Paradise (Segera Terbit)

Door ohhhpiiu

2.6M 141K 5.2K

[PART MASIH LENGKAP] "Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua... Meer

Bab I
Bab II
Bab III
Bab IV
Bab V
Bab VI
Bab VII
Bab VIII
Bab IX
Bab X
Bab XI
Bab XII
Bab XIII
Bab XIV
Bab XV
Bab XVI
Bab XVII
Bab XVIII
Bab XIX
Bab XX
Bab XXI
Bab XXII
Bab XXIII
Bab XXIV
Bab XXV
Bab XXVI
Bab XXVII
Bab XVIII
Bab XXIX
Bab XXX
Bab XXXII
Bab XXXIII
Bab XXXIV
Bab XXXV
Bab XXXVI
Bab XXXVII
Bab XXXVIII
Bab XXXIX
Bab XL
Bab XLI
Bab XLII
Bab XLIII
Bab XLIV
Bab XLV
Bab XLVI
Bab XLVII
Bab XLVIII
Bab XLIX
Additional Part 1
Additional Part 2
Additional Part 3
SEGERA TERBIT

Bab XXXI

55.9K 2.9K 224
Door ohhhpiiu

She just a girl who wanted to be loved.

Peluh membasahi wajah dan tubuh Dirga. Tidak dia pedulikan sumpah serapah orang lain, pikirannya terpecah, hatinya tidak tenang. Kakinya terus memacu mencari nomor kamar sedari tadi.

Baru saja tangan kanan Ayah datang menemui Dirga di apartemen milik Alya, entah bagaimana cara ayah tahu lokasi apartemen itu, untuk saat ini ia tidak ingin memusingkan hal lain.

Tidak Dirga pedulikan luka di kepala serta tangan yang lecet mulai dibasahi darah. Karena hilang fokus, motor yang Dirga bawa diatas rata-rata oleng hingga hampir menabrak pembatas jalan dan melukai pejalan kaki.

Ruang Inap Anggrek 202.

Pemandangan yang pertama kali menyapa indera penglihatannya adalah Qila yang tengah terbaring dengan wajah pucat tersenyum kearahnya.

"Akhirnya abang dateng," sambut Qila dengan senyum kecil. "Kenapa kepalanya luka? Abang jatoh?"

Dirga menjatuhkan ransel di tangan kanannya. Berjalan pelan menghampiri Qila sambil berusaha menahan rasa sesal dalam dada.

Bagaimana ini? Rasa-rasanya kaki Dirga seperti terkena lem yang begitu banyak hingga sulit digerakkan.

Apa ini hukuman untuknya? Apa ini cara Tuhan menegurnya karena telah lalai menjaga adiknya sendiri? Pemandangan seperti ini tidak asing bagi Dirga sebab bunda pun pernah ada di posisi itu.

Sungguh, Dirga harus bagaimana jika sudah seperti ini?

"Qi," panggil Dirga tercekat.

Bola mata Qila membesar ketika melihat luka di kepala Dirga yang cukup parah.

"Abang berdarah, harus cepet diobatin," ujar Qila yang mulai panik.

"Jangan bangun," tahan Dirga. "Bukan abang yang harus dikawatirin sekarang."

"Tapi lukanya-"

Dirga menggeleng lalu mengambil tangan Qila yang bebas dari infus untuk ia genggam. "Dari kapan Qila tahan semua sakitnya sendiri? Kenapa gak pernah kasih tahu abang soal ini?"

"Abang sibuk gimana bisa aku ganggu? Bang Dirga lagi pusing sama urusan kampus kalo ditambah masalah penyakit aku yang ada semuanya gak bisa abang selesain."

Dirga merutuk tentang eksistensinya yang tidak bisa dipercaya hingga adiknya memilih menahan semua keluh kesah sendiri karena takut membebaninya.

"Semua cerita Qila penting buat abang," ujar Dirga parau.

"Oh ya?" Qila tersenyum kecil. "Abang gak bilang gini karena lagi kasihan sama keadaanku sekarang kan?"

"Qi apa maksud kamu."

"Abang darimana? Kenapa baru dateng sekarang, kalau emang aku sepenting itu seharusnya abang udah dateng dari tiga hari yang lalu."

Dirga meneguk ludah susah payah.

"Abang," Dirga tergagap. "Ada urusan kampus yang gak bisa ditinggalin. Qila tahu kan akhir-akhir ini abang sering bolak balik bimbingan tugas akhir?"

"Sampai gak bisa angkat telepon barang semenit? Padahal hape abang On terus meski udah di telepon Daniel berkali-kali."

Jantung Dirga tertohok ia tidak mungkin jujur bahwa ia sendiri memang mengabaikan semua panggilan dari Daniel. Tidak ada rasa penasaran atas panggilan tersebut karena ia masih menyimpan emosi atas perkara tempo lalu yang membuat harga dirinya jatuh.

"Maaf Qi." Pada akhirnya Dirga hanya bisa menunjukkan rasa sesal tanpa penjelasan apapun. "Seharusnya abang bisa neken ego abang buat jawab panggilan Daniel."

"Berarti abang sengaja gak angkat telepon itu, kan?" Tenggorokan Qila pahit. "Kenapa harus segitunya sih? Gak bisa kah abang maafin semua kesalahan Daniel?"

"Qila sakit apa?"

"Jawab dulu pertanyaan aku."

"Qi jangan tanya hal lain dulu buat sekarang, kondisi kamu gimana, abang khawatir sama kamu."

"Adik abang kan bukan cuma aku," ujar Qila sambil menundukkan kepala. "Apa Daniel sama Saka perlu sakit dulu biar dapet perhatian abang kayak aku?"

Dirga kembali tertohok pada setiap kalimat yang Qila ucapkan. Tangan Qila mengelus lembut genggaman Dirga.

"Qila tahu jadi anak pertama pasti berat. Abang harus nanggung ekspektasi dari orang lain, abang harus urus diri sendiri dan mikirin adik-adik abang yang lain, pasti berat kan?"

Kedua bola mata Dirga memanas mendengar penuturan Qila yang begitu lembut. Tidak ada marah dalam nada bicaranya, Qila tidak menghardik Dirga seperti yang lainnya, akan tetapi setiap kalimat yang Qila sampaikan menikam jantungnya pada dasar yang paling dalam.

"Abang boleh kok pergi sejauh apapun, gapai mimpi abang, bahkan kejar seseorang yang abang cinta siapapun itu Qila pasti dukung. Asal abang jangan lupa kalau abang masih punya rumah, kalau Bang Dirga gak pernah sendirian selama ini, dan abang gak harus simpan semua beban sendirian. Bang Dirga masih punya Qila buat dijadiin tempat cerita, kita bisa jadi tempat bersandar satu sama lain."

Dirga menoleh dengan cepat.

"Gak ada apapun yang bebanin abang Qi. Kamu benci rumah kan? Kamu selalu takut setiap kali ayah pulang ke rumah, abang cuma berusaha biar biar kamu bisa cepat ikut abang pergi dari rumah."

Qila menggeleng. "Setelah pergi dari rumah apa abang pikir aku bakalan baik-baik aja? Apa abang pikir itu bisa buat ayah nyesel?"

"Seenggaknya kamu bakal punya kehidupan yang lebih layak, Qi."

"Apa abang bisa jamin kebahagiaan aku kalau ikut sama abang? Banyak hal yang bikin aku marah sama ayah tapi gimanapun ayah tetap orang tuaku."

Inilah Qila dengan segala pemikiran naifnya. Qila yang selalu menepis perasaannya sendiri hanya untuk memikirkan orang lain. Tidak peduli sudah berapa banyak luka yang ia terima, dalam sudut hatinya selalu ada ruang untuk sebuah 'kesempatan'.

"Disaat ayah marah apa abang ada disana buat bela aku?"

"Apa abang pernah nonjok ayah kayak yang Daniel lakuin buat bela aku? Apa abang pernah obatin luka aku kayak yang Saka lakuin? Abang gak pernah ada bahkan di situasi yang paling aku butuhin sekalipun. Gimana bisa aku gantungin kebahagiaan sama abang yang seperti itu?"

Sesuatu yang retak terdengar dalam hati Dirga.

"Abang-"

Suara tamparan begitu nyaring menggema dalam kamar inap Qila. Dirga menampar dirinya sendiri berkali-kali sampai telinganya berdengung. Pipinya panas tapi tak cukup panas dengan isi hatinya yang kewalahan menerima semua kalimat Qila.

"Goblok goblok goblok!"

Qila mengatupkan bibirnya menahan keterkejutan. Tubuhnya bergetar melihat Dirga yang kalap di depan mata. Terlebih dengan luka yang masih terbuka.

"Abang," panggil Qila gemetar. "Maaf ucapan Qila keterlaluan."

"Enggak." Dirga menggeleng. "Qila bener, abang emang gak bisa diandalin. Abang egois, abang bodoh, abang gak becus jadi kakak buat kamu, Saka atau Daniel."

"Qi," Dirga bersimpuh, kedua lututnya menyentuh lantai dengan kepala yang menunduk di atas ranjang. "Maafin abang, Qi."

"Abang tahu ayah sering marahin Qila, abang juga tahu gak jarang ayah kurung Qila di loteng. Abang pengecut gak berani bela Qila, abang brengsek karena ninggalin Qila, abang yang bodoh ini gak akan pantes buat dapet maaf dari kamu."

Dirga berujar dengan lidah yang kelu, darah dari kepalanya membasahi kasur putih Qila. "Kasih abang kesempatan buat perbaiki semuanya, Qi. Abang... abang janji buat selalu ada, gak akan pergi lagi, tolong Qi maafin abang."

"Kenapa semua orang minta buat aku hukum?" tanya Qila tercekat dengan suara bergetar.

Karena mereka pantas untuk di hukum.

"Maafin abang... Qi." Air mata Dirga jatuh bercampur dengan darah dari keningnya. "Abang takut Qila hilang, abang belum sempat buat Qila bahagia, tolong kasih abang kesempatan kedua."

"Abang-" Dirga memutar otaknya. Harus bagaimana lagi ia memohon agar rasa sesal dalam dadanya hilang? "Maafin abang Qi."

Meskipun harus memohon berkali-kali untuk dimaafkan, Dirga akan lakukan, Dirga akan berubah, dia tidak ingin kehilangan lagi, jadi Tuhan... bisakah ia yang bodoh ini mendapat kesempatan?

***

Terhitung ini adalah hari ketiga Qila tidak masuk sekolah. Angkasa dipenuhi rasa cemas karena semua pesan yang ia kirim tidak mendapat balasan satupun.

Pak Gono hanya menjelaskan bahwa kondisi Qila tidak cukup baik untuk mengikuti pelajaran tatap muka, dan bahkan menyiratkan Qila akan beralih homeschooling.

"Basket ayo nanti sore." Angkasa mengangguk pada ajakan barusan, ia bergabung dengan sekumpulan anak lelaki kelasnya di pojok ruangan.

Mungkin sore ini Angkasa akan kembali mengunjungi rumah Qila untuk memastikan keadaan gadis itu.

"Qila gak masuk dari tiga hari yang lalu."

Angkasa melirik melalui ujung matanya pada sekertaris kelas yang tengah berbicara di depan pintu bersama tiga orang lain.

"Gak masuk kenapa?"

"Gak tahu dan gak peduli juga. Ada urusan apa nyariin dia?"

Vega bersidekap dada dengan angkuh, "Dia bolos ekskul teater, gue mau kasih surat peringatan."

"Jangan nyari dia disini percuma, anak kelas aja sadar dia gak masuk setelah wali kelas gue kabarin."

Wenda melirik Bagas disampingnya kemudian berbisik, "Itu cewek public enemy banget anjir sampe temen sekelasnya aja sinis gini."

"Oh oke. Bilangin kalau dia udah masuk-"

"-Males. Gue gak mau berurusan sama si cupu. Kalo lo punya masalah sama dia samperin orangnya langsung aja."

Wenda berdecak, "Kita juga males sih berurusan sama dia."

"Ya udah tinggal keluarin aja dari ekskul lo."

Vega terusik dia tidak suka keputusan miliknya diatur orang lain. "Bacot banget mulut lo."

"Dih." Dera memutar bola matanya malas. "Sana lo pergi kalo gak ada urusan lagi disini."

"Ekskul lo mau-mauan amat terima cewek macam Qila, gue sama anak kelas aja ogah temenan sama dia ewh."

Wenda menggerutu emosinya sudah hampir mencapai ubun-ubun. "Gue kan udah bilang, gak berguna nerima cewek problematik kaya Qila. Kalau udah gini malah teater yang kena imbasnya."

"Diem Wen." Bagas memperingati Wenda karena wajah Vega nampak tidak bagus sekarang.

Belum sempat Vega pergi mereka dikejutkan setelah mendengar keributan dari dalam kelas hingga menyita perhatian banyak orang.

BRAK.

Angkasa melempar buku paket di dekatnya pada tembok tepat disamping telinga Dera.

"Lo kenapa!? Kalo ada masalah sama gue bilang LANGSUNG anjing!" amuk Dera, tubuhnya ditahan oleh beberapa anak perempuan saat hendak menghampiri Angkasa.

"Otak lo ada isinya? Sadar gak omongan lo barusan bisa bikin Qila sakit hati."

"Halah belain aja si cupu terus. Udah dikasih apa lo sama dia sampe segitunya belain cewek kriminal itu."

"Anjing." Angkasa hampir saja menendang bangku di kelas bila tidak ditahan oleh anak-anak yang lain.

"Jaga ya mulut lo," tunjuk angkasa. "Beruntung lo cewek, gue lagi nahan buat gak jadi brengsek karna nampar cewek."

"Mikir Sa apa dengan lo bela dia semua kesalahan dia bisa diterima?" Dera berdecih sinis. "Semua orang aja tahu kalau masalahnya ada di cewek itu."

"Lo siapa? Tuhan?" tanya Angkasa skeptis sambil menghempas tangan yang menahannya. "Lo pikir di dunia ini cuma dia yang buat dosa? Sesuci apa diri lo sampai bisa hakimin orang seenaknya gitu."

Mata Angkasa melirik orang-orang yang menyaksikan dia mengamuk. Lucu sekali pikirnya. Manusia itu terbentuk dari ego, mereka hanya akan tertarik pada sesuatu yang dapat dijadikan bahan omongan dan disebarluaskan, Angkasa muak.

"Gue tanya sekarang," ucap Angkasa sambil menunjuk Firda tak jauh dari posisi Dera. "Waktu buku paket ekonomi lo ketinggalan, buku siapa yang ada di kolong meja lo?"

"Atau lo," tunjuk Angkasa yang kini beralih pada Gio. "Gak inget dasi yang lo pakai biar gak kena razia punya siapa? Dia yang lo semua hina itu gak pernah nunjukkin rasa benci buat lo semua, dia selalu bantu diem-diem tapi apa balesannya?"

"APA GUE TANYA ANJING!?" Angkasa menendang meja hingga menabrak meja yang lain. "Dia gak marah pas lo hapus nama dia dari daftar kelompok padahal semua tugas dia yang kerjain."

Dera meneguk ludahnya kasar.

"Dia lebih milih pergi ke gedung kosong sambil bawa bekal makan siangnya daripada harus bersosialisasi sama makhluk sok suci kayak lo semua! Babi aja gak lebih hina dari lo pada ya setan."

Meledak sudah semua emosi yang Angkasa tahan sejak Qila menyuruhnya diam. Tidak bisa. Angkasa tidak mau hanya diam disaat dia sendiri menyaksikan ketidakadilan macam apa yang Qila terima.

Qila yang selalu sendirian, yang selalu menerima takdir dengan pasrah, yang tak mau memperpanjang urusan karena takut jadi pihak yang disalahkan, Qila yang masih bisa tersenyum meski berkali-kali dicibir oleh semua orang.

Semakin Angkasa mengingat semuanya, semakin marah dirinya sekarang.

"Mental lo semua itu pembuli. Beraninya main keroyokan. Gak peduli salah atau bener yang penting bacot dulu digedein. Tai."

Angkasa mendorong semua orang yang menghalangi jalannya keluar kelas hingga akhirnya berpapasan dengan Vega.

Satu lagi hal menjijikan yang Angkasa tahu bahwa selama ini kehadiran Qila di ekskul teater tidak lebih hanya untuk diperalat menjadi pembantu.

"Lo juga mikir." Angkasa menatap Vega lalu beralih pada dua orang di sampingnya. "Kalau tujuan ekskul lo cuma buat tempat buli mending bubarin sekalian. Jangankan jadi ketua ekskul jadi manusia aja gak becus! Sampah."

***

"Nah udah pada ngumpul semua, kan?" Edgar menepuk kedua tangannya. "Gue serahin ke lo, Bar. Selesein apa yang udah lo mulai."

Akbar tersenyum tipis bersamaan dengan Edgar yang menepuk pundaknya.

"Masuk sana Dirga." Edgar sedikit mendorong Dirga yang kini keadaannya sudah lebih baik dan sudah diobati. "Gue cabut buat nemenin Qila dulu, lo semua gak usah ribut disini. Gue ngumpulin dan nyewa ruangan ini bukan buat ring tinju, paham?"

Daniel melengos tak peduli. Sedangkan Saka mengangguk sekali lalu membiarkan Edgar pergi menyisakan mereka berempat di ruangan khusus yang sengaja Edgar sewa, katanya anggap saja sebagai temu perdana keluarga mereka setelah sekian lama.

Ada empat buah sofa dengan jarak sekitar setengah meter antar ruangnya. Ruangan yang cukup luas namun terlalu senyap sebab tak ada satupun dari mereka yang mau membuka suara.

"Jadi..." Akbar berdeham kecil. "Gimana kabar kalian?"

Tidak ada satupun yang menjawab, ketiga anaknya diam dengan berbagai macam ekspresi.

Dari kacamata Qila, Akbar digambarkan sebagai sosok ayah yang selalu peduli hanya pada ketiga anak lelakinya saja. Tapi apakah benar? Apakah ketiga anaknya itu memang merasakan kasih sayang Akbar pada mereka selama ini?

"Gak usah basa basi lah, langsung aja bilang tentang kondisi Qila sekarang," sinis Daniel enggan menatap wajah ayahnya sendiri.

Mungkin kalau bukan karena Qila sampai kapanpun Daniel tidak akan sudi dipaksa bertemu seperti ini.

"Niel," peringat Saka tidak mau menambah masalah.

"Gue muak banget liat muka dia," tunjuk Daniel. "Jadi sebelum emosi gue keluar lagi mending pembahasan ini cepet diselesein."

"Lo gak sopan," ujar Dirga yang masih berdiri sejak tadi.

"Gue gak berniat sopan sama siapapun."

Atmosfer ruangan berubah menjadi berat, disaat Daniel dan Dirga saling melempar tatapan tajam Akbar masih diam mengamati, pikirannya terlempar jauh pada jurang penyesalan, ternyata sudah sejauh ini Akbar berbuat kesalahan.

"Bang lo mending duduk dulu," ucap Saka untuk Dirga. "Masalah gak akan kelar kalo lo semua adu bacot terus."

"Gue bacot gini aja gak bisa bikin dia sadar," celetuk Daniel. "Mending lo balik ke apartemen cewek lo sana, ada atau engga ada lo disini gak penting. Peduliin aja cewek lo sampe mampus."

Dirga menahan kepalan tangannya agar tidak lolos menghantam mulut Daniel yang kurang ajar.

"Cukup Daniel." Akbar memijat keningnya pusing. Lebam diwajahnya belum sembuh semua berkat hantaman anak keduanya itu.

Daniel berdecih lalu membuang muka. "Om Edgar sia-sia nyewa ruangan kayak gini. Sekalipun kita kumpul emang semuanya bisa diperbaikin? Keluarga kita udah terlalu rusak dan gak ada harapan."

"Terus lo mau selamanya kayak gini?" Kini berganti menjadi Dirga yang menggeram kesal. "Lo pikir semua terjadi tanpa campur tangan lo?"

"Ngomong apa lo anjing." Daniel bangkit dari duduknya, mencekram kerah Dirga dengan mata yang menyorot dendam. "Gak usah sok bijak, gue udah bilang kan kehadiran lo gak begitu berguna disini."

"Anjing ya lo." Dirga melepaskan cengkraman Daniel dan balas mendorong dada adiknya itu. "Gak usah sok keras anjing. Emang apa yang udah lo lakuin buat keluarga ini hah? Lo aja bertingkah kaya anak yang gak tahu aturan! Gak usah sok nantangin gue."

Akbar bangkit dengan cepat dan menampar kedua anaknya keras. "Ayah gak didik kalian buat maki satu sama lain kayak gini."

"Emang apa yang udah ayah lakuin buat ngedidik kita?"

"Daniel!" teriak Akbar yang tak suka ucapannya dibantah. Terlebih kalimat tersebut menikam jantungnya untuk kesekian kali.

Kini Daniel berbalik menatap nyalang pada sosok lelaki yang menganggap dirinya ayah itu.

"MAKANYA JAWAB! AYAH UDAH NGEDIDIK APA BUAT AKU SAMA YANG LAIN!"

"Gak ada, kan? Kita semua ayah tinggalin. Ayah sibuk sama urusan kantor, bajingan satu ini sibuk katanya sama urusan kampus padahal kelayapan sama pacarnya, terus bagian mana yang bisa aku contoh kalau kayak gitu?"

Kepala Akbar ingin pecah mendengar rentetan kalimat dari bibir Daniel.

"Kalau udah gagal seharusnya gak usah nyesel biar brengseknya gak setengah-setengah." Daniel menghempas tangan Saka yang mencoba membuatnya tenang.

"Aku emang goblok gak pernah perhatiin Qila, tapi seenggaknya setiap pagi aku selalu berusaha nemenin dia makan."

Dirga terkekeh sinis. "Tapi lo yang sering bilang kalah Qila bodoh diantara kita semua kan? Lo yang sering cemooh Qila kalau dia dapet ujian kecil sampai ngadu ke gue karena selalu jadi bahan olokan. Apa dengan nemenin dia sarapan setiap hari bisa redain rasa bersalah lo?"

Brengsek. Daniel bungkam mendengar penuturan dari Dirga tersebut. Kalimat yang menikamnya begitu tepat dan meluluhlantakkan semua emosi yang ia tahan.

"Udah?" tanya Saka pada keduanya, nada bicara yang begitu dingin dan datar. "Selesai belum bacotnya?"

Ruangan kembali senyap. Menyisakan Saka yang hanya dapat menghela napas frustasi.

"Mau sampai kapan bahas siapa yang paling salah disini? Sampe Qila nyerah sama hidupnya? Sampe kalian semua beres nyebutin kesalahan satu sama lain?" ucap Saka.

Jemari Akbar mengepal dalam sudut hatinya perasaan bersalah kembali menyelimuti. Kenapa ia terlalu ringan tangan dalam menyelesaikan masalah? Saka yang lebih muda dari siapapun disana dapat bersikap lebih dewasa daripada dirinya.

"Gue salah, lo salah, ayah salah, semua salah. Gak ada yang bener. Terus dengan kalian nyalahin satu sama lain bisa bikin Qila langsung sembuh?"

Saka tahu mereka semua punya salah dan penyesalan masing-masing. Namun tidak bisakah masalah itu dipendam dan dijadikan hukuman untuk diri mereka sendiri?

Saat ini Qila tidak butuh list kesalahan yang sudah mereka lakukan.

"Qila harus sembuh tapi kalau kalian semua terus begini sampai kapanpun dia gak akan pernah mau berusaha buat sembuh."

Saka yang pendiam, dia yang tak banyak bertindak, dia yang selalu mengamati, dia yang selalu memendam segalanya, Saka yang seperti itu telah menjadikan Qila seperti sekarang.

"Benar." Akbar memejamkan mata. "Maafin ayah karena sudah gagal untuk kalian semua."

"Ayah tahu gak pantes buat bilang ini sekarang, tapi sungguh ayah benar-benar menyesal karena sudah meninggalkan kalian. Ayah sudah egois dan berpikir bahwa kalian bisa tumbuh dengan baik meski tidak diawasi penuh oleh ayah. Kalian pantas marah, pantas untuk membenci ayah karena mau bagaimanapun semua ini berawal dari kesalahan ayah."

"Apa pentingnya maaf ayah sekarang?" gumam Daniel.

"Mungkin bagi lo enggak, tapi bagi Qila itu penting," timpal Saka. "Jangan egois buat mikirin perasaan lo doang. Sekarang ada perasaan Qila yang harus dipikirin diatas apapun. Lo mau Qila hilang Niel?"

Daniel menggeleng lemah. Dia tahu kesalahan yang dirinya sendiri lakukan pun tidak pantas untuk mendapatkan maaf dari Qila dengan mudah.

Daniel hanya....

... dia hanya bingung harus melampiaskan rasa sesalnya pada siapa dan bagaimana.

Karena sesungguhnya mereka semua sudah saling menyakiti satu sama lain.

Mereka memiliki luka pada versinya masing-masing.

"Maaf ayah sudah menampar kalian," ujar ayah menatap kedua putranya yang baru saja ia tampar. Tangannya tergerak ingin mengelus kepala keduanya namun Daniel menghindar sedangkan Dirga hanya diam.

"Ayah tahu ini sudah sangat terlambat, ayah gak akan paksa kalian untuk maafin ayah sekarang. Maaf karena gagal ya, ini pertama kali ayah menjadi orang tua dan memang sebodoh ini ayah hidup."

Ayah maju merengkuh ketiga putranya yang kini diam tanpa penolakan. Sudah sebesar ini semua anaknya dan Akbar melewatkan setiap pertumbuhan berharga dari semuanya.

"Qila butuh kita semua untuk sembuh," ujar Akbar yang kini mulai menangis dihadapan ketiga putranya.

Akbar yang selalu ingin terlihat kuat, tegas dan berwibawa dihadapan keempat anaknya kini hanya bisa menangis seperti kucing yang kelaparan.







***

a/n:

Sabar yaaa pelan pelan kita perbaiki semua hal yang udah terjadi. Dalam hidup gak semua harus tentang 'pembalasan'. Ada hal yang paling sulit diterima sebagian besar orang yaitu berdamai dengan keadaan.

Kalian tim happy atau sad ending nih?

Ga verder met lezen

Dit interesseert je vast

46.4K 1.6K 47
Kaira adalah seorang bad girl dengan rupa seorang gadis yang berwajah polos. Tapi, sifatnya tidak sepolos wajahnya. Kaira adalah seorang bucinlovers...
1.6M 32.7K 14
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
229K 8.2K 47
Rania, seorang gadis yang berharap mendapatkan kebahagiaan kini menemukan kebahagiaannya walau hanya sementara.
164K 20.6K 43
Bagaimana perasaanmu jika tinggal bersama lima orang cowok dalam satu rumah, dan kamu adalah cewek satu-satunya? Takut? Sedih? Atau malah bahagia kar...