Obsesi Asmara

By ainiay12

1.7M 117K 52.5K

[PRIVAT ACAK - FOLLOW SEBELUM BACA] - OBSESI, HUBUNGAN TERLARANG, PERSAINGAN BISNIS, PERSAHABATAN, TOXIC RELA... More

| PROLOG |
1. PERTEMUAN SINGKAT
2. BALAPAN
3. KETERTARIKAN
4. IDENTITAS
5. PERINGATAN KECIL
6. PULANG BARENG
7. MENGALAHKAN EGO
8. OFFICIAL?
9. SENTUHAN
10. TERUNGKAPNYA FAKTA & KEHILANGAN
11. DUBAI
12. UNDANGAN
13. BERTEMU KEMBALI
14. PEREMPUAN LICIK
15. MISI & LAKI-LAKI LAIN?
16. EKSEKUSI
17. HOTEL PRIMLAND
18. SISI YANG BERBEDA
19. PERTEMUAN KEDUA
20. PEMBATALAN INVESTASI
22. PESTA
23. CINTA SATU MALAM
24. REKAMAN
25. LOVE OR OBSESSION?
26. SATU ATAP BERSAMA
27. APARTEMEN
28. MENGAKHIRI & AWAL YANG BARU
29. HILANG DAN KECURIGAAN
30. PENGAKUAN & PENOLAKAN
31. TANDA-TANDA MULAI BUCIN?
32. MEMENDAM ATAU MENGUNGKAPKAN?
33. MY GIRLFRIEND
34. VICTORIA GROVE CLUB
35. HANYA PELAMPIASAN?
36. PUTUS HUBUNGAN?
37. SIMPANAN OM-OM?
38. BENAR-BENAR BERAKHIR
39. PENCULIKAN
40. BALIKAN
41. PENYESALAN
42. RASA YANG TAK TERBALAS
43. TERBONGKAR

21. CUCU PEMILIK SEKOLAH

34.7K 3K 2.4K
By ainiay12

Follow akun di bawah ini;
Instagram: wattpad.ayay
Tiktok: wattpad.ai & wattpad.ay

Diwajibkan untuk vote dan komen sebelum membaca cerita ini!

(Happy Reading)

Hari ini SMA Darmawangsa digemparkan dengan berita tentang kedatangan siswa baru, yang ternyata adalah cucu pemilik sekolah.

Reynald Chandrawana, laki-laki berparas tampan dengan tinggi sekitar 170 cm, berkulit putih dan memiliki pandangan yang tajam.

Laki-laki itu kini duduk di kelas 12 IPA 1 yang tidak lain adalah kelas Citra dan juga Ergi.

Reynald yang awalnya bersekolah di luar negeri, harus pulang karena permintaan Ayahnya yang menyuruh untuk pindah sekolah. Mau tidak mau laki-laki itu setuju. Dan sekarang sudah kelas akhir yang sebentar lagi akan lulus.

Setelah sesi perkenalan diri, dia duduk di kursinya, menghiraukan para gadis-gadis yang menatapnya penuh kekaguman, termasuk juga Citra yang memandangnya.

Saat bel istirahat, ketua kelas mendampingi Reynald untuk berkeliling melihat-lihat sekolah, walaupun tidak terlalu perlu, tetap saja dilakukan demi menjaga formalitas.

"Itu kelas 2, banyak cewek cewek cantik nya," kata Daniel selaku ketua kelas. Berjalan ke lantai 2.

Reynald hanya acuh dan tetap berjalan mengikuti Daniel. Sebenarnya ia sudah tahu seluk beluk sekolah ini karena yayasan ini milik kakeknya, tidak perlu dijelaskan lagi. Membosankan.

Berita tentang kedatangan siswa baru sudah tersebar ke seluruh penjuru sekolah, termasuk Alora yang saat ini berada di depan kelas bersama Haikal, Nevan, dan juga Shena.

"Lo denger gak? Katanya ada murid baru, ganteng lagi," ucap Shena.

"Giliran cowok ganteng aja lo semangat banget," ceplos Haikal tidak suka.

"Makanya jadi ganteng, biar di omongin sama orang-orang!" balas Shena tak kalah.

"Gue emang gak ganteng, tapi gue manis," ujar Haikal percaya diri.

"Pede banget najis!"

"Lah emang bener!"

"Berisik banget pagi-pagi," sewot Alora, dengan masih memainkan ponselnya.

"Yaelah gitu doang marah, ke kuburan noh baru sepi," jawab Haikal berani, mendapat pelototan dari Nevan.

Alora langsung menatap Haikal tak bersahabat.

"Iya-iya, gue diem nih," pasrah Haikal melihat tatapan Alora.

"Ra, lo gak kepo sama cowok baru itu?" tanya Shena menggoda, biasanya Alora paling senang jika membahas cowok cowok ganteng.

"Gak. Males,"

"Tumben."

"Kenapa sih, harus banget gue tau cowok itu? Gak penting," kesal Alora. Kenapa hari ini orang-orang bertingkah menyebalkan. Membuatnya semakin kesal saja.

"Yaudah terserah lo, gak usah marah juga kali," balas Shena kemudian berdiri meninggalkan mereka.

"Yah masa gitu doang baper sih! Marah lo?" teriak Haikal, lalu ikut berdiri menyusul Shena.

"Lo kenapa?" tanya Nevan ketika melihat Alora yang memasang wajah muram sejak tadi pagi. Bahkan dia menjawab pertanyaan Shena dengan nada kesal.

"Gapapa."

"Ra… kenapa?"

"Perut gue sakit," ucap Alora pasrah dan mematikan handphonenya.

"Salah makan?" Nevan memandang gadis itu khawatir. Bibir Alora pucat sekali, persis orang yang sedang sakit.

"Enggak. Biasalah cewek."

Nevan mengangguk paham. Pantas saja mood Alora tidak bagus, ternyata dia sedang menstruasi. Hal yang biasanya dialami para gadis setiap bulannya.

"Sekarang masih sakit?"

Alora mengangguk tertunduk. "Masih."

Nevan mengikis jarak, dan tanpa aba-aba dia memegang perut Alora dengan tangannya. Alora yang mendapat perlakuan seperti itu hanya bisa tercengang. Ia tidak menyangka Nevan berani melakukan hal ini di depan umum.

"Mau ke UKS aja?" Nevan bertanya, dengan tangannya yang masih memegang perut Alora.

Untuk beberapa detik lamanya Alora tidak bersuara, karena masih merasa terkejut sekaligus bingung apa yang terjadi sekarang ini. Kenapa Nevan belum melepaskan tangannya?

"Ra…."

"I-iya… anterin gue ke UKS." Perasaan gugup sangat kentara terlihat dari wajah Alora. Mau bagaimanapun juga ia gadis normal yang pasti gugup berdekatan dengan lawan jenisnya.

Nevan berdiri kemudian merangkul Alora untuk berjalan ke UKS.

"Istirahat aja, nanti gue yang izinin lo."

Alora mengangguk.

Reynald dan Daniel yang sejak tadi melihat interaksi mereka pun bertanya-tanya sebenarnya mereka punya hubungan atau tidak.

"Itu…," tunjuk Reynald pada Nevan dan Alora.

"Itu Alora, cewek yang terkenal tomboi sekolah ini," jelas Daniel.

"Cantik." Reynald memuji.

"Mending lo jangan suka sama dia, bisa repot urusannya."

Reynald memicing. "Kenapa?"

"Katanya dia gak pernah pacaran, dan dia gak pernah deket sama cowok."

"Terus cowok yang tadi itu siapa?" Reynald semakin penasaran.

Daniel menjawab acuh. "Entah. Gak ada yang tau."

"Hmm, menarik," batin Reynald.

•••

"Woi bro!! Kemana lo! Ngilang gak ngajak ngajak!"

"Lo kira gue liburan! Gue pergi juga karena terpaksa."

Gaska dan Darren tidak bisa menahan gelak tawa ketika melihat wajah murung Bian di layar ponsel.

"Hahaha kasian banget nasib lo!" cetus Gaska memegangi perutnya yang terasa keram karena terus tertawa.

"Yoi, jadi anak pengusaha emang susah bro," timpal Darren juga mengejek.

"Bacot lo pada! Ngapain nelpon gue? Kalo gak penting gue matiin! Gue sibuk di sini," kesal Bian melihat kedua sahabatnya itu tidak berhenti mengejeknya.

Gaska mengatur napasnya, dan mulai menatap Bian serius. "Ada murid baru yang gantengnya ngalahin lo! Siap-siap aja lo punya saingan."

Darren mengangguk, membenarkan perkataan Gaska. Dia juga ikut menimpali. "Dan lebih parahnya, cowok itu sekelas sama cewek lo. Hati-hati bro nanti Citra malah kecantol sama cowok baru itu," lanjut Darren mengompori.

Di layar ponsel, Bian seperti memikirkan sesuatu. Kalau perkataan mereka benar, bisa bahaya. Ia takut jika nantinya Citra akan berpaling pada cowok itu.

Tidak. Tidak akan. Bian tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Citra miliknya sampai kapanpun itu.

"Kenapa lo? Udah santai aja, gue sama Darren bakal awasin Citra, dia gak akan macem-macem," kata Gaska seolah tahu pikiran Bian.

"Tapi gue heran sama lo, apa yang lo liat dari Citra? Cantikan juga cewek yang ngejar-ngejar lo itu," cecar Darren membuat Gaska mengangguk setuju.

"Bener tuh, modal semok doang si Citra tapi matre, bagusan juga si Alora kemana-mana." Gaska tersenyum kala mengingat pertemuan pertamanya dengan Alora di depan tangga.

Gadis jutek tapi cantik. Bodoh sekali Bian melepaskan Alora dan memilih Citra. Jika Gaska menjadi Bian, mungkin sudah dari lama ia akan menikahi Alora saat itu juga. Itupun kalau Alora mau menjadi yang kesekian.

"Heh! Kenapa lo senyum-senyum gitu? Mesum pikiran lo, ya?!" tegur Darren merinding.

"Bangsat! Awas aja kalo lo berani mikirin Alora. Gue bantai lo tanpa ampun!" ancam Bian dengan memasang  wajah marah. Enak saja Gaska membayangkan Alora tidak-tidak, ia tidak akan rela.

"Jangan serakah bro, bagi-bagi lah, gue juga mau kali punya cewek cantik,"

"Anjing! Lo udah ada di Sesil, masih aja nyari lagi."

"Kalian berdua sama aja, sama-sama serakah. Kayak gue dong, stay halal jadi jomblo," ucap Darren dengan bangganya.

"Bacot!" ucap Gaska dan Bian bersamaan.

Layar handphone menjadi gelap saat Bian mematikan panggilan video. Kedua orang itu juga mulai membereskan tasnya dan keluar kelas. 

Saat berjalan beriringan ke parkiran, Darren tidak sengaja melihat di depan kelas 12 IPA 1, Citra dan murid baru itu tampak mengobrol sesuatu.

"Anjir itu bukannya Citra? Gercep banget dia, udah di gebet aja," pekik Darren menunjuk Citra dan Reynald.

"Wah parah sih, baru sehari ditinggal Bian, Citra udah nempel ke cowok lain," imbuh Gaska tidak menyangka.

"Udahlah mending kita pulang aja." Gaska berjalan duluan.

"Tungguin woi!" teriak Darren berlari di belakang.

"Lo mau pulang?" tanya Citra basa-basi. Sebenarnya niatnya ingin kenal Reynald lebih jauh. Dilihat dari penampilannya Reynald sepertinya orang kaya. Dan lagi dia adalah cucu pemilik sekolah, bukankah artinya dia sudah pasti kaya raya?

"Hmm," balas Reynald tidak tertarik.

"Gue Citra, yang duduk di bangku depan sebelah kiri," ucap Citra mengajak cowok itu berkenalan. Tapi tidak ada respon dari Reynald, dia justru sibuk mencari seseorang dan malah mengacuhkan Citra yang di hadapannya.

"Nunggu orang? Atau nunggu temen?" tebak Citra.

"Iya," balas Reynald kemudian pergi tanpa menghiraukan Citra. Matanya terus berkeliling mencari seorang gadis yang sangat-sangat ingin dilihatnya.

"Apa dia udah pulang?" gumam Reynald, tapi belum berakhir ucapannya, terlihat Alora yang berjalan berdampingan dengan Nevan di sana.

"Cowok itu lagi." Reynald sedikit tidak suka.

Haikal pulang dengan mengantarkan Shena karena cewek itu masih marah pada Alora, gara-gara kejadian tadi pagi.

Saat ini Alora dan Nevan berada di dekat pos satpam, menunggu mobil jemputan Alora yang masih di jalan.

"Kalo besok masih sakit, jangan sekolah dulu," ucap Nevan memecah keheningan di antara mereka.

"Udah mendingan, kan sakitnya cuma pas hari pertama aja," balas Alora.

Nevan memberanikan memegang kedua pundak Alora, membuat cewek itu memandang Nevan yang berjarak beberapa centi saja di depannya.

Alora akui, Nevan sangat tampan. Wajar jika banyak gadis yang ingin dekat dengannya. Tapi entah kenapa Nevan masih memilih untuk sendiri.

"Ra, kalo butuh apa-apa lo bisa hubungi gue. Kapanpun asalkan buat lo, gue selalu ada waktu," ujar Nevan menatap dalam-dalam bola mata Alora.

"Lo bisa ngandelin gue. Lo bisa berbagi apapun itu sama gue," lanjut Nevan. Alora lagi-lagi tidak bisa berpikir jernih. Hari ini tindakan Nevan agak berbeda dari biasanya. Lebih dominan dan juga lebih perhatian padanya.

Bukannya Alora tidak suka, hanya saja. Ini sedikit tidak nyaman. Nevan terlalu berlebihan memperhatikan dirinya.

"Gue gak mau bergantung sama orang lain," balas Alora, dengan tidak langsung menolak ucapan Nevan.

"Gue bisa sendiri. Gue kuat. Gue gak butuh bantuan siapapun."

Nevan menggeleng. "Lo gak sekuat itu. Ada gue, lo bisa percaya sama gue, Ra."

Alora tidak menjawab dan malah memalingkan wajahnya ke lain arah. Melihat mobil jemputannya sudah tiba, Alora segera bergegas.

"Gue pulang duluan, ya," kata Alora kemudian berlari ke mobilnya.

Nevan menatap mobil Alora yang kini sudah melesat pergi. Ia beralih menatap tangannya sendiri. Tangan yang baru saja memegang pundak Alora.

Cowok itu tersenyum kecil, seharian ini ia bisa lebih dekat dengan Alora, dan ia mau seterusnya akan seperti ini.

"Gue tau lo gak baik-baik aja, Ra," monolog Nevan kemudian.

Ada yang berbeda dari tatapan Alora. Nevan langsung bisa mengetahui kalau Alora saat ini sedang dalam masalah. Ia menawarkan diri untuk membantu, tapi kenapa Alora malah seperti tadi? Menolaknya dengan berkata bahwa dia bisa menghadapinya sendirian?

Tidak ada orang yang tidak butuh bantuan orang lain. Begitu juga dengan Alora. Tapi walau Alora menolak bantuannya, ia tidak akan berhenti begitu saja.

Menjaga Alora sudah seperti kewajibannya.

Di dalam mobil, Reynald melihat semua itu. Tangannya terkepal erat menonjolkan urat-uratnya.

"Kayaknya dia bakal jadi saingan gue?" tanyanya memandang Nevan yang masih di sana.

Lumayan tampan, tapi ia masih jauh lebih tampan.

Sepertinya ini akan menjadi awal yang menyenangkan. Setelah sekian lama tidak ada gadis yang bisa membuatnya tertarik, tapi usai pertemuan kemarin, ia merasa segalanya sudah berbeda.

Gadis itu, Reynald tidak akan melepaskannya.

•••

"Masih berani kamu pulang?" tanya Celine ketus saat melihat Citra yang baru saja pulang sekolah.

"Ma, kok ngomong gitu, sih?" Citra kaget bukan main ketika Celine bertanya padanya dengan nada ketus.

"Mama kira kamu gak akan pulang, setelah semua perbuatan kamu kemaren malam," sindir Celine sembari menonton tv.

"Aku udah minta maaf kemaren, kenapa Mama masih bahas masalah itu?"

"Maaf kamu bilang?" Celine berdiri, menatap anaknya penuh dengan aura permusuhan. "Apa maaf dari kamu bisa bikin pak Jovan mau kerjasama lagi sama kita? Enggak, kan? Maaf kamu gak akan merubah apapun!"

Citra tersentak kaget saat mendengar bentakan Celine. Matanya mulai memanas menatap Celine yang memandangnya penuh amarah.

"Ma, udah…," tegur Bagas.

"Citra cepat masuk kamar," lanjutnya.

Tidak bisa dipungkiri bahwa Bagas juga kecewa. Ia berjuang mati-matian untuk bisa bekerjasama dengan Arkatama Corp, tapi dengan mudahnya Citra malah menggagalkan itu semua.

Membenci Citra juga tidak ada artinya. Mau bagaimanapun gadis itu tetap darah dagingnya.

Citra berlari ke kamarnya. Ia menangis karena perkataan Celine baru saja. Juga Celine yang membentaknya. Ini pertama kalinya Celine berteriak marah seperti tadi.

Selama ini mereka berdua terbiasa memanjakan Citra, jadi ia tidak terbiasa akan situasi seperti ini.

Sampai di kamar Citra langsung membanting dirinya ke kasur dan menangis tersedu-sedu. Menangis karena Celine memarahinya. Menangis karena ia sudah merasa bersalah saat melihat raut wajah kedua orang tuanya yang kecewa.

Dring dring

Handphone Citra berbunyi, dengan malas dia mengangkatnya, ternyata dari Ergi.

"Halo?"

"Cit, lo di rumah, kan?" tanya Ergi.

"Iya."

"Siap-siap, bentar lagi gue jemput. Temenin gue ke mall, sekalian lo cari gaun buat ke pesta Gracia," kata Ergi membuat Citra seketika menegakkan badannya.

"Serius?"

"Iya."

Usai panggilan selesai Citra segera melompat turun dari kasurnya untuk bersiap-siap. Moodnya langsung membaik saat Ergi akan mengajaknya ke mall. Kebetulan juga ia sudah lama tidak ke mall karena akhir-akhir ini Bian tidak begitu baik padanya.

Memikirkan Bian, Citra jadi teringat, kalau cowok itu tidak menghubunginya sema sekali. Apa dia benar-benar marah? Haruskah Citra mengubungi Bian lebih dulu? Tapi biarlah seperti ini. Ia masih ingin bersenang-senang tanpa pengawasan Bian.

•••

"Kamu kenapa, sih? Uring-uringan begitu?" tegur Aslan ketika melihat wajah Bian yang tidak bersemangat setelah menerima telepon barusan.

"Ada murid baru di sekolah," ucap Bian.

"Oh, Reynald. Dia baru tiba beberapa hari yang lalu," ujar Aslan santai, mendapat antusias dari Bian.

"Reynald? Namanya gak asing, Papa kenal?" tanya Bian merubah posisi duduknya menjadi menghadap Aslan.

"Jelas kenal, dia kan sepupu kamu."

"Hah?" Pekik Bian terkejut. "Sejak kapan?"

"Sejak lama. Kamu aja yang nggak kenal karena dia sekolah di luar negeri."

"Terus sekarang kenapa tiba-tiba pindah sekolah?"

"Mungkin sama kayak kamu, harus ngurusin bisnis keluarganya."

Bian berdecak. "Kapan aku setuju buat nerusin bisnis Papa?"

"Kalo kamu gak setuju, ya, gapapa. Siap-siap aja keluar dari rumah Papa," ucap Aslan mengancam.

"Kebiasaan, ngancam mulu, nih."

Pria itu tersenyum kecil. Hubungannya dengan Bian kian terus membaik, semoga saja terus seperti ini.

"Dia anaknya Om Chandra." Beritahu Aslan.

Lagi-lagi Bian terkejut. "Aku baru tau Om Chandra punya anak cowok, bukannya anaknya cewek,ya?"

"Itu akibatnya kamu terlalu bucin sama Citra, sampe gak tau apapun."

"Apa hubungannya sama Citra?" cowok itu bingung kenapa Papanya malah menyinggung soal Citra.

"Sudahlah."

"Kita kapan pulang? Aku khawatir takutnya Citra suka sama Reynald, apalagi katanya mereka sekelas," ucap Bian membuat Aslan tertawa.

"Jangan khawatir. Reynald nggak akan suka wanita macam Citra," sanggah Aslan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Keluarga Chandrawana tidak akan sembarangan mencari menantu, terlebih lagi wanita seperti Citra, tidak akan masuk kriteria mereka."

Bian tidak terima perkataan Aslan. "Udah stop, ujung-ujungnya Papa malah merendahkan Citra."

"Papa tidak merendahkan, emang itu kenyataannya, kan?" tanya Aslan. Bian berdiri kemudian pergi tanpa menjawab. Selalu saja seperti ini. Pembicaraan mereka selalu berakhir dengan Papanya yang merendahkan soal Citra.

900 VOTE & 900 KOMEN. PASTI BISA.

SPAM UP DI SINI👉

SPAM NEXT DI SINI👉

SPAM ALORA DI SINI👉

SPAM BIAN DI SINI👉

SPAM REYNALD DI SINI👉

SPAM EMOT APAPUN DI SINI👉

MAU BILANG APA SAMA MOMI?👉

AYO SPAM EMOT ❤️ BUAT MOMI😘👉

KALIAN DUKUNG SIAPA "BIAN-ALORA?"

ATAU "ALORA-NEVAN?"

ATAU "ALORA-REYNALD?"

KALAU MAU CEPAT UP, TARGETNYA DI CEPATIN JUGA YA🤪🥴

JANGAN MALES KOMEN, SEMAKIN RAME KOMEN & VOTE NYA SEMAKIN CEPAT UP NYA!

RAMAIKAN CERITA INI KE TEMAN-TEMAN KALIAN!

JANGAN LUPA FOLLOW AKUN RP MEREKA

Continue Reading

You'll Also Like

291K 17.3K 36
JANGAN LUPA FOLLOW... *** *Gue gak seikhlas itu, Gue cuma belajar menerima sesuatu yang gak bisa gue ubah* Ini gue, Antariksa Putra Clovis. Pemimpin...
3.2M 159K 25
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...
568K 22.1K 35
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.7M 56.2K 25
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...