Paradise (Segera Terbit)

By ohhhpiiu

2.6M 141K 5.2K

[PART MASIH LENGKAP] "Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua... More

Bab I
Bab II
Bab III
Bab IV
Bab V
Bab VI
Bab VII
Bab VIII
Bab IX
Bab X
Bab XI
Bab XII
Bab XIII
Bab XIV
Bab XV
Bab XVI
Bab XVII
Bab XVIII
Bab XIX
Bab XX
Bab XXI
Bab XXII
Bab XXIV
Bab XXV
Bab XXVI
Bab XXVII
Bab XVIII
Bab XXIX
Bab XXX
Bab XXXI
Bab XXXII
Bab XXXIII
Bab XXXIV
Bab XXXV
Bab XXXVI
Bab XXXVII
Bab XXXVIII
Bab XXXIX
Bab XL
Bab XLI
Bab XLII
Bab XLIII
Bab XLIV
Bab XLV
Bab XLVI
Bab XLVII
Bab XLVIII
Bab XLIX
Additional Part 1
Additional Part 2
Additional Part 3
SEGERA TERBIT

Bab XXIII

46.7K 2.9K 64
By ohhhpiiu

⚠️ Warning this chapter containing animal abuse ⚠️
Harap bijak dalam membaca.

(Bawa Dia Kembali - by Mahalini)

Tolong jangan ambil mola pergi, ayah.

🐰🐰

Ayah pergi keluar kota. Kemungkinan akan menghabiskan waktu satu minggu, karena mendadak investor proyek menarik dana secara tiba-tiba.

Tentu saja Qila senang dengan berita ini, bukan bermaksud senang atas kesusahan yang Akbar rasakan, tetapi berkat kejadian ini ia bisa bolos beberapa waktu untuk mengistirahatkan tubuh dan otaknya.

"Bi," panggil Qila pada Bi Iyem yang sedang membersihkan dapur.

"Neng naha belum siap? Udah mau jam 7 ini."

"Aku gak sekolah ya? Kepalaku masih pusing, pengen istirahat aja." Qila terlihat melas.

Bi Iyem tampak ragu sesaat. "Iya atuh neng nanti Bibi bikin surat, ya."

"Gak juga gak apa-apa," gumam Qila tak peduli. "Pokoknya, jangan kasih tau siapapun, ayah terutama."

"Terus sekarang mau kemana?" bingung Bi Iyem.

"Mau kasih makan mola, sebentar doang kok." Qila menyengir senang karena diizinkan tidak sekolah. "Makasih bibi, Qila sayang bibi."

"Bibi juga." ujar Bi Iyem sambil tersenyum hangat.

Sebenarnya Qila bohong, hari ini tubuhnya baik-baik saja. Dia hanya malas pergi ke sekolah, bertemu dengan guru yang selalu mencibirnya, teman-teman yang selalu mengejeknya, tak ada tempat tenang untuknya di sekolah.

Lagipula sejak kemarin sore ayah pergi ke luar kota. Jadi hal ini bisa Qila manfaatkan untuk beristirahat sepuasnya.

Lupakan tentang usaha keras untuk membuat ayah bangga, sementara ini Qila perlu waktu menenangkan pikirannya sejenak dari mimpi buruk, penyakitnya, dan segala hal rumit yang hadir di hidupnya.

Senyum ceria Qila kembali merekah melihat mola makan dengan lahap. Sampai sebelum pada akhirnya kedatangan bi iyem yang tergesa-gesa menyita seluruh perhatiannya.

"Bibi kenapa lari kaya orang dikejar setan gitu?"

"Neng," Bi Iyem tampak sangat panik. "Ayo cepet masuk kamar, cepet neng. Biar bibi yang masukin mola ke kandang."

Qila mengerutkan dahi semakin bingung, "Iya kenapa dulu bi. Sebentar lagi Qila masuk kamar, kok."

"Bapak neng, bapak ada di depan rumah."

Bola mata Qila hampir saja keluar saking kagetnya. "A-ayah?"

"Ayah beneran pulang? Bukannya seharusnya ayah pulang minggu depan, bi?"

"Bibi gak tahu neng, makanya ayo cepet masuk kamar. Kalau bapak tahu neng Qila disini pagi-pagi nanti bapak marah besar."

Qila lantas meraih mola yang masih lahap makan dan segera bangkit dari jongkoknya.

"Jadi begini kelakuanmu jika ayah tidak ada!!?"

Deg. Qila tersentak dan langsung membalikan badan menyambut kedatangan Akbar dengan wajah takut.

"A-ayah."

"Dasar anak kurang ajar!"

"JANGAN!" Qila memekik keras saat mola ditarik paksa dari pelukannya.

"Ayah kira sikap tegas ayah sudah cukup membuat kamu mengerti." Akbar menepis tangan Qila yang menggapai-gapai kelincinya. "Rupanya bukan pintar malah semakin bodoh! Dikasih hati malah minta jantung!"

"Ampun, ayah... Qila salah, maaf... Ayah maaf... tolong lepasin mola. Jangan ambil mola ayah..."

"Hanya karena seekor kelinci kamu berani membolos!? Kelinci sialan ini biar ayah musnahkan saja. Awas kamu minggir!" Akbar mendorong Qila dengan kakinya.

"Enggak!" Qila bersimpuh memeluk kaki Akbar, tak membiarkan dia pergi. "Jangan, jangan ambil mola... Pukul aku aja, ayah. Iya... Qila salah! Tolong! Pukul aku lepasin mola."

Akbar mendengus tak merasa iba sama sekali. Baginya Qila memang harus diberi pelajaran agar memiliki rasa kapok. Selama ini sifatnya keras pada Qila semata-mata untuk kebaikannya.

Namun, bukannya introspeksi diri atas kesalahan yang selama ini diperbuat. Dia malah semakin nakal dan berani membolos disaat tahu Akbar punya jadwal bisnis ke luar kota.

Qila menangis tersedu-sedu, sungguh ia menyesal, amat sangat. Qila rela menukar tubuhnya asalkan mola tetap bersama Qila.

Hanya itu satu-satunya peninggalan eyang yang masih bisa Qila jaga. Mola adalah tempat pelariannya, mola tidak bersalah, semua ini adalah ulahnya. Jadi hukum dia saja! Qila terus memohon namun tak Akbar indahkan.

Suara Qila sudah hampir habis, tapi ia tetap mencekal kaki Akbar hingga tak bisa berjalan sejengkal kaki pun. Membuat ayahnya itu semakin jengkel dan habis kesabaran.

"Minggir! Jangan bikin ayah lebih marah dari ini. Bisa-bisanya kamu bolos hanya demi seekor kelinci!? sudah hilang otakmu? Iya?!"

Akbar sungguh marah, ia mencengkram kelinci kesayangan Qila dengan sangat kencang tepat dibagian leher.

Qila berbeda dengan anaknya yang lain, padahal perempuan tapi bebalnya sungguh kelewatan. Entah harus menggunakan cara apa agar dia bisa sadar bahwa tingkah lakunya itu kekanakan, Akbar sungguh tidak lagi bisa memaklumi. Ia ingin semua anaknya sukses, dan kesuksesan tidak bisa diambil dari cara malas-malasan.

Hingga tak lama,

bruk

Mola jatuh dari tangan Akbar, terlepas dengan keadaan terkapar seperti sudah tak bernapas. Qila termenung beberapa menit sebelum kembali meraung memeluk mola yang sudah jatuh di lantai dengan tangis yang begitu memilukan.

"MOLA!!"

"Mola kenapa... kenapa gak napas. Mola jangan tinggalin Qila. Mola ayo bangun nanti Qila kasih wortel kesukaan mola lagi." Tangis Qila berderai pilu sambil memeluk kelinci kesayangannya.

Akbar sama terkejutnya ia tak mengira bahwa cengkraman tangannya terlalu kencang diluar kendali.

"Mola aku mati! Mola aku hiks mati. Eyang.... mola mati eyang. Maafin Qila gak bisa rawat mola," Qila terus menggumam dalam tangisnya sembari menyerukan nama sang eyang. "Qila cuma punya mola. Mola Qila mati terus Qila punya siapa lagi? Qila... Qila sendirian sekarang..."

Tangis Qila kembali kencang hingga suaranya sampai ke ruang tengah. "Kenapa gak pukul aku aja, aku salah, harusnya aku aja yang dihukum, harusnya mola masih hidup. Masih bisa main dan makan wortel, masih bisa aku suapin kangkung."

"Ayah jahat! Qila benci ayah!"

"Kenapa Tuhan gak sekalian bawa Qila aja!? Kenapa Tuha cuma bawa bunda sama mola. Qila benci hidup disini! Qila benci hidup Qila!"

"Tuan," panggil Bi Iyem yang wajahnya juga sudah sembab. "Maaf lancang, saya teh ngerti perasaan tuan. Saya juga punya anak di rumah jadi paham kenapa tuan teh kesel sama neng Qila."

"Tapi kita mah kadang suka nuntut kesempurnaan buat anak, padahal gak tau apa yang udah dijalanin sama anak kita tiap harinya." Bi Iyem meremas kain yang biasa digunakan untuk mengelap kaca. "Atuh anak 'kan gak milih mau dilahirin sama siapa. Yang kepengen punya anak teh kita, mbok bukannya sok ngajarin tuan tapi sebelum nyesel dilain hari tolong pisan jangan terlalu keras sama anak. Kita juga sama-sama belum sempurna jadi orang tua."

"Punten ini mah saya udah gak bisa mendem lagi. Hati saya sakit tiap kali liat Neng Qila nangis."

***

Saka mengetuk kamar kembarannya beberapa kali namun tak menghasilkan jawaban. Sepulang sekolah tadi dia diberitahu tentang kemarahan ayah pada Qila yang menyebabkan kelinci kesayangannya mati.

"Qila."

"Buka ini gue."

Saka rasa ia harus melakukan hal ini, sejak kemarin perasaannya diliputi sesuatu yang tak enak. Dan itu mengganggunya.

"Buka dulu."

Tak berselang lama suara kenop pintu yang terkunci akhirnya terbuka. Penampilan Qila sungguh berantakan, hidungnya merah, wajahnya sembab dipenuhi bekas tangis.

Saka melirik ke dalam kamar Qila yang keadaannya tak jauh kacau dari pemiliknya.

"Dimana molanya?"

Qila menarik ingus dan mengusap air matanya yang kembali jatuh. "Dalem."

"Ayo, bawa kebelakang."

Qila menggeleng pelan, "Gak mau."

"Jangan keras kepala." Saka menyerobot masuk ke dalam kamar Qila yang lumayan gelap.

Dia mencari letak saklar lampu, lalu matanya menangkap sebuah kardus berisi mola yang sudah kaku tak bernyawa.

Saka tahu seberapa sayang kembarannya itu pada kelinci ini. Dan ia pun sadar, bahwa disaat semua orang meninggalkan Qila dan sibuk dengan dunia serta luka masing-masing, hanya kelinci inilah yang menemani Qila.

"Ayo kubur dia."

"Gak!"

"Lo mau ngebiarin dia gini?" tunjuk Saka pada mola.

Bibir Qila bergetar. "Tapi aku gak mau mola dikubur."

"Ayo." Saka menarik tangan Qila dan menuntunnya menuju pekarangan belakang rumah dengan sebelah tangan yang juga membawa mola. Dia sudah mempersiapkan tempat kecil untuk mengubur kelinci itu. "Kubur disini."

"Biarin dia pergi, Qi."

Qila kembali menangis, ia menatap kembali mola yang masih berada di dalam kardus, mengusap wajah serta tubuhnya.

"Mola maafin Qila gak bisa jaga kamu." Tangis Qila pecah ruah. "Andai Qila gak kasih makan dan bolos tadi mungkin kamu masih hidup ya."

"Mola, makasih udah mau jadi teman Qila."

Perpisahan ini terlalu mendadak baginya. Meskipun hanya seekor kelinci, meskipun mola tak mengerti semua hal yang Qila ceritakan selama ini.

Tapi hanya pada mola Qila melepas semua keluh kesahnya.

Saka berjongkok membantu Qila mengubur mola. Ia sesekali melirik wajah yang dipenuhi air mata itu. Mungkin jika itu dirinya yang dulu, ia akan menganggap tingkah Qila saat ini terlalu kekanakan.

Akan tetapi, perlahan Saka mulai sadar bahwa Qila hanya kesepian. Satu-satunya teman yang ia miliki pergi.

"Cengeng ya."

Saka menoleh, Qila mencoba tersenyum paksa sambil memandangi tanah di depannya.

"Dulu aku gak ngerti kenapa bunda harus ditimbun tanah kayak gini juga."

Qila, "Gak ada yang kasih tahu aku kenapa bunda gak bisa kumpul lagi sama kita kayak biasanya."

"Tapi saat itu aku masih punya mola dan bi iyem yang bisa diajak bicara. Karena yang lain sibuk sama dunianya masing-masing dan duniaku cuma mereka berdua."

Angin meniup rambut Qila hingga menutupi sebagian wajahnya. "Saka."

"Aku benci ayah."

"Semua hal yang aku lakuin untuk bisa sejajar sama kalian. Untuk bisa sepintar kamu ternyata sia-sia. Dimata ayah aku tetap anak gak berguna yang bodoh."

Saka tak menginterupsi sama sekali. Ia membiarkan Qila mengeluarkan semua isi hatinya, seperti biasa.

"Aku juga benci kamu."

Bola mata Saka sedikit bergetar, perasaannya berubah campur aduk.

"Aku benci Daniel dan Bang Dirga."

Mata Qila meredup seolah kebahagiaan tak pernah hadir di hidupnya. Mungkin ini adalah titik terendah dalam hidupnya. Kepergian mola memantik rasa putus asa di dalam hatinya yang sudah bertumpukan dengan segudang masalah yang ia miliki.

Toh cepat atau lambat Qila pun akan mati.

Ia yakin,

Bahwa waktunya tak akan lama lagi.

Dunia tak pernah membiarkan hal berjalan seperti keinginannya. Maka Qila pun memilih untuk menyerah. Ia tak akan lagi berusaha untuk apapun dihidupnya.

Karena pada akhirnya semua sia-sia.

"Bahkan mati pun jauh lebih baik daripada hidup kayak gini."

***

Setelah memastikan Qila tidur nyaman di kasurnya, Saka melemparkan pandangannya pada setumpuk buku di meja belajar Qila yang berantakan.

Ini kali pertama sejak beberapa tahun terakhir ia tak pernah lagi menginjakkan kaki di dalam kamar Qila, Saka menghela napas rasanya sudah lama sekali.

Matanya lalu menangkap sebuah amplop cokelat yang terletak tak jauh dari meja belajar.

"Hasil tes darah?" gumam Saka pelan.

Seluruh saraf Saka mendadak tak berfungsi normal begitu membaca sebait kata bercetak tebal di dalam surat tersebut.

Telinganya berdengung tak wajar. Mendadak perkataan Qila waktu itu terngiang kembali dalam pikirannya.

"Kalau aku mati, kamu bakal gimana, Ka?"

Jantung Saka seolah tertikam benda tak kasat mata. Memori ketika ia memperlakukan Qila kasar terputar ulang dalam otaknya seperti kaset kusut.

Bagaimana selama ini ia dengan kejam mengabaikannya, menganggap kehadiran Qila seolah tak ada. Tidak. Saka menggeleng beberapa kali.

Ini pasti hasil pemeriksaan yang salah.

Pasti.

Kan?

Semua ini tidak benar. Saka tak melihat tanda ataupun gejala yang Qila tunjukan, bagaimana bisa dia memiliki penyakit ini? Kanker? Yang benar saja!

Saka yakin bahwa Qila selalu terlihat baik selama ini. Dia masih tertawa bahkan berbicara bising seperti biasanya.

"Ka?" Panggil Qila dari atas tempat tidur.

Saka meremas surat ditangannya. "Sejak kapan?"

"Jawab gue sejak kapan lo ngerasa beda sama tubuh lo!"

Alih-alih menjawab Qila justru memilih untuk menatap langit-langit kamarnya.

Tidak seru.

Kenapa juga Saka harus tahu tentang penyakitnya secepat ini? Seharusnya nanti saja saat ajal benar-benar sudah dekat dengannya.

"Qila!"

"Berisik."

"Gak usah berlagak seolah kamu peduli, Ka. Kenapa? Kasihan sekarang? Telat. Aku udah gak butuh apapun dari kamu lagi, Ka."

"Pergi dari kamar ini anggap aja kamu gak pernah baca atau tahu apapun."





.....

Continue Reading

You'll Also Like

431K 35.4K 30
SERIES #1 Highest rank #77 of 53,1k in Teen [25/1/2021] #31 of 37k in Random [25/1/2021] #43 of 36,6k in Indonesia [25/01/2021] #239 of 17k in acak [...
46.4K 1.6K 47
Kaira adalah seorang bad girl dengan rupa seorang gadis yang berwajah polos. Tapi, sifatnya tidak sepolos wajahnya. Kaira adalah seorang bucinlovers...
229K 8.2K 47
Rania, seorang gadis yang berharap mendapatkan kebahagiaan kini menemukan kebahagiaannya walau hanya sementara.
2.5K 687 41
[ Part Lengkap ] SMA Foxglove membuka pendaftaran untuk peserta didik baru; Nadine Cattleya salah satunya. Nadine termasuk murid yang ditempatkan di...