DEAR NATHAN

Av Eriscafebriani

33.8M 870K 194K

(Telah Terbit dan Difilmkan) Berawal dari keterlambatan mengikuti upacara pertama di sekolah baru, Salma... Mer

First : Shocked
THIRD : FIGHT
FOURTH : THE MOMENT
FIFTH : ALMOST
SIXTH : FALLEN
SEVENTH : CONFUSED
EIGHTH : A BIT
NINTH: DATE?
TENTH : HUG?
ELEVENTH : STOLEN HEART
TWELFTH : ANOTHER CONFUSSION
THIRTEENTH : CERTAINTY
FOURTEENTH : TEARS AND JEALOUSY
FIFTEENTH : WORD VOMIT
SIXTEENTH : HAZE
SEVENTEENTH : A LITTLE HELP
EIGHTEENTH : PRETTY HURTS
NINETEENTH : THE SECRET
TWENTY : BREAK A LEG
TWENTY FIRST : WIND UP
TWENTY TWO : PROBLEMS.
TWENTY THIRD : BAD REALITY
TWENTY FOURTH : BREAK UP
About Next Part ....
TWENTY FIFTH : STOPPING
TRAILER
PO 1 & PO 2 [SUSULAN]
DEAR NATHAN COVER
PO DEAR NATHAN
PO 2. & FAQ
PO 1 & FAQ
PO 1 - PO 2 [SUSULAN]
DEAR NATHAN MOVIE
KONTROVERSI?
HELLO, SALMA POSTING DI WATTPAD!
WAWANCARA BARENG TOKOH ASLI DEAR NATHAN!
PREKUEL DEAR NATHAN

SECOND : THE CALL

2.4M 75.6K 18.2K
Av Eriscafebriani

SECOND :

         "Eh, lo maling sepatu siapa nih?"  Nathan baru saja duduk di kursinya, paling pojok sekaligus eksklusif bahkan sudah sebagai kepemilikan permanen. Posisi paling strategis karena di situ dia bisa tidur, ngobrol tanpa harus ketahuan guru karena di depannya ada Abi yang sengaja sudah di-booking Nathan untuk duduk di depannya. (Alasannya : Abi punya badan besar yang bisa jadi tembok mendadak Nathan). 

         "Punya Ucup."

         "Canda lo, ah! Masa sepatu Ucup ada bunga-bunga," Abi menoleh dan tertawa geli sampai bahunya berguncang, membuatnya persis seperti raksasa di tipi-tipi, " ... walaupun cupu gitu, dia masih cowok tulen."

         "Liat aja abis entar itu anak."

         "Dasar baper, nggak sengaja gitu dia lempar kepala lo." Wildan, yang tadi memanggil Nathan dari tangga menyahut karena dia melihat langsung di TKP.

         Tepat saat Nathan melengos dan berniat melempar kepala Wildan dengan kertas yang dia remas menjadi bola, tiba-tiba Pak Mahyudi melangkah masuk ke dalam yang spontan membuat seisi kelas terdiam. "Bi, bangun lo, buruan." Nathan bangkit dari kursinya, berpindah tempat pada Abi supaya Nathan bisa duduk di samping Arif.

         Bukan apa-apa, masalahnya Nathan memang bego dalam pelajaran Bahasa Arab, bukan Arab saja tapi hampir semua pelajaran. Karena boro-boro mau belajar kalau kerjaannya tiap hari bawa satu buku dan pena hasil maling milik Nabila, alasannya karena Nathan sudah trauma bawa buku banyak-banyak. Waktu seminggu memulai belajar, Nathan masih rajin bawa buku kosong, tapi dia madol sampai jam ke lima, dan balik-balik ke kelas, semua bukunya raib. Hilang. Tanpa jejak. Hanya menyisakan sebuah pena di dalam tas.

         "Geseran dong." Sementara Arif meringgis tidak nyaman, tahu bahwa Nathan pindah pasti karena ada maunya.

         "Buka Alquran kalian." Sudah menjadi ciri khas Pak Mahyudi dengan kepala botak dan kumis putih di atas bibirnya, baru saja selangkah masuk ke kelas langsung memberi perintah, matanya menatap ke seluruh kelas hingga akhirnya berhenti tepat menatap Nathan yang selalu menjadi sasaran empuk. "Nathan, baca surat Al-Baqarah, dari ayat empat sampai tujuh."

         Terdengar cekikikan kecil dari belakang Nathan.

         Nathan menyenggol lengan Arif, Arif langsung mengerti, cowok itu segera ikut membuka Alqurannya dan mulai melantunkan suara ngajinya sementara Nathan membuka bibir, sekedar megap-megap—persis seperti penyanyi lipsing—membuat seisi kelas menahan tawa setengah mati, sementara Pak Mahyudi duduk di kursinya sambil mendengarkan Nathan tanpa tahu kejadian sebenarnya, bersyukurlah karena ternyata Pak Mahyudi rabun jauh. "Nathan!" terdengar teriakan lagi, Nathan tersentak. Bibirnya berhenti megap-megap sementara Arif masih tetap mengaji.

         Lengan Nathan kembali menyenggol Arif supaya berhenti tapi tu anak tetap aja mengaji.

         Pak Mahyudi bangun dari kursinya, matanya memicing untuk mengamati Nathan. "Saya menyuruh kamu mengaji, bukan Arif."

         Sekelas lagi-lagi menahan senyum, "Saya lagi sariawan, Pak," jawab Nathan refleks.

         "Kamu! Kemari kamu!"

         "Ck," Nathan melengos kesal. Mau tidak mau, dia bangun dari kursinya dan berjalan malas-malasan mendekati Pak Mahyudi.

         "Keluar kamu!" teriak Pak Mahyudi keras, "Cepat!" Salah besar kalau hukuman untuk Nathan mengeluarkannya dari kelas, buat anak-anak lain mungkin ini benar-benar sebuah bencana besar. Tapi buat Nathan, ini namanya rezeki nomplok! Bisa keluar kelas tanpa harus capek-capek bolos.

         "Makasih, Pak. Saya keluar, deh." Nathan mengangguk lalu cepat-cepat berbalik untuk keluar dari kelas, setelah sebelumnya menyeringai puas menatap Abi.

****

         "Mil, sepatu gue gimana, nih?" Salma berdiri di bawah tangga sambil melirik kakinya yang hanya memakai kaos kaki.

         "Ya lo ambil sana," Mila memandang lurus ke depan, pada gerombolan Nathan dan kakak kelas tiga yang kali ini sedang berdiri di kantin belakang sekolah, sebagian sedang duduk di atas meja sambil mengopi ria. Sementara lainnya sedang tertawa sambil merokok. "Buruan, lo mau pulang apa enggak?"

         "Gue ngeri." Salma menggeleng paranoid, bukan apa-apa, saat melihat Nathan secara langsung sedang bergabung bersama gerombolannya yang terkenal tukang rusuh, bukan pilihan yang tepat untuk didekati. Apalagi mereka adalah gerombolan yang sangat terkenal suka menggoda adik kelas, tipe senior buaya darat.

         "Ngeri? Nathan nggak gigit kali. Lagian lo kan tadi pagi udah dia tolongin, nah berarti dia nggak mungkin ngapa-ngapain elo. Gue liatin deh." Tangan Mila menepuk punggung Salma.

         "Ogah ah," Salma menggeleng. "Sumpah, gue takut!" Aneh sih memang, kenapa harus takut? Tidak ada alasan yang tepat untuk menjelaskan kenapa Salma tiba-tiba takut pada Nathan. Lagi pula tampang Nathan tidak ada kriminalnya sama sekali.

         "Kalo lo nggak nemuin, sepatu lo nggak bakalan balik."

         "Iya juga sih."

         "Nah, dibanding sepatu lo nggak balik, pasti lo ntar ditanyain Nyokap. Sepatunya mana? Kalo mau beli sepatu lagi kan mubazir." Tanpa sadar tangan Mila yang tadi di punggung Salma segera mendorongnya membuat tubuh Salma terdorong ke depan. "Sekarang lo nggak ambil sepatunya, terpaksa gue tinggal. Bye!"

         "Eh, iya iya deh, tunggu." Sambil menarik napasnya perlahan-lahan dan mengembuskannya dengan keras, Salma akhirnya memberanikan diri untuk mendekati Nathan, jantungnya berdegup seperti bunyi bedug yang dipukul berulang-ulang. Tepat saat Salma berada di area kantin hingga obrolan antara anak kelas tiga berhenti sejenak, mereka semua menatap Salma yang semula bingung langsung berganti dengan sorotan jahil.

         "Hai cewek, ada apaan nih? Nyariin kakak ya?" tanya kakak-kakak kelas dengan nada geli membuat Salma mengigit bibirnya. "Duile, adek ini manis deh, anak baru ya? Atau gue aja yang nggak pernah liat?"

         "Woy, dasar gatel! Inget lo udah ada Cindy. Pasti nyariin gue, iyakan?"

         Bukannya bicara, Salma justru bisu dan tidak berkutik. Matanya menatap satu arah, pada Nathan yang sekarang tidak meliriknya, cowok itu justru mengobrol dengan temannya tanpa sedikitpun menyadari keberadaan Salma. "Gue ngerti," seseorang menyahut lagi sambil mengikuti arah tatapan Salma. "Lo pasti salah satu fans-nya Nathan, iyakan? Kalo lo bawa brownies, mendingan nggak usah deh, dibanding entar kue itu ujung-ujungnya di makan kite-kite."

         Nathan akhirnya menoleh, melirik Salma.

         "Ketemu gue?" Mata hitam Nathan menatap Salma terang-terangan, setelah mengamati Salma beberapa detik, Nathan mengangguk. "Gue inget. Elo cewek yang tadi pagi gue tolongin, kan?"

         "Apa?! Nathan nolongin cewek?! Ciee, cihuy!!!" Terdengar koor membahana yang riuh gempita. "Nathan nolongin cewek? Kiamat, gempa bumi, longsor!" Lalu disambut siul-siulan yang membuat wajah Salma memerah kaya tomat setengah mateng. "Pokoknya kalo Nathan pedekate sama cewek, gue bakal nyukur bulu gue."

         "Bulu di mana dulu, tuh?" seloroh yang lainnya pada Aditya. "Jangan bilang bulu bawah!"

         "Bulu dagu gue lah, alias jenggot."

         "Halah, jenggot tipis gitu aja dibanggain." Bukan tipis lagi, tapi super tipis, lagi pula kalau tidak dilihat dari dekat, mana mungkin orang tahu kalau Aditya punya jenggot. Karena baru tumbuh dua rambut doang. "Nunggu kiamat baru deh tuh jenggot tumbuh setebel punya Rhoma Irama."

         Aditya tertawa geli lalu matanya kembali melirik Nathan. "Lo nolongin dalam rangka apa dulu, nih?"

         Nathan menatap gerombolannya jengkel. "Perlu sama gue, kenapa?" Pertanyaan terakhir itu ditujukan Nathan pada Salma—yang wajahnya sudah tidak tahu gimana lagi, perpaduan antara ngeri, parno dan shock.

         "Ihiy, akhirnya Nathan deketin cewek, gue kira lo homo."

         Tidak tahan mendengar seruan teman-temannya yang serupa sama orang utan, Nathan bangun dari atas meja yang dia duduki, mengajak Salma supaya mengikuti dia menjauh dari teman-temannya yang sumpah demi apapun, makin berisik!

         "Nah, nah liat tuh! Nathan ngajakin cewek mojok, wah parah! Gila! Sinting! Ciri-ciri kiamat udah dekat!" Seruan-seruan itu makin parah tapi akhirnya menghilang tak lagi terdengar sewaktu Nathan mengajak Salma ke dalam gedung sekolah.

         Saat keduanya sudah benar-benar tinggal berdua, tanpa ada gangguan ditambah pandangan Nathan yang menatap Salma terang-terangan. Membuat Salma mati kutu di tempat. "Itu ... gue mau ngomong soal ... sepatu gue."

         Mata Nathan tertuju pada kaki Salma detik itu juga. "Kenapa?"

         "Yang dilempar Ucup."

         "Oh, itu sepatu lo?" tanyanya lagi dijawab Salma dengan anggukan pelan. Mata Nathan tertuju pada badge nama di seragam Salma. "Nama lo Salma? Salma Alvira?"

         Salma melihat mata Nathan tertuju ke badge-nya dan balas mengangguk lagi. "Iya."

         "Gue kira punya Ucup, tapi bagus kalo bukan dia yang dateng," katanya. "Soalnya kalo dia yang dateng, " Mata tajam Nathan menatap Salma lurus-lurus, " ... mungkin dia udah bonyok sekarang."

         Salma mundur selangkah sampai kepalanya menyentuh tembok. Dilihatnya Nathan tersenyum puas melihat reaksi Salma lalu mengambil sesuatu dalam tas ranselnya, sepatu Salma. "Kali ini gue balikin," katanya sambil memberikan sepatu Salma dan cewek itu cepat-cepat mengambilnya. " ... berhubung lo pucet banget, gue jadi nggak enak. "

         "Thanks."

         "Lain kali kalo ketemu sama gue biasa aja," balas Nathan kalem sementara matanya melinangkan sorot geli. "Gue jinak kok, santai aja."

*** 

        Keesokan harinya Salma datang ke sekolah dengan on-time. Tidak mau kejadian kemarin terulang dua kali, cukup sekali aja dan Salma benar-benar kapok setengah mati. Dia baru saja turun dari angkot tepat di depan sekolah dan berlari masuk ke gerbang, dilihatnya Nathan juga baru sampai, begitu juga temannya, Vero.

         "Ver—"

         Tanpa diduga, begitu tiba-tiba, seperti halilintar yang menggelegar di tengah cuaca panas.  Terdengar suara keras yang membuat kata-kata Salma tertelan ke dalam kerongkongannya, tubuhnya seketika mematung saat dilihat sebuah motor milik kakak kelas dengan sengaja menabrak bagian belakang motor Nathan yang ingin masuk ke parkiran sekolah. Pemandangan itu tepat di depan matanya, di-depan-mata! hanya berjarak satu langkah!

         "Bangsat!" Nathan teriak dan menoleh ke belakang, wajahnya memerah. Dia langsung menjatuhkan motornya hingga kendaraan itu langsung terguling sia-sia.

         "Elo yang bangsat," balas orang yang menabrak Nathan, Salma melihat badge kelasnya, kelas 11. "Gue udah bilang bakal kasih pembalasannya ke elo."

         Nathan segera mendekati kakak kelas itu, tangannya yang terkepal langsung meninju perut sang lawan hingga terjerembab jatuh dari motornya. "Nggak usah cari masalah sama gue, setan!" Nathan terlihat kalap, apalagi saat matanya melihat bagian belakang motornya benar-benar hancur, plat-nya jatuh dan lampu belakangnya pecah menjadi kepingan di lantai.

         Salma membeku, seperti baru melihat kuntilanak tepat di depan matanya. Bahkan lebih parah dari kuntilanak. Melihat Nathan berhasil meninju sang lawan—tanpa diduga—dari arah berlawanan muncul sekawanan anak-anak kelas 11, mereka langsung bereaksi cepat dengan melepas helm di kepala Nathan secara paksa dan memukulinya habis-habisan. Dilihatnya Nathan yang tidak paham ada gerombolan musuh dari belakang, langsung tumbang terkena pukulan bertubi-tubi. Sementara murid-murid lain yang ingin masuk ke gerbang, bukannya menolong, justru menjadikan Nathan yang semaput sebagai bahan tontonan.

         Wajah Nathan dengan sempurna terkena pukulan sampai hidungnya mengeluarkan darah.

         Terdengar sesuatu yang retak dari wajah Nathan.

         "TOLONGGGG!!!! PAK SATPAM!!!!!!!" Salma langsung teriak keras-keras, dengan suara yang bergetar, tubuhnya sudah gemetar dan dingin. "PAK SATPAM, TOLONG!!!!" Salma benar-benar takut bukan kepalang, ini pertama kali seumur hidupnya melihat adegan hantam-menghantam tepat di depan matanya! Jelas, tanpa syarat! Salma menelan ludah, ingin menangis. Ya iyalah, siapa yang nggak nangis kalo ngeliat orang berantem di dekatnya. Satu lawan sebelas.

         Semua pasang mata yang sedang menghabisi Nathan langsung menatap Salma.

         Tidak butuh waktu lama, satpam yang baru muncul langsung membekuk sebelas orang yang memukuli Nathan. Beserta guru-guru bidang kesiswaan. Salma mengigil, kakinya lemas, tepat saat matanya bertatapan dengan Nathan. Kakinya langsung lemas dan...

         Kurang dari dua detik, tubuhnya langsung ambruk, jatuh ke lantai. Semuanya gelap; total.

****

         Nathan duduk di kelasnya sambil meringis, menekan wajahnya yang memar-memar kebiruan. "Lo kenapa nggak pulang aja sih?" tanya Abi menoleh ke belakang.

         Nathan menyipitkan matanya. "Sejak kapan sih lo jadi sweet gitu sama gue?"

         "Jangan geer, bukan karena sweet, daritadi lo ngaduh-ngaduh mulu, kuping gue jadi panas."

         Cowok itu ketawa geli lantas menepuk bahu Abi. "Tapi thanks buat sarannya, kayanya gue mau ke UKS aja."

         "Serius lo? Di UKS biasanya ada Bu Erna, siap-siap aja deh lo diceramahin abis-abisan."

         "Biasanya jam segini dia lagi di ruang TU."

         "Terus lo mau ngapain di sana?"

         "Ngeliat Salma."

         "Salma?" Kening Abi mengernyit mendengar nama cewek keluar dari bibir Nathan, bukan aneh, tapi Nathan termasuk tipe cowok yang jarang atau bahkan terkesan enggan untuk membicarakan cewek—bukan karena sok jaim—tapi standar-nya tinggi dalam memilih cewek. Contohnya Sherin, anak kelas dua belas, ketua cheerleaders, yang tergila-gila dengan Nathan waktu pertama kali melihat Nathan MOS. Tapi tetap aja, hati Nathan masih tak tersentuh-tuh-tuh. Ada juga yang namanya Dinda, mantan dari pentolan sekolah. Tiap kali Nathan mau pulang, selalu aja Dinda ngintil supaya pulang bareng. Alhasil Nathan nebengin, tapi ujung-ujungnya cuma sampai depan halte sekolah.

         "Gue cabut, kalo Bu Lilik dateng, lo ngarang alesan apa gitu kek. Oke? Thanks, Bi!" Nathan menepuk pundak Abi dan segera bangun dari kursinya sebelum Bu Lilik, guru Matematika yang juga musuh bebuyutan Nathan masuk ke kelas.

         Sepuluh menit berikutnya, saat Nathan sudah keluar. Bu Lilik masuk ke dalam kelas sambil membawa buku-buku latihan. Matanya langsung terfokus pada kursi Nathan yang kosong. "Di mana anak itu?"

         Abi mengangkat kepalanya, mencari alasan yang pas. "Mencret-mencret bu!" jawabnya spontan membuat seisi kelas langsung tertawa geli. "Katanya perutnya tiba-tiba mules gara-gara digebukin sebelas orang."

         Tawa satu kelas meledak lagi, alasan yang sumpah demi apapun; goblok banget!

         "Sudah-sudah, diam! Kita lanjutkan pembelajaran." Bu Lilik meletakkan bukunya di atas meja, "jangan ada lagi yang tertawa!"

****

         Kelopak mata Salma mengerjap perlahan-lahan hingga akhirnya gradasi yang semula blur kini terlihat jelas. Putih. Terang. Lampu yang ada di atasnya. Lalu terdengar ringisan seseorang di sampingnya membuat Salma langsung menoleh dan melihat Nathan!

         Ya, Nathan! Cowok itu duduk di kursi samping ranjang sambil menekan pipinya dengan kapas yang diberi alkohol. Tubuh Salma langsung tegang, dia menarik tubuhnya ke ujung untuk menjaga jarak membuat Nathan menoleh.

         "Lo—"

         "Udah baikan?" tanya Nathan sambil melempar kapas di tangannya ke kotak sampah di bawah ranjang.

         "Lo ngapain di sini?"

         "Emangnya gak boleh? Setahu gue, gue masih tercatat resmi sebagai salah satu siswa di SMA Garuda," jawabnya tanpa ba-bi-bu.

         "Eng—maksud gue, bukan gitu."

         "Kayanya kemaren gue udah bilang, santai aja kalo ngomong sama gue. Gue bukan monster, apalagi setan. Walaupun guru-guru pada bilang kalo gue ini kaya setan, hati gue bidadari kok."

         Walaupun Salma nggak tahu di mana sisi bidadarinya.

         Salma menarik napasnya perlahan. "Seharusnya gue yang nanya gitu, lo nggak pa-pa? soalnya wajah lo tadi berdarah-darah parah banget."

         "Udah kebal, dipukul pake kayu juga, kali kayunya yang patah." Nathan tertawa geli. "Gue yakin sekarang bangsat-bangsat itu pasti lagi kesakitan abis mukulin gue, soalnya muka gue ada tenaga dalemnya." Nathan menyeringai. Kepala cowok itu tertoleh saat dilihatnya wajah Ucup muncul di pintu.

         "Kayanya gue harus balik ke kelas sekarang, deh." Salma berniat untuk bangun dari ranjangnya tapi mendadak terhenti saat merasakan tangan Nathan menahan bahunya. Hangat. Sempat membuat Salma tertegun dan akhirnya memilih pasrah.

         "Enggak, lo istirahat aja. Lagian sehari nggak belajar juga nggak bakal buat lo jadi bego, Cup, sini." Mendengar panggilan Nathan, Ucup segera masuk ke dalam UKS dan melihat Nathan mengeluarkan dompetnya. "Tolong deh, lo beliin teh anget. Satu aja. Sama rokok satu, tapi rokoknya lo sumputin di kantong. Jangan sampe ketawan sama guru."

         "T-t ... a .. " kata-kata Ucup segera berhenti saat dilihatnya Nathan kembali menatap matanya, lembut, tapi kontradiktif. "I-iya deh." Ucup segera mengangguk, tidak mau dapat masalah seperti kemarin.

         Hening yang cukup lama membungkus ruangan serba putih itu, Salma yang sibuk dengan pikirannya, begitu juga dengan Nathan yang menggerakkan jemarinya di atas lutut hingga akhirnya keheningan itu dipecahkan oleh pertanyaan Nathan. "Lo kelas berapa?"

         "Sepuluh dua."

         "Oh. Sepuluh dua." Nathan manggut-manggut.

         Ucup muncul lagi, kali ini membawa teh hangat yang dia letakkan di ranjang UKS juga dengan rokok yang dia selipkan di kantung belakang celananya.

         "Gue keluar dulu, mau ngerokok di kantin belakang. Cup, kembaliannya lo ambil aja." Nathan bangkit dari kursinya lalu berbalik, meninggalkan Salma yang menatap punggungnya penuh tanda tanya.

****

         Saat mendengar bel istirahat berbunyi, Salma akhirnya memutuskan keluar dari UKS dan kembali ke kelasnya.  "Salma! Lo nggak kenapa-napa kan?" baru saja Salma duduk sempurna menempelkan bokongnya di dalam kelas langsung mendapat bom pertanyaan dari Mila. "Gue serius, lo enggak pa-pa, kan?"

         "Nggak usah lebay gitu, gue nggak kenapa-napa."

         "Lo nggak diapa-apain kan sama Nathan?" sekarang Vero yang berganti menyelidik, dari atas sampai bawah seolah-olah ingin mencari sesuatu yang janggal dari tubuh Salma. "Soalnya kata Ucup, tadi dia nungguin lo di UKS."

         "Ya enggaklah, lagian dia di UKS karena mau bersihin lukanya terus kebetulan ada gue di sana." Salma menggelengkan kepalanya takjub, hebat! Dalam waktu kurang dari tiga puluh menit, beritanya sudah heboh ke mana-mana, ini semua karena Ucup.

         "Sorry ya Sal, tadi gue nggak denger lo manggil gue, serius! pas gue balik, tiba-tiba ngeliat segerombolan anak kelas sebelas itu mukulin Nathan dan liat lo pingsan," cerocos Vero tanpa koma tanpa titik.

         "Udah ya, nggak usah diinget lagi deh, gue malu. Kok kesannya gue lebay banget sampe pingsan, soalnya gue trauma liat orang berantem gitu."

         "Kalo gue jadi lo juga ya pasti sama shock-nya, soalnya adegan pukul-pukulan itu tepat di depan mata!"

         Salma meringis dan menempelkan punggungnya di sandaran kursi. "Gue baru tau, ternyata Nathan sebrutal itu," katanya tanpa sadar. " ... gue kira dia nakalnya cuman karena suka ngelawan guru, atau isengin temen-temennya di kelas."

         "Enggak, lo belum tau aja gimana rusuhnya itu anak. Awal-awalnya keliatan kalo dia tukang rusuh itu waktu bulan puasa kemarin; ketawan ada sepuluh siswa keciduk ngerokok di kantin. Dan rata-rata yang keciduk itu yang anak baek-baek, lah. Nggak suka cari masalah. Lo tau kenapa mereka bisa batal puasa? Gara-gara Nathan! Itu cowok ngehasut, katanya 'kalo lo nggak ngerokok, pokoknya cemen lah! Bukan laki, potong aja tuh kelamin' parah banget kan tuh orang? Mau batal puasa, tapi ngajak-ngajak orang."

         "Gitu?" Salma menyipitkan matanya dengan sebaris kernyitan muncul di kening.

         "Tapi kalo lo mau naksir sih nggak pa-pa, wajar aja. Abis Nathan ganteng gitu, tapi gue saranin jangan sampe deh lo jadi tergila-gila. Kalo gue  waktu awal-awal MOS naksir Nathan. Abis dia tinggi, ganteng, cool."

         "Dasar gatel!" Ayu langsung nyinyir. "Ngaku kan lo akhirnya? Waktu awal-awal gue tanya lo suka apa nggak sama Nathan, lo jawab enggak! Bohong lo!"

         "Waktu itu gue kan jaim dikit alias jaga image."

         "Menurut gue sih, cowok nakal itu wajar, dibanding nakalnya kaya gitu tuh ... " mata Vero berputar ke ujung kelas, lagi-lagi ke arah Jaya yang kali ini tidur. Benar-benar tidur, tanpa lihat situasi! "Ke sekolah bawa tas kecil banget, tiap hari bawanya dua buku, isinya juga bukan catetan! Kerjaannya maling pena gue mulu, nggak punya tujuan hidup kali ya itu orang."

         "Oh iya, denger-denger juga, dia tajir banget. Bapaknya waktu itu pernah ke sekolah, gila, bapaknya aja ganteng banget! Gue serasa liat Brad Pitt di depan mata, terus berdasarkan informasi yang gue denger juga, bapaknya Nathan tuh arsitek terkenal gitu. Namanya apa ya? biar gue inget," Vero berpikir sejenak sebelum akhirnya menjentikkan jari. "Nah iya, inget! Namanya Ardi Januar Prasetyo."

         "Salma, ada yang nyariin!" suara Siti yang cempreng terdengar dari pintu, Salma mengangkat kepalanya dan melihat ada seorang cowok berdiri di sana. Kalo nggak salah, dia tuh salah satu gerombolannya Nathan. Iya bener, Salma masih ingat, kok. Wajah itu yang kemarin menggodanya habis-habisan.

         "Nyari gue? Nggak salah?"

         "Iya lo, yang namanya Salma, kelas sepuluh-dua, cuman lo doang."

         "Kiriman apaan?" balas Mila heran.

         Salma berdiri lagi, berjalan ke pintu untuk menghampiri cowok itu.

         "Nih, buat lo." Sebuah tas karton diberikan pada Salma.

         "Buat gue?"

         "Iya."

         "Dari siapa?" Salma menerima uluran tas kecil itu dengan penuh tanda tanya.

         "Udah lo buka aja deh, oke? Gue cuman mendapat tugas untuk menyampaikan doang." Lalu cowok itu tersenyum dan segera berbalik, sementara Salma menatap tas kecil di tangannya dengan ternganga.

         "Sal, buruan sini! Buka deh, dari siapa?" seru Mila penasaran. Ditariknya Salma supaya cepat duduk di kursinya. "

         "Sini gue liat." Tangan Ayu segera menyambar tas di tangan Salma dan mengeluarkan isinya, ada sebuah kue brownies cokelat bertabur keju dan kepingan cokelat batang di atasnya. Benar-benar menggiurkan, membuat mereka berempat kaget. Namun yang jauh lebih mengagetkan selain hadiah itu adalah sebuah kertas yang tertempel di atas kotaknya.

         Muka lo tadi pucet banget, sorry ya. –Nathan.

         "Ini dari ..... " Salma langsung melotot tajam pada Vero agar tidak berteriak, sebelum mereka menciptakan kehebohan, diraihnya kertas itu dari tangan Vero. "Nggak usah teriak."

         "Iya deh, sori, abis gue kaget! Seriusan, ini dari Nat—"

         "Sssst!! Pelanin suara lo, tolong." Nada suara Salma terdengar memohon dan lagi-lagi membuat ketiga temannya meringis kecil. Lantas dilihatnya Mila berdecak sambil menggelengkan kepalanya. "Ada apaan?"

         "Unbelievable! Cowok ngasih hadiah mungkin udah biasa, tapi ini..." suara Mila kemudian dipelankan, nyaris menyerupai bisikan sambil memajukan wajahnya mendekat. "Nathan gitu looh..." kemudian digantikan dengan seringai di ujung bibirnya. "Kayanya gue harus bilang sesuatu sama lo Sal."

         "Apaan?"

         "Lo menang banyak hari ini!"

 ****

         Salma duduk di depan meja belajarnya sambil memperhatikan kotak kue dari Nathan yang isinya sudah bersih mengkilat karena disikat oleh teman-teman sekelasnya. Sementara Salma justru cuma dapatt setengah potong, cewek itu mendengus lantas menempelkan kepalanya di atas meja. Merasakan kepalanya masih setengah pusing. Tiba-tiba ponselnya di atas meja bergetar dan layarnya berkedip-kedip, tangan Salma segera meraih ponsel itu.

         1 pesan teks.

         From : 085766658xxx

         Salma?

         Kening Salma berkerut heran saat dilihatnya ada sebuah pesan teks dari nomor tak dikenal.

         To : 085766658xxx

         Ya? Ini siapa?

         Sent. Send.

         Lalu tak lama muncul sebuah balasan.

         Ini gue. Nathan.

         Nathan!

         Bola mata Salma nyaris keluar dari bola matanya sangking terkejut saat membaca balasan itu. Dia tidak mungkin salah lihat soalnya mata Salma tidak katarak, rabun dekat, rabun jauh atau rabun malam. Matanya normal-normal aja kok. Dan pesan itu benar-benar dari Nathan. Catat itu. N-a-t-h-a-n.

         Dapet nomor gue dari mana?

         Send. Send.

         Dua detik berikutnya, ponsel Salma bergetar lagi.

         Dari Mila. Lo udah ngga pa-pa, kan?

         Mila!

         Nggak. Nggak mungkin.

         Salma menggelengkan kepalanya bingung, rasa pusing yang menghantam kepalanya sekarang makin menjadi-jadi. Masih tidak percaya sama sekali bahwa yang barusan mengirim pesan adalah Nathan. Atau jangan-jangan ini Mila kali, ya? Atau Vero? Atau Ayu? Atau paling mentok Ucup, deh!

         Bohong. Nggak usah bercanda deh, mana mungkin Nathan sms gue? Ini pasti Mila? Nggak lucu, tau. Kalo ini beneran Nathan, coba telepon gue.

         Suara merdu Adam Levine dari Maroon 5 yang menyanyikan lagu Lost Star berdering di dalam kamar Salma membuat cewek itu menyipitkan matanya dan makin terkejut lagi saat melihat nomor Nathan menelponnya. Aduh, mati gue! Berarti ini beneran Nathan, dong? Tanpa sadar Salma mengigit bibirnya bingung. Angkat, enggak. Angkat, enggak. Tapi kalo nggak diangkat, Salma mana tau itu Nathan atau bukan. Akhirnya setelah bergulat habis-habisan dengan pikirannya, Salma menekan tombol hijau.

         Cewek itu menempelkan ponsel di telinga sambil memejamkan mata.

         "Ya?"

         "Kenapa nggak percaya kalo ini gue?" terdengar suara bariton cowok menyahut di seberang sana, Salma segera membuka matanya spontan. Ternyata, beneran Nathan! Lalu hening. Tidak ada jawaban.

         "Sal? Lo masih dengerin kan?"

         "I-iya. Denger kok."

         "Gue kirain pingsan," jawab Nathan disusul dengan tawa geli. "Ya udah deh, save nomor gue ya. Nathan, ada h-nya jangan lupa. Kalo mau tambah embel-embel ganteng juga nggak pa-pa. Nathan ganteng, gitu."

         "Iya, nanti gue save."

         "Sip. Ya udah. Good night ya."

         Sambungan terputus, tidak ada lagi suara Nathan yang terdengar dari balik teleponnya. Hanya bunyi tut-tut-tut yang menyahut namun Salma masih setia menempelkan ponselnya di telinga, membeku di tempat. Mila! Awas aja itu anak, besok!

——

A/N :

How about this part? so far so good? so far so bad? Vomment ya. Thank you! x.



Fortsätt läs

Du kommer också att gilla

ALLEN Av Nuraini💙

Tonårsromaner

1.7K 313 8
Hellen Adiwiyana, wanita yang masih merindukan sosok lelaki dimasa lalunya, yang kini datang kembali dengan wajah serupa tetapi sifat dan nama yang b...
5.4K 1.8K 43
Kumpulan kata yang tercipta dengan tidak sengaja, dan akhirnya menjadi sebuah cerita. [Selesai] Garis Luka Written by @sndykalagirl_ ©2021
24.3M 1.9M 88
[PO DIA ANGKASA 31 AGUSTUS 2021] [FOLLOW SEBELUM DI BACA] HIGHEST RANK #2 IN TEENFICTION ON 19 MARET 2021 ** -Tidak merasakan apa-apa jauh lebih baik...
198 68 30
*** "But he'es not you! He'es not you! He will never be you! "Ucap nya tanpa jeda membuat laki-laki yg ada disamping nya sedikit terkejut mendengar p...