Paradise (Segera Terbit)

By ohhhpiiu

2.6M 140K 5.2K

[PART MASIH LENGKAP] "Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua... More

Bab I
Bab II
Bab III
Bab IV
Bab V
Bab VI
Bab VII
Bab VIII
Bab IX
Bab X
Bab XI
Bab XII
Bab XIII
Bab XIV
Bab XV
Bab XVI
Bab XVII
Bab XVIII
Bab XIX
Bab XX
Bab XXII
Bab XXIII
Bab XXIV
Bab XXV
Bab XXVI
Bab XXVII
Bab XVIII
Bab XXIX
Bab XXX
Bab XXXI
Bab XXXII
Bab XXXIII
Bab XXXIV
Bab XXXV
Bab XXXVI
Bab XXXVII
Bab XXXVIII
Bab XXXIX
Bab XL
Bab XLI
Bab XLII
Bab XLIII
Bab XLIV
Bab XLV
Bab XLVI
Bab XLVII
Bab XLVIII
Bab XLIX
Additional Part 1
Additional Part 2
Additional Part 3
SEGERA TERBIT

Bab XXI

44.4K 2.5K 67
By ohhhpiiu

•••

Jika aku mati apakah ada yang akan menangis untukku?

***

Bahagia itu tidak ada.

Setidaknya itu yang seorang Arshaka percayai sampai saat ini. Dia tidak pernah menggantungkan kepercayaan pada siapapun. Karena lebih sedikit percaya pada seseorang maka lebih sedikit juga untuk merasa dikecewakan.

"Lah Qila mana?" Dion menghampiri Saka yang baru kembali lagi ke lapangan.

"Balik."

"Sendiri?" tanya Dion kaget. "Gak lo anterin? Dia abis nangis, Ka. Pas ketemu gue di depan aja matanya udah sembab gitu."

Saka hanya mengendikan bahu lalu kembali ke tengah lapangan untuk bergabung dengan yang lain. Dion melongo tak habis pikir.

"Lo tau, Ka? Gue yang bukan siapa-siapanya dia aja ngerasa seneng banget waktu dimintain tolong, padahal cuma nunjukin arah doang. Itu pun dia mau ketemu lo," ujar Dion dari pinggir lapangan, tak memedulikan bahwa yang akan mendengar bukan hanya Saka seorang.

"Dia nyamperin lo kesini jauh-jauh, tandanya dia ngandelin lo, tolol."

Dion melipat kedua tangan di depan dada, menguji sejauh mana seorang Saka dapat tahan dengan setiap kalimat yang ia lontarkan.

"Terus sekarang dia lo tinggal pake alasan basket? Emang basket lebih penting daripada kembaran lo?"

dug.

Saka melempar bola basket asal hingga ke luar lapangan, menyebabkan beberapa anak melirik dengan pandangan penasaran.

"Gak usah ikut campur," desis Saka berjalan mendekati Dion dengan pandangan kesal. "Dia udah gede. Bisa urus urusannya sendiri."

"Terus?" Alis Dion naik sambil tersenyum sinis. "Cuma karena udah gede berarti lo bukan saudaranya lagi?"

Dion tahu Saka hanya tengah mencari pembelaan atas rasa bersalah karena meninggalkan kembarannya seperti tadi. Namun, Dion rasa ia harus turun tangan kali ini. Harus ada yang bisa menyadarkan seberapa pengecut seorang Saka.

"Jangan nyesel kalau dia pergi dari hidup lo, Ka." Dion membalikan badan, menuju tas dan memasukkan semua barangnya, bersiap pulang. "Atau lo emang berharap gitu? Gak akan ketemu kembaran lo lagi."

"Ngomong apa lo anjing?!" Saka menarik jersey Dion kasar.

"Santai." Dion terkekeh sambil melepaskan tarikan Saka, bukan karena merasa lucu tapi miris. "Gue cuma nanya, gak usah pake emosi."

"Lucu lo, kenapa baru marah sekarang cuma karena omongan gue. Lo pikir mana yang lebih sakit? Omongan gue atau tingkah lo barusan." Ucapan Dion mampu membuat Saka diam tak berkutik. "Disaat semua orang gak peduli sama Qila, bisa-bisanya lo yang pernah hidup satu rahim barengan lebih goblok dari siapapun sampe pengen gue tonjok."

Melihat Saka yang tak bereaksi lebih membuat Dion tersenyum sinis. Sudah pasti ucapannya masuk ke dalam hati sahabatnya itu.

"Woi! Cabut duluan ya!" pamit Dion pada yang lain, setelahnya dia menepuk bahu Saka sekilas sebelum benar-benar pergi. "Nyesel emang datang di akhir, Ka."

"Hai Saka! Kenapa bengong." Belum sampai perasaan kesal reda dihatinya, sekarang Saka malah berpapasan dengan cewek tidak tahu malu yang belakangan sering mengusik dirinya. "Nungguin gue ya? Nih, minum dulu pasti lo capek."

Saka mengernyit jijik pada barang pemberian Serena. Membuat cewek itu menatapnya dengan pandangan bingung.

"Kenapa? Mau gue bantu bukain karena tangan lo basah sama keringet?" Serena terkekeh geli. "Ngomong dong, gak usah malu-malu gitu."

"Nih." Serena menyerahkan air minum yang sudah dibuka olehnya.

"Mulut lo bau. Gak usah ajak gue ngomong lagi." Saka pergi dengan wajah kesal sambil menabrak bahu Serena hingga ia mundur beberapa langkah.

Shock. Serena bahkan sampai tak memperhatikan sekitar, anggota basket dan beberapa anak cheers yang menertawakan nasib sialnya.

***

Selepas dari sekolah Saka, Qila tak langsung bergegas pulang. Ia mampir menjenguk makam bunda selagi kembali menangis, mengadu akan sepi dan ketakutan yang ia rasakan.

"Bunda kangen Qila, ya?" tanya Qila sambil mengusap nisan dengan kepala yang bersandar lelah. "Jangan sekarang ya bunda, masih banyak hal yang pengen Qila coba. Qila belum dapat temen banyak, belum bisa bikin ayah bangga."

Cukup lama Qila mengadu pada bunda seolah sosoknya memang ada secara nyata. Hingga langit mulai menguning dan berubah keemasan. Gadis dengan jaket kebesaran itu akhirnya bangkit, pamit pulang pada bunda, berjalan menyusuri jalanan yang sepi lenggang.

Bicara soal kematian, jika sampai waktunya tiba, apabila penyakit ini menang atas tubuhnya, apakah akan ada yang datang dan menangisi makamnya?

Tidak. Tidak. Qila menggeleng guna mengusir pikiran buruk yang melintas barusan. Masih stadium awal, terlalu dini untuk menyerah.

"Bener, masih ada kesempatan buat sembuh!" Qila mengepalkan tangan, berusaha menghibur dirinya sendiri.

"Kenapa baru pulang," sahut Saka ketika berpapasan dengan Qila di depan gerbang rumah. Seharusnya Qila sudah pulang dari tadi.

Saka melepas helm dan menatap wajah Qila secara seksama. "Lo nangis lagi?"

Qila membuang wajah. "Gak, kok." Lalu masuk tanpa mengucapkan hal lebih.

Saka teringat akan ucapan dari Dion yang mengusik hatinya. Ia lantas masuk dengan cepat setelah memarkirkan motor, menyusul Qila.

"Qi!"

"Ya?" Qila yang sudah naik dibeberapa anak tangga membalikkan badan.

"Lo kenapa?" tanya Saka.

Wajah Qila kembali murung, kenapa ya? Sulit juga untuk Qila menjelaskan hal ini pada Saka. Lebih tepatnya, Qila sudah tak berminat menceritakan tentang kondisi ini pada siapapun.

"Aku kenapa?" tanya Qila lagi dengan bingung. "Perasaan gak ada apa-apa deh."

"Lo nangis." Saka berjalan mendekat hingga berhadapan dengan kembarannya. "Kenapa dateng ke sekolah."

Qila diam sebentar, berusaha mencari alasan yang masuk akal. "Gak penting, Ka. Aku duluan ya capek mau istirahat."

"Kalimat lo gak ngejawab pertanyaan gue," cekal Saka.

Dia mulai lelah, setelah seharian menghabiskan waktu dengan menangis, rasanya kini ia mengantuk. Qila memejamkan mata sebentar sebelum akhirnya melemparkan pertanyaan. "Kamu takut mati?"

Saka tersentak saat Qila bertanya dengan nada datar untuk pertama kalinya.

"Jangan aneh-aneh." Saka mendengus.

"Kamu nanya alasan aku nangis, kan?" Qila tersenyum sendu, kepalanya sedikit menunduk. "Aku takut mati."

Qila mengangkat kepalanya, kini bersitatap dengan dua bola mata yang sama persis seperti miliknya. "Kalau aku mati, kamu bakal gimana, Ka?"

***

"Lo berantem sama Saka?"

Qila yang tengah asik memberikan mola makan berbalik mendapati Daniel dengan sebatang rokok yang sudah tersulut api di tangannya.

"Kamu ngerokok?"

"Belum lama." Daniel menyesap rokok ditangannya dalam. "Aura Saka kaya ngajak berantem, abis bikin masalah apa lo sama dia?"

"Emang dimata kamu aku keliatan bikin ulah terus ya?" tanya Qila nanar.

Sadar salah mengucapkan kata Daniel menepuk bibirnya kencang. "Gak, gak gitu. Maksudnya, haish! Udahlah gak usah di jawab gak penting juga tu bocah mau marah atau enggak."

Qila melirik wajah Daniel dari samping. "Jangan kebanyakan rokok, nanti cepet mati."

"Lo ngedoain gue mati?" kaget Daniel. "Jahatnya."

Qila mendengus. "Lebay."

"Sesekali doang, gue juga gak mau rusakin badan sendiri."

"Emang ngerokok seenak itu?"

"Gak juga, kenapa? Mau nyoba?"

Mata Qila terlihat tertarik, ia mengalihkan perhatiannya dari kelinci dan menatap wajah Daniel antusias. "Boleh?"

"Sini gue tonjok dulu baru lo ngerokok."

"Cih." Qila berdecih kesal, membuang muka dan kembali menyuapi mola dengan wortel. "Dasar tukang php."

Setelah menghabiskan satu batang rokok, Daniel mendekat dan berjongkok di samping Qila. Ikut menyaksikan adiknya yang tengah memberikan makan pada kelincinya.

"Namanya siapa?"

"Mola," jawab Qila sambil tersenyum kecil.

"Oh, kalau kelinci lo gue sate, marah gak?"

duk duk duk. Qila memukul bahu Daniel kencang dan mendorong kakak tengahnya itu sampai jatuh terduduk.

"Pake nanya!?"

Daniel terkekeh. "Coba sini gue juga mau kasih makan."

Sambil mengerucutkan bibir Qila memberikan sepotong wortel pada Daniel.

"Makan yang banyak ya, biar daging lo banyak, biar kenyang gue makan sate lo nanti."

"DANIEL!?" pekik Qila kesal. "Ih sana ah pergi! Kamu bau rokok! Masuk sana."

Daniel tertawa lepas ternyata mengerjai Qila seseru ini rupanya. Wajah bulat yang memerah karena marah itu terlihat lucu dimatanya. Tanpa sadar membuat tangan Daniel naik mengelus puncak kepala Qila.

"Kalau ada masalah ceritain ke gue, jangan dipendem terus lo tangisin. Nangis emang bisa buat lo lega tapi gak bikin masalah lo selesai."

"Niel?"

"Hm."

"Kamu takut mati?"

Daniel menaikkan alisnya sebelah. "Tiba tiba? Gue gak bakalan mati secepat itu karena rokok, Qi."

Qila mendengus. "Siapa juga yang bilang kamu bakal cepet mati."

"Lagian bahasan lo serem amat bawa-bawa mati."

"Waktu bunda sakit kamu nemenin dia berobat?" Lagi, Qila bertanya aneh.

"Beberapa kali doang sih, soalnya ayah marah kalau ikut bunda berobat kan gue jadi banyak bolosnya."

Qila mengangguk paham. "Sakit gak ya kira kira."

"Apanya?"

"Bunda, pas kemo."

"Ya sakit lah, namanya juga berobat."

Qila terkekeh geli, benar juga. "Iya, ya."

"Daniel."

"Apa lagi." Daniel menjawab tanpa mengalihkan atensi dari kelinci Qila.

Ragu, apakah sebaiknya Qila ceritakan saja kondisi ini pada Daniel? Toh, sekarang Daniel sudah jauh lebih baik kepadanya dari pada dulu.

"Gak jadi deh."

"Gak jelas."

"Hehe."

"Haha hehe lo, sini gue mau nyoba gendong kelincinya."

Mata Qila memicing curiga, namun tak ayal memberikan mola untuk Daniel gendong.

"Nah, dadah gue mau panggang kelinci lo dulu buat menu makan malam!" Daniel ngacir meninggalkan Qila sambil tertawa kencang.

"DANIEL! IH JANGAN DIBAWA PERGI MOLANYA!"

"DANIEL!????"

Continue Reading

You'll Also Like

229K 8.2K 47
Rania, seorang gadis yang berharap mendapatkan kebahagiaan kini menemukan kebahagiaannya walau hanya sementara.
46.1K 1.6K 47
Kaira adalah seorang bad girl dengan rupa seorang gadis yang berwajah polos. Tapi, sifatnya tidak sepolos wajahnya. Kaira adalah seorang bucinlovers...
87.6K 8K 39
Highest Rank #250 of 13,6k in random [05/05/20] #336 of 39,7k in Indonesia [12/10/2021] #156 of 28k in roman [12/10/2021] #432 of 26,3k in badgirl [1...
143K 4.2K 50
-SCHOOL SERIES (1)- -COMPLETED- Please ya guise... Vote adalah bentuk apresiasi untuk penulis. . "Satu-satu aku sayang Alano..." "Dua-dua juga sayan...