Unless You

Av Pandayusy

167K 3K 29

[ON EDITING] Aku kembali. Kembali untuk memenuhi janjiku. Kembali untuk menemui lukaku. Kembali untuk mel... Mer

Tingtong-
1. Come back
2. Welcome to Home.
3. Hi luka, aku kembali.
4. I am shocked
5. MENGHINDAR ASA
6. ROLLER COASTER & ICE CREAM
7. LONG TIME NO SEE
8. RASA DAN WAKTU
10. DIBALIK SEBUAH PERMINTAAN
11. BERTEMU UNTUK MERELAKAN
12. PELUKANMU

9. TERDALAMNYA SEBUAH LUKA

5.1K 222 3
Av Pandayusy

Jam di dashboard menunjukkan pukul 11 malam. Ori masih melihat ke arah adiknya yang masih tertidur. Sesekali bibirnya tertarik, adiknya begitu pulas. Begitu tenang saat tidur, tapi tidak saat matanya terbuka. Ia mengerti, bahwa hanya luka saat ini yang terasa.

Itulah perasaannya. Rasa yang juga sakit, karena adiknya teluka. Tapi apa daya nya? Apa harus membunuh Kay? Atau harus memisahkan Kay dan Vera dengan cara licik? Pikirannya yang juga kacau membuat Ori memutuskan keluar dari mobil. Dan pergi ke pinggir pantai, berharap bahwa ini juga akan menenangkan pikirannya.

Terasa dejavu? Dulu, dia pernah menasihati adiknya di pinggir pantai ini. Dan kali ini, dia bukannya menasihati. Tapi membuka sebuah cerita yang ia dan Renan buat dengan secara sepihak. Karena mereka pikir, inilah yang terbaik untuk Ara. Meski..

"Kak?"

Suara Ara membuat Ori menengok, dan menyembunyikan sekaleng minuman alkohol di punggungnya.

"Eh udah bangun?" tanya Ori, dan menepuk pasir di sebelahnya. Dengan maksud menyuruk adiknya duduk. Tapi Ara malah memilih untuk ke sebelah kirinya dan mengambil kaleng yang ia genggam.

"Jadi sekarang lo mabuk kak? Ternyata ada yang berubah ya selama gue ga di sini." Jelas Ara dan tersenyum.

Ori tidak bisa berkata apa-apa, pandangannya kembali ke depan.

"Jadi, lo mau cerita ke gue kak? Kenapa rumah kita terasa asing? Dan kemana pohon cemara gue yang dulu?" Tanya Ara. Dia memilih duduk di sebalah kakaknya, dan meminum yang tadi milik Ori.

"ARA! LO NGAPAIN MINUM ITU?"

Uhuk.. uhuk..

Ara tersedak dengan tingkah Ori yang tiba-tiba menarik kaleng yang sedang ia minum. Baru sedikit yang singgah di lehernya, rasa yang tidak terbiasa langsung menyengat ke dalam tenggorokannya.

"Gue mau kaya lo. Terus gue ga boleh? Dan lo boleh? Apa dunia seperti ini kak?" Tanya Ara, dan menatap Ori dengan matanya yang berkaca-kaca.

"Apa yang lo buat sama tempat kenangan gue? Apa yang buat rumah kita terasa asing ka? Kenapa baru gue yang tahu?"

Ara mencoba menahan air mata yang hendak turun.

Tidak, dia tidak boleh menangis. Gumamnya dalam hati. Dia harus kuat, tidak boleh lemah.

"Gue bakal dengerin lo ka. Tapi tunggu sebentar sampai gue balik."

Ara pun langsung bangkit dan menghilang di kegelapan. Ori tidak mengerti kemana adiknya. ia hanya menimang-nimang dengan penjelasan yang akan ia ceritakan kepada adiknya. Dengan maksud untuk adiknya tidak lagi terluka saat kembali.

Selang 20 menit, Ara kembali dengan 2 kantong plastik di tangannya.

"Itu apa ra?" Tanya Ori.

"Jadi gue sekarang udah siap untuk dengerin lo." Ucap Ara, dan mengambil sebotol minuman berakohol. Biarkan dia malam ini mabuk, dan berharap bahwa besok akan lupa dengan malam ini.

"LO NGAPAIN BELI KAYA GINI?"

Ori hampir saja membuang minuman Ara, tapi Ara langsung menahan itu.

"Sekali saja ka, malam ini. Please.." Ucap Ara dengan tatapan memelas. Sungguh Ara berada di batas ambang kelelahan. Yang tidak ia mengerti apa penyebabnya.

Ori sesaat terdiam tidak bisa mengerti bagaimana menolak adiknya. Pada akhirnya tangannya pun melepaskan botol yang hampir ia buang. Memilih untuk membiarkan Ara untuk meminumnya.

Hanya malam ini. Hanya untuk malam ini ia akan mengizinkan adiknya.

"Dulu waktu kamu pergi, rasanya kehidupan di rumah hambar. Apalagi Bunda dan Ayah saat itu tidak tahu dengan detail alasan kenapa kamu mutusin pergi. Selain apa yang kamu ceritain ke mereka. Termasuk dengan Kay yang begitu terluka dengan keputusan kamu. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa."

Ara mengangguk dengan penjelasan Ori, matanya sesekali menatap bintang di langit. Tidak terang, hanya redup. Apakah sama seperti hatinya?

"Dan jelang setahun kamu pergi, rumah rasanya semakin tidak hidup. Rumah hambar, ga ada lagi yang buat keributan, ga lagi yang bisa diajak buat godain Bunda. Kita semua terluka. Kita semua kehilangan bintang rumah kita. Kita kehilangan cahaya rumah. Ayah juga pernah berpikiran untuk mengajak kita semua pindah biar kita bisa bersama – sama lagi."

Ara terus mendengarkan, tanpa ia sadari sebotol minuman sudah habis. Tangannya hendak membuka kaleng minuman lain, tapi Ori melihatnya.

"Udah Ra, nanti kamu mabuk." Jelas Ori.

Ara menggeleng dan tetap membuka kaleng minumannya.

"Lanjut kak," ucap Ara meski suaranya sudah mulai serat.

"Kamu tahu? Kakak sempat berpikir, bahwa keluarga kita alay. Masa karena kamu pergi sebentar rasanya hambar? Tapi itu benar adanya. Sampai akhirnya, Bunda dan Ayah menanyakan hal itu. Alasan sebenarnya kamu pergi."

"Dan kakak jujur, bahwa kamu pergi dengan niat untuk melupakan Kay."

Ara menyenderkan kepala pada pundak Ori. Melupakan? Bahkan sampai saat ini tidak ada 1% pun Kay menghilang dari kepalanya.

"Bunda dan Ayah tidak kaget dengan hal itu. Mereka awalnya memang mau menjodohkan kamu dengan Kay. Tapi akhirnya semuanya tidak bisa. Karena kamu memutuskan pergi dan Kay juga sudah mengenalkan Vera ke Ayah dan Bunda."

Tapi kenapa dia tidak dijodohkan saja sejak kecil? Setidaknya dia masih ada alasan untuk berjuang. Ucap Ara dalam hati.

"Sekitar 6 bulan setelah Kay main ke rumah, Bunda dan Ayah mutusin untuk pindah rumah. Sebenarnya ini saran dari kakak dan juga Renan. Dia yang selalu laporan tentang kamu selama di sana. Ya, kakak ga bisa lihat kalau kamu balik dan malah tersenyum sedih dengan apa yang ad di samping rumah kita. Atau kamu harus melihat Kay lagi. Jadi kita memutuskan untuk pergi dan Ayah mencoba buat seperti rumah kita. Tapi nyatanya? Kamu akhirnya merasa ada perbedaan."

"Ka..rena terasa asing ka," gumam Ara. Dia sudah hampir tidak sadar. Tapi tangannya tidak berhenti untuk mengangkat minuman itu dan menuangkan ke mulutnya.

"Sebentar," Ucap Ori. Ia mengangkat kepala adiknya yang bersandar.

"Jangan tidur. Sebentar ada yang mau kakak ambil di bagasi."

"Iya bawel," ucap Ara.

Ara memgerakkan jarinya di pasir, mencoba untuk membuat sebuah kalimat. Tapi kepalanya mengajak ia memutar. Pantai yang tadinya lurus kini bergoyang-goyang. Dan dia hampir saja tumbang karena pantai itu berputar ke atas.

"ARA! Kan kakak bilang apa, kamu mabuk." Teriak Ori dan menahan tubuh Ara yang hampir terjatuh di pasir.

"A..ku gga mmabukk kok kak," Balas Ara. Dia mencoba mengucek matanya, kini pantai tidak lagi memutar. Tapi rasa sakit sedikit menyerang kepalanya.

"Ini yang kamu cari." Ori menyodorkan sebuah kotak.

Ara tersenyum. Akhirnya kotak harapannya bisa ia lihat kembali, harapan yang harusnya sudah mulai pupus. Tangannya mengambil kotak yang diberikan Ori. Dan membukanya.

Sementara Ori duduk di samping Ara, menjelaskan sisa terakhir penjelasannya.

"Kakak tahu ini yang kamu tanam. Tapi sampai saat ini kakak ga pernah buka kotak itu. Karena kakak bukan pemiliknya. Tapi kamu."

"Terima kasih kak." Ucap Ara dan tersenyum. Ara membuka kotak tersebut. Hal yang pertama ia lihat adalah bingkai foto di mana seorang laki – laki dan perempuan yang tersenyum lebar dengan pita di rambutnya.

"Kotak ini adalah impian dan harapan aku. Foto ini saat pertama kali aku mulai merasakan apa perasaan ini. Kakak ingat? Ini foto saat aku selesai ospek SMA. Waktu itu aku mutusin untuk pergi ke tempat rekreasi sama Kay. Dan ini hasilnya." Jelas Ara. Ia memberi bingkai itu ke Ori.

Ori hanya mengeryit tidak mengerti kenapa adiknya memberi ini kepadanya.

"Ini, adalah boneka di mana jadi saksi untuk aku pertama kali. Merasakan sakit, karena Kay tersenyum lebar untuk menghadiri acara ulang tahun Vera." Ara menunjukkan sebuah boneka stitch kecil.

Ara menunjukkan semua dengan Ori. Dan saat semuanya sudah habis. Ara mengungkapkan hal yang akhirnya buatnya merobohkan beton hatinya.

"Dan kakak tahu kenapa aku menyimpan semua ini? Biar kalau aku buka lagi kenangan ini, aku merasa sakit lagi. Jadi aku bisa sadar, bahwa setelah sakit hari ini. Besok aku akan menjadi baru lagi dan berharap kembali. Aku punya harapan lagi."

Ara menundukkan kepalanya. Ia terlalu bodoh mengharapkan Kay.

"Kakak lihat di foto itu? Kenapa Kay bisa tersenyum bahagia sama aku? Tapi kenapa hatinya ga bisa? Kenapa harus Ara terluka? Sampai kapan aku harus berharap?"

Ara tidak kuat dengan sesak yang ada dihatinya. Ia menumpahkan semua air mata yang sedari tadi ia coba tahan.

"Saat aku mutusin buat pergi. Aku mengubur ini, karena aku pikir dengan hilangnya harapan ini aku akan mudah menjalani semuanya. Tapi tidak. Bahkan sampai detik ini. Kita berdua terluka ka, tapi aku yang sangat terluka. Sampai hancur tidak tahu lagi terbentuk bagaimana."

"Alasan aku mencari kotak ini. Supaya aku punya kekuatan ka di sini. Bahwa masih ada hal manis lainnya yang bisa aku pegang. Bukan selalu hal pahit yang sampai sekarang ini aku rasakan." Ara mulai menangis, bahunya bergetar. Ori menepuk-nepuk pundah adiknya.

"Aku benar-benar rindu sama dia kak. Tapi kenapa untuk bertemu saja rasanya kakiku berat? Kenapa? Kenapa dia harus direbut ka? Kenapa aku ga bisa jadi seperti Vera ka? Kenapa? KENAPA KAY GA PILIH AKU KA?"

Ara berteriak dan menangis sekencangnya. Biarkan malam ini, ia tumbang dengan segalanya. Karena mau sebagaimana pun ia berharap. Tidak ada lagi yang bisa terjadi. Harapan itu hanya fana semata. Tidak bisa ia perjuangkan lagi.

Ori tidak tahu harus berucap apa-apa. Ia memeluk adiknya berharap bahwa kekuatan yang ia punya bisa ia berikan kepada Ara. Hatinya juga terluka. Adiknya yang begitu ia sayangi harus sangat terluka di usia nya yang sudah jelang 25 tahun.

Berarti sudah terlalu lama adiknya terluka.

"Aku harus apa kak? Aku harus apa? Semua kenangan ini harusnya bisa buat sedikit tersenyum. Tapi sekarang apa? Kenangan ini sama dengan pemberi semangat meski harus terluka lagi. Dengan kenyataan Kay bukan milikku. Bahkan tidak akan pernah jadi milik aku."

Ori mengusap lembut rambut adiknya. Membiarkan bajunya basah dengan air mata adiknya.

"Ara mau sadar ka. Ara mau sadar dan mengerti, Kay tidak akan pernah lihat aku sebagai wanita. Tapi rasanya seperti terus ditabrak sama mobil yang tak terlihat ka. Rasanya terlempar, jauh, dan sakit sampai tidak berdarah."

"Sst.. Kamu kalau mau nangis, kakak izinin untuk malam ini saja. Jadi lepaskanlah Ara, nangislah.."

Ara tidak lagi menahan semuanya. Di malam ini, ia menumpahkan segalanya. Dan Ori dengan setia sambil sesekali menepuk pundak adiknya mencoba memberikan kekuatan yang ia punya.

Dengan saksi angin dan ombak melihat betapa rintihan tangis dan hati Ara yang akhirnya terbuka lagi. Segala luka yang ia pendam. Ia biarkan terbuka untuk malm ini.

"Dan aku juga sadar. Kay terluka karena aku. Karena aku yang memutuskan seperti ini. Tapi bukan sepenuh hati terluka, melainkan setengah hati yang ia kasih ke aku. Itulah yang terluka." Jelas Ara. Ori mengeryit, apakah itu artinya Ara tadi melihat Kay?

"Kakak pasti kira aku ga lihat Kay kan? Tapi nyatanya salah. Aku dengar suara Kay. Dan itu semakin buat aku merindu." Ara tersenyum, tapi pandangan di depannya lagi dan lagi berputar. Hingga rasa sakit itu tidak bisa ia tahan. Segala saraf di matanya memaksa menutup mata indah miliknya. Dan jiwa Ara yang lelah pun melepaskan semua luka yang terasa.

"Ara? Ara?" Panggil Ori karena tidak ada tangisan adiknya.

"Ara?"

"Ara?"

Ori pun ikut menangis. Begitu tahu Adiknya tidak lagi membalasnya. Ia mencoba memeriksa nadi adiknya. Lemah. Adiknya saat ini pingsan, lebih tepat tertidur karena efek alkohol tadi. Ori mencoba bangkit dan menggendong adiknya menuju ke mobil.

"Ara, kakak sayang sama Ara. seandainya kita bisa bertukar posisi." Ucapnya begitu ia berhasil menaruh Ara di bangku mobil. Dan memasang selimut yang selalu ia simpan. Tidak lupa sebelum menutup pintu, ia mencium kening adiknya. Dan berlari kecil ke bagian kemudi. Menyalakan mesin dan menginjak pedal. Meninggalkan tempat di mana adiknya suadh membuka luka kembali.

*

Sudah sebulan berlalu semenjak kejadian itu. Ara sudah kembali seperti biasa. Dia pun sudah mulai terbiasa dengan aktifitas dan pekerjaan barunya. Sebagai asisten sekaligus sekretaris pribadi. Dan tidak ketinggalan ia mejadi terbiasa dengan sikap bunglon yang dimiliki bosnya.

Termasuk dengan bos nya yang seperti bunglon.

"DOR!"

Ara melotot kaget dengan tepukan di pundaknya. Dia sudah bisa menebak siapa yang bersikap jahir kepadanya di kantor kecuali 1 orang.

"BAPAK ANGGAAAAAAAAAAAAAAA!!!!" Teriak Ara membuat ruangan itu bergema dengan suaranya yang begitu cempreng.

Angga yang diteriaki seperti itu hanya tersenyum tanpa rasa bersalah. Ara yang sudah gemas pun bangkit dari tempat duduknya saat ini. Ia mencoba mengejar Angga ingin rasanya menjambak rambut Angga itu.

"Sini lo! Mau bikin gue mati hah?!" Tantang Ara.

"Sini. Ga takut wek," balas Angga sambil menjulurkan lidahnya. Ara pun melepas sepatu tinggi nya dan berlari mengejar Angga.

Mereka berdua saking kejar-kejar di dalam ruangan Ara. Ara tidak peduli lagi dengan attitude. Untuk kali ini tidak ada kata ampun untuk Angga.

Tapi sepertinya dewi tidak berpihak untuk Ara. tanpa Ara sadari kakinya tersandung karpet dan membuat tubuhnya terpeleset ke depan. Tanpa bisa dihindari dahi Ara membentur ujung meja.

"ADUH." Teriak Ara karena rasa sakit yang begitu hebat ketika kepalanya membentur.

"ARAAAA!!" Angga berteriak dan mencoba menghampiri Ara. ia mengangkat kepala Ara yang tertunduk. Dan rasa bersalah itu hinggap. Darah mengalir dari dahi Ara.

"Ara? lo gapapa kan? Lo masih sadar? Ayo kita ke rumah sakit." Angga hampir menggendong Ara.

Tapi Ara menggeleng. Dia tidak mau ke rumah sakit.

"Ga perlu ke rumah sakit. Kotak P3K di mana ya? Gue obatin sendiri aja." Ujar Ara. Dia mencoba berdiri, tapi roboh.

Angga hanya menggeleng dengan sifat keras Ara. Ia pun menggendong Ara dan menurunkan Ara tepat di sofa.

"Tunggu di sini. Gue ambilin kotaknya."

Ara hanya mengangguk. Rasa sakit nya begitu dalam dan menjalar ke bagian belakang kepalanya. Kena kutukan apa dia pagi ini harus seperti ini. Ara mendongak ketika tangan hangat itu mencoba melepaskan tangannya di dahi. Baru kali ini ia menatap mata Angga. Mata itu begitu hangat berwarna hanzel. Kenapa ia baru sadari saat ini?

"Makanya lo jangan petakilan begini kan."

"Ini juga karena lo, bukan salah gue." Balas Ara.

Angga yang mengangguk dan membersihkan luka Ara. sesekali Ara mengaduh karena perih terkena air hangat.

"Pelan-pelan woi, sakit ini."

Sebelumnya kalau diliaht Ara dan Angga tidak seperti bawahan dan atasan. Itu karena Angga yang memerintahnya untuk tidak memanggil dengan sebutan "Pak" kalau sedang berdua seperti ini. Menurut Angga mereka seumuran dan sudah kenal terlebih dahulu sebagai teman. Tapi kapan?

Tak.

"Aduh, sakit bego. Lo ngapain jitak gue?" Ara mengusap kepalanya yang dijitak sama Angga.

"Lo dengerin gue ngobrol ga sih? Asisten macam apa ini. Gue ngomong ga diperhatiin."

"Gue lagi mikir. Kenapa nama lo familiar banget buat gue? Mirip sama seseorang."

Angga mengeryitkan dahinya.

"Jadi lo piker nama gue pasaran gue?"

Tanpa menunggu sedetik pun Ara mengangguk dan tertawa.

"Sial lo."

"Hahahaha," Ara tertawa puas. Padahal bukan itu maksudnya.

"Nah udah selesai. Lo diem aja di sini. Ga usah kerja."

"Lah, biasanya gue juga kerja kalau ada doang. Terutama kalau lo suruh-suruh."

Angga mengusap rambut Ara, yang secara tidak langsung membuat jantung Ara menjadi tidak sehat.

"Pinter. Kan emang itu tugas lo."

Ara melengos nafas. Sudah dilihat bukan? Angga adalah typical dendam. Tapi Ara merasakan bahwa di depannya meja Angga berputar. Bagaimana inii? Apa dia akan pingsan?

"Ra, lo kenapa? Ra?"

Ara tidak menyahut, kedua tangannya memegang rambutnya. Kepalanya sunggu sakit. Seperti di hantam batu besar.

"Ga tahu ini. Kepala gue sakit, sakit.." rintih Ara.

Angga yang tidak mengerti kenapa, bergegas bangkit dan hendak menggendong Ara. Dengan maksud ingin membawa Ara ke rumah sakit. Tapi tangan Ara memegang kemejanya.

"Ja..ngan bawa gue ke ru..mah sakit."

"Terus gue harus gimana? Lo sakit gini. Mending ke rumah sakit ayo!"

Ara tetap menggeleng dan semakin memegang erat kemeja Angga. Tidak ada pilihan lain, Angga pun duduk di sampang Ara. Dan menyandarkan kepala Ara di dadanya sambil mengelus kepala Ara yang terasa sakit.

Setelah berapa lama hanya nafas lembut Ara yang terasa. Ternyata sekretarisnya ini tertidur. Diam-diam Angga memerhatikan wajah Ara. Wanita yang ia kenal dua bulan ini. Berawal dari sebuah permintaan yang membuat ia akhirnya seperti ini dengan Ara. Tapi semakin lama, ia tidak memungkiri bahwa ada kenyamanan lain.

"Ternyata dilihat pipi lo lucu juga ya." Angga tertawa sendiri dan mencubit pipi Ara pelan. Tangan kirinya mengusap pundak Ara. Tangan Angga merasa sesuatu menetes hangat. Ia merasa bingung dan baru ia sadari Ara menangis.

"Ka..y." Bibir Ara mengucapkan nama itu yang tidak membuat Angga semakin mengeratkan pelukannya. Seperti inikah Ara? Terluka terlalu dalam bahkan dalam tidurnya. 

** 

Just saran, coba baca sambil dengerin soundtrack i'm not a robot yang penyanyi Kim Yeonji.

Hiks.. author saja baperr :(( nangis terus menerus. Kaya ditusuk banget sama masa lalu *eh

Fortsätt läs

Du kommer också att gilla

1.9M 27.6K 44
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
514K 52.6K 23
Karmina Adhikari, pegawai korporat yang tengah asyik membaca komik kesukaannya, harus mengalami kejadian tragis karena handphonenya dijambret dan ia...
431K 47.6K 45
Ini adalah Kisah dari Kila. Kila Prastika yang ternyata memiliki seorang bapak kos yang kebelet kawin ... "Nikah sama saya, kosmu gratis seumur hidu...
549K 22.7K 38
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...