? Gila!" Haikal terlihat marah dan kesal mendengar berita tersebut.

"Kita juga enggak tahu kenapa Auva bisa hilang, dan ya sekarang Alvan berusaha mencari keberadaan Auva yang emang kemungkinan besar ada di tangan Katian." Ezra membuka suara, padahal sedari tadi dirinya mencoba menahan rasa kesal mengingat iPadnya hancur di tangan Alvan.

"Tapi bang ini udah larut malam, gak mungkin kita nyari di keadaan kayak gini." Mereka semua mengangguki ucapan dari Raju. Walaupun sejujurnya mereka ingin mengikuti Alvan, tapi keadaan tidak mendukung.

"Kita hanya bisa berharap keadaan Auva di mana pun itu selalu baik. Sekarang lebih baik kalian istirahat, gua bakal coba bantu cari Auva lewat koneksi." Mereka semua mengangguki ucapan dari Liam, tetapi tidak menutup kemungkinan mereka akan beristirahat dengan santai. Pasti pikiran mereka akan ke mana-mana.

Pertanyaan yang sama di benak mereka semua, di mana Auva? Dan mengapa Auva diculik? Mereka hanya bisa membantu seadanya saja. Suasana tegang masih terasa di ruangan itu.

"Si Jefri ke mana? Tumben gua enggak liat tuh bocah." Zaidan menyadari anggotanya tidak ada dari kemarin, biasanya jika di markas Jefri akan sangat lengket dengan Tio dan akan menjadi sasaran oleh Haikal dan juga Dika.

"Sejujurnya, gua sendiri juga kagak tau kemana tuh bocah, bilangnya sih terakhir mau jengukin nyokap." Penjelasan dari Tio membuat mereka semua mengangguk paham.

"Tapi kok aneh udah dua harian kagak bisa dikabarin," celetuk Haikal.

"Biasanya Jefri bakal gampang dihubungi, terus bakal marah-marah gak jelas ditelepon," imbuh Dika, mendengar itu beberapa dari mereka saling melempar candaan yang mengatakan bahwa sebenernya Haikal dan juga Dika merindukan Jefri.

"Siapa tahu dia ketemu pacar," ejek Raju dengan candaan rendah, membuat suasana kembali riuh dengan tawa. Akan tetapi di balik itu semua, Naka masih terdiam, merenung, dan sepertinya terlalu serius untuk ikut berbaur dalam obrolan ringan mereka.

Dan sebagian berpikir ada yang aneh dari ini semua, kenapa Jefri susah untuk dihubungi? Zaidan menjadi diam, dirinya pernah melihat sekilas Jefri yang waktu itu bersama dengan perempuan. Tetapi siapa?

Namun, dirinya tetap mencoba untuk berfikir positif, mungkin itu orang yang mirip dengan Jefri. Iya mungkin hanya kebetulan, sekarang dia memikirkan ke mana Alvan pergi, apa dia beneran menemui Katian seorang diri?

Sejenak, Zaidan menggumamkan doa untuk Auva, berharap dia baik-baik saja di mana pun dia berada. Pikiran Zaidan terus melayang, memikirkan kemungkinan terburuk dan terbaik sekaligus.

"Auva, semoga lo di sana baik-baik aja," gumam Zaidan dengan nada perasaan. Dalam keheningan, suasana tetap tegang di markas Bradiz, seperti mereka merasakan bahwa ada sesuatu yang belum terungkap di balik semua ini.

ー ABOUT FEELINGS ー

Continue lendo

Você também vai gostar

10K 955 32
Arafka Abidzar Cakranegara, seorang yang dikenal sebagai King Playboy di SMA Halley. Mantannya sudah bertebaran di mana-mana. Tapi Rafka bukan playbo...
73.1K 3.6K 16
Lanjutan Effort! Dan sisanya pindah ke karyakarsa Wajib baca yang sebelumnya. Tapi kalau mau langsung baca terpisah, boleh. Hati - hati pusing saat b...
617K 32.8K 66
•~•~•~•~•~•~•~•~~•~•~•~•~• "Ayah minta tolong ke Shena, pertimbangin permintaan Ayah kemaren." Paham akan maksud arah pembicaraan Zet, Shena masih di...
Anna De ImaASNR

Ficção Adolescente

991 107 20
[Teenfict - Romance] «« Vannaya Aphroditya »» Semua orang selalu memimpikan hidup yang bahagia, begitupun dengan Anna. Terutama untuk hal hal yang me...