Paradise (Segera Terbit)

De ohhhpiiu

2.6M 141K 5.2K

[PART MASIH LENGKAP] "Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua... Mais

Bab I
Bab II
Bab III
Bab IV
Bab V
Bab VI
Bab VII
Bab VIII
Bab IX
Bab X
Bab XI
Bab XII
Bab XIII
Bab XIV
Bab XV
Bab XVI
Bab XVII
Bab XVIII
Bab XIX
Bab XX
Bab XXI
Bab XXII
Bab XXIII
Bab XXIV
Bab XXV
Bab XXVI
Bab XXVII
Bab XVIII
Bab XXX
Bab XXXI
Bab XXXII
Bab XXXIII
Bab XXXIV
Bab XXXV
Bab XXXVI
Bab XXXVII
Bab XXXVIII
Bab XXXIX
Bab XL
Bab XLI
Bab XLII
Bab XLIII
Bab XLIV
Bab XLV
Bab XLVI
Bab XLVII
Bab XLVIII
Bab XLIX
Additional Part 1
Additional Part 2
Additional Part 3
SEGERA TERBIT

Bab XXIX

55.5K 3K 306
De ohhhpiiu

Menyesal sekarang apakah masih berguna?

***

Edgar berlari disepanjang lobi hotel dengan perasaan kesal. Begitu sampai di salah satu kamar yang ia yakini tempat bermalam Akbar sekarang, tanpa takut ia menggedor kamar itu bak orang kesetanan.

"Woi anjing keluar lo!"

Beberapa orang yang merasa terganggu langsung menghubungi satpam. Mereka takut keributan itu mengundang marabahaya lain.

"AKBAR!!" Edgar menendang pintu hotel dengan brutal, bodoh amat dengan biaya perbaikan, gaji yang ia hasilkan jauh lebih cukup untuk membayar semua kerugian. "Anak lo masuk Rumah Sakit bisa-bisanya lo enak tidur ya bangsat!"

Perlu waktu lama sampai sang pemilik kamar muncul dengan wajah terganggu tanpa dosa.

"Wah ini nih si bangsat baru keluar," sinis Edgar, kepalanya melirik sekitar pada beberapa orang yang kini memperhatikan. "Gue tahu goblok gratis tapi gak usah lo embat semuanya."

"Gak usah ikut campur, Gar. Ini urusan keluarga gue." Akbar sungguh kesal dengan kelakuan sahabatnya saat ini. "Gue tahu apa yang harus gue lakuin."

"Oh iya? Kalau lo tahu apa yang harus lo lakuin, sekarang gak mungkin lo masih bisa santai di kamar hotel kayak gini. Hati lo kemana sih, Bar. Anak kandung lo masuk Rumah sakit."

"Gue tahu." Malu karena perdebatan mereka disaksikan orang lain Akbar mengacak kasar rambutnya. "Cuma demam biasa satu hari dirawat juga sembuh, gak usah perpanjang masalah, Gar. Dia anak gue jadi gue tahu apa yang harus dilakuin lebih dari lo yang cuma orang asing."

BUGH. Edgar menonjok rahang Akbar dengan sangat keras hingga terpelanting menabrak pintu kamar.

"Anak lo sekarat di Rumah Sakit anjing!"

"Kalau lo gak bisa dan gak mau ngurus anak lagi, biar gue yang urus semuanya. Serahin hak asuh anak lo dibawah kartu keluarga gue. Bajingan lo Akbar gak nyangka selama ini gue temenan sama modelan iblis kaya lo." Kalau saja tubuh Edgar tidak ditahan oleh dua satpam yang baru saja datang, sudah dipastikan lebam di wajah Akbar akan lebih dari satu hantaman.

Kepala Akbar berdengung akibat pukulan keras dari Edgar. Sejak remaja ia dan Edgar jarang berselisih paham hingga menggunakan kekerasan. Namun kesabaran Edgar sudah berada pada batas toleransi.

"Gue orang pertama yang bakal ketawain lo kalau sampai nangis gara-gara nyesel udah telantarin anak lo anjing!"

Edgar mendorong kedua satpam yang mencekal bahunya. "Minggir, bilangin ke manager lo biaya perbaikan bakal gue bayar asal usir dulu bajingan satu ini."

Lagi, sebelum benar-benar pergi meninggalkan Akbar yang termenung di depan pintu kamar hotelnya, Edgar berucap sinis, "Gimana perasaan istri lo setelah ngeliat kelakuan bejat suaminya yang rela nelantarin anak cuma gara-gara patah hati."

"Seharusnya anak-anak lo bisa dapet sosok ayah yang lebih pantes, bukan pengecut kayak lo, cuih."

***

Dirga melirik rentetan pesan dan telepon yang masuk beberapa jam lalu. Ini sudah pukul 04.00 pagi, untuk apa Daniel menelpon dirinya tengah malam tadi?

"Sayang," panggil seseorang yang mengalihkan atensi Dirga dari hapenya.

"Hei kok udah bangun? Perutnya masih sakit?"

Alya mengangguk kecil membuat senyum tipis Dirga terbit. "Aku bikinin kompresan lagi ya biar sakitnya baikan."

"Jangan terlalu panas tapi," ujar Alya sambil mengerucutkan bibir.

"Haha okay sayang." Dirga mencubit hidung Alya gemas. "Tunggu sebentar disini."

Alya menopang dagu dengan sebelah tangan. Malam ini Dirga menginap di apartemennya karena sepanjang malam Alya mengeluh sakit pada perut.

"Ini aku bikin yang gak terlalu panas." Alya tersenyum menyambut Dirga dengan sebuah kompresan yang segera diberikan untuknya. "Mau sambil tiduran atau duduk aja?"

"Disini aja." Alya menepuk sofa di sampingnya yang kosong. "Aku mendadak gak bisa tidur."

"Gak apa-apa nanti setelah di kompres pasti ngantuk lagi, baru lanjut tidur, kamu gak ada kelas kan hari ini?"

Alya mengangguk. "Hape kamu bunyi terus semalam."

"Maaf ya pasti kamu keganggu." Dirga mengelus kepala Alya sayang. "Adik aku telepon."

"Kenapa sampai berkali-kali gitu?"

Dirga menaikkan bahu. "Iseng mungkin."

Kedua tangan Alya maju memeluk tubuh Dirga yang terbalut kaos hitam polos. "Siang ini kamu mau pulang ke rumah?"

Dirga tampak menimbang sebentar, apakah sebaiknya ia memastikan saja kenapa Daniel menelponnya?

"Gak usah yaaa? Temenin aku aja disini, lagian kamu juga gak ada kelas kan?"

"Iya sih," Dirga menepikan anak rambut yang sedikit menutupi wajah Alya. "Kenapa kamu gak bolehin aku pulang?"

"Bukan gak boleh." Alya menegakkan sedikit kepalanya. "Aku cuma pengen habisin waktu lebih banyak sama kamu, selama ini kamu sibuk sama kuliah sampai lupain aku."

"Aku gak lupain kamu, emang tugas lagi banyak banget akhir-akhir ini. Apalagi aku lagi siapin projek akhir, kamu gak salah paham karena hal ini kan?"

Alya menggeleng kecil. "Enggak. Tapi boleh kan aku minta waktu kamu sebentar? Sehari aja."

"Okay kalau itu bisa bikin perasaan kamu lebih baik." Putus Dirga tanpa pikir panjang.

Alya tersenyum senang lalu mengeratkan pelukannya. Dibalik senyuman manis yang ia sematkan, ada sebuah kepuasan karena telah berhasil membuat Dirga memilihnya.

Sebenarnya Alya sudah menghapus pesan yang datang atas nama Daniel di ponsel Dirga. Daniel yang Alya yakini sebagai salah satu dari adiknya, sungguh mengganggu.

Apalagi ketika beberapa pesan datang dan mengatakan bahwa Qila masuk rumah sakit. Alya tidak mau waktunya dengan Dirga diganggu oleh siapapun, bahkan adik Dirga sekalipun.

"Sayang."

"Hm," gumam Dirga pelan.

"Kamu sayang aku, kan?"

"Kok tanya gitu? Jelas aku sayang kamu."

"Suka aja denger kamu bilang sayang ke aku," ujar Alya yang mengundang tawa kecil Dirga.

"Dasar manja."

Alya merasa berhak melakukan hal ini karena dirinya lah yang menemani Dirga di masa terpuruk lelaki itu. Hanya dia yang bertanya bagaimana perasaan Dirga dan membantunya melalui semua luka yang coba Dirga pendam seorang diri.

Toh Dirga pun sayang padanya, jadi menghapus beberapa pesan itu bukan hal yang besar, kan?

Alya yakin Dirga akan memaklumi apa yang ia lakukan.

Karena Dirga menyayanginya.

***

"Udah aku bilang, kan? Ayah gak akan peduli."

"Lo masih punya gue sama Daniel."

"Aku gak punya siapa-siapa."

"Qi, please." Pinta Saka dengan sangat memohon. "Lo belum lama siuman, lebih baik tidur lagi oke? Tubuh lo butuh banyak istirahat."

"Kenapa Ka? Kenapa baru sekarang? Kamu kasihan sama aku karena sakit ini? Aku bakalan tetep mati meskipun berobat."

"QI!" Qila tersentak. Saka yang sadar sudah menaikkan nada bicaranya langsung merubah ekspresinya. "Jangan bawa kematian, Qi. Gue mohon. Lo gak tahu sepanik apa gue ngeliat lo pingsan semalem?"

Qila melengos.

"Dokter bilang masih bisa sembuh."

Itu kata dokter. Dulu bunda pun sering mendengar kata-kata itu tapi apa buktinya?

"Keluar Ka aku gak mau bicara sama siapapun sekarang."

"Oke gue keluar asalkan lo tidur dulu."

"Udahlah, Ka." Qila menghela napas jengah. "Stop kaya gini, gak usah peduliin aku kayak yang selama ini kamu lakuin, aku gak butuh."

"Lo mau sembuh, kan Qi?"

"Buat apa? Buat siapa aku sembuh?"

"Diri lo sendiri."

"Aku gak berharap buat sembuh."

"Buat gue atau buat Daniel. Sembuh buat kita berdua."

"Kenapa harus?"

"Qi." Saka mulai frustasi.

"Kenapa aku harus sembuh demi kalian berdua?" tanya Qila tak mau kalah. "Jawab."

"Gue-"

"Ka, jangan buat aku kelihatan menyedihkan lebih dari ini."

"Lo gak menyedihkan."

"AKU MENYEDIHKAN KA!" Qila mengacak rambutnya kesal. "Kamu gak inget gimana bunda berakhir? Percuma Ka, aku bakalan tetap mati."

Saka menecekram pinggir kasur Qila. Kepalanya pening harus menyakinkan Qila bagaimana lagi untuk tidak menyerah atas hidupnya.

"Maaf."

"Maaf kamu gak menyelesaikan masalah."

Saka mengangguk paham namun ia tetap meneruskan. "Maaf karena gak pernah tanya keadaan lo."

"Maaf udah gagal jadi saudara kembar lo."

"Maaf gak bisa lindungin lo."

"Maaf gue gak ada disaat lo butuh. " Qila merasakan de javu karena Daniel pernah mengatakan hal ini sebelumnya.

"Jangan nyerah Qi, entah demi gue atau demi siapapun, tolong berjuang buat hidup."

"Jangan tinggalin gue."

"Egois, padahal selama ini kamu yang ninggalin aku," ucap Qila tersenyum pahit.

"Iya." Saka menunduk merasakan pening semakin jadi. "Makanya siksa gue, buat gue ngerasain apa yang lo rasain dulu, asal jangan hukum gue dengan cara lo nyerah buat hidup."

"Qi." Saka kehabisan kata-kata. "Tolong."

"Dulu kayaknya kamu orang pertama yang pengen aku pergi. Bahkan ngeliat muka aku pun kamu gak sudi."

Bodoh. Saka akui dirinya memang bodoh.

"Waktu aku nangis dan samperin kamu ke sekolah, kamu ke ganggu kan? Aku bilang gak usah dianter bukan karena aku gak mau Ka, tapi aku sakit hati kamu natap aku seolah penganggu. Kamu ninggalin aku di parkiran. Kamu bahkan gak tanya apa aku udah sampai selamat ke rumah atau belum." Tangan Qila memukul-mukul dadanya. "Baru sekarang disaat aku mau mati kamu baik begini?"

Qila menangis sambil menutup wajah dengan kedua tangannya. Tangisannya memenuhi ruangan dengan pilu. Saka pun turut menangis, ia merangkul tubuh Qila ke dalam dekapannya.

"Maaf."

Diluar ruangan, Daniel yang semula ingin masuk mendadak menghentikan tangan yang akan memutar kenop pintu.

Hatinya ngilu mendengar percakapan kedua adiknya yang kini menangis sedu. Sungguh Daniel kecewa pada dirinya sendiri yang tak bisa melindungi dan gagal menjadi seorang kakak.

Dari arah belakang langkah kaki yang mendekat mengundang decak sinis dari Daniel.

Kenapa baru sekarang?

"Buat apa kesini?"

"Mending ayah balik lagi, urusan kantor lebih penting kan dari ini?" ujarnya masih dengan memunggungi lawan bicaranya.

"Daniel," panggil Akbar pelan.

"Ayah tahu kan kalau ayah udah gagal jadi orang tua? Bagi aku sendiri kehadiran ayah udah lama mati," geram Daniel dengan tangan terkepal. "Tapi aku pun gak ada bedanya sama ayah. Aku juga andil karena buat Qila sampai kayak gini."

"... adikmu sakit apa?"

"Emangnya ayah peduli?"

"Ayah-"

"Kanker," potong Daniel cepat. "Penyakit yang sama yang udah ambil bunda dari sisi aku."

Deg.

"Gak usah pasang wajah kaget begitu. Gak cocok dimuka ayah." Daniel terkekeh. "Ayah kan suka pukul Qila setiap kali dia buat salah."

"Mungkin bagi Qila sakitnya sekarang gak ada apa-apanya sama semua hal yang udah terjadi."

"Ini... bohong, kan?"

Daniel terkekeh, mendengar suara ayah yang bergetar mengingatkan Daniel pada situasi di masa lampau.

"Aku gak akan bisa maafin diri aku kalau sampai Qila kenapa-kenapa." Daniel kini berbalik menatap wajah pias ayahnya yang disertai lebam. "Ayah juga harus ngerasain itu. Anggap aja Tuhan lagi hukum ayah dan kita lewat cara ini."

"Gak adil, kan? Seharusnya bukan dia yang ngerasain semua penderitaan ini."

Akbar merosot lemas ke lantai rumah sakit. Sayup-sayup ia dapat mendengar tangis kedua anaknya dari dalam kamar.

Mata akbar sudah memerah, kenyataan yang baru saja menamparnya membuatnya kesulitan mengambil napas.

Jadi ini kah yang disebut penyesalan?

Kenapa sesaknya bisa sedalam dan sedahsyat ini.

Kenapa,

Kenapa harus putrinya?

Kenapa bukan dia saja. Dia yang sudah berbuat jahat.

Putrinya.... bahkan tidak melakukan kesalahan apapun.

"Kenapa kamu gak langsung kasih tahu ayah?"

Daniel tercekat seakan suaranya habis di tenggorokan. "Gimana bisa?"

"Satu panggilan pun gak ada yang ayah jawab."

Akbar termenung. Kepalanya penuh dan seketika berat.

Benar.

Semua ini salahnya karena mengabaikan setiap pesan juga panggilan yang masuk, padahal Akbar tahu tapi ia abai.

Akbar bahkan... pernah mengatakan untuk tidak menghubunginya apabila tak ada kabar mendesak.

Daniel berdecak. "Satu pukulan dimuka ayah itu gak cukup."

"Pukul ayah lagi," ujar Akbar kemudian. "Pukul. Cepat Daniel pukul ayah."

Daniel yang ditawari secara cuma-cuma tak menyia-nyiakan kesempatan. Ia maju dan langsung meninju wajah ayahnya. Air mata lolos dan membasahi wajahnya.

"Ini karena ayah sering pukul Qila."

Bugh.

"Ini karena ayah gak jawab semua pesan dan panggilan semalam padahal aku kebingungan setengah mati nyari pertolongan."

Bugh.

"Ini karena ayah udah ninggalin aku dan semuanya."

Bugh.

Akbar tak menepis semua tinjuan keras yang Daniel layangkan. Anak tengahnya sudah sebesar ini, pukulannya sudah sangat kencang melebihi kekuatan Edgar yang sudah lebih dulu menonjoknya.

Air mata Daniel jatuh, suaranya bergetar, kepalan tangannya mengencang seiring keduanya menecekram keras kerah kemeja Akbar hingga kusut.

"Brengsek ayah! Kenapa harus Qila yang sakit! Kenapa harus dia?!"

Akbar sendiri pun tidak tahu,

Kenapa harus Qila? Kenapa tidak dirinya saja.

"Ayah!" Lengkingan suara Qila terdengar dari dalam.

Akbar menunduk, suara manis yang masuk ke dalam telinganya itu kini menyakiti perasaannya. Akbar bahkan tak sanggup untuk sekadar melihat wajah putrinya.

Tangan Daniel dilepas paksa oleh Saka. Beberapa petugas kesehatan berlarian mendekat, memastikan keadaan.

"Lo apa-apaan sih Niel!?" sentak Saka. "Dimana otak lo!"

"Harusnya dia yang lo tanya dimana otaknya sekarang," tunjuk Daniel pada ayahnya sendiri. "Gue benci ngeliat mukanya."

Qila menutup mulutnya dengan kedua tangan. Pintu kamarnya terbuka lebar, ia menyaksikan bagaimana brutalnya Daniel menonjok Akbar barusan.

"Gak gini caranya." Saka mendorong bahu Daniel. "Lo gak pikirin perasaan Qila? Dia kaget liat kejadian barusan tolol."

Daniel menoleh ke arah Qila yang masih dilanda keterkejutan. Lalu mendengkus yang penting emosinya sudah tersampaikan.

Saka melirik sekilas pada ayahnya yang kini berhias luka. Ia lalu melepas cekalan pada Daniel dan berjalan kembali ke dalam kamar.

"Lo mau gimana sekarang."

"A-apa?"

"Ayah udah disini," ujar Saka. "Lo mau dia pergi atau gua yang tonjok dia lagi?"

Qila membulatkan mata.

"Ngeliat Daniel yang puas habis nonjok ayah, kayaknya-"

"-Enggak," potong Qila cepat. "Jangan pukul ayah."

"Lo masih belain dia? Setelah semua hal terjadi, Qi?"

"Yang perlakuin aku begitu bukan cuma ayah." Wajah sembab Qila kembali berkaca-kaca. "Kamu gak lupa, kan?"

Jantung Saka seakan tertikam pisau tajam. Ia langsung tersadar tak hanya ayah yang sudah menyakiti hati Qila, ia juga turut andil dalam menorehkan luka.

"Aku gak mau ketemu siapapun sekarang. Gak kamu, Daniel, atau ayah sekalipun."

Saka mengangguk paham. "Oke." Ia takkan protes lebih akan hal ini. Kalau Qila ingin seperti itu maka Saka kabulkan, yang penting perasaan Qila dapat membaik meskipun sedikit.

Saka menurunkan ranjang Qila agar dapat tertidur nyaman. Setelah membaringkan Qila, Saka menarik selimut lalu mengusap sekilas kepala Qila.

"Selamat tidur."

Sapaan terakhir yang Qila dengar sebelum pintu kamar ruang inapnya tertutup menyisakan Qila seorang diri.


Oh iya, kasih tahu aku dong kenapa kalian bertahan baca cerita ini? Di cerita ini siapa tokoh favorit kalian?

Continue lendo

Você também vai gostar

lelah [End] De Royls_LiJen👑

Literatura Feminina

731K 32.1K 47
CERITA INI PINDAH KE DREAME BEBERAPA BAB AKAN DI HAPUS UNTUK KEPENTINGAN PENULIS " gue lelah ngejar-ngejar lo terus, kayaknya gue gak mau berjuang la...
87.7K 8.1K 39
Highest Rank #250 of 13,6k in random [05/05/20] #336 of 39,7k in Indonesia [12/10/2021] #156 of 28k in roman [12/10/2021] #432 of 26,3k in badgirl [1...
8.2K 2K 43
Alana adalah seorang gadis yang ceria tetapi orang-orang tidak tahu bahwa Alana mempunyai penyakit yang berhubungan dengan jiwanya dan memiliki traum...
12K 1.3K 49
(YANG SUSAH BAPER HARAP MENDEKAT) (SEBAGIAN PART DI PRIVAT, FOLLOW DULU BARU BISA BACA) 🎐 ☄️Apa Yang Akan Terjadi, Jika Si Dingin Bertemu Dengan Te...