Paradise (Segera Terbit)

By ohhhpiiu

2.6M 141K 5.2K

[PART MASIH LENGKAP] "Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua... More

Bab I
Bab II
Bab III
Bab IV
Bab V
Bab VI
Bab VII
Bab VIII
Bab IX
Bab X
Bab XI
Bab XII
Bab XIII
Bab XIV
Bab XV
Bab XVI
Bab XVII
Bab XVIII
Bab XIX
Bab XX
Bab XXI
Bab XXII
Bab XXIII
Bab XXIV
Bab XXV
Bab XXVI
Bab XXVII
Bab XVIII
Bab XXIX
Bab XXX
Bab XXXI
Bab XXXIII
Bab XXXIV
Bab XXXV
Bab XXXVI
Bab XXXVII
Bab XXXVIII
Bab XXXIX
Bab XL
Bab XLI
Bab XLII
Bab XLIII
Bab XLIV
Bab XLV
Bab XLVI
Bab XLVII
Bab XLVIII
Bab XLIX
Additional Part 1
Additional Part 2
Additional Part 3
SEGERA TERBIT

Bab XXXII

50.3K 2.5K 131
By ohhhpiiu

Cara termudah menemukan kebahagiaan adalah memaafkan.

Cara tercepat membuat kebahagiaan adalah 'melupakan' semua hal yang menyakitkan.

***

Semua berjalan begitu saja. Qila tidak tahu apa yang terjadi selama seminggu ini, tapi ia bisa merasakan ada perubahan suasana diantara anggota keluarganya.

Kini Qila sudah siap dengan seragam sekolah dan rambut diikat satu. Ia memastikan kembali wajahnya di depan cermin, masih sedikit pucat tapi dapat disembunyikan dengan baik oleh bedak.

Sebenarnya Qila masih belum diperbolehkan masuk sekolah namun karena memaksa pada akhirnya Akbar dan saudaranya yang lain hanya bisa pasrah. Itu pun dengan syarat harus mau diantar jemput oleh mereka.

"Udah siap?" tanya Ayah yang kini menunggunya di meja makan.

Pemandangan yang begitu langka setelah sekian lama, semua anggota keluarganya berkumpul, duduk di kursi masing-masing sambil tersenyum menyambut kedatangannya.

"Eum." Qila mengangguk, masih canggung dengan perubahan yang tiba-tiba ini.

"Nanti siang gue ada jam tambahan buat persiapan ujian akhir jadi gak bisa jemput," ujar Daniel.

"Ya udah gue yang jemput nanti," balas Dirga.

Qila memperhatikan interaksi Dirga dan Daniel yang terasa aneh namun lucu. Keduanya masih berbicara ketus satu sama lain tapi berusaha bersikap baik di depan Qila.

Senyum kecil Qila terbit, Saka yang duduk di sebelahnya menyadari kebahagiaan itu. "Dimakan sarapannya, Qi."

"Kamu mau bawa bekal engga," tawar Qila yang segera diangguki Saka. "Oke nanti aku siapin bekal buat makan siang kamu abis ini."

"Saka doang?" tanya Daniel ketus. "Gue gak pernah tuh lo tawarin bekal makan siang."

"Abang juga mana, Qi. Abang juga mau." Kini Dirga yang menatap melas pada adiknya.

Qila menghela napas dan meringis begitu melihat ayah yang menatapnya dengan isyarat yang sama, ingin dibuatkan bekal juga.

"Iya aku bikin buat kalian semua, tapi kotak makannya cuma ada dua jadi siang nanti aku beli dulu."

Akbar berdeham ringan. "Biar ayah aja yang beli nanti siang."

Qila tampak menimbang sebentar sebelum pada akhirnya mengangguk. "Sama botol minumnya ya, pokoknya beli yang satu set gitu."

"Belinya 3 jangan cuma satu," ucap Daniel sensi.

Qila melotot karena meskipun sudah bisa menerima kehadiran ayah lagi, lelaki berwajah tegas itu masih saja ketus kalau berbicara dengan ayah.

"Cuma ngasih tahu." Daniel membuka kedua tangannya sambil memiringkan kepala tak ingin disalahkan. "Kali aja lupa."

Ck. Sudahlah. Mau diperingati bagaimanapun juga memang pada dasarnya sifat Daniel yang ceplas-ceplos seperti itu sulit untuk dirubah.

Bi Iyem tersenyum dari kejauhan, menyaksikan semuanya dengan hati yang hangat. "Alhamdulillah."

***

Qila duduk anteng di samping Akbar yang mengemudikan mobilnya pelan. Meskipun mulai ada perubahan, tetap saja sesekali canggung menyusup diantara keduanya.

"Qila kelas apa di sekolah," tanya Akbar membuka percakapan.

"IPS," cicit Qila.

Akbar sempat terdiam lalu ingat bahwa dulu Qila pernah menyebutkan tentang keinginannya masuk IPS dibandingkan IPA.

"Suka sama sekolahnya?"

Kepala Qila kontan menoleh saat Akbar tidak marah mengetahui Qila masuk kelas IPS. Padahal dalam bayangannya ada Akbar yang akan langsung mencibir keputusan Qila, tapi semua tidak terjadi.

"Dikit."

"Kenapa dikit?" Akbar terus bertanya lembut, ia ingin mendengar suara Qila, ingin mengembalikan waktu yang telah hilang, Akbar ingin Qila bercerita tentang hidupnya meski saat ini sulit untuk dilakukan. "Kalau Qila gak suka sekolahnya boleh pindah, kita cari sekolah yang bisa bikin Qila nyaman."

"Ayah gak marah Qila ambil IPS?"

"Enggak, sayang." Akbar mengelus kepala Qila lembut. "Mulai sekarang ayah akan mendengarkan keinginan Qila dulu, ayah gak akan egois lagi dengan memaksakan apa yang ayah mau."

Tatapan Qila berkaca-kaca. Sungguh ia bingung harus bersyukur atau sedih atas penyakitnya sekarang. Mungkin jika Tuhan tidak memberinya penyakit ayah tidak akan berubah secepat ini.

Meskipun tak menampik ada rasa mengganjal di tenggorokan dan hatinya ketika berbicara santai seperti ini dengan ayah.

Trauma itu masih ada dan membekas dengan jelas.

"Minggu depan Qila mulai kemo." Akbar berdeham sebelum kembali bicara. "Qila akan lewati semua itu bersama ayah, abang-abang dan Saka, kita usahakan yang terbaik untuk kesembuhan Qila."

"Pasti sakit." Qila berujar pelan.

"Ada ayah yang akan menemani prosesnya."

"Iya." Qila mengangguk pelan. "Tapi ayah kan gak ngerasain sakit suntikan obatnya."

Qila tersentak dengan ucapannya sendiri, takut membuat ayah marah karena tidak sopan berbicara seperti itu.

"Maksudnya-"

"Ayah mungkin gak ngerasain sakitnya, tapi ayah akan pastiin Qila dapat pengobatan terbaik." Wajah Akbar terlihat sedih untuk sesaat.

"Maaf Qila gak bermaksud bilang kayak gitu."

"Gak ada yang salah dari apa yang Qila ucapkan."

Ayah berubah secara drastis. Cara bicaranya, perilakunya, dan tatapannya. Seharusnya Qila bisa langsung senang dan menyambutnya dengan hati lapang. Namun entah sekeras apa ia coba menerima, hati dan pikirannya tidak lagi sinkron.

Qila kembali mempertimbangkan apakah keputusannya untuk memaafkan ayah secara cepat ini tepat?

Kenapa meskipun ia mengatakan sudah memaafkan ayah masih ada bagian lain di hatinya yang tidak bisa menerima begitu saja?

"Ayah akan lakukan apapun untuk kesembuhan Qila."

"Ayah," panggil Qila pelan berusaha menyembunyikan suaranya yang parau. "Maaf."

"Maaf kenapa nak."

"Aku udah coba sebisaku, tapi setiap kali ngobrol sama ayah hati aku selalu sakit."

Akbar tersenyum kecut, kenapa Qila yang harus minta maaf perihal ini? Semua adalah salah Akbar, dia yang seharusnya meminta maaf berulang kali.

"Ayah akan coba pelan-pelan perbaiki semuanya, maafin ayah karena seperti memaksa kehadiran ayah kembali ya." Akbar mengelus kepala Qila pelan. "Kalau belum bisa jangan dipaksa, ayah ngerti kalau Qila butuh waktu."

"Sebenernya Qila bisa maafin ayah, tapi hati Qila yang-"

"Gak apa-apa, jangan dipaksa."

"Ayah... gak marah?"

"Kenapa harus marah."

"Qila pasti bikin ayah sedih dan kecewa padahal bilang mau maafin ayah."

"Qila," panggil Akbar lembut. "Justru ayah akan senang kalau Qila jujur tentang perasaan Qila, jangan tutupi apapun hm?"

"Ayah gak akan marah meskipun Qila gak bisa juara kelas?"

Akbar menggeleng.

"Walaupun Qila gak bisa ikut perlombaan dan selalu juara kayak Saka?"

Lagi, Akbar kembali menggeleng.

"Ayah gak akan kurung Qila di loteng lagi kan mulai sekarang?"

Akbar menatap putrinya prihatin. "Gak akan, ayah gak akan lakuin itu lagi, maaf."

"Janji?"

"Ayah janji."

"Emm bisa turunin aku sebelum gerbang sekolah?"

Akbar tidak bertanya namun wajahnya jelas menyiratkan kebingungan.

"Aku gak mau semua liat aku pergi dianter ayah." Memilin seragam sekolahnya ragu. "Terakhir kali ayah ke sekolah ayah seret aku dan ditontonin semua orang, aku masih malu."

Cengkraman Akbar pada setir mengerat. Ada begitu banyak alasan mengapa Qila bisa setakut itu padanya, dan ini adalah salah satu dari sekian alasan tersebut.

"Boleh?"

"Boleh." Tenggorokan Akbar pahit tak tahu harus meminta maaf bagaimana lagi. "Siang nanti ayah jemput?"

"Gak usah," jawab Qila cepat. "Aku mau di jemput Bang Dirga aja."

Mengapa perkataan itu terdengar sarkas bagi Akbar? Qila menolak tawarannya baru sekali dan hatinya sudah sesakit ini. Apalagi perasaan Qila yang selama ini selalu Akbar abaikan.

"Iya, kalau butuh sesuatu jangan ragu bilang ayah."

"Iya."

Akbar memberhentikan mobil sesuai arah yang ditunjuk putrinya. "Disini?"

Qila menjawab dengan anggukan kecil. Baru saja Akbar ingin memberikan tangan untuk disalami ternyata Qila sama sekali tak melihat ke arahnya lagi.

Putrinya...

Biasanya akan berusaha salam, sekarang Qila bahkan tak menengok sedikitpun setelah turun dari mobil.

Akbar memegang dadanya yang berdenyut nyeri. "Maafin ayah nak."

***

Aneh.

Bukan hanya sekali Qila merasa situasi kelas berubah. Sejak kedatangannya tadi pagi, semua orang yang tadinya sibuk dengan urusan masing-masing sedikit memberikan atensinya pada kehadiran Qila yang mana sangat sangat jarang bahkan tidak pernah mereka lakukan sejak awal Qila bersekolah disini.

Lalu hal yang lebih membuatnya terkejut adalah tatapan 'mereka' tidak lagi setajam dulu, tidak lagi menghakimi dengan sorot sinis yang membuatnya terasing.

"Masih pagi udah bengong aja." Angkasa menepuk puncak kepala Qila sekilas. "Masih sakit?"

"Kamu tahu aku sakit?"

"Tau. Semua anak kelas juga tau, Pak Gono yang kasih tau."

"Tau dari mana?"

"Sumedang."

"Ih!" Qila mencubit tangan Angkasa. "Serius asaaa."

"Pak Gono tau dari bokap lo kali," jawab Angkasa sekenanya.

"Aku ketinggalan banyak materi banget sekarang."

"Ya elah santai lo kan punya gue. Semua catatan pelajaran lengkap dibuku ini, gue catet biar lo gak ketinggalan materi dan tinggal review aja, gimana? Keren gak gue?" Angkasa menaik-turunkan alis. "Jangan terpana gitu dong, iya-iya gue tau gue baik banget, sama-sama."

"Geer banget sih," ucapan Qila selanjutnya terjeda karena dering panggilan.

"Halo Bang? Kenapa telepon?"

"Qila udah sampai sekolah?"

"Iya, baru aja sampai."

"Gini, Qi." Ada jeda cukup lama sampai Dirga kembali melanjutkan percakapan. "Siang ini Qila pulang sama siapa?"

Perasaan Qila jadi tidak enak. "Sama... abang, kan?"

"Oh iya tadi pagi abang bilang mau jemput ya?"

Qila tak menjawab namun keterdiamannya disambut helaan napas Dirga. "Abang gak bisa jemput Qila siang ini."

"Kenapa?"

"Pacar abang tiba-tiba buat janji abang gak bisa batalin karena ini penting banget."

Jadi maksudnya janji dengan Qila tidak penting? "Emangnya janji apa?"

"Soal keluarganya Qi, abang gak bisa ceritain karena ini privasi Alya. Qila bisa ngerti itu kan?"

Nada memohon dari ujung telepon membuat Qila mendengkus secara tak sadar. Ini sudah kesekian kalinya Dirga membatalkan janji dan mengingkarinya.

"Ya udah," putus Qila kecewa.

"Maafin abang ya dek, abang janji-"

"-aku gak mau denger janji abang lagi." Percuma juga, toh ujung-ujungnya akan diingkari. "Have fun bang sama Kak Alya."

Sambungan diputus begitu saja, Qila tak ingin mendengar penjelasan apapun, baginya sudah cukup dengan kekecewaan yang sekarang ia rasakan.

"Kenapa?" tanya Angkasa hati-hati takut menyinggung perasaan Qila.

"Gak apa-apa." Mood Qila yang hancur semakin memburuk ketika membaca pesan masuk dari Vega-Ketua Ekstrakulikuler-nya.

tring

Vega: kalo siang ini lo bolos lagi gue bener-bener gak akan kasih lo kesempatan.

Vega: gue tau lo udh masuk.

Vega: gak usah sok sakit. kumpulan siang ini.

***

"Lo bener mau ikut kumpulan teater?" tanya Angkasa kesekian kali.

"Kamu udah nanya hal yang sama sejak jam pelajaran pertama loh Asa."

"Cuma mastiin. Kalau gak mau gak usah dipaksa."

"Kalau gak dipaksa nanti nilai keaktifan aku gak ada," jawab Qila realistis. "Lagian walau pindah ekskul juga udah terlambat."

"Lo bisa masuk fotografi."

"Aku gak jago di bidang itu dan gak punya ketertarikan sama kamera."

"Gue bisa bikin lo jago dan tertarik."

Meskipun narsis tingkat akut yang dimiliki Angkasa sudah tidak tertolong tapi harus Qila akui bahwa tawarannya kali ini cukup bagus.

"Yah walaupun fotografi udah gak buka anggota lagi, tapi gue bisa bikin nama lo ada di keanggotaan."

"Caranya?"

Angkasa tersenyum licik dan Qila tahu bahwa itu pertanda buruk jadi buru-buru ia menolak dengan tegas. "Enggak deh, makasih tawarannya."

"Kenapa? Gue beneran bisa paksa ketua fotografi buat terima lo kok, gak percaya?"

"Bukan gak percaya, aku gak mau nambah masalah lain. Udah ah aku tetap stay di teater."

"Meskipun lo diperlakuin gak adil disana?"

Langkah kaki Qila terhenti sampai membuat Angkasa yang dibelakangnya juga ikut diam. "Suatu saat mereka pasti nerima kehadiran aku kok."

Angkasa suka dengan optimisme Qila pada orang disekelilingnya, namun Qila yang optimis tentang ini malah semakin membuatnya kesal karena berbeda dengan kenyataannya Qila lebih terlihat seperti orang putus asa yang sudah tak lagi mengharap apapun.

"Gue masih di sekolah sampe sore, kalo ada apa-apa kabarin gue oke?" ujar Angkasa terakhir kali sebelum akhirnya mereka berpisah dan pergi ke ruangan ekskul masing-masing.

Satu hal yang Qila kagumi dari Angkasa adalah ketika cowok itu tidak memaksakan kehendaknya meskipun penasaran, ia membiarkan Qila memutuskan apa yang ingin ia pilih dan mendukungnya tanpa banyak protes.

Belum sampai tangannya menyentuh pintu ruangan, suara protes dari sekumpulan orang dari dalam terdengar kesal.

"Ga! Serius lo mau kirim dia buat studi banding hari ini? Agenda kali ini berkaitan sama expo kita nanti. Lo gak bisa asal tunjuk gitu dong!"

"Aneh banget dia aja gak pernah ikut latihan masa dikirim jadi perwakilan?"

"Iya bener, pikir lagi lah, Ga. Masih banyak yang bisa ditunjuk."

"Lo gak lagi kasihanin dia kan sekarang?"

Vega berdecak kesal. "Gak usah ngelantur."

"Ya makanya lo dengerin kita semua dong, jangan egois."

"Gue gak egois," geram Vega. "Kalian semua pikir kalau bukan karena Bu Nita gue sudi tunjuk dia sebagai perwakilan?"

"Lo kan bisa nego ulang sama Bu Nita, bilang aja kalau Qila gak akan becus dijadiin perwakilan."

"Gue udah nyari berbagai alasan tapi Bu Nita maksa." Vega sendiri juga tak mengerti alasan Bu Nita begitu keras kepala ingin Qila menjadi bagian perwakilan studi banding siang ini.

Kegiatan ini memang baru saja diinfokan, Bu Nita yang sebelumnya pernah menjadi pembina teater di salah satu Sekolah Internasional ternama itu kini mendesak Vega untuk ikut studi banding sebagai persiapan expo yang sebentar lagi akan berlangsung.

kret.

"Giliran kayak gini aja lo dateng," sinis Wenda.

Ditengah kebingungannya Qila hanya bisa menatap semua pasang mata yang terarah benci untuknya.

"Keputusan ini final yang bakalan ikut studi banding sore ini ada gue, Wenda, dan dia," tunjuk Vega tepat di depan wajah Qila.

Semua berdecak kesal, memusatkan ketidaksukaan pada Qila yang masih belum mengerti dengan hal yang sebenarnya terjadi.

Setelah Vega selesai bicara sebagian besar anak teater langsung pergi dari ruangan dan menyisakan Vega, Wenda, dan Qila saja.

Bahu Qila sempat terdorong ketika mereka dengan sengaja menyenggolnya yang berdiri tak jauh dari pintu masuk.

"Gue gak mau jelasin panjang lebar, lo denger apa yang gue ucap sebelumnya kan? Siang ini lo harus dateng ke alamat yang gue kirim, gak peduli mau naik apa lo kesana dan gak ada alasan buat nolak. Kalau sampe jam 4 lo masih belum dateng gue anggep lo ngundurin diri dari ekskul ini."

Wenda melempar sapu dan pel kasar ke hadapan Qila. "Nih sebelum pulang beresin juga ruangan. Lo udah bolos seminggu enak aja bisa ikut stuba gitu aja."

"Kenapa cuma diliat doang?" Vega menaikkan nada bicaranya. "Ambil. Gak usah kayak orang dongo, meskipun Bu Nita nunjuk lo buat jadi perwakilan teater di expo nanti gak akan ngerubah kalau lo cuma babu disini."

Qila bahkan tidak tahu studi banding bagaimana yang harus ia datangi nanti. Dan ia juga tidak tahu alasan Bu Nita menunjuk Qila yang tak pernah melakukan apapun sebagai perwakilan. Meski begitu kenapa semua menyalahkan dirinya?

"Kalian bisa bicara baik-baik, kan?" Qila mengambil sapu dan pel dilantai dekat kakinya berdiri. "Gak perlu sambil ngelemparin barang aku juga paham kok tugasku apa disini."

"Bacot."

"Padahal bacot kamu yang lebih keras daripada aku," Qila terkekeh. "Seneng kah kamu bisa nindas orang kayak gini? Apa kamu pikir aku bakalan diam selamanya?"

"Apa sih anjing! Gak jelas lo."

"Nah iya, semakin kamu marah semakin nunjukkin kalau sebenernya bukan aku yang rendah disini, tapi kalian semua."

"Kenapa? Gak terima? Kenyataannya memang kalian semua gak pernah gunain otak kok kalau bicara dan bertindak."

Kalau saja tidak ditahan oleh Vega, Wenda yakin tamparan saja tidak cukup untuk memberikan Qila pelajaran.

"Gak usah ditanggepin." Vega menatap wajah Qila dingin. "Buang buang waktu."

Wenda menendang ember berisi air kotor di depannya. "Makan tuh air kotor."

"Biarin, Wen. Kita liat aja sampe mana dia bertingkah sok kayak gini." Vega berdiri dari posisi duduknya. "Gue makin penasaran gebrakan apa yang bakal lo buat kedepannya."

Qila tak tahu keberanian dari mana yang sudah membuatnya berkata seperti itu. Seruan terakhir yang Vega lontarkan menjadi alarm bahaya untuknya.

Bagus Qila. Bukannya memperbaiki keadaan kamu malah membuatnya semakin runyam. Qila merutuk dalam hati.



[]

Continue Reading

You'll Also Like

671K 40.2K 67
[TAHAP REVISI] √ADA BEBERAPA PART YANG DIPRIVAT. √FOLLOW DULU SEBELUM BACA! √PALGIATOR HARAP MENJAUH!! Namaku Lesya Adriana. Cantik bukan? Namun tida...
6.6M 281K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
12K 1.3K 49
(YANG SUSAH BAPER HARAP MENDEKAT) (SEBAGIAN PART DI PRIVAT, FOLLOW DULU BARU BISA BACA) 🎐 ☄️Apa Yang Akan Terjadi, Jika Si Dingin Bertemu Dengan Te...
2.5K 684 40
| Status - On Going since 2020 | SMA Foxglove membuka pendaftaran untuk peserta didik baru; Nadine Cattleya salah satunya. Nadine termasuk murid yang...