Paradise (Segera Terbit)

By ohhhpiiu

2.6M 141K 5.2K

[PART MASIH LENGKAP] "Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua... More

Bab I
Bab II
Bab III
Bab IV
Bab V
Bab VI
Bab VII
Bab VIII
Bab IX
Bab X
Bab XI
Bab XII
Bab XIII
Bab XIV
Bab XV
Bab XVI
Bab XVII
Bab XVIII
Bab XIX
Bab XXI
Bab XXII
Bab XXIII
Bab XXIV
Bab XXV
Bab XXVI
Bab XXVII
Bab XVIII
Bab XXIX
Bab XXX
Bab XXXI
Bab XXXII
Bab XXXIII
Bab XXXIV
Bab XXXV
Bab XXXVI
Bab XXXVII
Bab XXXVIII
Bab XXXIX
Bab XL
Bab XLI
Bab XLII
Bab XLIII
Bab XLIV
Bab XLV
Bab XLVI
Bab XLVII
Bab XLVIII
Bab XLIX
Additional Part 1
Additional Part 2
Additional Part 3
SEGERA TERBIT

Bab XX

46.7K 2.6K 40
By ohhhpiiu

Diantara harapan yang berserakan
Aku, bimbang tanpa bimbingan
Seperti nahkoda buta arah
Aku, pijar bintang yang sekejap lagi akan padam

Paradise's poem - 2023

Bored - by Billie Eilish
(Playing now on Spotify)

☁️☁️☁️


Tiga hari berlalu dengan cepat. Kehidupan Qila berjalan seperti biasa. Yang berbeda hanyalah Daniel yang kini sedikit memperhatikannya.

Di sekolah pun sama, Qila masih tetap melakukan rutinitas membersihkan ruangan ekskul dan mendengar beberapa orang mengejek di belakang.

Hanya saja setiap kali istirahat Qila tak lagi sendiri. Selalu ada Angkasa yang hadir menemani makan siang di koridor sepi bawah tangga yang biasa Qila gunakan untuk sembunyi ketika harinya mulai sesak di sekolah.

Seperti saat ini.

"Siang lo kemana?"

"Pulang."

"Ke rumah?" tanya Angkasa lagi. Nasi goreng miliknya sudah habis tak bersisa.

"Engga, hari ini mau mampir ke tempat lain dulu."

Angkasa menarik botol mineral Qila yang masih tersegel. "Mau gue anter?" tawarnya sambil menyerahkan minum yang sudah ia buka.

Qila sedikit menimbang sebelum akhirnya menggeleng. "Gak usah cuma sebentar doang."

Mungkin keduanya sama sama tak menyadari bahwa semakin hari hubungan mereka semakin dekat. Perhatian kecil yang Angkasa tunjukkan pun mulai berubah intens.

"Kamu gak istirahat bareng temen kamu?"

"Ini istirahat." Lelaki itu masih berkutat dengan segel tisu basah yang tak bisa terbuka sejak tadi.

"Yang lain maksudnya."

Angkasa diam sesaat sebelum kembali fokus pada pekerjaan sebelumnya. "Ngapain sama yang lain? Gue maunya sama lo."

Sebenarnya Angkasa itu sadar tidak sih jika ucapan yang ia lontarkan bisa membuat siapapun yang mendengarnya salah paham?

Qila gemas sendiri karena selalu tergocek ucapan Angkasa padahal maksud lelaki itu pasti bukan seperti yang ia pikirkan.

"Serius dulu."

"Lah gue serius juga." Angkasa terkekeh sebentar. "Ini gimana sih!? Buka ginian doang bikin gue emosi."

"Sini." Qila mengambil alih tisu basah yang Angkasa pegang. "Makanya jangan sambil emosi, buka pelan pelan kan bisa."

"Nih." Qila menyerahkan tisu basah yang sudah berhasil dibuka. "Dasar gak sabaran."

"Bukan gue yang salah." Angkasa mengambil satu lapis tisu basah. "Siniin tangan lo kotor tuh bekas cokelat."

Qila kaget karena Angkasa tiba-tiba menarik dan membersihkan bekas cokelat di tangannya.

"Aku bisa sendiri!"

"Ck." Angkasa menjitak kepala Qila pelan. "Bocil diem aja biar orang dewasa melakukan tugasnya."

"Ih!" pekik Qila kesal tak suka dipanggil bocil oleh Angkasa. "Udah deh kalau mau jail pergi sana. Jangan bikin mood orang jelek!"

"Yeuuu marah, iya-iya maaf gak usah ngambek."

"Sini biar aku sendiri yang bersihin."

"Aquila tukang ngambek Taleetha," ujar Angkasa yang mendapat cubitan pedas kali ini. "Aduh, ampun sakit!"

"Biar tau rasa! Jangan resek makanya jadi orang."

Angkasa menipiskan bibir sebelum bangkit dan menarik ikat rambut Qila dan berlari takut dicubit kembali.

"Gue, kan reseknya cuma sama lo!"

"ANGKASA JELEK! AWAS YA AKU BALAS NANTI!!"

***

Qila menghela napas beberapa kali guna mengusir gugup. Jantungnya terus berdegub kencang seperti akan jatuh ke perut.

"Loh sendirian?" Dokter Arini kaget. "Ibu kamu kemana?"

Qila tersenyum maklum saat Dokter Arini menanyakan Bi Iyem yang tak ikut hari ini.

"Ibu saya ada keperluan mendesak, dokter." Bohong, sebenarnya Qila saja yang tak ingin membawa siapapun.

Entahlah, firasatnya mengatakan akan mendapat berita buruk hari ini.

"Kalau gitu Qila bisa hubungin anggota keluarga yang lain? Karena saya tidak bisa memberitahu hasil tes kepada pasien tanpa didampingi wali."

"Saya gak punya anggota keluarga yang lain dokter."

"Begitu?" tanya Dokter Arini sangsi. "Tante atau Om juga tidak ada?"

Qila menggeleng mantap. "Saya bisa denger hasilnya sendiri kok, dokter."

Di bawah meja Qila meremas tangannya. Berharap dokter itu akan percaya dan menjelaskan hasil tes secepatnya.

"Baiklah, Qila bisa dengarkan ucapan saya secara seksama ya. Apabila ada yang kurang jelas bisa ditanyakan." Dokter Arini berujar lembut.

"Iya, dokter."

"Jadi berdasarkan tes kemarin...."

Telinga Qila seakan tuli mendengarkan segala kalimat yang keluar dari Dokter Arini. Jantungnya seperti tertikam oleh benda tajam.

Qila hanya berharap apa yang sedang ia alami sekarang hanyalah mimpi dan sebentar lagi dia akan bangun.

"Karena memang gejala yang timbul memperkuat asumsi, jadi kemarin saya minta untuk dilakukan tes." Dokter Arini begitu rinci menjelaskan. "Seperti Qila yang mudah lelah, mimisan yang semakin sering, badan kamu mudah lebam, itu adalah gejala penyakit ini."

"Qila sendiri apa pernah saat menyikat gigi, gusinya menjadi mudah berdarah?"

"Iya," jawab Qila tercekat.

Dokter Arini tak tega sebenarnya untuk meneruskan pembicaraan ini. Namun melihat mata yang memohon di awal membuatnya tak kuasa menolak.

"Nanti silahkan Qila bicarakan lagi dengan Ibu ya. Qila masih sangat bisa mengupayakan kesembuhan."

Tuhan, tolong jika memang benar ini mimpi tolong bangunkan Qila sekarang. Dia tak mau mendengar ini, Qila tak mau punya penyakit ini.

"Terima kasih, dokter." Qila pamit selepas Dokter Arini menyelesaikan penjelasannya.

"Qila," panggil Dokter Arini saat Qila mau membuka kenop pintu. "Pasti ada jalan untuk sembuh, jangan takut ya. Dokter bisa bantu Qila."

Tanpa mengucapkan terima kasih atas kalimat tersebut Qila pergi. Tangannya meremas surat dengan amplop berwarna kopi.

"Kanker." Qila menelan ludah setelah membaca surat hasil pemeriksaan dokter. "Leukimia."

Air mata menggenang di pelupuk matanya, jantungnya berdetak cepat, Qila takut, benar-benar takut hingga kedua kakinya terasa seperti jelly.

Qila membekap mulutnya sendiri, menahan tangis sekaligus menolak kenyataan yang baru saja ia terima.

"Enggak kan? Gak mungkin," sangkal Qila tak mau percaya.

Namun berapa kali pun dia membacanya, hasil itu tetap tidak berubah. Sekuat apapun Qila menyangkalnya, pada akhirnya kebenaran seperti racun itu adalah kenyataan yang harus Qila terima.

***

Jejak tangis masih tertinggal di wajahnya yang sembab. Qila merapihkan penampilannya sebentar dan memasukan kertas tes tadi ke dalam tas.

Sekolah Saka dan Daniel masih terlihat ramai sore ini. Qila terlihat menimbang sebentar apakah akan masuk atau kembali pulang di depan gerbang Sekolah Internasional yang ditempati Saka dan Daniel.

Kalau Daniel pasti sudah tidak berada di sekolah, melainkan nongkrong dengan teman-temannya yang lain.

Bisakah Qila bertemu Saka sebentar? Karena rasanya dada Qila akan meledak jika menahan sakit ini sendirian.

"Qila?"

"Eh?" Qila tak kalah kaget, dia mencoba mengingat nama cowok yang pernah satu SMP dengannya itu. "Dion ya?"

"Iya, lo masih inget gue?" Dion terlihat bahagia. "Kenapa disini?"

"Oh nunggu Saka."

"Udah chat? Dia lagi latihan basket kayaknya kalau sekarang," jelas Dion.

Qila mengangguk. "Tau, kok. Makanya aku nunggu disini."

Mata Dion menyipit mengamati wajah Qila yang sembab. Namun ia memutuskan untuk tak bertanya lebih.

"Mau masuk?" Dion memberikan kode dengan kepalanya, mengajak Qila masuk.

"Boleh? Aku pake seragam sekolah lain."

Dion terkekeh sebentar. "Ayo gak apa-apa lagian sekolah juga udah kelar dari jam empat. Sekarang waktunya ekskul."

"Makasih ya Dion," ujar Qila tulus. "Kamu beli banyak minum, sini aku bantu bawain."

"Eits." Dion menarik plastik hitam di tangannya menjauh dari Qila. "Gak gentle banget kalau lo bantuin."

Qila hanya dapat tersenyum tipis. Ia mengikuti setiap langkah Dion, sesekali menjawab pertanyaan cowok itu.

"Dion maaf ya ngerepotin."

Dion melambaikan tangan di depan wajah. "Repot gimana? Kaya sama siapa aja. Nah, itu Saka mau gue panggilin?"

Qila menoleh melihat kembarannya yang tengah fokus mengoper bola di tengah lapangan indoor. Baru melihat wajahnya saja sudah ingin membuatnya menangis lagi.

"Oi Saka!" Dion berteriak dari tribun atas, tepat pintu masuk lapangan. "Ada yang nyariin lo nih!"

"Orangnya udah denger bentar lagi kesini. Gue turun ya? Minumnya udah ditunggu yang lain."

Qila mencoba memberikan senyum terbaiknya. "Makasih banyak."

"Jangan kebanyakan bilang makasih, gue seneng kok bisa bantuin lo." Dion nyengir. "Btw seneng bisa liat lo lagi, dah ya!"

Qila balas melambai ke arah Dion yang turun dari tribun. Matanya lalu kembali memandang ke arah Saka yang sudah berhenti dari permainan basketnya.

Kedua tangan Qila menggenggam erat tali tas. Pikirannya berkecamuk, apakah ia harus mengatakan ini pada Saka?

"Ngapain kesini?" tanya Saka.

Sebenarnya Saka bukan ketus, hanya pembawaan lelaki itu saja yang memang irit bicara sejak dulu. Jadi bagi orang-orang yang tak mengenal Saka dengan baik pasti akan selalu salah paham dengan gaya bicaranya.

"Gak boleh?"

"Ya ngapain? Kalau gak penting mending lo pulang terus istirahat. Baru juga sembuh." Tersirat pesan khawatir dalam kalimatnya. "Lo abis nangis?"

Kepala Qila menunduk menghindari tatapan Saka yang lekat. "Saka."

"Saka," panggil Qila lagi kini suaranya mulai bergetar. "Gimana ini aku takut."

"Takut apa." Saka bingung.

Qila meremas kaos jersey milik Saka. Satu air mata lolos kemudian diikuti oleh air mata yang lain.

"Saka... aku takut."

Saka mencoba menunduk untuk melihat wajah Qila. "Takut apa sih." Saka kesal karena tak bisa melihat wajah Qila dan tak paham kenapa kembarannya itu menangis.

"Ada yang usilin lo lagi di sekolah?"

Qila menggeleng membuat Saka semakin kesal. "Jangan bikin gue marah, Qi. Lo kenapa? Siapa yang bikin lo nangis?"

Lidah Qila kelu bahkan untuk mengatakannya. Dion dan teman teman Saka yang lain mengamati dari bawah dengan pandangan yang sama bingungnya. Meskipun mereka tak bisa mendengar jelas apa yang kedua pasang kembar itu bicarakan.

"Dia lagi?" desis Serena yang baru saja tiba di lapangan dengan air minum dan juga handuk kecil. "Siapa sih dia? Pake nangis segala sok caper."

Sementara yang lain memperhatikan, Saka justru merasakan perasaan tak nyaman karena tangis Qila yang begitu kesakitan.

"Qi," panggil Saka.

"Eng-enggak," jawab Qila di sela sesegukan bekas tangisnya. "G-gak apa-apa..."

"Ck. Kalau gak ada apa-apa ngapain nangis!?" Saka marah. "Ayo pulang!"

Qila menghapus jejak tangis sebelum pada akhirnya mengikuti Saka yang membawanya keluar sekolah.

"Saka."

"Berisik." Saka melemparkan jaket hitam miliknya agar Qila pakai. "Ngapain sih lo pake dateng segala?"

Qila termenung sambil menatap jaket yang Saka lemparkan. Sebenarnya Qila juga tak tahu kenapa ia harus datang menemui Saka. Padahal Qila tahu adiknya itu pasti akan marah.

Dia hanya bergerak sesuai apa yang hatinya mau. Bahkan setelah tahu penyakit yang sedang menggerogoti tubuhnya sekarang, Qila hanya sedang mencari tempat bersandar.

Saka pasti terusik karena jadwal latihan basket yang sangat ia perhatikan tadi terdistorsi oleh kehadiran Qila.

"Kamu gak perlu anterin aku pulang." Qila memakai jaket Saka lalu menatap adiknya. "Pesenin aku gojek aja, kamu masih harus latihan, kan?"

"Aku bisa pulang sendiri." Qila mencoba memaksakan senyum. "Tadi tuh aku keinget bunda makanya datengin kamu kesini, bodoh ya? Maaf hehe ganggu waktu latihan kamu."

Saka tak bergeming diatas jok motornya. Mendadak perasaan asing menelusup ke dalam hatinya.

"Cuma itu?" ketus Saka. "Apaan banget sih lo Qi, gak bisa liat situasi."

"Iya," ujar Qila merasa bersalah. "Maaf ya? Ya udah sana kamu masuk lagi, aku nunggu gojek disini. Makasih jaketnya."

Qila tersenyum lebar seperti biasa seolah tak pernah menangis sebelumnya. Ia lalu berjalan meninggalkan Saka sesekali membalikkan badan dan melambai kecil.

"Dasar aneh," gumam Saka.

Tanpa mau repot-repot bertanya lebih jauh, Saka membiarkan kembarannya itu pulang dengan perasaan hancur.

Meskipun senyuman tak hilang dari wajah sembab miliknya, meskipun Qila berkata bahwa dirinya baik-baik saja. Sebenarnya Qila ingin Saka mencegah dia untuk pulang sendirian.

Qila kembali membalikkan badan ketika tak mendapati tubuh adiknya di tempat tadi membuat hatinya sakit kembali.

Ternyata, kehadirannya memang tidak sepenting itu bagi Saka.

"Aku takut mati."


....

Continue Reading

You'll Also Like

136K 5.3K 83
{FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA} "Karel, kamu sudah makan? "Peduli banget gue udah makan apa enggak," "Eh ... Dengar iya ... Lo di sini bukan berarti lo...
51.9K 5.8K 38
[SEKUEL DARI HANCUR!] (FOLLOW SEBELUM MEMBACA) {Fiksi Remaja, Romansa} Memecahkan permasalahan yang terjadi di sebelumnya, serta membongkar suatu kej...
8.3K 2K 43
Alana adalah seorang gadis yang ceria tetapi orang-orang tidak tahu bahwa Alana mempunyai penyakit yang berhubungan dengan jiwanya dan memiliki traum...
229K 8.2K 47
Rania, seorang gadis yang berharap mendapatkan kebahagiaan kini menemukan kebahagiaannya walau hanya sementara.