Jevian

By Nonatypo

46.3K 5.6K 7.5K

[Sicklit, Angst] [SEBELUM BACA, JANGAN LUPA FOLLOW!] ••• "Kira-kira, bagian mana ya, yang Tuhan tunjukkan ke... More

00. Awal Dari Segalanya
1: Jevian dan Lukanya
2• Shaqueen Agatha Pricilla
3• Rumah Yang Tak Ramah
4• Sudahkah Bersyukur?
5• Dunia Terasa Sempit
6• Rindu Tak Berujung Temu
7• Meet Again
8. New Friendship
9. Khawatir
11. Dia Yang Cantik Dari Segala Hal.
12. Seamin Tak Seiman
13. Luka Yang Mendekap Raga
14. Karena, Bunga Yang Gugur Pun Akan Tumbuh Kelopak Baru
15. Maaf, Jika Belum Seturut Yang DiPinta
16. Terima kasih, Jevian.
17. Dia yang Kembali
18. Hati Yang Kembali Rapuh
19. Hanya Butuh Sudut Pandang Baru
20. Pasalnya, Kita Juga Sama-sama Hancur
21• Hujan dan Hal Yang di Simpan
22• Pada Luka, Yang Berujung Duka
23. Harusnya, aku aja yang mati 'kan, Pa?
24. Aku Anak Papa, Kan?
25. Sisi Rapuh Yang Tidak Pernah Ditampakkan
26 Dia yang Menghilang Tanpa Meninggalkan Jejak
27. Masing-masing Dari Kita, Memiliki Luka Yang Berbeda

10. Insecure

1.1K 203 259
By Nonatypo


“Rasa percaya diri tumbuh bukan karena sebuah pilihan, melainkan karena sebuah penerimaan.”

˙❥Happy reading❥˙
______________________

Sudah sekitar lima belas menit. Akhirnya Shaqueen terbangun. Disana sudah tampak Aksa yang berada di samping ranjang sembari menggenggam erat tanganya. Ada juga Jevian yang tengah berdiri di sebelah Aksa, dan Mahen yang bersandar di dinding.

"Eungh..." lenguh Shaqueen yang baru saja terbangun. Gadis itu mengucek matanya. Menatap kearah samping ternyata sudah terdapat dua orang lelaki tampan di samping ranjang.

"Kamu gapapa, sayang?" tanya Aksa dengan cepat.

Shaqueen menggeleng sembari melepaskan tangannya dari genggaman Aksa. Lelaki itu menaikkan satu alisnya. Ada apa dengan wanitanya?

"Kenapa?"

Shaqueen hanya tersenyum tipis. "Ck, aku kira kamu lupa kalo aku ada disini." Lalu setelah nya Shaqueen memalingkan wajahnya dari hadapan Aksa. Jujur saja dia masih sangat begitu kesal kepada lelaki itu.

Terdengar helaan napas kasar dari laki-laki di sampingnya. Wajahnya menunduk tak berani menatap wajah Shaqueen seperti tadi. Lelaki itu sadar bahwa dia salah. Dia sudah mengingkari janjinya untuk menjemput Shaqueen.

"Sha... Sorry, handphone aku lowbat. Aku lupa charger. Maaf juga aku lupa jemput kamu. Aku buru-buru tadi," ucap Akasa berusaha menjelaskan.

Gadis itu tak peduli dengan alasan apapun, yang Aksa jelaskan kepadanya. Dia benar-benar kelewat kesal, apalagi setelah mengingat kejadian beberapa jam yang lalu, yang berhasil membuat asmanya kambuh dan berkahir tumbang di toilet.

Sebenernya, Shaqueen masih kesal kepada Jevian. Karena, hal yang membuatnya seperti ini karena ulah wanita gila yang kemungkinan kekasih lelaki itu. Namun, ia juga sadar, yang sudah membawanya ke UKS adalah Jevian. Jadi, ia mengurungkan niat mengomelnya dan justru mengajak lelaki itu untuk pergi keluar.

"Jevi, ayo kita pulang!" seru Shaqueen tanpa menghiraukan Aksa di sana.

Jevian hanya berdecak kesal. Lagi-lagi gadis itu seenak jidat merubah namanya. Apa kurang jelas yang dia ucapkan tadi di koridor? Atau memang hobi wanita itu adalah mengganti nama orang. Dasar, gadis menyebalkan.

Berbeda dengan Aksa, lelaki itu justru hanya bisa terdiam dan menghela napas panjang. Bagaimana pun, dia tidak bisa marah karena apa yang Shaqueen lakukan tidak sepenuhnya salah. Justru, di sini yang salah adalah dirinya.

"Aku aja yang Anter kamu pulang, ya?" pinta Aksa dengan raut wajah memohon.

"Gak usah. Dia datang sama gue, berarti balik juga sama gue," timpal Jevian sembari menarik tangan Shaqueen.

Aksa hanya tersenyum tipis. "Lo siapa? Dia cewek gue!" Sahutnya. "Jadi, lo gak berhak untuk ngelakuin apapun."

Jevian hanya memutar bola matanya. "Gue emang bukan siapa-siapanya. Tapi, gue orang pertama yang selalu ada disaat dia butuh," sahut Jevian yang berhasil membuat Aksa terdiam. "Sedangkan lo? Bisa-bisanya lo lupa kalo hari ini cewek lo masuk ke sekolah barunya. Cowok macam apa?"

Aksa hanya berdecak kesal, jujur rasanya dia ingin menonjok mulut Jevian. Jika saja ini bukan di area sekolah, sudah sedari tadi dia ingin melakukan hal itu. Jadi, Aksa hanya bisa terdiam dan menatap nyalang ke arah Jevian. Namun, saat sang netra tak sengaja melihat kearah depan, dia tak sengaja menatap tangan Jevian yang sedang menggenggam erat tangan wanitanya. Hal itu semakin membuat Aksa semakin mengeratkan kepalan tangannya.

Aksa mulai berjalan mendekat dan melepaskan genggaman Jevian dari tangan Shaqueen dengan paksa. Namun, hal tersebut tak sepenuhnya bisa terlepas dengan begitu mudah. Tanpa banyak berbicara panjang lebar, karena memang untuk saat ini dia sangat tidak mood untuk berbicara dan meladeni Aksa. Jevian lebih memilih mengeratkan genggaman-nya, dan menarik Shaqueen ke sampingnya.

"Lepasin tangan lo dari cewek gue, brengsek!" pekik Aksa dengan emosi. Sedangkan Jevian tak memedulikan itu, dia malah berlenggang keluar. Namun nyatanya Aksa juga tak kalah cepat menahan lengan Shaqueen erat.

"Akh... Sakit. Apaansih lo berdua!" protes Shaqueen sembari menggibaskan tangannya dari cekalan Jevian dan Aksa. "Kaya anak kecil tau gak sih? tolong banget. Gue lagi pusing, gak usah bikin tambah pusing. Kalo mau berantem. Berantem aja sana di luar!" lanjut Shaqueen dengan kesabaran yang sudah tidak dapat dia tahan lagi.

Aksa dan Jevian hanya geming. Keduanya hanya saling melempar tatapan tajam satu sama lain. Mahen hanya bisa menghela napasnya panjang. Dua orang lelaki itu jika bertemu selalu seperti ini, tidak pernah akur.

"Hen, ayo balik!" seru Shaqueen kepada Mahen yang hanya menyimak dari tadi.

Mahen terperenjat saat Shaqueen menggandeng tangannya. Bukan karena itu, tetapi karena Jevian dan Aksa menatapnya dengan tatapan yang nyalang. Karena,  pasalnya mereka berdua tidak mengetahui bahwa Mahen dan Shaqueen ini sepupuan.

Mahen hanya tersenyum, tersirat sedikit rasa ingin menjahili dua orang lelaki di hadapannya. Dia mulai menggenggam tangan Shaqueen dan merangkul gadis itu sembari membisikan agar sepupunya ini bisa untuk di ajak bekerjasama. "Mereka gak tahu kalo kita sepupuan. so let's pretend!"

Shaqueen hanya pasrah saja dengan ide gila dari saudaranya ini. Tapi, ini tidak terlalu buruk bukan? Toh, Aksa juga tadi bisa berbicara dengan mantannya.

"Heh bule, singkirin tangan lo dari pundak cewek gue!" pekik Aksa .

Mahen hanya menggelengkan kepalanya. "Why? Kalo gue gak mau gimana?"

Jevian hanya memutar bola matanya. "Gue bilangin ke, Nara."

Mahen hanya tersenyum. "Laporin aja, cewek gue mah orangnya gak gampang cemburu," sahutnya dengan santai.

"Brengsek lo!" umpat Jevian.

Hal itu membuat Shaqueen merasa kesal. "STOP! GUE SAMA MAHEN INI SEPUPUAN!" teriak Shaqueen. Karena jujur saja kepalanya saat ini memang sangat pusing.

Setelah mendengar pernyataan dari gadis itu, kini Jevian dan Aksa perlahan memundurkan langkahnya. Sedangkan Mahen, lelaki itua sibuk tertawa. Namun, tidak lama. Ia segera menatap ke arah Shaqueen yang berada di sisi kirinya.

"Sha, lo balik sama Jevian, ya? Sorry, bukannya gue nggak mau anter lo. Tapi, gue punya urusan yang urgent banget. Bang Rama juga ada kegiatan di kampus," ucap Mahen, hal itu membuat Aksa merasa kesal.

"Ngapain sama Jevian? Gue cowoknya, jauh lebih berhak nganterin cewek gue, lah!" timpal Aksa tak terima.

Mahen hanya tersenyum tipis sembari menatap nyalang ke arah Aksa, setelah apa yang laki-laki itu lakukan tadi pagi apa pantas jika dia bisa sepenuhnya meng-klaim bahwa dia cowok yang baik untuk sepupunya? Tentu saja tidak. Kali ini, Mahen tidak akan berdiam diri. Dia akan menjadi salah satu garda terdepan untuk sepupunya ini.

"Sekarang aja lo bilang dia cewek lo. Giliran tadi aja lo mesra banget sama cewek lain. Gue tegasin lagi sama lo, ya. Jangan main-main sama sepupu gue. Kalo lo masih gamon sama Karin, nggak usah ngelampiasin ke sepupu gue, paham?"

Mahen memperingati Aksa, lelaki itu lama-lama kesal juga terhadap lelaki itu. Aksa sudah benar-benar kelewat batas, ini juga bukan satu atau dua kali ia melihat lelaki itu mesra dengan wanita lain. Dan tentu saja, Mahen tidak terima.

"Gue sama Karin nggak ada hubungan apa-apa!" jawab Aksa tak terima atas tuduhan yang di lontarkan oleh Mahen tadi. Karena, baginya Karina hanya sebatas masa lalu, tidak lebih. Jika memang masih tersisa, mungkin hanya teringgal beberapa persen saja.

Mendengar pembelaan dari Aksa membuat Shaqueen tersenyum miring. Tidak ada apa-apa dia bilang? Padahal, Shaqueen melihat dengan matanya sendiri. Ada sesuatu di sana—di masing-masing mata mereka. Apalagi, ketika suara tawa yang menggema cukup membuat Shaqueen kalah telak. Sebab, ia belum pernah mendapatkan hal seperti tadi, Aksa belum pernah sebahagia itu ketika bersamanya.

"Nggak ada apa-apa kok, tadi gue lihatnya lo kayak bahagia banget."

Setelah mengatakan itu, Shaqueen kembali tersenyum simpul. Senyum kepalsuan yang selalu dia gunakan untuk menipu semua orang. Lagian jika boleh jujur, dia cemburu. Apa lagi setelah melihat betapa cantiknya Karina, semuanya seolah berhenti dan tak mampu berjalan kembali. Tiba-tiba rasa Insecure itu datang dengan sendirinya. Shaqueen merasa, bahwa dia kalah dalam berbagai hal. Ternyata Karina memang sesempurna itu, jadi wajar kan, jika dia menaruh rasa kekhawatiran berlebihan kepada masa lalu kekasihnya itu?

Terdengar helaan napas kasar dari arah Aksa. Lelaki itu mulai berjalan lebih dekat ke arah wanita-nya. Dia menatap begitu lekat seolah-olah dia sedang meyakinkan bahwa semuanya tidak seperti apa yang gadis itu pikirkan.

"Kamu cuma salah paham, Sha. Aku udah nggak ada apa-apa sama, Karin. Kalo semisal tadi kamu lihat aku sama dia lagi ngobrol. Kami cuma bicara soal jadwal pertandingan, dan kebetulan sekolah juga kirim anggota cheers untuk ikut. Karin itu ketua cheerleadernya. Kalo kamu nggak nggak percaya, ayo tanya sama anak-anak yang lain. Aku benar-benar udah nggak ada apa-apa sama dia."

Dengan penjelasan yang terbilang cukup panjang, Aksa berharap gadisnya ini paham. Karena memang begitu adanya. Dia dan Karin hanya sebatas partner di lapangan saja. Tapi, memang tidak bisa di pungkiri, bahwa sebenarnya, Aksa belum sepenuhnya lupa. Tapi, bukan berarti dia juga ingin mengambil kesempatan untuk kembali seperti dulu. Baginya yang sudah usai, ya, selasai. Sudah tak ada lagi cerita di dalamnya, semuanya sudah di tutup rapat, sudah tak akan ada lagi bab selanjutnya yang akan di tulis lagi dalam isi ceritanya. Karena, semuanya sudah berakhir. Akhir yang akan menjadi batas kenangan saja.

Shaqueen hanya geming, dan terus menatap ke arah Aksa. Seolah-olah mencari sebuah jawaban dari iris mata lelaki itu. Namun, sialnya dia tidak melihat sedikit pun kebohongan di sana. Aksa benar-benar berkata dengan jujur. Namun tetap saja, seharusnya lelaki itu tidak terlalu welcome kepada Karin yang notabene nya adalah mantan pacarnya. Apalagi, katanya dulu mereka berdua menjalin hubungan yang cukup lama. Shaqueen hanya takut ... takut jika suatu saat lelaki itu kembali kepada masa lalunya.

"Kebanyakan drama, ayo balik!" ucap Jevian sembari menarik lengan Shaqueen. Sungguh laki-laki ini memang sangat anti untuk bertele-tele seperti ini.

"Lepasin tangan lo dari tangan cewek gue!" seru Aksa sembari menghalangi langkah Jevian.

Namun, tiba-tiba di tengah kegaduhan antara empat remaja ini. Datang salah satu lelaki menggunakan Jersey yang sama persis dengan yang di gunakan Aksa. Lelaki itu adalah Demian, sahabatnya Aksa.

"Sa, ayo latihan lagi. Kita udah nggak punya waktu lagi, besok udah tanding. Pak Agus udah nanyain lo dari tadi. Gue capek di tanyain lo kemana mulu," ucap Damian dengan suara yang sedikit ngos-ngosan.

Aksa hanya berdecak pelan. Kenapa harus di saat-saat seperti ini? Bisa-bisanya dia lupa bahwa dirinya adalah seorang ketua basket. Alhasil, dia hanya bisa memijit pangkal hidungnya yang sedikit pusing. Jika sudah seperti ini, dia harus apa? Tidak ada pilihan lain yang bisa dia pilih. Yang satu adalah tanggung jawabnya kepada sekolah. Dan hal yang kedua dia tidak rela jika wanitanya harus di antar oleh Jevian, rivalnya.

Aksa hanya mengacak-acak rambutnya frustasi. Hingga akhirnya, keputusan yang cukup berat ia lontarkan. Sebab, tidak ada pilihan lain selain mengizinkan Shaqueen diantar pulang oleh Jevian, bukan? Ingat, ini hanya terpaksa, di lain waktu dia tak akan sudi mengizinkan gadis yang dia cintai harus bersama dengan musuhnya sendiri.

"Udah, Sa. Kamu fokus aja latihan. Aku pulang sama si Sapi aja, ya?" ucap Shaqueen memecahkan keheningan.

Lagi?

Lagi-lagi, gadis itu mengganti namanya bahkan lebih parah dari tadi. Apa yang ada di pikiran gadis itu? Sungguh, benar-benar menyebalkan. Jika saja gadis itu bukan adik Rama, Jevian tak sudi berurusan dengan gadis menyebalkan ini.

"Lo demen banget ganti nama orang sih?!" protes Jevian yang terlihat sudah sedikit kesal.

Sedangkan Shaqueen, gadis itu hanya terkekeh. Dia juga sadar sudah berapa kali salah menyebutkan nama lelaki itu. Lagian, nama Jevian terlalu bagus untuk laki-laki menyebalkan seperti Jevian, bukan?

"Sttt... Gak usah banyak ngomong. Ini mulut siapa?" tanya Shaqueen dengan nada jenaka.

"Lo."

"Nah, jadi hak gue dong mau manggil lo apa aja. Karena ini mulut gue!"

"Terserah."

Sebab tak ada pilihan lain selain mencetuskan kata itu. Lagian dia tahu, bahwa berurusan dengan wanita tidak akan ada habisnya. Mereka tidak ingin salah atau pun, di salahkan. Entah kenapa, padahal seluruh manusia memiliki kesalahan. Namun, kenapa beberapa dari mereka selalu menyudutkan hingga akhirnya hanya bisa terdiam dan membiarkan mereka berlaku se-enak jidatnya saja. Lagi pula, ini bukan hal yang terlalu pantas untuk di ributkan.

Sedangkan Aksa, lagi-lagi lelaki itu hanya mengehela napas kasar. "Gue terpaksa biarin cewek gue balik sama lo. Karena gue nggak punya pilihan lain. Inget, jangan cari kesempatan dalam kesempitan, atau lo akan berurusan sama gue!"

"Berisik."

Hanya jawaban singkat yang keluar dari mulut Jevian. Tanpa sudi sedikit pun, menatap seseorang yang tengah berbicara dengannya. Karena, dia taj ingin terus -menerus berada di ruangan akhirnya dia mulai berjalan terlebih dahulu meninggal yang lain berdiam diri di UKS. Hingga beberapa menit kemudian langkahnya di susul oleh Mahen. Setelah Jevian dan Mahen ke luar,  Shaqueen pun ikut beranjak dari Uks, meninggalkan Aksa dan Damian yang masih setia di tempat.

"Yaudah, aku duluan, Sa. Semangat latihannya, ya. Kan ada Karin!"

Seperti biasa saja, namun ketika di rasa ada retak yang tengah melebar kemana-mana. Seolah tahu apa yang baru saja ia katakan, adalah sebuah kepahitan yang selalu dia takutkan. Dia sendiri yang menyakiti dirinya, seolah semuanya baik-baik saja atas apa yang sudah ia lihat sewaktu pagi. Di mana terlihat senyuman begitu merekah indah di wajah lelaki itu. Dia merasa kalah, dan gagal tanpa harus berperang kembali, apalagi dengan masa lalu yang sudah terlebih dahulu mengenal Aksa di banding dirinya.

"Karena kalo sama aku, kamu gak pernah sebahagia itu."

***

"Jev, Karina cantik, ya?"

Entah mendapatkan bisikan dari mana sehingga pertanyaan itu terlontar dari mulut gadis ini. Bahkan, Shaqueen juga tidak mengetahui kenapa bisa dia bertanya seperti ini. Tapi jujur saja, sedari tadi pikirannya hanya di penuhi oleh situasi di pagi hari, tepat pada saat dia menatap kearah lapang terdapat seorang gadis yang cantik, rambutnya terurai sepundak, kulitnya putih, badannya tinggi. Bisa di bilang, bahwa gadis itu benar-benar hampir sempurna, bahkan ketika dia bersanding dengan Aksa pun, mereka tampak sangat serasi.

Jevian yang semula berjalan lurus kini terpaksa menghentikan langkahnya, lalu berbalik untuk sekedar menatap gadis yang sedang bertanya pada dirinya.

"Iya."

Setelah Jevian mengatakan itu, dia tatap mata almond gadis yang berada di belakangnya. Mata yang teduh itu kini berubahnya menjadi rapuh. Jevian, pasti paham bahwa gadis di hadapannya sedang merasakan sebuah insecuritas padahal apa yang perlu gadis itu Insecure-kan padahal dia juga tak kalah cantik dengan Karin. Namun, melihat wajah menunduk dengan keadaan wajah cemberut setelah mendengarkan jawaban yang dia lontarkan pasti gadis itu sedang sangat-sangat merasa bahwa dia tidak ada apa-apanya. Hal ini berhasil membuat Jevian sedikit terkekeh pelan. "Karena, dia wanita. Jadi, dia cantik. Gak mungkin kan, gue bilang dia ganteng?"

Shaqueen yang semula menunduk kini kembali menatap ke arah Jevian. "Bukan gitu. Tapi kan, wanita juga punya standar kecantikan, Jev. Dari satu sampai sepuluh, kayaknya dia ada di posisi lebih dari sepuluh."

Menghela napas, Jevian tidak tahu situasi apa lagi yang akan ia hadapi sekarang. Yang jelas, ia selalu menghindari pertanyaan seperti ini dari siapa pun. Jevian selalu tidak ingin memberi nilai plus minus untuk seseorang. Karena, dia tidak punya hak untuk menilai ciptaan yang sudah Tuhan ciptakan dengan sebaik-baiknya.

"Itu menurut lo, belum tentu menurut gue."

"Kalo menurut lo gimana?"

Jevian terdiam beberapa saat sebelum secara langsung menjawab. Karena, dia juga tidak ingin mengambil resiko jika ada ucapan yang salah. Ia memegang dagunya seolah-olah dia sedang berpikir keras. Padahal, dia bisa saja berbicara. "Karena lo lebih cantik."  Namun, sepertinya hal itu tak akan menjadi jawaban yang bisa membuat gadis itu puas. Pasti dia akan mengira ucapan itu adalah sebuah bentuk kalimat penenang agar dia tidak perlu khawatir. Padahal, hal ini adalah benar adanya. Shaqueen memang cantik, apalagi dengan penampilanya yang begitu natural. Siapa pun, yang melihatnya pasti akan bilang bahwa gadis ini memang benar-benar cantik. Cantik dengan apa yang di punya.

"Kalo lo menilai semuanya dari standar fisik yang mereka miliki. Sampai kapan pun, lo gak akan puas sama angka-angka itu. Lo akan terus meratapi dan terus membanding-bandingkan diri lo dengan orang lain. Padahal, lo juga cantik. Lo cuma butuh melihat diri lo sendiri tanpa harus melihat orang lain. Perlu lo tahu bahwa cantik itu, gak perlu di lihat dari standar atau nilai dari satu sampai sepuluh. Tapi, dari apa yang ada pada diri lo sendiri. Coba untuk percaya diri. Karena gak semuanya bisa di pandang dari segi fisik. Lo bisa unggul di bidang lain, bukan?"

Dengan deruan napas yang tak beraturan, Shaqueen hanya bisa menghela napasnya dalam-dalam. Lalu, menghembuskannya dengan rasa sesak yang sedari tadi ia tahan. Sebenarnya, tak ada yang salah dari ucapan Jevian tadi. Semuanya benar. Namun, ia hanya kecewa terhadap dirinya sendiri. Pasalnya, Shaqueen tidak tahu hal apa yang patut di banggakan dari dirinya.

"Tapi, gue nggak pandai dalam bidang apapun," ucapnya, dengan nada paling putus asa.

"Bukanya nggak ada. Tapi, lo belum nemu. Coba sesekali lo telaah diri lo sendiri. Lo pasti akan temuin hal hebat apa yang lo miliki."

"Kalo nggak ada?"

"Ya, lo ciptain. Karena menjadi hebat itu di bentuk, bukan di ratapi."

Shaqueen menghembuskan napasnya, lagi-lagi ucapan Jevian benar. Ia bisa menjadi apa pun selama ia berusaha. Tetapi, tetap saja, terkadang jalan di otaknya selalu terasa buntu. Kadang-kadang, Shaqueen merasa bahwa dia tidak bisa melihat potensi pada dirinya sendiri.

Shaqueen kembali termenung, ia kembali teringat betapa hebatnya Aksa. Lagi dan lagi, rasa insecure itu selalu mengukungnya, sampai-sampai, Shaqueen merasa bahwa ia memang tidak pantas untuk seseorang yang bersamanya.

"Gue ini kayaknya nggak pantes buat siapa-siapa deh." Shaqueen menghela napasnya panjang, entah kenapa dia tiba-tiba menjadi se-down ini. "Aksa itu baik, dia pinter, dia jago main basket, dia famous, dia juga ganteng. Dan, Karin juga sama. Dia cantik, dia jago ngedance, dia juga sama famous nya, mereka itu cocok menurut gue. Tapi, Sedangkan gue? Gue nggak punya apapun untuk di banggain kaya, Karin."

Jevian tahu, ada keraguan dari bagaimana gadis itu berbicara. Tapi, dia tidak setuju dengan jalan pikir yang gadis itu utarakan. Untuk dirinya, dia tidak pantas menilai dirinya sebegitu rendah. Juga, tidak pantas untuk membandingkan dirinya dengan orang lain. Karena, dua orang yang berbeda raga itu tentu tidak akan sama. Mereka punya kelebihan dari masing-masing dirinya sendiri. Begitu pun dengan masing-masing kekurangan. Tentu tidak akan sama, karena Tuhan sudah memberikan masing-masing jalan cerita pada orang yang berbeda.

"Lo suka baca buku?"

Akhirnya, kalimat itu yang berhasil terlontar dari mulutnya. Jevian tahu, pasti setelah ini dia harus membuat suatu perumpamaan agar maksudnya bisa menjadi jelas bagi seseorang yang ia beri tanya.

"Suka, kenapa?"

"Lo pernah baca buku dari satu penulis besar di dunia, nggak?"

Jevian mencoba mengerahkan pernyataan untuk membangun pemahaman Shaqueen terlebih dahulu. Ia tidak ingin menembaknya dengan pertanyaan yang inti.

"Pernah, apalagi karya Elisabeth Badinter, sama Jhonatan Black. Cerita mereka bener-bener bagus sih menurut gue."

Dengan penuh antusias, Shaqueen menjawabnya. Seolah-oleh, keresahan yang sedang ia rasai beberapa menit yang lalu tidak pernah terjadi. Karena memang, membaca adalah salah satu bentuk pelariannya dari berisiknya kepala. Mungkin, setelah pulang nanti, Shaqueen akan kembali membaca buku-buku itu untuk melupakan luka di hatinya.

Jevian tampak mengangguk, lelaki ini tampak kembali mengajukkan pertanyaan. "Menurut lo, cerita siapa yang paling bagus?"

Shaqueen tampak menimang dagunya, pikirannya sejenak ia biarkan melayang. Shaqueen berusaha mengingat isi dari masing-masing cerita yang pernah ia baca dari dua penulis yang ia suka. Tapi, untuk saat ini, entah kenapa jalan pikirnya seperti berhenti bekerja. Untuk pertanyaan sesederhana ini saja, ia bahkan tidak bisa menjawabnya. Ia merasa, bahwa apa yang ia baca terasa sama.

"Dua-duanya juga bagus. Sampai-sampai, gue nggak bisa milih dari salah satunya."

Jawaban asal dari gadis itu konstan membuat Jevian tertawa. Untuk menjawab perihal ini saja, gadis itu masih tidak bisa. Tetapi, apa yang  dibilang Shaqueen benar juga. Tulisan keduanya memang benar-benar bagus. Tetapi, pertanyaan yang Jevian ajukan nyatanya tidak berhenti sampai di situ. Ia masih terus mengajukkan pertanyaan kepada Shaqueen.

"Menurut lo, dari dua penulis yang lo baca ceritanya, apa di setiap tulisan mereka ada plus minusnya?"

"Tentunya ada. Karena, setiap penulis punya plus minus dalam tulisannya, kan?"

Dan inilah makna dari apa yang Jevian maksud. Bahwa, setiap apa pun pasti memiliki kelebihan dan juga kekurangan.

"Iya. Penulis juga cuma manusia biasa. Mereka punya kelebihan dan kekurangan dari tulisannya sendiri. Nggak melulu sempurna. Kalo tulisan aja suka ada kurangnya, apa lagi manusia?"

Ucapan Jevian seketika membuat Shaqueen tercengang. Selama ini, Shaqueen hanya fokus terhadap kelebihan orang lain. Tanpa tahu bahwa di balik itu, mereka juga memiliki kekurangan yang tidak pernah di tampakkan di hadapan orang-orang.

Sedangkan dirinya sendiri, Shaqueen bahkan tidak mengetahui apa saja kelebihan yang ia miliki. Ia hanya fokus terhadap kekurangan yang menyelimuti segala bentuk kecemasan yang ia miliki. Padahal, ia juga sama seperti mereka. Hanya saja, ia tidak percaya diri.

Untuk hal ini, Shaqueen hanya perlu waktu untuk mengenal dirinya sendiri. Dan berhenti untuk membandingkan kisahnya dengan kisah orang lain.

"Setiap penulis juga punya alur, dan ending yang berbeda pada setiap cerita yang mereka buat. Lo tahu nggak kenapa?"

Shaqueen menggeleng, jujur saja, setelah pernyataan yang Jevian lontarkan tadi masih membuat dirinya kehilang kata.

"Karena mereka hidup di tempat yang beda, di umur yang mungkin juga beda. Dan juga jalan pikir yang berbeda. Mereka memiliki banyak perbedaan. Hal itu sebabnya yang buat alur dan ending dari cerita mereka nggak sama. Karena, mereka enggak satu kepala. Tapi dengan banyaknya perbedaan itu nggak buat mereka sepenuhnya beda. Karena pada akhirnya, orang-orang menyebut mereka dengan julukan yang sama, 'seorang penulis.' Begitu pun dengan lo dan Karina."

"Maksudnya?" Jujur saja, Shaqueen masih belum mampu mencerna dari ucapan Jevian barusan.

"Karena Tuhan udah ciptain kalian dari tanah yang sama. Di mata-Nya, kalian itu mahkluk yang sudah di ciptakan dengan bentuk yang sebaik-baiknya. Plus dengan kurang dan minusnya. Tapi, dengan itu, nggak akan buat Kalian berubah jadi alien, kalian akan tetap jadi manusia, kan? Terus kenapa harus khawatir? Selama Tuhan mandang kita semua sama, lo nggak perlu khawatir perihal apa pun, Sha."

"Mulai sekarang, jangan gunain kaca mata orang lain untuk mandang diri lo. Karena, lo nggak akan pernah bisa pake kaca mata orang lain, yang udah jelas-jelas beda minnesnya sama minnes yang lo punya."

"Semua hal berat jika harus sempurna, Sha. Bersyukur dengan apa yang kita punya sekarang adalah solusi paling tepat untuk menjalani hidup yang jauh lebih baik. Untuk memulainya, kita harus lebih dulu menerima diri sendiri, baik kurang maupun lebihnya. Jadi, berhenti buat ngerendahin diri sendiri lagi, okey?"

Usapan tangan Jevian di kepala membuat Shaqueen terdiam. Gadis itu sudah berusaha untuk tidak sepenuhnya menangis. Tetapi, kali ini, ketika Jevian menyadarkannya tentang sebuah cara menerima diri dengan baik. Shaqueen merasa malu, karena ia hampir tidak pernah berpikir seluas lelaki itu.

"Fyi aja, di kaca mata gue, lo itu cantik kok. Banget malahan."

"Yuk, kita pergi sekarang."

Setelah menyelesaikan ucapannya, Jevian segera memberikan helmnya kepada Shaqueen. Menariknya, Jevian mengucapkan hal itu dengan intonasi paling datar dari yang pernah Shaqueen dengar. Tidak ada nada menggoda, atau pun senyum jahil yang biasa di tunjukkan oleh laki-laki yang sedang berusaha membuat senang seorang wanita.

Bahkan, ketika pipi Shaqueen berubah menjadi merah tomat. Lelaki itu sama sekali tidak meledeknya, ia malah menghidupkan mesin motor dan menyuruhnya untuk naik dan berpegangan.

Tetapi tanpa Shaqueen ketahui, diam-diam, di balik helm yang lelaki itu kenakan, Jevian justru sibuk memendam senyumnya.

"Lo itu cantik, dan gak seharusnya lo sama si brengsek itu."

°°°°

Bersambung....

Kalo kalian suka sama ceritaku, jangan lupa di follow sama di rekomendasiin cerita ini ke teman-temannya, ya? Yuk, bantu penulis kecil ini agar tulisannya bisa dibaca oleh orang banyak. Terima kasih, jangan lupa meninggalkan jejak, Luv❤️

Continue Reading

You'll Also Like

4M 311K 51
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...
16.5K 1.3K 24
[friendship] Nakula hanya ingin bahagia, tentunya bersama keluarga dan enam sahabatnya. Namun.... Yang terjadi malah sebaliknya. ©horanghiii 2023
29.8K 2.1K 14
Benua Gastara menganggap hidupnya sudah tak berarti apa-apa. Langkah yang ia bawa tak lagi mempunyai tujuan pasti. Gasta masih hidup dan bernapas di...
2.3K 226 11
Tentang hubungan antara Papa dan anak kembarnya yang terasa canggung setelah kepergian satu-satunya wanita di keluarga mereka, Mama. Cobaan demi coba...