Protect At All Costs (END)

By an_ssky

15K 2.1K 3.5K

C A M P U S S T O R Y *** "Kamu cowok, kan? Aku nggak pernah kenal kaum kamu. Tepatnya, nggak kenal makna sal... More

p r a k a t a
a b o u t
prolog
01_alleged trouble
02_(don't) care about
03_touch
04_unidentified
05_toes and arguing
06_unsee scenery
07_hard-to-get approval
08_anxiety ring
09_wrong way to interact with you
10_silly perspectives and thoughts
11_memory caller
12_space and squeeze
13_like a rain
14_with you, again
15_a rush of blood
16_thank you in silence
17_hated stare
18_with you, always
19_belief
20_closer
21_falling for you
22_words to believe
23_his existence
24_she and her past
25_stay stay stay
26_apology
27_people come and go, so you do
29_she's the present
30_his world is hers
epilog
extra chapter
1.1_you're not alone
1.2_such a hard time
1.3_he want, but he can't
1.4_messed up
1.5_choices
1.6_turning point [END]

28_night of confession

214 37 17
By an_ssky

Ketakutan untuk menyakiti, justru bisa menjadi latar belakang bagi seseorang untuk meninggalkan luka yang mendalam.

***

Lengang merupakan kata yang tepat untuk mendeskripsikan kondisi LovALife saat ini. Akan tetapi, kata itu akan jauh lebih tepat jika digunakan sekitar setengah jam yang lalu, saat tidak satu pun insan masih menghuni restoran kecil itu, saat lampu-lampu sempurna dimatikan dan pintu tertutup rapat untuk ditinggal semalaman. Namun, kini kondisinya satu tingkat lebih hidup.

Sebab saat ini, ada dua orang yang masih berdiam dalam duduknya, mengisi kekosongan LovALife yang jam operasinya telah berakhir untuk hari ini. Satu lampu yang menggantung paling dekat sudah dinyalakan, agar keberadaan mereka tidak benar-benar ditelan gelap. Meski ada hal lain yang menelannya, yakni hening yang terus merayap.

Entah untuk yang keberapa kali, Isy mengangkat gelas berisi air putih hangat di depannya, menggenggam benda itu dengan kedua tangan sebelum mendekatkan ke bibir yang sedari tadi masih kelu bahkan untuk sekadar bergumam. Pandangannya menunduk, meski sebenarnya dia sadar betul ada sepasang mata yang memperhatikannya sejak pemiliknya mendudukkan diri di depan Isy dengan gelas yang dibawanya.

Dari hampir sepuluh menit lalu, Isy memilih diam dan mengabaikan hal itu. Akan tetapi, tidak dengan sekarang. Sisa sesak yang bergumul di dada, ketakutan yang tak pernah diakuinya, serta keputusasaan atas eksistensi Jaza, perlahan memudar. Ia sudah jauh lebih tenang, hingga mampu mengangkat kepala dan bertemu mata dengan lelaki di depannya. Sedang kedua tangan Isy perlahan menurunkan gelas hingga mendarat ke atas meja, meski tangannya tidak dia jauhkan dari sana.

Meski tidak sempat mengira akan bagaimana reaksi Jaza, tetapi melihat lelaki itu membolakan mata dan menegakkan tubuh, membuat Isy sedikit terkejut. Lebih banyak lagi, dia berusaha menahan senyumnya, yang tentu saja berhasil. Dibanding mengekspresikan bagaimana dia menilai raut wajah Jaza sebagai sesuatu yang lucu, Isy justru berhasil menarik alisnya dan memberikan tatapan tanya.

"Apa?" tanyanya.

Wajah Jaza yang semula tegang, sudah sedikit melunak. Akan tetapi, matanya sama sekali tidak beralih dari Isy, bahkan ketika ia menggelengkan kepala. "Enggak." Jaza menjawab polos.

Kali ini, Isy tidak bisa lagi menyembunyikan senyumnya. Gadis itu kembali menunduk, lalu menarik tipis bibirnya. Namun, tidak ada kata yang keluar. Jaza pun begitu, kembali bungkam entah karena apa.

Mengingat apa yang baru saja terjadi, Isy tidak merasa aneh jika diam menjadi pilihan bagi mereka. Gadis itu pun tidak berniat mengatakan apa pun. Ada berbagai rasa yang saling bergumul dan membentuk satu jalinan yang membuatnya tidak bisa dengan mudah memberikan definisi sesuai. Meski jika hendak dirangkum, lega memimpin dominasi di dalamnya.

Lega karena untuk pertama kali setelah berhari-hari lamanya, mereka berbicara. Lega karena Isy berhasil mengungkapkan bahwa mereka yang berjauhan sama sekali bukan hal yang menyenangkan untuk dilewati. Lega karena Jaza masih menerima gadis itu, merengkuhnya saat Isy benar-benar membutuhkan.

Sebentar. Sekelebat bayangan melintasi kepalanya saat pemikiran gadis itu sampai di kalimat terakhir. Jaza merengkuhnya. Jaza memeluknya.

Gila. Isy segera memejamkan mata kala mengingat bagaimana gadis itu berontak, lalu balas memeluk Jaza dengan lebih erat. Ah, sekarang dia menemukan satu kata lagi untuk mendeskripsikan rasa yang teramat bervariasi. Malu. Benar, Isy sangat malu.

Hingga tanpa sadar, Isy berdiri dan mencipta suara berisik dari kursi yang terdorong ke belakang. Di depannya, Jaza terlihat secara otomatis mendongak, membuat mata mereka bertatapan.

"Isy, kenapa?"

Kalimat tanya itulah yang menyadarkan sang gadis. Kini, salah tingkah menyerangnya, membuat gadis itu mengalihkan mata dan membawa organ itu berlari ke sana kemari hingga menangkap gelas yang masih konsisten berada di atas meja.

"Oh," katanya, lalu meraih benda yang sedari tadi akrab dengannya itu. Setelahnya, matanya diarahkan kembali kepada Jaza. "Ini, mau naruh ke dapur, terus pulang." Jeda, Jaza masih memperhatikannya dan kali ini dengan dahi mengernyit. Mungkin, lelaki itu menyadari adanya hal aneh dalam tingkah Isy. Sedang Isy sudah kehilangan ide lagi. Dia memutuskan untuk berbalik dan meninggalkan Jaza saja.

Namun, baru saja badannya menghadap arah yang berlawanan, dia merasakan cekalan di pergelangan, membuat gerak yang semula diniatkan menjadi urung total. Sedetik, dua detik, Isy masih menunggu. Akan tetapi, tangan yang melingkar di pergelangannya itu tidak mau berpindah. Alhasil, Isy mengalah dan kembali membawa badannya menghadap Jaza. Sementara rasa malu atas ingatan sendiri, masih bersarang di dalamnya.

Kali ini, didapatinya Jaza yang juga sudah berdiri. Matanya menyorot lain, tidak seperti dua kejadian tadi. Kini, Isy kembali menemui Jaza dengan keteduhan yang diberikannya. Bibir lelaki itu tertarik tipis, sebelum berkata, "Boleh ngobrol dulu?"

Isy menimang, tidak langsung memberikan jawaban. Rasa malu yang semula dengan kuat bersarang, kini memudar dengan cepat kemudian raib dari peradaban. Yang mendominasinya justru resah, takut. Takut jika apa yang akan dibicarakan Jaza, bertolak belakang dengan perkataannya di tempat parkir tadi.

Kenapa aku menjadi setakut ini jika dia betulan pergi?

Isy tidak memahami dirinya sendiri, dan yang bisa dia lakukan saat ini hanya menurut. Tubuhnya yang sudah sempurna menghadap Jaza, membuat lelaki itu melepaskan cekalannya. Perlahan, mereka kembali mendudukkan diri di dua kursi yang menjadi anomali, sebab siap diduduki tidak seperti kursi lain yang sudah dinaikkan ke atas meja.

Jaza diam, padahal dia yang mengajak berbicara duluan. Isy mengimitasi, sebab jika yang akan dikatakan Jaza merupakan sesuatu yang tidak ingin ia dengar, Isy ingin mengulur waktu sebanyak-banyaknya. Jika sebelumnya dia berkata, siapa yang pergi biarlah pergi, begitupun dengan siapa yang memilih tinggal, kali ini pemikirannya sudah berbeda. Resah yang dengan cepat menyelimuti, menjadi isyarat bahwa dia tidak ingin Jaza pergi.

Lama sekali, tetapi sepatah pun kata belum juga terucap. Isy menyadaro hal itu dan membiarkannya saja, memilih terus menautkan jemari di atas meja. Dia tidak mau memulai.

Hingga akhirnya, suara Jaza terdengar. "Jangan ngomong gitu lagi."

Seketika, Isy mendongakkan kepala. Netra kedua insan itu bertemu dan dihubungkan dengan satu garis lurus yang sama. Jaza tampak serius, sedang yang diberikan Isy adalah kernyitan. "Apa?" Pertanyaannya terucap.

Kali ini, dilihatnya Jaza menghela napas, kemudian menunduk. "Stop talking nonsense about yourself, stop mentioning bad things and letting them win. You matter, Isy. Jangan ngomong gitu lagi." Perlahan, di tengah Isy yang sama sekali tidak menyangka akan mendengar pernyataan seperti ini, Jaza mendongakkan kepalanya. "Aku nggak suka dengernya." Jeda tercipta dan Jaza berhasil menyelami netra Isy semakin dalam bersama bergantinya detik di antara mereka. "Aku nggak suka. It hurts."

Ada hangat yang mengetuk-ngetuk dada Isy, memaksa masuk dan menyebar di sana. Sang pemilik, tentu tidak dapat menolak. Dengan suka rela, pintu itu terbuka dan Isy merasakan nyaman yang luar biasa di sana. Ia merambat dengan cepat ke seluruh tubuh, turut membuat tangannya yang bertautan, semakin mengerat satu sama lain.

"Jangan selalu mempertanyakan diri sendiri untuk kesalahan orang lain, Sy. Jangan menyalahkan apa yang ada di diri kamu, yang bahkan nggak bener sama sekali, saat seseorang milih pergi. Sometimes, it happens as simple as God doesn't want you to get hurt because of them."

Sungguh, jika diminta mengerjakan soal dengan perintah menggambarkan dengan tepat perasaannya di malam ini, Isy akan menyerah lebih dulu. Dia dengan pasrah akan memilih gagal dan tidak mendapat satu pun nilai saja. Karena nyatanya, ia terlalu kompleks. Terlalu mudah berganti bahkan sebelum Isy merasakan rasa yang dia suka dalam waktu yang lama. Bahkan saat ini, sesak kembali menyelinap ke dadanya, meski Isy susah payah mengusir agar hangat dan nyaman saja yang tetap ada. Apakah benar, ujung dari pembicaraan ini adalah kepergian? Lalu, mengapa tadi Jaza berucap sedemikian menenangkan saat memeluknya?

Tangan gadis itu mengepal. Sebelum berucap, dirapatkannya bibir terlebih dahulu, seolah mencari kekuatan. "Gimana kalau yang buat aku sakit, justru perginya orang itu? Kalau gitu, bener, kan, aku yang salah?"

Jaza menggeleng. "Mungkin bukan sekarang, tapi bisa jadi hadirnya dia beberapa waktu ke depan, bakal bikin kamu kesusahan."

Sungguh, bukan jawaban seperti itu yang Isy mau. Mendengarnya, emosi gadis itu beranjak naik. Air mata yang sudah kering sedari tadi, kini terasa hadir lagi membuat netranya memanas. "Maksudnya, kamu mau balik lagi kayak kemarin atau gimana? I told you, jangan ngomong apa pun kalau akhirnya gini." Ingin sekali Isy meminta Jaza berhenti berbicara dan melupakan apa pun yang bahkan tidak dia tahu, lalu kembali pada mereka yang mulai dekat seperti beberapa waktu lalu. Namun, justru itu yang keluar.

Tubuh Isy sudah berada di posisi tegak, matanya menyorot tajam ke arah Jaza. Namun, dia tidak menyangka jika yang diberikan kepadanya adalah senyuman. Apakah ucapan Isy hanya lelucon di telinga Jaza.

Di tengah emosi Isy yang belum stabil, Jaza mengulurkan tangannya, meraih milik Isy dan menggenggamnya.

"Jangan ngepal sekenceng ini. Sakit."

Isy melongo, tidak percaya. Apakah Jaza mendadak tuli?

"Nggak usah ngalihin." Isy hendak menarik tangannya, tetapi Jaza menahan dengan lebih kencang kemudian memberikan usapan perlahan.

Netra teduh Jaza masih bertahan, mengiri kalimat yang dia ucapkan selanjutnya. "I won't leave, if you don't wanna too."

"Then why, you've been missing lately? Kenapa juga kamu ngomong seolah aku nggak boleh nyalahin diri sendiri kalau kamu pergi?" Isy tidak gentar. Sorot matanya belum berubah. Dia tahu, ucapan Jaza belum selesai, tetapi dia ingin cepat sampai pada kesimpulannya saja. Agar sakit yang harus dilalui malam ini, tidak akan terlalu banyak.

"I told, someone. Not me."

Isy mengernyit, tidak mengerti. Sedang Jaza, kini bergerak menggenggam kedua tangan Isy dan memainkannya, memberikan usapan yang tanpa disadari, membuat amarahnya sedikit teredam.

"Iya, maaf karena aku sempat berpikiran untuk itu. Bukan karena kamu kurang, karena aku nggak peduli sama hal itu. Bukan karena masa lalu kamu, karena aku justru bangga kamu berhasil ngelewati itu. Tapi karena aku mikir, kamu bakal kesulitan kalau aku tetep maksa buat jadi bagian dari kamu."

"Look, then. You're the one who talk nonsense. Kesimpulan dari mana? Dasarnya apa? Kamu nggak masuk akal." Lagi-lagi, Isy memotong. Dan seolah menjadi dua variabel yang dihubungkan oleh kausalitas, usapan di jarinya yang semula mengendur, kini dikuatkan kembali.

"Iya, aku tahu. Makanya sekarang, aku bicara sama kamu."

"Kalau aku nggak nahan duluan, aku yakin sekarang kamu nggak akan duduk di sini."

Ungkapan ketus yang dilontarkan Isy, ditanggapi senyum oleh Jaza. Mungkin, karena hal itu benar adanya.

"Iya, bener. Aku ragu. Jadi, makasih dan maaf, karena kamu yang harus ambil first move, yang harus kesusahan, repot, karena aku." Jaza menjeda. "Kemarin, Bulik Ratih bilang ke aku kalau kamu sempet nanyain aku ke dia. Aku emang bodoh, pengecut, baru berani muncul lagi di hadapan kamu karena itu. Aku udah mempertimbangkan buat ngomong ke kamu, tapi selama kerja tadi, aku mikir kalau kamu cuma merasa aneh dengan aku yang menjauh. Iya, aku akui, aku emang ngelakuin itu. Tapi, setelah tadi, kayaknya aku terlalu banyak ngambil kesimpulan tanpa komunikasi ke kamu dulu."

"Emang." Isy menyambar cepat. Lagi-lagi, Jaza menghadiahinya dengan kekehan.

"Kenapa, sih?"

"Kamu yang kenapa, Za. We were fine, tapi tiba-tiba kamu aneh. Pergi, terus sekarang ngomongin kesimpulan-kesimpulan yang aku nggak ngerti sama sekali."

"Iya, maaf."

Isy tidak menggubris permintaan maaf itu. "Emang apa, sih? Kamu nyimpulin apa?"

Kini, Jaza tampak menundukkan kepalanya, sedang tangan yang semula hanya menangkup punggung tangan Isy, kini membawa kedua telapak miliknya dan Isy bertaut. Sedang sang gadis, masih setia dengan bingungnya.

"Kamu pasti tahu, Sy. I have feeling, yang lebih dari sekadar teman." Jaza mendongak. Sungguh, Isy tidak mengira kalimat itulah yang akan meluncur dari mulut Jaza. Segala rasa yang masih menyesaki dirinya, kini semakin dijejali dengan kaget dan salah tingkah karena pernyataan langsung tanpa aba-aba itu. Namun, entah Jaza menyadari atau tidak, tetapi dia tampak tidak peduli, memilih kembali mengungkapkan maksudnya.

"Aku nggak mau kamu terbebani karena perasaanku dan berakhir kesulitan untuk memilih. Aku tahu, Sy, dia orang baik, dia orang pertama yang bikin kamu merasakan banyak hal. Awalnya, aku mikir buat nonjok dia sampai dia kesulitan minta ampun. Tapi kalau dipikir lagi, he just used to be in a difficult situation to put himself in. Bukannya menganggap aku penting buat kamu, tapi aku cuma nggak mau kamu menyadari perasaanku dan jadiin itu penghalang buat balik ke dia. Then, I'm here to tell you that you don't have to worry about me. Aku bakal pergi kalau kamu mau, bakal tinggal kalau kamu izinin, dengan janji buat nggak membebankan perasaanku ke kamu."

Panjang sekali kalimat yang Jaza ucapkan. Akan tetapi, Isy tidak bisa menangkap dengan benar. Dia yang semula kesulitan menahan aliran darah yang menyerbu ke wajah hingga menciptakan panas, kini hanya bisa melongo, tidak mengerti. "Ini kamu ngomongin siapa?" tanyanya.

Jaza melepas genggaman mereka. Bahunya terangkat, sebelum menyandarkan punggung ke kursi. "Who else? It's your ex."

Isy semakin tidak mengerti. Ingatannya diputar hingga sampai pada momen pertama kali Jaza berubah. Seolah ada bohlam yang menyala di kepalanya, gadis itu sedikit berjengit, tidak habis pikir. "Did you see he was hugging me?" Jaza diam, tetapi wajahnya tidak tampak mengenakkan. Dia bahkan mengajak matanya berkeliling ke sekitar. "Seriously? Dan kamu ngambil kesimpulan dari situ?"

Mungkin, nada yang Isy berikan terdengar meremehkan, hingga Jaza dengan cepat menolehkan wajahnya. "I'm just thinking and it's true, kan? Kamu nggak suka kontak fisik, tapi you hugged him. Kurang jelas apa lagi." Nada suara Jaza terdengar kesal, membuat Isy semakin melanggengkan kernyitan.

Tubuh Isy ikut menegak, seperti yang dilakukan Jaza. Percakapan selanjutnya, berlangsung dengan nada yang tidak ingin dikalahkan.

"He HUGGED me, that's the fact."

"And you did it too. Nggak usah bantah, Isy."

"I told you, it was him. I didn't!"

"You did!"

"No!"

"You hugged him back, that's the truth you can't even deny."

"I hugged you, not him!"

"You hugged ...."

Ujung ucapan Jaza terdengar lirih, sampai terputus sempurna. Perlahan, entah apa yang ada di pikirannya, Jaza terlihat membolakan mata. Isy menyadari hal itu, mengerti kalau perkataannya sukses membungkam Jaza.

Namun, seolah belum merasa cukup, dia kembali berkata, "I hugged you back and that's the fact I won't ever deny."

Di titik itu, Jaza benar-benar diam. Isy dapat melihat bagaimana rona wajah lelaki itu berangsur menuju warna yang berbeda. Ada merah yang menjalar, bahkan hingga ke telinganya. Namun, seolah masih diselimuti kekagetan, titik tuju netranya tidak berubah, membuat kedua insan itu tetap bertatapan hingga sekarang.

"Kalau kamu ngambil kesimpulan dari sana, kamu salah. Dia minta maaf and that's it. Even he wants me to be with him, I won't ever say yes." Isy menjeda. Jujur, dia tidak yakin untuk mengatakan hal ini atau tidak. Namun, entah apa yang mendominasi dirinya, setelah merapatkan bibir sebentar, mulutnya kembali terbuka dan mengatakan hal yang mungkin tidak akan dia percaya bahwa dia berani mengatakannya. "Because my heart already belongs to someone else and person in front of me must be that guy."

Diam merambat hingga angin yang berembus teramat lirih pun dapat terdengar pergerakannya. Mereka sama-sama diam. Isy dengan jantung yang sudah tidak karuan lagi degupnya, dan Jaza entah dengan perasaan apa. Isy tidak tahu. Satu hal yang pasti, Isy dapat melihat bibir lelaki itu yang bergerak amat tipis, tetapi tidak kunjung jelas hendak tersenyum atau berkata sesuatu.

Kini, kesadaran Isy yang telah sepenuhnya kembali, membuat gadis itu menggigit bibir bagian dalamnya. Seolah sedang memprotes keinginan impulsifnya untuk berkata seperti tadi.

Demi Tuhan, Jaza. Jangan diem.

Permintaan Isy terkabul. Ada pergerakan dari Jaza, yang dimulai dari lelaki itu yang memalingkan wajah, kemudian beranjak dari duduknya. Tentu saja, Isy dibuat semakin bingung, apalagi saat Jaza menatapnya lurus.

"Ayo, pulang. Kalau sama kamu di sini lebih lama, I swear I can't stop myself from making you my lover."

Isy tertegun, kemudian tidak sanggup lagi untuk menahan tawanya. Wajah Jaza sangat lucu saat mengatakan hal itu. Frustrasi, tampak merah seolah di balik kulitnya ada bara api.

"Don't laugh, Isy."

Isy tidak menuruti, meski dia sendiri pun tidak yakin kalau wajahnya berada di kondisi lebih baik.

Segala rasa seolah berkumpul mengerubungi dirinya malam ini. Namun, jika perasaan seperti ini yang menjadi muara, Isy tidak keberatan telah melalui semuanya.

Hhhh panjang lagi. Kayaknya, sampe ending nanti, part-nya bakal sepanjang ini. Maaf, yaa. Thank you for readinggg.

AN

July 4, 2022

Continue Reading

You'll Also Like

2.3M 73.1K 17
Sebagian sudah diunpublish Link ebook di google play : https://play.google.com/store/books/details?id=uA5QDwAAQBAJ Pesona pria itu mengacaukan indran...
78.6K 8.6K 39
[COMPLETED]-What if you meet the right person, but at the wrong time? Daftar Pendek The Wattys 2021
68.6K 18.6K 42
[novel] • telah tamat pada 10/01/21 Gelora menyadari bahwa ketika jatuh cinta, otaknya memproduksi dopamin dalam jumlah berlebih yang membuatnya ingi...
594K 86.2K 60
untuk haidar, the brightest sun in the galaxy. [Cerita masih lengkap, jadi baca selagi part masih lengkap semua yaaa] ○INASYIFA'UNWR○